Bab 26: Bertengkar

Bab 23: Bertengkar

Hal apa yang paling mengecewakan di dunia ini? Ditinggal pergi sang kekasih? Diabaikan orang tua? Diberikan banyak tanggung jawab tanpa diperhatikan? Atau tidak diberikan kesempatan menjadi ayah yang baik selama enam tahun sang anak tumbuh?

Semua kepahitan itu telah Jeremias rasakan. Kali ini lebih dibanding sebelum-sebelumnya. Bagaimana bisa Abigail menyembunyikan keberadaan Demian selama ini.

Jeremias hidup di atas keluarga yang tidak peduli dengan kondisi mental anaknya selain ia dan kedua saudaranya mampu memberikan yang terbaik untuk kepuasan orang tua, ya, bisa dibilang sebagai piala berjalan, dipuji-puji yang Demi Tuhan, Jeremias sama sekali tidak menikmati hal tersebut.

Takut. Jeremias takut anaknya mengalami masalah karena ketiadaan peran ayah di samping Demian. Bagaimana jika Demian di-bully? Lalu Demian menduga dirinyalah yang bersalah karena tidak mencari mereka atau tidak bertanggung jawab.

Tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Cita-cita Jeremias adalah menjadi ayah yang baik di dalam keluarga mereka, bukan pria brengsek. Jeremias berbeda dari ayahnya, ia peduli dengan anak-anaknya kelak. Ia akan menjadi orang yang penuh kasih, mendengarkan keluhan Demian, membiarkan kebebasan dalam menentukan kedepannya seperti apa.

Memejamkan mata untuk kesekian kalinya, Jeremias tidak bisa mengalihkan perhatian dari Abigail yang mengurus Demian. Membersihkan badan, memberikan makan, bercerita beberapa hal, dan membujuk Demian tidur.

Terselip rasa hangat yang menggetarkan hati. Namun, terlebih dari situ, amarah yang pria itu tahan sejak dua hari yang lalu tidak bisa ditampung lagi, harus segera diluapkan.

Maka, Jeremias tanpa peduli dengan pandangan beberapa orang di sekitar mereka. Jeremias membawa Abigail keluar dari ruangan VIP tersebut. Mencoba untuk menahan semua amarah lebih lama lagi, namun ia tidak bisa.

Di bawah pohon, di taman rumah sakit. Jeremias lepaskan genggamannya, lalu menancap tatapan tajam pada Abigail.

“Kenapa?” Satu kata itu, untuk banyaknya pertanyaan di kepala Jeremias. Iya. Kenapa?

Abigail membuang wajah ke samping. Selain tidak ingin menatap Jeremias, ia juga merasa bersalah. Iya. Ia memang bersalah, tapi tidak sepenuhnya. Abigail pernah ke rumah Jeremias dalam keadaan hamil. Ini memang gila, saat itu ia kembali ke Jakarta dengan kereta untuk mengurus surat-surat berharga tersisa peninggalan sang ayah di Jakarta. Karena merasa bersalah, ia pun berkunjung ke rumah Jeremias yang kala itu masih dihuni bersama ayah dan ibu pria itu. Namun apa yang Abigail dapatkan? Hinaan.

Abigail dihina oleh Monalisa, dibilang pelacur seperti mamanya, dan tiba-tiba datang dan mengaku ia mengandung anak Jeremias. Mama Abigail dibawa-bawa dalam setiap kata Monalisa, perbuatan ayahnya disangkutpautkan dengan performa kerja Jeremias. Anaknya pun tidak kelas statusnya, karena Abigail yang menghilang malah tiba-tiba muncul. Yang paling menyedihkan adalah, di saat ia sudah jatuh miskin seperti ini, kakaknya yang tidak bersalah apa-apa malah dikatakan sebagai beban yang seharusnya tidak perlu diurus.

Sakit hati. Abigail segera pergi dari sana dengan berlinang air mata. Monalisa yang dianggapnya dulu sebagai perempuan baik, malah berubah menjadi sosok seperti ini. Sebelumnya, Monalisa juga meminta Abigail untuk menjauh dari Jeremias. Abigail pun menepati hal tersebut, tapi kenapa di saat seperti ini, ia dikatakan sebagai pelacur? Bahkan keluarga Abigail disangkutpautkan.

