Bab 32: Gen Dominan
Bab 32: Gen Dominan
Abigail keluar dari bilik kamar mandi, lalu menatap wajahnya yang pucat pada cermin toilet. Mata sayu, pucat, tidak bertenaga. Ia terus saja mual dan muntah.
Jika diingat-ingat, Abigail memang memiliki maag, hanya sudah lama ia tidak mengalami gangguan pencernaan itu. Lagi pula, ia telah meminum golongan obat proton pump inhibitor (PPI) yang digunakan untuk pengelolaan penyakit yang berhubungan dengan peningkatan asam lambung, seperti ulkus peptikum, gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori, dan gastroesophageal reflux disease (GERD). Namun, masih saja mual dan muntah.
Apa jangan-jangan ..., Abigail hamil?
Perempuan itu mengusap kasar wajahnya. Berdoa supaya hal itu tidak terjadi. Jangan. Demian saja sudah cukup.
Abigail jatuh tersungkur di lantai. Ini semua salah Abigail karena terbawa suasana dengan perasaan sialan itu. Andai ia bisa menahan nafsu setannya, semua tidak akan terjadi. Tidak akan ada Demian kedua. Untungnya tidak ada orang di sana untuk melihat Abigail menangis.
Bukan karena Abigail tidak mau memiliki anak, atau menganggap kehadiran bayi di kandungannya ini adalah suatu kesalahan. Tidak. Ia hanya takut jika keadaan semakin parah, dan menyusahkan anak-anaknya suatu saat nanti. Abigail akan menjadi ibu paling jahat jika anak-anaknya menderita. Ia tidak mau hal itu terjadi. Lebih baik, ia tidak memiliki anak daripada mereka menderita, bukan?
Ah, suasana hati Abigail tidak tahu kenapa, sangat gampang berubah, meluap-luap. Kadang ia menangis, kesal, sedih, senang di selang waktu yang tidak terlalu jauh. Ya ampun.
Pintu toilet diketuk. Abigail segera menghapus air mata di kedua pipinya, lalu berdiri dan menyalakan air keran dan membasuh wajah.
“Abigail?”
“Mama?”
Pergerakan Abigail kaku. Ia diam dalam posisi tangan yang menadah air. Jantung bergemuruh. Kegelisahan semakin bertumpuk. Mata itu mencerminkan kegundahan hati. Apa yang harus Abigail lakukan sekarang?
“Abi?” Sekali lagi suara bariton Jeremias mengudara di balik toilet. Sarat dengan kekhawatiran. “Kalau kamu enggak keluar saya masuk!”
Abigail membuka pintu toilet dengan seutas senyum lemah. Wajahnya tidak basah lagi setelah dikeringkan dengan tisu. Mereka berharapan, dengan Demian yang berada di genggaman Jeremias.
“Mama sakit?” tanya Demian, yang mendongak cemas.
Menggeleng pelan. Abigail menunduk kepala hingga sejajar dengan sang anak. “Mama enggak papa, sayang.” Abigail meyakinkan itu, dengan raut wajahnya yang pucat.
Mungkin Demian bisa dibohongi, tapi tidak dengan Jeremias. Orang bodoh mana yang percaya dengan omong kosong Abigail? Melihatnya dalam beberapa detik saja sudah cukup untuk membuat kesimpulan bahwa Abigail sakit. Titik.
“Lanjut makan, baru kita pulang,” celah Jeremias.
••••
Abigail kebingungan ketika mereka sampai di rumahnya, yang bertepatan dengan mas pengatur makanan. Keluar dari mobil dengan kening berlipat-lipat, karena tidak merasa sedang memesan makanan, ia pun mendekati pria itu.
“Permisi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Abigail.
Si mas membuka ponselnya, hendak menyebutkan nama si pemesan. Namun ucapannya dipotong oleh suara lain.
“Mas Danang, ya?” tanya Jeremias, bersama Demian di gendongannya. Anak kecil itu tertidur dalam perjalanan pulang. Pasti ia kecapean karena bermain tadi.
“Hoo ..., Pak Jeremias? Ini pesanan anda.”
“Dikasih ke mbaknya, aja, Mas.” Jeremias melirik Abigail yang terdiam.
“Buag istrinya, ya, pak? Lagi sakit, Bu?” Pria itu menyengir kuda. Lalu memberikan sekotak bubur komplit dari rumah makan terkenal di Surabaya.
