Bab 23: Libur

Bab 23: Liburan

Abigail tidak tahu tujuan kedatangan Evelyn ke Surabaya untuk apa? Tapi yang pasti untuk saat ini, mereka akan berjalan-jalan ke Malang. Sesuatu yang tidak terbayangkan akan terjadi.

Nenek Fatimah pun tidak mau ketinggalan. Ia meminta ikut dengan alasan sudah lama tidak jalan-jalan. Lagi pula, di atas mobil, ia hanya perlu tidur, kan? Itu ucap beliau ketika Jeremias melarang, pun Abigail.

Apapun akan Jeremias lakukan demi kebahagiaan sang nenek. Walau ragu, tapi tidak masalah. Selama ada Abigail, maka nenek Fatimah akan baik-baik saja. Pikir Jeremias kala itu.

Maka di sinilah mereka, Malang. Lebih tepatnya di pantai Tiga Warna. Tanpa kehadiran sang nenek. Beliau berada di penginapan.

Pantai cantik ini, merupakan destinasi yang begitu hits di Malang. Salah satu rekomendasi yang tidak bisa melewatkan adalah Pantai Tiga Warna. Sesuai dengan namanya, pantai ini menawarkan pemandangan yang dapat dinikmati dengan perpaduan tiga warna pada airnya.

Selalu ada harga yang mahal untuk sesuatu yang senilai. Yups. Untuk bisa menikmati keeksotisannya, Abigail, Jeremias dan Evelyn harus trekking terlebih dahulu. Jalur yang terbilang menantang. Namun, semuanya akan terbayar lunas dengan keindahan yang disuguhkan oleh pantai Malang Selatan ini.

Sepanjang perjalanan akan ditemani dengan hewan hutan yang bersenandung. Bukit-bukit yang indah dan deretan pohon bakau juga menjadi tanda jika pantai satu ini sudah dekat. Sebenarnya, pantai Tiga Warna akan melewati beberapa pantai lainnya.

Gradasi warna pantai menyambut mereka, begitu sampai di pantai satu ini. Gunakan pasir putih yang lembut, tak heran jika pantai ini begitu kondang dan menjadi hits.

Ya. Pantai menang tempat wisata yang tidak pernah akan kekang oleh waktu. Tempat beberapa orang menghilang masalah. Atau sekadar berbagi kebahagiaan bersama. Itulah yang Abigail lihat di wajah Jeremias dan Evelyn yang tampak sangat akrab.

Abigail seharusnya tidak berada di sini. Namun, nenek Fatimah terus memaksakannya untuk ikut bersama Jeremias dan Evelyn. Kata nenek, sekalian saja Abigail refresh. Beliau juga bertanya mengapa Abigail tidak membawa Demian ikut dengan mereka. Abigail memutar otak untuk menjawab pertanyaan nenek Fatimah. Apalagi di sampingnya berdiri Jeremias dan Evelyn. Ingin sekali perempuan itu kabur dari sana.

“Jere?” panggil Evelyn, menggandeng tangan pria itu.

Evelyn dengan bikini tampak sangat seksi. Lekuk tubuhnya memang tidak perlu diragukan. Wajar jika Jeremias tertarik pada Evelyn. Rasa tidak percaya diri kembali memengaruhi kondisi hati Abigail.  Ia duduk berteduh di bawah pohon, menggali pasir dengan malas.

Ya, seharusnya ia terbiasa dengan kekesalan ini. Namun, makin ke sini, mereka makin menjadi-jadi saja. Abigail kegerahan, ingin jauh-jauh dari mereka. Ck.

Terus menatap mereka, Abigail tidak menyadari ada seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria yang memakai baju Bali itu berjalan mendekati Abigail dengan rokok yang bertengger di bibir. Tangannya juga penuh dengan tatto.

“Kamu sendiri, aja?” Pria itu mengajak Abigail berbicara seraya mengembuskan gumpalan asap tebal.

Abigail mendongak sesaat. Ia tidak kenal orang itu. Namun, ini lebih baik dibandingkan sendiri, terlihat mengenaskan diantara mereka. Banyangkan, Abigail seperti hanya berdiam sejak tadi, dan berdengus pelan.

“Hmm.” Abigail menjawab seadanya saja. Lagian, pertanyaan retoris seperti itu tidak perlu dijawab, kan. Memangnya Abigail sedang duduk bersama siapa?

“Bukannya kamu sama mereka, ya?” Pria itu berdehem setelahnya. “Atau kamu mau jalan-jalan aja di tepi pantai sama aku?”

“Maaf, aku lagi malas jalan.” Tolak Abigail secara langsung.

Pria itu tertawa kecil. “Steve.”

Garis-garis halus tercetak di kepala Abigail. Ia menghela napas. Sesungguhnya ia tidak biasa seperti ini, tapi mood-nya tidak baik, maka responsnya seperti ini.

“Nama saya Steve. Datang bareng adik saya.”

Baiklah. “Abigail.”

“Kamu cemburu, ya?” Steve tertawa kecil, terdapat garis lengkung kecil di sudut bibirnya, menyeringai.

