Bab 18: Menghindar

Bab 18: Menghindar

Abigail mengakui bahwa selama tiga hari berturut-turut ini, ia menghindari Jeremias. Sebisa mungkin ia akan meminimalisir terjadinya pertemuan di antara mereka.

Selain karena malu dengan kejadian malam itu, ia juga tidak mau membuat masalah dalam hubungan Jeremias dan kekasihnya. Abigail tidak mau dikatakan sebagai seseorang yang merusak hubungan percintaan Jeremias dan Evelyn. Abigail berbeda, tidak sama seperti apa yang dikatakan orang-orang, bahwa ia pelacur, mirip seperti mamanya yang merupakan perebut suami orang.

Ucapan-ucapan orang terhadap Abigail seperti hukuman tak kasat mata. Meskipun hanya ujaran, tapi berdampak luar biasa kepada psikisnya. Ada trauma yang disebabkan oleh kata-kata menusuk orang.

Jeremias membuang napas berat. Tindakan bodohnya malam itu malah membuat ia canggung berdekatan dengan Abigail. Padahal dua ronde mereka habiskan dengan sangat menyenangkan. Sungguh diluar dugaan Jeremias bahwa keesokan paginya Abigail berlagak seperti peminjam yang ditagih hutang oleh rentenir, alias Jeremias.

Di ruang makan itu, Abigail meletakkan tumis kacang panjang, rebusan jamur,  kentang, dan labu siam, dan ayam goreng. Abigail kemudian memasukkan kentang, lagu dan jamur di piring makan sang nenek. Nenek harus makan sehat agar asam uratnya turun.

“Bekas luka?” tanya Jeremias ketika baru menyadari bekas sayatan yang melingkar di pergelangan tangan Abigail.

Nenek Fatimah yang ada di sana, melirik Jeremias sebentar sebelum menjawab. “Dia pernah koma karena bekas jahitan itu.”

“Huh?” Sudut mata Jeremias mengerut.

Nenek Fatimah kemudian pergi bersama makanannya ke ruang keluarga, menonton siaran TV kesukaannya yang menanyakan sinteron dari negara India. Seperti hobi beliau sekarang adalah memberikan Abigail berada di situasi genting bersama Jeremias.

Sementara Jeremias masih terkejut dengan fakta bahwa Abigail pernah koma. Sungguh, ia tidak menyangka perempuan kurus di hadapannya pernah mengalami hal seberat itu.

Padangan Jeremias tidak lepas dari Abigail sedetik pun. “Kenapa saya enggak dikasih tau?”

Abigail menjawab. “Kamu enggak nanya dari dulu.”

“Koma karena?”

“Bunuh diri.” Abigail tertawa kecil. Fakta menyakitkan ini tidak bisa Abigail hapus meskipun diinginkannya. Setiap kali melihat Demian, kadang kala kenangan itu tiba-tiba muncul.

“Saya serius.”

“Udahlah. Lagian ini udah sembuh.” Abigail mengakhiri percakapan mereka dengan tatapan sendu.

“Ternyata banyak hal yang enggak saya tahu tentang kamu.” Jeremias kembali bersuara sebelum Abigail pergi dari sana.

“Emang enggak harus kamu tahu, Remi,” timpal Abigail.

“Tapi saya mau tahu.”

Jeremias dan keras kepalanya adalah dua hal yang kadang menjengkelkan dan menyulitkan. Abigail hanya pasrah saja, mau apa dikata, menjawab perkataan Jeremias sama saja tidak ada akhir dalam percakapan itu.

“Kamu jangan terus menghindar dari saya.” Jeremias berjalan mengekor di belakang Abigail. “Malam itu, kita sama-sama sadar.”

Itulah masalahnya! Karena mereka sama-sama sadar kenapa hal itu bisa terjadi? Abigail tidak bisa mempercayai dirinya akan semudah itu jatuh dalam rayuan Jeremias.

“Ayoklah, Bi. Kalau kamu terus menghindar bagaimana cara supaya hubungan kita membaik?”

Hubungan apa yang Jeremias bicarakan? Hubungan mereka sudah berakhir semenjak pria itu membaca pesan Abigail yang ditulisnya di kertas.

“Kamu denger enggak, sih?” Jeremias yang kesal, karena terus diabaikan Abigail kemudian menghimpit perempuan itu di tembok.

“Minggir, Remi! Dilihat nenek sama bibi, nanti!” tegur Abigail seraya mendorong Jeremias, dan hasilnya pria itu tetap tidak bergerak dari posisinya.

