Bab 24: Terbongkar
Pengumuman Penting
Mari kita buat perjanjian. Perjanjian apa? Perjanjian update cerita ini. Kalian bisa pilih di bawah ini.
1. Saya update sampai tamat cerita ini di Wattpad, secara gratis. Catat. Tapi ada syaratnya. Apa itu? Kalian harus komen sebanyak-banyaknya, lalu vote. Jika memenuhi syarat yang saya maksud, percayalah saya akan update dalam waktu secepatnya. Misal? Jika terpenuhi hari ini, maka besok saya update. Kira-kira 100 komen, spam juga enggak papa, kok, dan 25 vote. Bisa enggak?
2. Saya update di Karyakarsa tapi berbayar. Harganya satu novel hingga bab 30 seharga 9.500. Bagaimana?
Silahkan dipilih. Komen di bawah, ya.
1.
2.
Mohon maaf, ya. Eheheh. Tapi aku senang kalau kalian rajin vote, komen, dan share cerita2 aku. Aku baca kok komen2 kalian. Jadi penyemangat di semester 5 aku ini.
Bab 24: Terbongkar
Meskipun Jeremias terus diajak berbicara dengan Evelyn. Namun, mata pria itu tidak bisa berbohong jika ia penasaran dengan pria bertato yang mendekati Abigail.
“Kamu dari tadi ngeliat Abigail terus? There is something I don't know?” Evelyn tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Ia ingin pria itu mendengarnya cerita banyak hal, tapi Jeremias sering kali melirik ke belakang sana, kepada Abigail.
Jeremias spontan menggalang. “Enggak papa, kok.”
Baiklah. Evelyn tidak akan melanjutkan pertanyaannya jika Jeremias tidak menjawab. Kembali ia bercerita apa saja yang la lakukan kepada Jeremias selama di Jakarta. Menangani beberapa kasus besar, yang ada kaitannya dengan artis. Apalagi akun YouTube-nya juga malai berkembang.
Ck. Atensi Jeremias benar-benar diserap oleh Abigail. Apalagi ketika perempuan itu berjalan bersama pria bertato dan gadis kecil itu. Pemandangan yang memanaskan hati Jeremias. Niat awal ingin membuat Abigail cemburu, malah dirinya yang terkena api tersebut.
“Remi! Antar aku pulang!” Jeremias menautkan alis. Menoleh ke samping, Abigail tengah berlari dengan wajah panik, bercampur air mata.
Meninggalkan Evelyn yang ikut terkejut dengan keadaan Abigail, Jeremias berjalan mendekati perempuan itu.
“Kamu kenapa?” tanya Jeremias, tepat di hadapan Abigail.
Air mata terus berjatuhan di kedua pipi Abigail. Raut khawatir terpancar jelas dari matanya. “Demiam kecelakaan!”
“Huh?” Jeremias membutuhkan beberapa saat untuk memberi respon atas ucapan Abigail. Demian, pria yang mengantar Abigail waktu itu? Jeremias tidak tahu, seberapa pentingnya Demian hingga Abigail yang jarang menunjukkan tangis, menunjukkan sisi lemahnya itu.
“Antar aku pulang. Sekarang.” Pinta Abigail, ia mengambil tangan Jeremias, memohon lewat tatapannya. Apa yang lebih penting sekarang daripada nyawa anaknya?
Abigail hidup karena Demian. Jika anak itu tidak ada. Maka sejak enam tahun lalu Abigail telah dikuburkannya karena aksi bunuh diri. Alasan ia bertahan karena sang anak.
••••
Dalam perjalanan pulang menuju Surabaya dengan mobil. Abigail tidak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Tuhan agar Demian baik-baik saja. Air mata dengan sendirinya terus berjatuhan ketika kembali ia mendapat kabar bahwa Demian mengalami kurang darah.
Abigail terus mendapatkan informasi terkini dari Dela. Ponsel tidak lepas dari genggaman Abigail. Harap-harap cemas mendapatkan informasi dari sepupunya itu.
Dela:
Mbak Rena.
Golongan darah Demian stok-nya habis di rumah sakit. Aku udah cek di PMI juga enggak ada. Golongan darah Demian emang susah, Mbak. Beda sama darah Mbak Rena.
Menjatuhkan ponsel di atas dasbor mobil. Abigail menundukkan wajah dalam-dalam. Golongan darah Demian pasti mengikuti Jeremias, AB dengan Rh mines.
“Remi?”
Suara lirih Abigail memenuhi gendang telinga Jeremias. Kata siapa, Jeremias senang melihat keadaan Abigail saat ini? Sama sekali tidak. Ia benci. Sejak dulu, ia tidak suka melihat perempuan itu menangis, ia ikut merasa sakit. Hanya kali ini, sakit yang Jeremias berlipat ganda. Fakta permata, Abigail benar-benar tidak mencintainya lagi, karena jika iya, Abigail tidak akan menangis sepanjang perjalanan. Kedua, Fakta bahwa ia mencintai Abigail adalah sebuah perasaan menyedihkan sekarang.