Menyugar rambutnya yang berantakan terbawa angin. Abigail membasahi bibir yang kering. “Enggak, kok. Lagian jangan asal menyimpulkan. Kalau mereka denger gimana?”

“Berati bener, dong?” balas Steve, ikut duduk di samping Abigail, dan melakukan apa sama seperti perempuan itu, memainkan pasir.

Abigail melirik dengan malas. Pria ini kenapa ingin sekali mengajaknya berbicara, padahal Abigail cukup ketus menjawab.

“Kamu mau?” Pria itu memberikan sebatang cokelat.

Beralasan malas untuk memperpanjang obrolan mereka jika ia menolaknya. Abigail pun menerima benda tersebut, lalu meletakkan di samping.

“Kamu cuek banget, ya?”

“Iya. Makanya jangan ajak saya ngomong terus.” Abigail bangkit berdiri.

Padangan Abigail terangkat, melihat seorang gadis kecil berumur lima tahun yang berlari ke arahnya. Namun, karena terlalu bersemangat anak itu malah terjatuh.

Buru-buru Abigail berjalan ke arah gadis kecil itu. Padangan khawatir terpancar di balik raut wajahnya. Wajar saja, jiwa keibuan Abigail spontan keluar ketika berhubungan dengan anak kecil. Ia langsung terbayang wajah Demian.

Ah, bahu Abigail merosot bersamaan dengan tertunduk di depan gadis kecil itu. Demian kembali ditinggalkan bersama Dela. Berat. Demi apapun, Abigail tidak pernah meninggalkan anak itu selama ini, Demian bersamanya. Ini pertama kali bagi Abigail untuk pergi dengan kurung waktu seminggu, yang mana itu tergolong sangat lama bagi mereka yang selalu bersama. Ingin menangis Abigail saat ini.

“Tante kenapa nangis?” tanya Gadis itu polis.

Abigail terbawa suasana. “Enggak kok, ini kelilipan kena pasir.” Dalihnya, segera menghapus air mata.

Tiba-tiba seseorang berdiri di samping mereka, lalu berjongkok. Abigail menoleh, dan Steve ada di sana, melihatnya dengan sorot aneh. Ia kemudian fokus pada anak kecil di depannya.

“Kakak, kan, udah bilang, Cintia jangan lari-lari, nanti kamu jatoh.” Steve kemudian menggendong anak gadis itu, Cintia.

Cintia mengangguk paham. “Maap, Kak. Cintia tadi cali-caliin kakak, tapi ndak ada.”

Stave Menjewer hidung Cintia. “Iya princess kakak yang cantik. Sekarang kita mau kemana?”

“Mandi! Ayok kak!” Cintia menunjuk ke arah laut.

Abigail diam, memperhatikan interaksi antara kakak dan adik yang terpaut jauh sekali usianya. Jika pria itu tidak memperkenalkan diri sejak awal, mungkin Abigail akan mengira mereka ayah dan anak. Kembali wajah Demian terlintas di kepala Abigail. Membayangkan jika suatu saat Jeremias memeluk Jeremias seperti Steve memeluk Cintia. Sungguh pemandangan yang membuat iri hati orang tua tunggal.

Memutar kakinya. Abigail hendak pergi. Namun suara kecil Cintia yang imut menghentikan langkahnya.

“Tante ikutan, yuk?” Cintia yang tersenyum tulus, mengundang rasa tidak sampai hati bagi Abigail untuk menolak.

Abigail segera kembali kepada mereka. Menelusuri pasir halus, bersama deburan ombak kecil saat ini terasa aneh. Mungkin karena mereka belum saling mengenal. Beberapa kali Abigail menanggapi celotehan adik Steve. Atau melirik kakak Cintia yang terang-terangan menggodanya.

Tidak tahu saja pria itu, kalau Abigail telah memiliki seorang anak.

Drttt! Abigail mengernyit heran. Kenapa ponselnya berdering. Ia pikir itu dari nenek, namun melihat nama yang tertera di sana, perasaan Abigail menjadi tidak enak.

Buru-buru ia berpamitan kepada Steve untuk mengangkat telepon. Saat itulah, dalam hitungan detik Abigail merasakan dunianya berhenti untuk sejenak.

Tidak peduli jika Jeremias akan terkejut. Masa bodoh dengan Evelyn yang menatap kebingungan mereka. Karena dengan langkah lebar, Abigail berlari ke arah Jeremias dengan air mata berjatuhan.

Jantungnya berdegup kencang. Sekujur tubuhnya melemah, tapi dipaksakan untuk bergerak. Doa-doa secara spontan terpanjat kepada Tuhan.

Jeremias yang menatap Abigail dari kejauhan tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dengan naluri, ia bergerak mendekati Abigail, meninggalkan Evelyn di sana.

“Re–Remi! Antar aku pulang!”

“Kamu kenapa?”

“Demian kecelakaan!”

“Huh?”

To be Continued

Hayo, vote dan komen, biar aku semangat update!😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top