Bab 3: Cinta Bukan Berarti Harus ....

Bab 3: Cinta bukan Berati Harus ....

Jakarta, 2013. 1 Minggu sebelum Abigail menghilang dari Jermias.

"Kamu percaya sama Cinta, Remi?" Abigail meletakkan kembali laporan kerja Jeremias di atas meja.

Kini mereka berada di salah satu kafe yang lumayan banyak didatangi orang-orang di daerah Kuningan. Tema yang diusung pun menarik dari segi tata letak ruangan yang dipenuhi oleh tanaman hijau. Memberikan sensasi kesegaran untuk mata dan otak orang-orang yang kelelahan melewati hari berat.

Jeremias mengerutkan kening. "Of course. Kalau enggak kamu enggak bakal saya panggil dengan sebutan sayang, kan?"

Jeremias bukan tipikal pria yang mengucapkan kata itu kepada sebarang orang. Bahkan kepada mantan kekasihnya terdahulu. Ia baru merasa nyaman untuk mengatakan kata tersebut hanya kepada Abigail.

"Terus kenapa banyak yang memutuskan cerai?" Abigail memberikan kode dengan mata ke arah laporan kasus penceraian yang dibantu Jeremias di AAI.

"Menurut kamu?" Jeremias balik bertanya seraya menyeruput es kopi pahit. Ia tidak ikut menatap apa yang dipandangi Abigil. Selalu, jika bersama Abigail, ia lebih senang memperhatikannya dibandingkan apa yang terjadi di sekitar.

Mengangkat bahunya, Abigail tampak berpikir sebelum kembali bersuara. "Hmm, menurut aku? Enggak tahu."

“Daripada mikir gitu. Kenapa pertanyaannya enggak dibalik, aja? Kenapa masih ada orang yang saling mencintai, anggaplah gitu, sampai sekarang?” Jeremias balik bertanya.

Abigail tidak merespon dengan jawaban, melainkan melipat kedua tangan di atas meja dan meletakkan kepala di kedua tangannya itu. Menantikan jawaban selanjutnya dari Jeremias.

Merenggangkan kedua kakinya, Jeremias mengambil posisi nyaman untuk menjawab isi pikiran sang kekasih menurut pendapat pria itu. "Gini, lho. Kita ikuti saja, semua beranggapan kalau cinta itu bukan sebuah pilihan. Bisa jatuh ke siapa saja, dan mendadak, atau pokoknya sejenisnya, lah, ya. Sesuatu yang membuat mereka tertarik dulu sih lebih tepatnya. Nanti setelah itu, barulah mereka paham tentang perasaan mereka cinta atau sekadar kagum. Back to the point, bukan berati kalau cinta harus bersama, kan?"

"Hmm, iya, emang. Cinta bertepuk sebelah tangan, kan?" jawab Abigail, mengusap wajahnya.

"No. Dalam kasus saling mencintai pun, si dia punya hak untuk memutuskan lanjut apa enggak. Di sini cinta harus pakai logika, bukan karena cinta buta. Andaikan gini, kalau dia cinta sama pacarnya, tapi dia tahu pacarnya itu enggak baik, dan masa depan mereka jauh dari kata harmonis, buat apa dilanjutkan? Tho, akhirnya juga bisa ketahuan. Salah satu tersakiti, salah satu paling merasa benar, salah satu paling, deh, pokoknya. Lalu, bisa aja diantara mereka ada yang memutuskan cerai atau melarikan diri.

Memang siapa yang mau hidup terus-menerus dalam penderitaan? Jangan bodoh, ya. Kalau enggak mau cinta jadi luka, ya Itulah kenapa, logika dibutuhkan. Jaga tanggung kalau mau mengakhiri hubungan yang enggak sehat."

Kepala Abigail mengangguk-angguk paham. Benar, juga. "Emang bisa?"

"Bisa, kalau si dia itu paham mana yang terbaik untuk masa depan masing-masing dari mereka. Terus, Si dia ini tahu pasti kriteria pasangan yang pas dengannya, apa aja yang cocok dengannya, dan setidaknya di masa mendatang enggak menimbulkan banyak masalah-masalah. Walaupun, ya pasti ada aja masalah. Tapi namanya juga meminimalkan terjadinya hal-hal yang enggak diinginkan."

"Tapi nanti sakit banget, dong." Abigail dengan feeling yang kental memanyunkan bibirnya.

Melihat itu Jeremias gemas sendiri. Spontan tangannya bergerak mencubit pipi Abigail. "Lebih sakit mana dibandingkan menikah dengan salah orang, yang karena digadang-gadang sebagai cinta mati dan enggak akan musnah oleh waktu. Kalau udah punya anak? Pikirkan juga keadaan anak-anak di masa depan. Setidaknya anak-anak enggak ada yang mau lahir di keluarga yang berantakan dan penuh dengan drama."

