Bab 38: Ketahuan
Bab 38: Ketahuan
Semua akan baik-baik saja, kan? Pikir Abigail setelah usai berbicara dengan Fatimah. Awalnya, Abigail tidak mau datang, ia menolak, dan masih memikirkan perasaan Jeremias. Namun mendengar suara Demian yang masuk ke rumah, memberikan senyum paling manis, dan juga mencium tangannya dan Jeremias, memeluk mereka secara bergantian. Semua pemikiran itu menghilang.
Pertumbuhan Demian di usia ini sangat memerlukan peranan orang tua yang lengkap. Bagaimana pun, sosok ayah memang penting dalam keluarga.
Kadang kala, sosok ayah tidak terlihat bila dibandingkan dengan ibu. Hal ini dikarenakan hampir semua urusan keluarga, menjadi tugas seorang ibu. Sehingga peran ibu terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan ayah. Namun apakah berarti ayah tak memiliki peran penting di dalam keluarga? Tentu saja tidak.
Peran ayah, atau Jeremias bagi Demian tentu ada. Ia sebagai pemimpin, pelindung, penyedia kebutuhan, pemberi kasih sayang, motivator, dan masih banyak lainnya. Meskipun, semua itu bisa diberikan Abigail selama ini. Namun, secara naluri, membutuhkan ayah pasti ada di hati Demian. Kerinduannya.
“Bi? Malam ini menginap di sini aja, ya?” nenek Fatimah muncul di dapur, bersama Demian di sampingnya. “Nenek mau lihat Demian terus. Mau ajak dia main-main. Enggak papa, kan?”
Tidak mungkin Abigail menolak, kan? “Iya, Nek. Enggak, papa.”
Selain itu, Abigail juga sering mendengar nenek Fatimah menyinggung tentang cicit. Mungkin, sudah saatnya Abigail membiarkan beliau bersama cicitnya bermain. Terlalu jahat jika ia menolak permintaan nenek Fatimah. Lagi pula, melihat pancaran berbinar-binarnya, Abigail tidak tega.
Demian kembali dibawa pergi entah kemana oleh nenek Fatimah. Abigail kembali membuat teh hangat untuk merendahkan gejolak di perut. Gejala mual Abigail masih ada, dan kadang meresahkan di pagi dan malam hari.
Sedang sibuk dengan aktifitasnya. Abigail tidak menyadari kehadiran Jeremias. Pria itu menyandar di tembok, samping pintu masuk sambil memperhatikan Abigail dengan saksama.
Entah perasaan Jeremias saja. Abigail yang memang cantik, tampak lebih bersinar. Pipi perempuan itu sedikit tembem dibandingkan beberapa Minggu lalu. Rambutnya juga memanjang.
“Kamu ngapain di situ?” Abigail yang setengah terperanjat, berseru dengan mendelik tajam.
“Saya mau teh juga, perut saya enggak enak.” Jeremias menjauh dari tembok, lalu berdiri di samping Abigail. “Kok, saya ikutan mual-mual, ya?”
Menarik ujung bibirnya. Abigail menggelengkan kepalanya. “Aku yang hamil, juga. Tapi katanya bisa, sih, suami mual-mual sampai muntah saat istrinya hamil.” Abigail berpikir sebentar, tentang nama lain dari gejala tersebut. “Kehamilan simpatik.”
“Suami dan istri, ya?” Jeremias spontan mengulangi kata yang didengarnya dari penjelasan Abigail. Ujung mata pria itu mengerut bersama tarikan pipi yang naik.
“Kamu kayaknya harus minum psikedelik, deh.” Psikedelik adalah obat dengan halusinogen yang dapat menajamkan persepsi dan memperluas kesadaran. Kandungan obat tersebut, yaitu asam lisergat dietilamida (LSD), ketamin, dan psilocybin (bahan aktif jamur psychedelic).
••••
Abigail menautkan alis ketika Jeremias turun dari lantai dua dengan wajah pucat. Di gendongannya ada Demian yang setengah sadar. Tadi malam, anak itu meminta tidur bersama sang ayah. Tentu, ini pertama kalinya mereka berbaring di ranjang yang sama, maka dengan ringan hati, Abigail mengizinkan.
“Lho, kamu kenapa melas gitu, Jere?” Nenek berseru, menyuarakan isi kepala Abigail dan Bi Uti yang meletakkan sarapan pagi di meja makan.
“Enggak tahu, Nek. Abigail yang hamil, tapi saya yang mual.”
“HUH?” seru sang nenek, terkejut luar biasa, yang dilanjuti dengan dentingan sendok makan jatuh di piring.
