Bab 17: Terbawa Suasana [21+]
Bab 17: Terbawa Suasana [21+]
"Demian? Siapa dia?" Jeremias menyipit. Apalagi tatapan nenek Fatimah barusan yang seakan-akan mengejek Jeremias membangkitkan kekesalan yang masih pria itu simpan sejak pagi karena Abigail tidak mau menjelaskan siapa yang mengantarnya. Belum lagi harus jauh-jauh dari barat ke timur hanya untuk mengambil berkas perkara yang tertinggal.
Apakah ini sudah bisa dimasukkan ke dalam savege?
Abigail gelagapan, matanya berkelebat tak tentu arah. Mencari-cari jawaban yang tepat. Ingin menyalakan nenek Fatimah, tapi beliau tidak salah apa-apa di sini. Abigail ingin melarikan diri saja sekarang.
"Bi?" Jeremias kembali bersuara, kali ini penuh dengan nada tuntutan.
Memejamkan mata, Abigail tidak tahu lagi harus mengelak seperti apa, yang jelas ini satu-satunya jalan keluar yang bisa ia gunakan. "Orang yang tadi antar aku."
Abigail berkilah bahwa Demian adalah Mas Adit. Akan lebih baik jika Jeremias percaya dibandingkan sebaliknya, karena Abigail tidak tahu harus memutar otak lagi untuk menjawab pertanyaan pria itu. Semoga saja Jeremias percaya.
Jeremias paham. Ia kemudian menjawab sekadarnya, dan berlalu dari hadapan Abigail. Mengapa hatinya tetap sakit, padahal Jeremias telah menebak dalam hati bahwa Demian yang mereka bahas adalah orang yang mengantar Abigail tadi pagi. Jeremias berharap bukan pria itu yang menjadi jawaban Abigail. Namun, sepertinya hubungan mereka semakin dekat saja.
Memikirkan itu membuat Jeremias menegaskan rahangnya. Shit.
Abigail menghela napas lega untuk sesaat. Puji Tuhan, Jeremias tidak bertanya banyak hal. Namun, tak lama kemudian disusul rasa bersalah kepada Demian dan Jeremias. Ia menunduk diam. Memohon maaf atas keegoisannya kepada mereka berdua. Abigail hanya tidak ingin membuat masalah di antara mereka. Biarlah semua berjalan semestinya, Jeremias tanpa mengetahui keberadaan anak mereka, dan Demian yang hidup bersama Abigail, mamanya.
••••
Malam ini nenek Fatimah mengeluh sakit pada punggung dan asmanya kambuh. Mau tidak mau, Abigail harus mengindap di rumah ini lagi. Sebelumnya, Abigail telah mengabari Dela, dan berbicara sebentar dengan Demian, menjelaskan bahwa ia tidak bisa pulang karena menjaga nenek yang sakit. Demian yang telah dijelaskan oleh Abigail tentang pekerjaannya pun paham dan mengatakan ia baik-baik saja bersama Dela.
Maka, di sinilah Abigail setelah keluar dari kamar nenek Fatimah yang telah tertidur sehabis diberikan golongan obat Bronkodilator dan antiinflamasi nonsteroid. Di dapur sambil mengambil segelas air putih dari dispenser.
"Ehem." Suara deheman Jermias menghentikan pergerakan Abigail untuk meminum air.
"Nenek udah tidur, ya?" tanya Jeremias sembari mengambil gelas di rak.
"Iya. Baru aja." Abigail kemudian berjalan ke wastafel, lalu menyalakan air untuk mencuci gelasnya.
Sejak tadi, entah kenapa, Jeremias berubah menjadi pendiam. Maksudnya pria seperti mengabaikan, dan tidak menghiraukan ucapan Abigail.
Sibuk dengan pemikirannya, Abigail tidak tahu jika Jeremias sedang meliriknya dengan ekor mata sambil menimang apa yang akan ia lakukan. Entah kemana pergi akal sehat pria itu, hanya mengikuti insting, ia berjalan mendekati Abigail dan melingkari pinggang kurus Abigail dengan lengannya.
Abigail tidak bisa menghindar dari rasa keterkejutannya hingga melepaskan gelas, terjatuh di permukaan keramik putih itu. Syukur saja gelasnya tidak pecah.
"Remi?!" pekik Abigail. Ia segera membasuh tangannya yang bersabun dan berusaha melepaskan pelukan pria itu. "Jangan kayak gini."