Kepala Abigail mengangguk mengerti, tidak lupa mengucapkan terima kasih. Tidak salah menang jika ia harus berkonsultasi soal ini kepada Abigail. Namun, jawaban itu juga membuat ia dilema. Terbayang wajah Monalisa yang kemarin tanpa sengaja bertemu dengannya. Apa hubungannya dan Jeremias akan baik-baik saja?

"Terus bagaimana caranya biar sebuah hubungan bertahan lama?" tanya Abigail. Begitu banyak hal yang membingungkan nalarnya, dan di saat-saat seperti inilah pendapat logis dari Jeremias dibutuhkan.

"Komnukasi dan saling mengerti. Percuma banyak komunikasi, tapi sama-sama keras kepala. Sebaliknya, saling mengerti tapi kurang komunikasi sama aja bikin sakit hati." Jeremias lalu mengeluarkan rokok dari saku celananya. Sepertinya pria itu sebentar lagi akan izin keluar sebentar untuk menghisap benda itu hingga habis 3 batang.

"Kalau misalnya, dalam kasus benar-benar enggak bisa gimana?" seru gadis yang memakai jaket kekasihnya itu.

Alis Jeremias terangkat satu. "Enggak bisa gimana?"

"Yah, kalau sesuatu yang harus dibahas ini sulit untuk diucapkan, atau emang kayaknya lebih baik enggak usah dikasih tau?"

"Jujur juga salah satu kunci sukses sebuah hubungan. Tapi, balik lagi, sih. Saya juga bingung."

Jermias saja bingung, apalagi Abigail. Keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Lucas masih diselidiki oleh KPK, diduga melakukan korupsi. Beritanya pun tersiar di seluruh Indonesia dengan judul Ketua DPR RI diduga kuat melakukan tindakan Korupsi. Kemudian Lana, mamanya terus saja mengomel di rumah, menuntut ayahnya melakukan banyak hal agar mereka tidak jatuh miskin. Kakak-kakaknya yang sering sakit-sakitan akibat autoimun pun tampak stress berat.

Semua orang yang mengenal Abigail pun, menatapnya seperti sampah. Banyak juga bisik-bisik yang mengatakan bahwa selama ini mereka memakan uang rakyat, bahkan dengan terang-terangan ada yang menunjuk-nunjuk wajahnya dengan sebutan anak tikus, koruptor, pencuri.

Belum lagi, perkataan Monalisa tempo hari yang menyuruhnya untuk segera berpisah dengan Jeremias. Apalagi karier yang sedang Jeremias kejar, dan latar belakang keluarganya yang seperti ini dapat menganggu branding pria itu.

Jawaban Jeremias sudah menjelaskan semua. Abigail bisa memilih dari sekarang apa yang harus ia lakukan. Namun, apakah tindakannya benar?

"Bi?" panggil Jeremias yang menangkap raut kesedihan Abigil.

"Eh? Iya?"

"Besok mau jalan-jalan enggak? Kebetulan besok kan libur, hari Minggu pula. Habis gereja barang langsung jalan-jalan, ya?"

Tentu Jeremias tahu keadaan sang kekasih. Tindakan yang bisa ia lakukan adalah memberikan support. Ia pun tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata penguat atau penghibur seperti apa. Maka, dengan harapan mengajaknya Abigail jalan-jalan, sedikit demi sedikit kesedihannya dapat hilang.

"Makasih, ya, Bi."

"Sama-sama, Sayang." Jermias tersenyum lebar. Ia kemudian bangkit dari kursi dan membuang rokoknya ke tempat sampah yang berada tidak jauh.

Netra Abigail menyipit keheranan. "Kenapa?"

Mengedipkan mata kanan, pria itu sengaja mendekatkan wajahnya dan berbisik di samping telinga Abigail. "Mau jadi ayah yang baik, dan suami idaman nanti."

Spontan Abigail memukul lengan Jeremias yang tidak terbungkus kain, karena memakai kaos lengan pendek. "Iya, deh."

Ikut menertawakan dirinya, Jermias menarik Abigail ke dalam pelukannya. "Saya janji akan selalu ada buat kamu."

"Jangan janji," balas Abigail seraya melepaskan pelukan mereka. Ia melirik ke sekitar, ada beberapa pasang mata yang melirik mereka, tapi tidak lama kemudian mereka fokus pada urusan masing-masing.

"Harus."

Abigail hanya tersenyum kecil mendengar jawaban meyakinkan dari Jeremias. Semoga.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top