Omong kosong jika Abigail tidak menyimpan dendam dan janji kepada dirinya sendiri untuk tidak mempertemukan Demian dengan keluarga Jeremias. Hati perempuan mana yang ikhlas setelah diperlakukan seperti itu? Abigail hanya manusia biasa yang terb

“Kamu tega ya, Bi?” ujar Jeremia, menarik kembali Abigail dari lamunan tentang masa lalu yang menyedihkan.

“Maaf.” Iya. Abigail bersalah karena alih-alih menjauhkan Demian dari keluarga Jeremias, ia pun tidak mau mempertemukan Demian dengan Jeremias. Ia takut mereka akan merebut sang anak darinya. Jangan sampai itu terjadi. Abigail pasti mati.

Jeremias menarik rambut dengan kasar hingga beberapa helaian benda hitam ikut terlepas. Ia frustasi dengan Abigail, dan semua pola pikirnya.

“Kamu pernah enggak sih, sekali saja, demi Tuhan, untuk mikirin perasaan saya saat mengambil keputusan?”

Karena terlalu memikirkan perasaan Jeremias, Abigail bisa mengambil keputusan ini, meninggalkan pria itu. Lagi pula, akan lebih baik jika Jeremias tidak mengetahui bahwa Demian adalah anaknya, sebab pria itu tidak perlu sibuk mengurusi anak dari perempuan yang orang tuanya tidak benar. Jeremias akan hidup dengan tenang bersama keluarga ideal, dan bahagia, memiliki catatan hidup yang aman dan nyaman.

“Jangan egois, bisa?”

“Aku udah berusaha untuk enggak egois. Kemampuan aku hanya itu. Jika emang enggak memuaskan keinginan kamu, ya maaf, aku cuma manusia, melakukan menurut aku benar. Menurut aku baik!” Abigail mengembuskan napas gusar. Ia tidak mau bertengkar dengan Jeremias. Untuk saat ini, ia hanya ingin fokus pada pemulihan Demian.

Jeremias tertawa pelan, mengejek Abigail atas jawabnya. “Kamu lagi-lagi merasa paling bener dengan keputusan kamu?”

“Iya! Karena itu yang bisa aku lakukan.”

“Egois!” bentak Jeremias.

Pertama kali dalam sejarah hidup mereka bersama. Jeremias membentak Abigail. Jenis bentakan keras yang sarat akan kebencian. Tatapan pria itu bisa menjelaskan semua, ia tidak suka dengan Abigail. Entah kemana perginya rasa cinta itu, yang jelas, untuk saat ini, Jeremias benar-benar dibuat kecewa oleh Abigail.

Untuk beberapa saat, Abigail tersentak dan melebarkan mata. Hatinya sakit diperlakukan seperti itu. Emosi pun meluap memenuhi ubun-ubunnya. “Kamu enggak tahu apa yang aku rasain selama ini, Jeremias! Kamu enggak pernah tahu dan enggak akan pernah paham. Aku yang ngerasain capeknya ini dan itu, aku down, aku hampir mati, aku jatuh miskin, hidupku melarat! Kamu enggak tau apa-apa. Kamu cuma lihat kalau aku perempuan egois karena meninggalkan kamu dan membawa pergi Demian.” Abigail berhenti sejenak, meraup udara yang habis setelah berbicara panjang lebar. “Tapi kamu pernah enggak mikirin kenapa aku bisa ambil keputusan yang kamu sebut egois itu? Memangnya kamu pikir enak kaga anak sendiri? Memangnya kamu pikir aku ketawa, girang pas ninggalin kamu?”

Jeremias terdiam. Membeku di tempatnya.

“Jika bisa milih, aku enggak mau ada di situasi ini. Siapa manusia gila yang senang di posisi ini?”

Abigail mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Ternyata ia berbicara sambil menangis. Ah, ini memang teramat sangat menyakitkan. Jantungnya seperti diremas, otak Abigail seperti mau meledak.

“Satu hal yang aku minta. Kamu boleh ketemu Demian, kamu boleh jelasin ke dia kamu siapa. Asal satu hal. Jangan pernah ambil dia dari aku, apalagi membawa Demian pergi bertemu dengan kedua orangtuamu. Aku enggak ikhlas. Aku enggak bisa. ”

Abigail kemudian pergi dari sana.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top