bab 33: Menjaga Abigail

Bab 33: Menjaga Abigail

Demian dipindahkan ke kamar Dela malam ini karena keadaan Abigail yang melemah. Mual dan muntah hampir sepuluh menit. Sungguh menyulitkan. Sekujur tubuh Abigail sakit, mulutnya tidak enak, perut perempuan itu bergejolak. Saat ini, Abigail hanya ingin tidur.

Abigail menyadarkan punggung di dinding kamar di atas ranjang. Jeremias yang baru masuk setelah membersihkan bekas muntahan Abigail berjalan mendekat. Diambilnya salah satu bantal, lalu tanpa banyak bicara, menaruh benda itu di belakang punggung Abigail.

Pria itu lalu duduk di tepi tempat tidur. Ia cemas dengan Abigail.

“Bisa tidur enggak? Kalau enggak, kita ke rumah sakit.” Jeremias berseru dengan hati-hati. Jika pun Abigail menolak, ia tetap akan membopongnya ke rumah sakit jika keadaan Abigail sudah berada di batas kemampuan.

Tanpa di sadari, semua kemarahan Jeremias lenyap tanpa tersisa ketika melihat keadaan Abigail. Jeremias hanya ingin bersama perempuan itu, menemaninya. Apa dulu, ketika ia mengandung Demian seperti ini juga? Sungguh menyakitkan.

“Enggak papa, minum teh hangat juga pasti mendingan.” Abigail menolak dengan susah payah.

“Kalau gitu saya buatkan, ya?” Jeremias bangkit, hendak berjalan ke dapur. Namun tangan pria itu ditahan Abigail.

“Enggak usah. Kamu di sini, aja.” Abigail tidak tahu apa yang terjadi dengan jalan pikirannya. Namun, satu kepastian dari keinginannya adalah, bersama Jeremias.

Seperti de Javu. Hanya yang membedakan, kini posisi mereka tertukar. Jeremias pun kembali duduk di ranjang, berbeda dengan Abigail yang menolak dulu. Secara naluri, Jeremias mengambil tangan Abigail, menyematkan jari-jari mereka hingga saling tergenggam erat.

“Kalau mau sesuatu, bilang aja.”

••••

Seberapa lama seseorang menyimpan kemarahannya? Jika Yakub harus melarikan diri selama bertahun-tahun dari kemarahan Esau, sebelum mereka kembali dipertemukan dengan perasaan damai dan sukacita, penuh pengampunan dan kasih.

Maka, mungkin itulah yang terjadi kepada Jeremias tanpa pria itu ketahui. Hanya saja, kemarahannya tidak selama Esau yang dicuri berkatnya. Mungkin karena perasaan itu, yang disebut banyak orang sebagai segalanya, membuat hati Jeremias melemah.

Lagi pula. Kemerahannya tidak bisa disamakan dengan kemarahan Esau bukan? Alih-alih disebut marah, Jeremias kesal dengan tindakan Abigail. Seperti kebanyakan pria yang menggunakan ego, Jeremias pun merasa terluka dengan keputusan Abigail, yang dipikirnya sebagai hal naif.

“Kam butuh apa?” Jeremias yang masih terjaga hingga jarum jam hendak menujuk pukul dua malam, berseru cepat.

Abigail mengerut dahi. “Belum pulang?”

“Kamu lagi gini, saya enggak bisa pergi gitu aja.”

“Aku udah mendingan, kok. Cuma mual muntah. Besok pagi pasti udah baikan.” Abigail berbohong. Namun, jika Jeremias tetap di sini, bagaimana bisa ia melupakan pria itu dengan muda. Ya, walaupun itu masuk ke kategori mustahil. Karena kalau pun ia berhasil, sejak lama perempuan itu menjalin hubungan dengan banyak pria yang menawarkan janji manis penuh rayuan gombal.

Alis Jeremias terangkat. Menahan intonasinya agar tidak meninggi, Jeremias bersuara. “Kamu enggak sekedar itu, Bi. You needed me.”

“Remi.”

“Kamu hamil, kan?” Jeremias tidak bisa menahan diri untuk bertanya. “Jadi biarlah saya bertanggung jawab untuk bayi ini, yang kamu kandung. Biarin saya mengerjakan bagian saya, Bi.”

Hanya bertanggung jawab kepada bayi di kandungannya, ya? Ah, Abigail tersenyum samar-samar. Lalu bagaimana dengan Abigail? Apa Jeremias akan mengambil anaknya ini, kemudian hidup bersama Evelyn? Membentuk keluarga kecil bahagia?

Menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Ia memalingkan wajah. Sialan. Suasana hati Abigail benar-benar gampang berubah.

“Jawab?” Tuntut Jeremias. Kembali bersuara tegas.

Abigail menelan salivanya. Ia bahkan belum mengetahui pasti apakah ia hamil atau tidak. Namun, pria ini sudah berkata seakan-akan ada kehidupan yang hadir di rahimnya.

“Belum pasti, Remi.”

“Satu bulan lebih, Bi. Bukan cuma sekali, dan saya enggak pakai pengamanan. Memangnya kamu minum pil kontrasepsi?”

Terdiam. Abigail menunduk dalam. Ia tidak meminum Pil. Bagaimana ia bisa pergi kr apotek jika seharian ia berada di rumah nenek Fatimah, dan pulang-pulang langsung ke rumah dengan kelelahan.

Respon itu, menarik satu kesimpulan di kepala Jeremias bahwa perkataannya benar. “Besok kita ke klinik dokter kandungan."

“Remi?”

“Please? Denger saya sekali ini saja.”

Abigail meneteskan air mata. Ia tidak bisa menahannya lebih lama. Membayangkan jika Jeremias memperlakukannya seperti ini hanya karena janin di perut, menghancurkan hati Abigail. Jahat! Jeremias jahat. Tega memperlakukan perempuan sepertinya.

“Aku enggak mau. Aku bisa jaga anak ini sendiri!” seru Abigail dalam tangisan. Ia menggeser tubuhnya agar jauh dari jangkauan Jeremias sambil memeluk kedua lututnya, seperti janin yang bersandar di ujung tembok.

Reaksi berlebihan itu, menarik kedua alis Jeremias. Ia bangkit dari ranjang. “Kamu kenapa, Bi?”

“Kamu pulang aja, aku enggak suka ada kamu!” usir Abigail setengah membentak.

“Ssttt. Okay fine. Asal kamu balik tidur, okay?” Mementingkan diri sendiri untuk saat ini bukanlah hal tepat. Jeremias berjalan mundur, dengan harapan, Abigail mendengar ucapannya.

“Keluar!”

Jeremias keluar dari kamar tanpa mengetahui alasan Abigail menangis histeris saat ini. Apa ada yang salah?

Dela keluar dari kamarnya dengan wajah datar. Ia melirik Jeremias begitu saja, dan berjalan ke dapur. Sedangkan Jeremias masih terpaku di depan kamar yang pintunya telah tertutup.

Tidak lama kemudian, Dela kembali dengan segelas air di tangannya. Kali ini, Dela berhenti, menatap lantai beberapa saat, sebelum memutuskan untuk berbicara sesuatu.

“Mbak Renata udah terlalu banyak dapat sakitnya, Mas.” Netra itu tidak berbohong, penuh dengan sendu. “Mbak ngurus Demian sendiri. Menderita sendiri, capek sendiri, cari kerjaan sendiri. Bangkit terus, walaupun banyak hujatan sana-sini. Itu semua mbak Renata lewati sendirian. Mas selama ini kemana, toh?”

“Dihina, dicaci, depresi, sampai nekad bunuh diri, dan berakhir koma. Untungnya mbak Renata punya sedikit kesadaran waktu itu jadi buru-buru ke rumah sakit, walaupun telat, dan hampir meninggal. Mas kemana?” Dela mengeluarkan unek-unek, semua yang dilihatnya selama ini, terjadi pada Abigail.

Jeremias mengedipkan mata berkali-kali. Informasi Dela menampar pria itu hingga tersadar. Apa selama ini, perjuangannya untuk mencari Abigail tidak seberapa?

Dela masuk ke kamar, meninggalkan Jeremias yang terkulai di atas sofa tua itu, menunduk diam, tercenung dengan berbagai hal. Dulu, seharusnya ia lebih berjuang lagi mencari Abigail.

Tapi, apa kekuatannya saat itu? Hanya anak magang yang kadang uangnya tidak cukup untuk sebulan. Ia masih mendapat tambahan dari orang tuanya. Jeremias bahkan hampir meninggalkan pekerjaannya kala itu demi mencari Abigail di sekitar Jakarta. Bayangkan, luas Jakarta dari timur sampai barat, selatan hingga Utara dijelajahinya. Dengan harapan, bahwa Abigail ada. Namun, nihil.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top