Ada apa orang-orang ini? Kenapa malah menjadikan mereka seperti pasangan suami istri. Apa mereka terlihat sangat serasi? Aneh. Abigail yang salah tingkah, dan sedikit malu dengan kaku mengucapkan terima kasih kepada mas pengantar makanan itu.
Setelah orang itu pergi. Abigail mengalihkan pandangannya kepada Jeremias dengan tanda tanya besar.
“Kamu tadi enggak makan. Saya belikan. Makan itu. Besok saya jemput, kita antar Demian ke sekolah.”
“Kenapa harus kita?” Abigail mulai sensitif lagi. Ah. Ada apa dengan dirinya. Melihat Jeremias berbuat baik, menimbulkan kejengkelan, entah karena apa di kepala Abigail.
Jeremias mengembuskan napas panjang. “Kita orang tuanya, kan? Apa ada alasan enggak boleh antar berdua?”
“Tapi, kan.” Mereka tidak terikat hubungan apapun. Bagaimana pun, ini aneh bagi Abigail. Perempuan itu memijat pangkal hidungnya. Sudahlah. Terserah Jeremias saja. Malam ini, ia ingin tidur dengan, dan kembali bekerja besok. Jangan lupakan bahwa ia harus membeli alat tes kehamilan di apotek. Ini sudah satu bulan beli. Tanda-tandanya pun, walaupun tidak mirip seratus persen saat mengandung Demian, namun, mengingat ia belum juga datang bulan. Sudah bisa dipastikan, bahwa Abigail hamil.
Abigail berbalik arah. Meminta Jeremias ikut dengannya untuk membawa Demian ke kamar tidur mereka.
Setibanya di rumah. Dela membukakan pintu dengan wajah sumringah melihat Abigail, tapi berubah ketika melihat Jeremias. Dela hanya melihat sekilas dan kembali ke kamarnya.
Jeremias tahu bahwa Dela, adik sepupu Abigail tidak suka dengannya. Masalahnya adalah, ia tidak tahu dimana letak kesalahan yang telah diperbuat. Mengikuti langkah Abigail ke kamar. Jeremias menghidu aroma manis, bercampur minyak telon dan bedak. Hatinya kembali menghangat. Kamar ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan kamar Abigail dulu, namun yang membuat ruangan kecil ini terlihat istimewa adalah, kehangatan di sini. Banyak foto kebersamaan Abigail dan Demian ditempel perempuan itu di dinding kamar.
Menidurkan Demian di kasur. Jeremias berjalan di sekitar dinding. Melihat kedua wajah yang tampak bahagia di setiap gambar. Demian yang berusia kira-kira satu tahun, lalu berlanjut hingga sekarang.
“Demian dikasih makan apa sampai tembem gini?” Jeremias menunjuk salah satu foto Demian saat berumur satu tahun.
Ah, jika Jeremias berada di sana, sudah pasti Demian akan menjadi boneka hidupnya. Betapa menggemaskan Demian dulu. Momen emas, yang tidak bisa diulang lagi. Jeremias iri kepada Abigail.
“Dikasih makan biasa aja. Demian emang suka makan. Apalagi pisang.”
“Sama, dong, kayak saya dulu.”
“Kamu curang.” Abigail spontan menutup mulutnya ketika keceplosan berkata demikian.
“Curang karena gen saya lebih dominan ke Demian daripada kamu?” Jeremias tidak tersinggung, ia malah senang. Berati tidak sia-sia ia berusaha untuk cairan putih itu tetap berada, dan masuk ke inti Abigail.
Abigail tidak membalas. Selain karena takut salah bicara lagi, ia kembali merasa gejolak aneh di perutnya. Apa malam ini ia bisa tidur dengan tenang? Abigail berdiri dari ranjang, dan berjalan cepat keluar dari kamar itu. Ia butuh kamar mandi sekarang.
Melihat itu, Jeremias ikut melangkah dengan cepat di belakang Abigail. Mereka berhenti di kamar mandi. Perempuan kurus itu memuntahkan makanannya di atas lantai kamar mandi. Ia kemudian berjongkok dengan lunglai. Jeremias pun duduk di sampingnya, memijat tengkuk Abigail.
Dela dari kamarnya, berjalan ke dapur, dan membawa air hangat. “Ini minum dulu, mbak.”
Jeremias mengambil gelas itu dari Dela, dan membantu Abigail minum.
“Muntah aja, kalau itu bikin kamu enakan,” bisik Jeremias lembut, seraya mengelus punggung Abigail.
Ia tidak suka Abigail sakit.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top