Bab 36: Tidak Ada Hubungan Lagi

Bab 36: Tidak Ada Hubungan Lagi

Jeremias berdiri di depan pintu rumah Abigail. Jarum jam menunjukkan pukul 00.00 kala itu. Peduli setan dengan pandangan orang, yang menganggapnya gila.

Pria itu hanya diam di posisinya, menyender kap bagian depan mobil, sembari memperhatikan pintu kos-kosan Abigail. Novel ‘Suara Hati Renata’ masih ada di tangannya.

Campur aduk, itulah perasaan Jeremias saat ini. Ribuan helaan napas kasar telah dikeluarkan, dengan harapan ada kelegaan yang ia rasakan di dada, tapi sesuatu yang mengganjal masih ada di sana, memaksa pria itu untuk bertemu secara langsung dengan Abigail. Namun, satu sisi lain dari Jeremias berseru malu. Mau ditaruh di mana wajahnya di hadapan Abigail?

••••

Jeremias merasa tubuhnya menggigil, kaki pria itu juga melemas dengan mata yang sangat berat dan sakit kepala. Mungkin ini efek tidak tidur dan terlalu banyak akitivitas yang ia lakukan akhir-akhir ini.

Kepala Jeremias terkantuk-kantuk, bahkan beberapa kali Novel itu terjatuh dari tangannya. Seharusnya ia masuk saja dan duduk di dalam mobil. Namun, pria itu memilih tetap di luar, sambil menunggu Abigail membuka pintu. Hingga enam jam kemudian, tidak ada tanda-tanda seseorang akan keluar dari sana.

Jeremias kehausan, ia butuh air. Ia mengantuk. Terlebih dari semua itu. Jeremias membutuhkan kehadiran Abigail.

Di saat itulah pintu kos-kosan Abigail terbuat. Menampilkan sosok perempuan yang Jeremias tunggu sejak semalam bersama anak mereka.

“Remi?”

“Ayah?”

Abigail dan Demian berseru bersamaan dan berjalan cepat ke arah pria berwajah pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Sejak kapan pria itu di sana, pikir Abigail.

“Masuk dulu.” Abigail membantu Jeremias untuk berjalan ke kosannya karena pria itu lumayan sempoyongan.

“Bi?” Jeremias mengentikan langkahnya. Dengan sisa tenaganya, ia menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. “Maaf untuk semuanya.”

Alis Abigail bertautan. Ingin balik bertanya apa maksudnya, tapi Abigail rasa ini bukan waktu yang tepat karena keadaan Jeremias yang down.

“Kita bahas ini nanti, ya? Masuk dulu.” Abigail melepaskan pelukan mereka.

Banyak pertanyaan di kepala Abigail saat ini. Namun, tertahan di ujung lidah. Pada akhirnya, Dela yang mengantar Demian ke sekolah. Dela yang mengetahui keadaan Jeremias karena apa, alasannya sudah pasti karena kado itu, hanya melihat sepintas lalu, dan pergi begitu saja.

Abigail membawa Jeremias ke kamarnya. Menyuruh pria itu tidur di sana, dan ia akan kembali beberapa saat lagi bersama bubur hangat yang dipesannya dan obat penurun panas.

“Kamu kenapa, sih, Bi?”

Abigail tidak melihat buku yang dipegang Jeremias karena benda itu terjatuh di bawa mobil. Lebih tepatnya di samping ban mobil pria itu.

Jeremias sendiri tertidur pulas di atas ranjang Abigail. Aroma yang menenangkan. Apalagi setelah melihat wajah perempuan itu, semua terasa ringan.

Bahkan dalam mimpi, ia membayangkan berada di sekitar Abigail, menyaksikan perjalanannya selama ini, kesusahan, kesulitan, semua kesakitan sendirian. Jeremias ada di sana menonton dengan pilu. Ia tidak ingin menjadi ayah yang buruk bagi Demian dan calon anaknya yang akan lahir, bahkan menjadi kekasih yang jahat.

Belajar dari pengalaman yang ia alami bersama keluarganya yang sangat jauh dari kata harmonis, Jeremias tidak mau hal itu terulang lagi. Titik. Ia harus memberikan yang terbaik kepada mereka, Abigail, Demian, dan adik-adik Demian nanti.

••••

“Kamu tahu buku itu dari siapa?” Abigail tidak pernah memberitahukan bahwa ini buku ini terinspirasi dari kisahnya kepada semua orang. Hanya orang-orang tertentu saja. Seperti Dela, om dan Tante, juga ....

“Dari nenek Fatimah?”

Kali ini gantian Jeremias yang mengernyit heran. “Nenek tahu soal ini?”