Abigail melebarkan mata.“Remi!” Desahan kasar tak tertahankan. Ia memejamkan mata, sambil memikirkan apa yang harus ia jawab kepada nenek Fatimah.
“Ne–Nek. Abi bisa jelasin.”
Nenek Fatimah menggeleng. “Bukan kamu, tapi Jeremias.” Wajah beliau tidak terbaca oleh Abigail.
Jeremias yang sadar dengan kesalahan gatalnya, melirik Abigail dan berseru tanpa suara. “Maaf.”
“Nyonya, saya ke dapur dulu, ya.” Bibi Uti menyela pembicaraan. Ia kemudian pergi dari sana.
“Kalian berdua, ikut sama nenek. Biarin Demian main sendiri di ruang keluarga!”
Pada akhirnya, Demian dibiarkan menonton Spongebob Squarepants di salah satu stasiun televisi. Untungnya anak laki-laki itu tidak membantah dan merengek-rengek untuk ikut.
“Hamil? Abigail sedang hamil?” tanya nenek Fatimah, dari balik kacamatanya itu, ada sorot pemasaran.
Abigail melirik Jeremias. Memerintahkan kepada pria itu untuk menjelaskan. Sebenernya mereka ingin menjelaskan tentang keadaan Abigail yang berbadan dua. Hanya saja, mereka merasa waktunya belum tepat.
“Iya, Nek. Abigail sedang hamil anak kedua kami.”
“Berapa bulan, Bi?”
“Lima Minggu, Nek,” jawab Abigail.
“Jadi gimana?”
“Jeremias bulan ini akan menikahi Abigail, Nek.”
“Huh?” Abigail menarik satu alisnya. Ia tahu, mereka akan menikah, tapi tidak cepat ini, kan?
“Bagus. Segera temui almarhum ayah Abi. Jika ada kontak ibu Abi, hubungi, juga.”
“Enggak usah telepon mama, Nek.” Abigail berubah sendu.
Apakah Abigail adalah anak kurang ajar, jika dirinya menolak untuk memberitahukan kabar ini kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia? Abigail takut, kehadiran mamanya akan membawa masalah baru dalam acara pernikahan mereka. Terbayang di Ingatan Abigail, komentar jahat para netizen di internet, dan wanita di Khasanah tentang mamanya waktu itu.
Sapuan lembut di punggung Abigail, menyadarinya dari lamunan. Jeremias tidak berkata apa-apa, hanya dengan tatapan mata, Abigail bisa menerjemahkan maksud pria itu.
‘Semua akan baik-baik saja.’
“Nenek akan sampaikan ke orang tua kamu. Tapi untuk menjelaskan detail, kamu bisa telepon mereka nanti.” Nenek Fatimah kemudian berdiri. Ia berjalan ke arah Abigail. “Nenek senang, di umur yang tua ini, bisa mendapatkan dua cicit yang menggemaskan.”
•••
“Iya. Abigail is carrying our baby. Abigail juga pregnant anak Jeremias, Mam. Dan anak yang mama bilang haram itu, darah daging Demian sendiri.” Jeremias berusaha mati-matian untuk menjaga intonasinya supaya tidak kasar kepada Monalisa.
[“Really, Jere? Apa kamu ada buktinya apa anak itu anak kamu? Don't be naive. Don't just believe sama perempuan itu. You're an adult for this. Kamu sudah sangat dewasa untuk memutuskan hal apa yang tempat untuk kamu. Apalagi karir kam! Kamu tahu backstory dia enggak baik. Bagaimana dengan karir kamu as a Lawyer? Kamu tahu sendiri betapa capeknya berada di posisi itu. Maka, jangan dirusaki. Be wise.”
Jeremias mengusap kasar wajahnya. “Mam. First. Don't say, anak itu. Namanya Demian. Anak Jere. Than. Darah Jeremias sama dengannya. Sama seperti darah mama. Dan Jeremias memang tidur bersama Abigail.” Jeremias mengatur napas. “Tentang karir Jere. Ini udah tujuh tahun after scandal ayah Abi. Lagi pula, jika pun masih hangat kasus almarhum ayah Abi, Jeremias tetap menikahi Abigail. It's not just about love, mam. Not too about my job, but this is about my life. About, how can I spend my time with her, with our children in warmth house. How I gave her my heart, my love. Share our story, our tired, and happiness. "
(Ini bukan hanya tentang cinta, Bu. Bukan tentang pekerjaanku, tapi ini tentang hidupku. Tentang, bagaimana saya bisa menghabiskan waktu saya bersamanya, bersama anak-anak kami di rumah yang hangat. Bagaimana aku memberinya hatiku, cintaku. Berbagi cerita kita, lelah kita, dan kebahagiaan kita.)
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top