Bab 29: Keluarga Kecil Bahagia
Bab 28: Keluarga Kecil Bahagia
Deru mesin mobil mengisi kesunyian di dalamnya. Jeremias tak sedikit pun memalingkan wajah dari depannya, menampilkan kendaraan roda dua dan empat yang berlawanan arah maupun menyelip. Sementara Abigail menundukkan kepala, menekan rasa gugup yang menjadi-jadi.
Setelah sekian lama, Abigail berada di mobil Jeremias, berduaan dengannya. Jantung Abigail berdetak kencang, aliran darah memompa ke seluruh tubuh hingga membuat ia gelisah dan gugup tanpa alasan yang jelas.
Setibanya di kos, Abigail segera masuk bersama Jeremias. Banyak pasang mata yang melihat ke arah mereka. Wajar saja. Siapa yang tidak akan bertanya-tanya jika seorang janda muda, datang dengan pria bermobil Toyota, memiliki paras tampan dan kaya.
Entah apalagi yang akan disebarkan para tetangga tentang dirinya. Perempuan simpanan? Kupu-kupu malam? Perebut suami orang? Ah, ini sudah biasa dialami janda satu anak bukan? Apalagi masih muda, dan sering pulang malam. Kesan negatif seakan-akan tidak akan lepas dari Abigail, mengingat walaupun telah memiliki satu anak, tubuhnya tetap terjaga, dan paras Abigail memang memikat hati para pria, bahkan yang telah berkeluarga.
Abigail mempersilahkan pria itu duduk, lalu ia masuk ke sebuah kamar. Sepertinya itu kamar Abigail.
Jeremias duduk di kursi sofa lama yang kulitnya berwarna sedikit cokelat dan kusam. Entah berapa lama benda ini digunakan, Jeremias hanya bisa menebak-nebak dalam benaknya. Terlepas dari semua itu, kos-kosan kecil ini terlihat sangat rapi, bersih dengan cet putih bercampur abu-abu di beberapa sisi ruangan, di samping ruangan ada rak buku kecil serta beberapa mainan anak-anak. Itu pasti milik Demian.
Di dingin kamar, terdapat beberapa foto Abigail bersama Demian. Dari anak itu lahir hingga tumbuh besar. Jeremias tersenyum kecut. Abigail hidup bahagia bersama Demian, sedangkan membiarkan seperti orang bodoh di luar sana, tanpa mengetahui kehadiran sang buah hati. Kembali, Jeremias menggertakkan gigi dengan genggaman tangan yang mengencang. Ia membenci fakta itu, bahwa Abigail malah bahagia bersama anak mereka tanpa kehadirannya.
Pintu kamar terbuka, menampilkan Demian dengan wajah bantal, baru bangun tidur. Kemudian disusul dengan gadis muda yang tampak tidak jauh berbeda dengan keadaan Demian. Dela tersenyum kecil, memberi salam kenapa pria yang telah diketahuinya sebagai ayah Demian beberapa hari yang lalu setelah dijelaskan oleh Abigail.
Dela sama sekali tidak respek terhadap pria bernama Jeremias itu. Percuma tampan, tapi tidak berusaha mencari kakak sepupunya yang sedang hamil, dan berkorban banyak hal. Memang, tidak semua orang berparas tampan atau cantik memiliki perilaku yang sama seperti visual mereka. Setelah itu, Dela pergi ke dapur. Jika berlama-lama melihat Jeremias, kejengkelan semakin bertambah di hatinya.
“Ayah!” Demian memekik gembira, garis wajah anak itu tidak berbohong bahwa ia bahagia melihat sang ayah. Ia memeluk Jeremias.
Pasti Demian rindu dengannya. Hati Jeremias langsung menghangat. Kekesalan yang sempat ia rasakan menghilang dalam hitungan detik.
Mengangkat tubuh sang anak ke pangkuannya. Jeremias berseru. “Kamu siap jalan-jalan malam ini?”
“Tapi kenapa harus malam, pah? Kenapa enggak sore aja?” tanya Demian yang melirik keluar jendela.
Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam saat ini. Belum bisa disebut terlalu malam, karena kota Surabaya pasti masih hidup hingga beberapa jam ke depan. Namun, ucapan Demian tidak salah. Apa yang ingin dilihat di malam seperti ini? Kecuali pergi ke satu tempat.
“Demian mau main enggak di mall? Di Timezone?”