Ah, berati bukan dari beliau. Abigail membasahi bibir. Ia harus menjelaskan lagi dari awal. “Buku itu aku berikan ke nenek, terus nenek tanya-tanya karena bukunya, ya, you know gimana. Aku ceritakan aja kalau itu diambil dari kisahku. ” Jeda Abigail untuk mengambil napas. “Tapi demi Tuhan, aku enggak tahu bakal kayak gini. Nenek Fatimah tahu, aku punya anak, tapi enggak tahu itu anak kita.”

Sekarang Jeremias paham, kenapa nenek Fatimah tahu bekas luka di pergelangan tangan Abigail. Tapi, kenapa nenek Fatimah seakan-akan mengetahui lebih banyak lagi dari sekadar itu?

“jadi jawabannya, ini benar-benar diangkat dari kisah hidup kamu, kan?” Jeremias butuh pengakuan dari Abigail, secara langsung meskipun jawaban perempuan itu secara tidak langsung mengiakan.

Sudah tertangkap basah, mau berbohong seperti apa lagi? Abigail mengangguk pelan. “I–iya.”

“Saya minta maaf.”

Keadaan Jeremias telah membaik dibandingkan beberapa jam lalu. Kali ini, ucapan terdengar tegas, dan sarat penyesalan. Tatapan pria itu menjelaskan bahwa ia bersalah.

“Seandainya waktu itu saya lebih gencar untuk cariin kamu, pasti enggak gini.”

Apa boleh dibuat? Nasi telah menjadi bubur. Masa lalu hanyalah sebuah penyesalan yang menjadi kepahitan hidup. Lagi pula, mereka sudah hidup masing-masing sekarang. Tidak masalah, jika ini terus berlanjut. Hanya saja, itu akan terlaksana dengan mudah jika Abigail tidak hamil.

“Jujur saja di sini.” Mesin pompa jantung Jeremias bekerja dua kali lipat. Ini bukan pertama kali bagi Jeremias untuk mengucapkan hal ini, tapi terasa semakin berat saja. Berat bukan karena pria itu terpaksa, melainkan sedikit malu, mengingat umur mereka yang bukan lagi membicarakan ini seperti remaja. “Saya masih cinta sama kamu.”

“Lalu Evelyn?” Jeremias mulai lagi. Abigail hendak bangkit berdiri, tapi ditahan Jeremias.

“Kami udah enggak ada hubungan apa-apa.”

“Karena aku?” Mungkin ini pertanyaan yang menggelikan di telinga Jeremias karena terkesan Abigail yang terlalu percaya diri.

Jeremias berdehem. “Kita putus sehari sebelum Evelyn berangkat. Kalo ditanya siapa yang putusin duluan hubungan kami, jawabannya Evelyn sendiri. Alasannya, itu privasi Evelyn. Yang jelas. Hubungan kami dari awal emang enggak baik-baik saja. Saya yang salah di sini. Saya ngaku itu, dan sangat merasa bersalah kepada Evelyn. Saya sibuk dengan kehidupan saya.”

“Apa ini ada hubungannya sama aku?”

“Bahkan sebelum kamu hadir. Sejujurnya saya belum bisa lepas dari kenangan kita. Saya dan Evelyn berdebat soal ini sebelum ia pergi. Saya sadar, Evelyn selalu jadi bayang-bayang kamu.”

Abigail kehabisan kata-kata. Mungkin karena efek hormon kehamilan, ia merasa sangat sedih. “Kamu jahat banget, ya?”

Benar. Jeremias mengakui itu. Bertahun-tahun ia memperlakukan Evelyn bukan sebagai kekasihnya. Apa yang tidak menyakitkan, jika memiliki hubungan spesial tapi tidak diperlakukan dengan semestinya. Sungguh menyedihkan.

“Karena itu, saya mengakui itu,” bisik Jeremias lemas. “Maafin saya.”

“Aku enggak bisa jawab sekarang.” Abigail menggeleng. “Aku kepikiran Evelyn.”

“Saya enggak maksa kamu. Saya cuma mau mengatakan, i still love you.”

Untuk beberapa alasan di dunia ini, memang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, dan beberapa emosi pun menghilang entah kemana, atau malah sebenarnya ada, hanya diterjemahkan dalam bentuk lain di kepala kita.

Cinta itu unik, bukan? Beberapa saat, mampu memberikan kebahagiaan, tapi detik berikutnya terdapat duri beracun yang siap menusuk hati hingga terluka parah, bahkan sekarat hingga mati. Kadang cinta membuat orang marah, tapi hanya sesaat.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top