Bab 20: Berubah

Bab 20: Berubah

Mungkin Abigail tidak menyadari penyebab utama Jeremias mabuk seperti ini. Atau perempuan itu berpura-pura tidak peka? Mungkin pula ini tindakan konyol kesekian yang Jeremias lakukan karena Abigail. Mabuk, merana dibuat oleh Abigail Renata. Sungguh sebuah pencapaian luar biasa bagi rencana awal yang pria itu susunan. Pencapaian besar atas kegagalannya.

Meneguk isi carian bening itu untuk kesekian kali. Sensasi panas menjalar hingga ke kerongkongannya. Sambil menyesap Vodka, ia terbayang wajah Abigail. Perempuan itu terus menghindar dari Jeremias. Kekesalan dan sakit hati itulah penyebab utama Jeremias berhenti di bar ini. Niat awal, Jeremias hanya meringankan sedikit kepalanya dengan satu atau dua gelas vodka. Namun kebablasan hingga lima gelas lebih.

Selama tiga hari diabaikan, tentu, Jeremias jengkel sampai ke ubun-ubun. Ingin sekali ia menarik dan mengurung mengurung Abigail seharian di kamar. Sayangnya, itu hanyalah bayang-bayang Jeremias.

Kesimpulannya adalah, Jeremias masih mencintai Abigail. Namun pria itu kukuh meyakinkan diri bahwa ia hanya penasaran dengan perubahan dan semua tentang Abigail. Sungguh tidak masuk akal. Jika hanya sekadar penasaran, ia tidak mungkin uring-uringan dibuat seperti ini.

••••

Jeremias mengusap wajahnya, menggeleng-geleng sebentar, menghilang pening yang sedikit menganggu pandangannya. Sekelebat bayangan malam panas bersama Abigail memenuhi kepala Jeremias seperti kaset rusak, terputar berulang kali.

Menarik sudut bibirnya, Jeremias kembali memejamkan mata dan bernapas lega. Ah, apakah hubungan mereka akan baik-baik saja? Apalagi Abigail sempat mengecup bibirnya tadi malam.

Bangkit dari tempat tidur yang berantakan akibat aksi mereka tadi malam, bahkan Seperi putih itu sudah tidak lagi terpasang dengan baik, dan beberapa bantal berada di lantai. Betapa bersemangat mereka tadi malam.

Jeremias tidak sabar, turun ke bawah dan menemui Abigail. Ah, baru saja beberapa jam mereka bersama, tapi pria itu sudah merindukannya.

Mata tertahan pada secarik kertas putih di atas meja kerjanya ketika ke kamar mandi. Kertas yang tidak dilipat, berisikan tulisan tangan yang membalikkan kenangan tujuh tahun lalu. Walupun sedikit gugup, Jeremias tetap mengambil benda itu, membacanya.

Jeremias. Mari kita akhiri saja semua ini. Sungguh. Aku ingin ini berakhir. Kita enggak bisa bersatu. Dunia kita juga udah berbeda. Sangat berbeda. Aku bukan Abigail yang dulu. Kamu juga memiliki seseorang yang harus dijaga perasaannya. Aku juga memiliki duniaku ini. Terlepas dari apapun itu. Aku benar-benar ingin ini berakhir. Tolonglah.

Terima kasih, Abigail Renata.

Jeremias seperti dibawa terbang ke langit ketujuh, lalu dihempaskan ke tubir paling dalam.

Meremas kertas itu. Déjà vu. Perasaan, keadaan yang sama persis seperti tujuh tahun lalu. Secarik kertas, dan keberadaan Abigail yang menghilang. Jeremias benar-benar dipermainkan oleh Abigail. Apakah selama ini, menurunkan egonya masih kurang bagi Abigail?

Jeremias benar-benar tidak habis pikir kemana pergi perasaan Abigail terhadapnya. Mata perempuan itu tidak bisa berbohong, bahwa ia masih mencintai Jeremias. Semua tindakannya, juga menunjukkan bahwa Ia memiliki rasa yang sama dengannya.

Tidak ada perasaan. Harga diri seorang Jeremias Derek benar-benar dirobek, dicabik-cabik tanpa perasaan oleh Abigail.

Remasan kertas itu kemudian ia buang di tempat sampah. Bersamaan dengan itu, Jeremias masuk ke kamar mandi. Membersihkan diri dan mendinginkan otak yang panas dan hati yang kembali retak.

Kali ini benar-benar retak. Lebih dari tujuh tahun lalu. Selamat kepada Abigail.