••••
Abigail tidak berani berjalan di samping Jeremias, tapi sang anak terus saja memaksa mereka untuk berdiri di sampingnya, sambil memegang kedua tangan mereka dan sesekali mengajak ayah dan ibunya berbicara.
“Mian mau ke sana!" Demian menunjuk ke arah Street Basketball.
“Demian pengen main basket?” tanya Jeremias, menuntun anaknya ke sana. Demian mengangguk semangat.
“Tapi bolanya berat. Nanti main aja sama ayah, ya? Ayah bantuin.”
Abigail berdiri di dekat mereka, memperhatikan mereka bermain dengan gembira. Demian tertawa, begitu pula Jeremias. Kadang Jeremias menggendong Demian, lalu mereka bertos-ria. Sebuah pemandangan yang indah. Sangat indah. Bahkan Abigail pun tidak pernah menyangka akan menyaksikan hal ini terjadi.
Syukurlah, Jeremias memerankan sosok Ayah dengan baik. Demian juga tidak menaruh perasaan benci kepada sang ayah. Wajar, karena selama ini, Abigail menjelaskan bahwa ayahnya orang baik, sedang bekerja di tempat yang jauh. Faktanya memang begitu. Jeremias tidak meninggalkannya, tapi Abigail yang memilih pergi.
Setelah puas bermain. Jeremias mengajak mereka makan di salah satu restoran yang berada di tidak terlalu jauh dari mall.
“Selamat malam ibu dan bapak, anaknya sangat tampan seperti bapak, dan secantik ibunya.” Seorang pria pramusaji memuji mereka, terdengar terlalu berlebihan, tapi diangguki saja agar cepat selesai oleh Jeremias.
Sejujurnya. Jeremias tidak jauh berbeda dari Abigail. Mendengar pujian itu, dadanya berseri-seri. Tidak bisa dipungkiri bahwa, ia senang. Berdehem sebentar untuk menetralkan suasana yang sempat canggung. Jeremias kemudian menjelaskan menu yang ia pesan, lalu bertanya kepada Demian dan Abigail.
Semua akan lebih baik jika Abigail tidak mengambil tindakan bodoh. Mereka akan benar-benar menjadi keluarga kecil bahagia. Ya, kini hanyalah angan-angan semata.
Makan malam kembali diisi dengan celotehan Demian. Ia kembali menceritakan apa yang mereka lakukan tadi, sesekali ia melahap makanannya dengan wajah berbinar-binar, sungguh menggemaskan.
Abigail sendiri menatap tidak nafsu makanan di hadapannya. Padahal sebelumnya ia tertarik, tapi setelah mencium aroma smokey daging mahal tersebut, ia mual. Berdiri dari bangkunya, Abigail berjalan cepat ke arah toilet setelah bertanya pada pramusaji yang lewat.
Jeremias dan Demian saling bertukar pandang. Demian khawatir pada Abigail. Ia hanya menatap sang ibu menjauh sambil memanggil Abigail.
“Mama dari kemarin muntah terus, Ayah. Pagi tadi, mama sampai lemas tapi maksa kerja." Demian berseru dengan mata berkaca-kaca, mengulang ingatan beberapa hari ini. Ia takut mamanya sakit, Demian tidak mau ditinggalkan sendiri. “Mama sakit, Pa?”
Mendengar itu, Jeremias menggenggam tangan anaknya, tersenyum lembut untuk menenangkan Demian. “Mama baik-baik, aja.”
Kilas balik setiap pertemuan Jeremias dengan Abigail pun memenuhi kepalanya. Wajah Abigail pucat, ia terlihat lemas, dan nenek sempat menyinggung sedikit keadaannya, yang Jeremias pikir hanya masuk angin biasa, dan akan segera membaik. Tapi, jika ini terjadi terus menerus, ada yang aneh.
Mengingat tanggal, terhitung ini sudah satu bulan lebih setelah ..., Pupil Jeremias melebar, bunyi detak jantung terdengar jelas di telinganya. Apa jangan-jangan, Abigail tengah ....
“Ayah?” Demian kini berada di depan Jeremias. “Ayok ke mama.” Lanjutnya setengah merengek.
Sudah lima menit, tapi Abigail belum kembali lagi, apa perempuan itu baik-baik saja?
“Ayok.” Jeremias menggendong anaknya dan mereka pergi ke kamar mandi.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top