“Demian butuh darah kamu.” Lanjut Abigail.
Jeremias tertawa pelan. “Untuk apa?”
Meremas ujung baju, kini bukan waktunya untuk Abigail memikirkan respon Jeremias atau apapun yang akan terjadi kedepan, yang penting adalah keadaan Demian. Kesalahpahaman anak itu.
“Karena kamu ayahnya.”
Satu kalimat yang keluar dari bibir Abigail mampu mengacaukan pikiran Jeremias. Pria itu hampir saja menginjak pedal rem. Berusaha untuk menepis pendengarannya barusan. Jeremias bertanya sekali lagi. “Apa?”
“Demian. Anak kecil enam tahun yang aku lahirkan setelah melakukan itu dengan kamu, Remi. Anak aku, dan kamu.” Abigail berujar dengan lemah. Bahkan diakhir Kalimat, suaranya hampir tidak terdengar jelas oleh Jeremias.
Jeremias mencengkram erat setir mobil. Mata pria itu melirik tajam Abigail dengan rahang yang menegas, memperlihatkan garis-garis wajah yang semakin kencang.
“Saya enggak suka kamu bercanda.” Jeremias kemudian fokus ke depan.
Kepala Abigail bergerak lemah, menggeleng. “Tapi dia anak kita.”
Tidak ada percakapan setelah itu. Pikiran Jeremias begitu berantakan sekarang. Banyak informasi yang ia dapatkan hari ini. Jeremias blank. Butuh waktu beberapa menit untuk memahami situasi tersebut. Sadar, bahwa Abigail tidak mungkin berbohong tentang keberadaan anak mereka yang ternyata bernama Demian itu, Jeremias menambah speed kecepatan mobil.
••••
Jeremias tertunduk diam di luar ruangan VIP. Demian telah dipindahkan dari ruang operasi ke ruangan VIP, sesuai permintaan Jeremias. Sekarang anak itu sedang menunggu pemulihan saja.
Pendarahan yang dialami oleh Demian disebabkan oleh patah tulang di tangannya. Kronologi kecelakaan adalah, Demian ditabrak oleh mobil saat anak itu hendak menyeberang jalan.
Terlepas dari semua itu. Jeremias merasa ada yang aneh. Beberapa jam lalu, ia masih single, tapi kini statusnya adalah ayah, ayah dari Demian. Pria itu mengusap wajah, dan berjalan masuk ke kamar VIP.
Abigail tengah duduk di samping Demian, tertunduk diam. Jeremias menatap wajah Demian yang, benar-benar cetakan wajahnya ketika masih kecil. Ya Tuhan. Hati pria itu melemah, ada aliran hangat ketika mengetahui anaknya. Namun sedih, teramat sangat menyesali perbuatan Abigail yang menyembunyikan fakta tersebut.
Saat ini, Jeremias tidak ingin membahas hal tersebut dengan Abigail hingga Demian sadar. Ia menarik kursi dan duduk di sisi lain, berseberangan dengan Perempuan itu, memegang tangan sang anak yang dipasang selang infus.
Selama enam tahun, lebih tepatnya tujuh tahun, ia tidak tahu menahu tentang keberadaan putra kandungnya sendiri. Selama ini, apa saja yang Demian alami tanpa keberadaan Jeremias, sosok ayah yang yang penting bagi perkembangannya? Selama ini apa yang anak itu makan? Permainan apa yang dimainkan? Lalu, makanan kesukaannya?
Terdiam sejenak. Satu pertanyaan yang mengusik batinnya. Apakah Demian pernah bertanya tentang keberadaan Jeremias, sebagai ayahnya?
Ternyata Abigail sungguh egois. Sangat. Jika bukan karena mementingkan diri sendiri, ia begitu tega memisahkan anak dan ayahnya? Terlepas dari semua alasan yang Perempuan itu miliki untuk pergi dari hadapan Jeremias, apa tidak ada sedikit rasa kasih kepada Demian? Apa Abigail tidak tahu, bahwa hidup di Indonesia itu berat, hidup tanpa ayah sama saja di-bully oleh mata masyarakat dengan ujaran kebencian, anak pelacur, anak haram, anak tidak benar, anak tidak diinginkan, anak yang seharusnya tidak ada.
Kemana hati Abigail? Shit. Jeremias benar-benar benci akan fakta tersebut. Ingin sekali ia menyeret Abigail keluar dan melontarkan segala macam pertanyaan, namun sebuah suara mengalihkan perhatian Jeremias.
“Ma?” Panggil pelan Demian bersamaan dengan matanya yang terbuka.
Jeremias bangkit berdiri, menatap iris Demian yang seratus persen sama seperti Jeremias, kecokelatan. Anak ini, sungguh anak Jeremias.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top