••••

Abigail bertindak seperti biasa. Mengurus nenek Fatimah, dimulai dari sarapan hingga makan malam. Sehari ini ia hanya berpapasan sebentar dengan Jeremias. Jika dilihat dari tatapannya yang sama sekali tidak memedulikan kehadiran Abigail, sepertinya Jeremias telah membaca surat perempuan itu.

“Nek? Nenek lihat kameja kotak-kotak Jere?” Jeremias turun dari lantai dua, berseru sambil menggaruk kepalanya. Pria itu terlihat frustrasi.

Nenek mendongak. “Coba tanya Abigail. Nenek enggak tahu.”

Waktu Abigail mendadak lambat berputar. Baiklah. Situasi ini pasti akan terjadi kedepannya. Kini profesionalitas Abigail dipertaruhkan. Mengangkat kepala, ia menatap Jeremias .... Jenis tatapan yang berusaha biasa saja. Seperti tidak ada yang pernah terjadi.

“Hmm ..., Ada di—”

“Bibi lihat?” Alih-alih mendengar kelanjutan ucapan Abigail, Jeremias memilih bertanya bi Uti yang duduk di dekat Abigail.

Tidak ada tatapan mereka yang saling bertemu. Bukan. Jeremias tidak menghindarinya. Pria itu benar-benar tidak melihat Abigail, atau lebih tepatnya tidak menganggap keberadaan perempuan itu.

Abigail menundukkan kepala. Itu yang diinginkannya bukan? Konsekuensi ditanggung sendiri. Sakit? Terima saja. Pedih? Rasakan saja. Perih? Nikmatilah keputusan itu. Abigail sudah lapang dada. Semoga saja ia kuat menahan sakit.

Setelah bi Uti memberitahukan pakaiannya, Jeremias pergi begitu saja. Kembali menaiki tangga itu tanpa menoleh sekilas.

“Mas Jeremias kenapa, ya? Kok auranya serem gitu.” Celetuk bi Uti kepada Abigail.

Abigail menggeleng pelan. “Mungkin banyak kerjaan.”

••••

Tidak terasa jarumnya pendek berada tepat di sebelah kiri. Abigail baru bisa pulang sekarang.

“Kamu enggak nginep aja? Di luar juga hujan, lho.” Bi Uti mencoba menawarkan untuk kedua kalinya.

“Enggak papa, Bi. Aku bawa mantel, kok.” jawab Abigail masih sama. Tidak mungkin ia tinggal di sini. Lagi pula Demian sedang menunggu di rumah.

Jeremias tiba-tiba muncul di dapur. Pakaian tidur berbahan satin itu tidak terkancing semua, sehingga bagian dadanya sedikit terlihat. Tampak bekas merah itu masih tertinggal di dada Jeremias, karya Abigail tadi malam.

Sekadar menyapa bi Uti, Jeremias kemudian membuka kulkas dan mengambil satu kotak susu dan dua buah apel merah. Pria itu tampaknya akan begadang malam ini.

Jeremias kemudian berlalu begitu saja. Jika biasanya ia akan bertanya kepada Abigail untuk apakah perempuan itu akan pulang, jika iya, maka dirinya akan mengantarkan Abigail pulang. Namun, sekarang berbeda. Bahkan, meliriknya saja Jeremias enggan.

Seharusnya Abigail senang. Bukan seperti ini, bukan sebaliknya. Mengigit bibir bawah, menahan helaan napas kasar untuk keluar. Tidak lama, ojek pesanannya datang. Baiklah. Ia harus pulang sekarang.

Demian sudah lebih dari cukup bagi Abigail. Tanpa cinta ia masih bisa hidup, tapi tanpa Demian, Abigail pasti mati.

“Aku pulang dulu, Bi. Kalau ada apa-apa sama nenek, telpon aja, ya?”

“Siap, Abi.”

Abigail kemudian pergi dari sana, menerobos hujan dengan mantel berwarna stabilo, yang memantulkan cahaya.

••••

Jeremias menutup pintu mobilnya. Menerobos hujan memang bukan ide yang bagus. Malah merepotkan. Dan, Pria 30 tahun itu baru saja melakukan hal merepotkan itu, hanya karena khawatir dengan perempuan yang mempermainkan hatinya pulang sendirian bersama tukang ojek online dibawa guyuran hujan malam.

Iya. Jeremias mengikuti motor ojek online itu dari jarak jauh. Memperhatikan dengan teliti dan penuh makian ketika kaca mobilnya berembun dan tertimpa hujan.

Ck! Jeremias tidak mau berpikir banyak lagi. Kepalanya cukup sakit sekarang. Lebih baik ia segera tidur daripada pening ini bertambah dua kali lipat.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top