“Kamu makanya jangan menghindar terus dari saya. Jangan abaikan saya!” jelas Jeremias, semakin mendekatkan wajahnya pada Abigail yang memalingkan muka ke samping.

Abigail mengangguk mengerti. “Okay. Tapi kamu minggir dulu!”

Senyum lebar Jeremias tidak bisa ditahan. Pria itu puas dengan jawaban Abigail. Sebelum melepaskan sang mantan, Jeremias dengan sengaja mengecup leher Abigail, bahkan mengeluarkan sedikit lidah yang membahasi kulit perempuan itu.

“Ah! Jeremias!” protes, bercampur keterkejutan Abigail.

Okay. Jeremias tahu, tindakannya ini salah. Ia bisa saja dijerat pasal. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Abigail. Toh, ia akan berhenti jika Abigail benar-benar menolaknya. Sangat menolak sentuhan Jeremias.

”Jeremias. Sekali lagi. Mari kita akhiri semua omong kosong ini. Anggap aja kejadian malam itu kita sama-sama khilaf. Aku juga mengakui kesalahan aku, yang pasrah aja waktu itu, padahal seharusnya kita berhenti. Tapi mulai sekarang aku tegaskan lagi untuk jangan melakukan sesuatu yang melebihi batasan kita. Aku sama kamu cuma sekedar Caregiver yang menjaga nenek kamu.” Ini berat bagi Abigail ucapkan. Tentu ada letupan kebahagiaan ketika Jeremias berada di sekitarnya, menunjukkan ketertarikan yang sama dengannya. Namun itu kesalahan besar jika terus dilanjutkan.

Hening setelah itu. Jeremias terdiam, dan Abigail yang terus menerus termenung dengan pemikirannya.

Sekali lagi, Jeremias menatap Abigail sebelum menjawab. “Okay.” Setelah itu Jeremias berbalik arah, pergi dari sana tanpa menoleh lagi ke arah Abigail.

Setibanya di kamar. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Itu nomor Evelyn. Isi pesan itu menyampaikan kepada Jeremias bahwa ia akan berkunjung ke Surabaya sekitar bulan depan dan meminta pria itu mencarikan tempat penginapan.

Sebuah ide terlintas di kepala Jeremias. Kenapa Evelyn tidak tinggal saja di sini? Maka segera, pria itu menawarkan rumah neneknya sebagai tempat tinggalnya. Lagi pula, nenek Fatimah pasti akan senang menyambut tamu. Sesungguhnya, nenek Fatimah itu kesepian jika dibandingkan dengan orang yang membutuhkan bantuan.

Jeremias membaringkan diri di ranjang. Abigail harus diberikan waktu kosong dulu. Lagi pula, jika perempuan itu sudah memohon agar Jeremias menjauh, sudah seharusnya ia melakukan bukan? Meskipun berat, dan menjengkelkan.

Tidak tahu sampai kapan Jeremias bisa menahan diri untuk tidak mendekati Abigail lagi. Jelas, untuk sekarang, ia harus berlagak tidak peduli dengannya. Sesuai permintaan Abigail sajalah.

••••

Abigail masih memikirkan satu hal, malam itu mereka melakukannya tanpa menggunakan pengaman. Abigail yakin sekali selama dua kali Jeremias menumpahkan semua benih-benih di dalamnya.

Jangan sampai, Abigail hamil anak Jeremias. Memikirkannya saja Abigail sangat takut. Jujur, Abigail trauma. Saat ia hamil dulu adalah masa-masa berkesan yang membuat ia takut mengulanginya. Begitu penuh dengan penderitaan. Ia tahu, sekarang bukanlah enam tahun yang lalu, tapi kemungkinan besar kesusahan, dan kesulitan yang ia alami bisa terjadi.

Abigail tidak mampu. Ia tidak berani memikirkan apa yang terjadi. Memejamkan mata, ia mencoba meredam suara di kepalanya. Siapa sangka, kenangan-kenangan itu, bisa menjadi rasa takut mendalam bagi Abigail.

“Lagi mikirin apa, sih?” nenek tiba-tiba muncul di dapur bersama piring kotornya.

Segera Abigail mengambil benda itu dari sang nenek. “Kenapa enggak panggil Abi aja, Nek. Biar Abi yang bawakan ke dapur.”

Nenek Fatimah menggeleng kepala. “Dekat gini, kok. Kalau jauh baru nenek panggil.”

“Kamu tolong bawakan kopi ke kamar Jeremias. Dia kayaknya kecapean," suruh nenek Fatimah.

“Ba–baik, Nek.”

To be Continued

Bagaimana perasaan kalian sejuah ini membaca cerita Remi dan Abigail?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top