"Saya enggak suka kamu dekat sama Demian, Demian itu." Jeremias berbisik, lalu menjatuhkan kepala di pundak Abigail.
Kenapa Jeremias bertingkah seperti ini? Tidak ada hubungan lagi di antara mereka, lagi pula pria itu memiliki kekasih. Pria itu belum tahu saja, Demian itu anaknya. Sepintas lalu, Abigail geli dengan isi kepala Jeremias. Ya, salahnya juga yang berbohong.
"Lepas, Remi," pinta Abigail.
Tidak mengindahkan permintaan Abigail. Pria itu malah memberikan kecupan basah di pundak Abigail yang sedikit terbuka. Jeremias dengan akal sehat yang perlahan menghilang meniup tengkuk Abigail.
"Berhenti!!" Peringat Abigail yang mulai meronta.
Jeremias melepaskan pelukan mereka. Abigail dengan cepat menjaga jarak darinya.
"Kamu kenapa, sih?!" Abigail mendengus lalu memutar langkah.
Satu hal yang harus diketahui banyak orang, bahwa Jeremias tidak suka dengan penolakan. Benci. Maka, tanpa memedulikan tatapan nyalang Abigail, ia menarik kembali perempuan itu ke dalam pelukannya. Kali ini Jeremias menyatukan bibir mereka.
Rasa-rasanya jantung Abigail akan keluar dari rongga dada jika tidak ada tulang rusuk yang melindunginya. Bagaimana Jeremias melumat bibir Abigail, sedikit menghisap dan menggigit bibir bawah Abigail.
Ini gila, karena Abigail mulai tersulut oleh permainan Jeremias. Apalagi tangan pria itu mulai meraba sana sini sambil meremas salah satu benda kenyal Abigail.
"Shh! Jeremias." Abigail mendesah disela-sela ciuman mereka, lebih tepatnya pagutan Jeremias yang semakin tak terkendalikan.
Baiklah. Abigail mengakui kekalahannya. Sentuhan-sentuhan ini, yang pernah ia rasakan bersama Jeremias. Sebuah dambaan terdalam yang diam-diam diabaikan Abigail mulai bangkit kembali, dan membara. Maka, perempuan itu melingkari tangannya di leher Jeremias dan tidak lagi memberontak.
Jeremias melepaskan tautan bibirnya dari Abigail yang tertunduk malu, dan menarik banyak-banyak oksigen yang hampir habis. Jeremias kemudian mengeretkan pelukannya, dan mengangkat Abigail dalam gendongannya dalam satu hentakan.
Kembali mengecap rasa yang sama, Jeremias membawa Abigail ke kamar tamu yang berada di lantai satu. Membaringkan tubuh mereka di sana. Duduk menindih Abigail, dan meninggalkan bekas bibirnya di tulang selangka Abigail yang menonjol keluar.
"Remi ..., Ahh!" Abigail menahan diri untuk tidak menjerit keras ketika tangan Jeremias dengan nakal masuk ke dalam celana dalamnya.
Abigail tidak pernah melakukan hubungan badan dengan orang lain. Satu-satunya pria yang menggauli perempuan itu hanyalah Jeremias Derek.
Kini mereka benar-benar tanpa busana. Perlu Abigail akui, bahwa keahlian Jeremias semakin bertambah. Tidak seperti dulu, yang banyak salahnya. Mengingat itu, Abigail tertawa disela-sela desahan yang keluar.
Mengarahkan benda sakral itu tepat di liang Abigail. Salam satu entakan yang cukup keras Jeremias berhasil menyatukan tubuh mereka.
"Kenapa kamu ketawa?" tanya Jeremias ikut tersenyum, dan terus menggerakkan pinggulnya secara perlahan.
Abigail mengeratkan genggaman pada pundak Jeremias. "Enggak papa." Ia sedikit meringis, walaupun tidak lama kemudian Abigail bisa merasakan kembali kenikmatan yang pernah dikecap tujuh tahun lalu.
"Saya semakin gagah bukan dibandingkan tujuh tahun lalu." Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
"Cepat, Remi. Aku harus melihat keadaan nenek, lagi." Perintah Abigail yang teringat wajah Nenek Fatimah.
"Baiklah sayang."
Padangan Jeremias dan Abigail terkunci setelah pria itu berkata sayang. Tidak ada yang mengalihkan pandangan. Omong kosong jika rasa tertarik itu hilang, karena baik keduanya pun sama-sama memendam cinta yang ternyata tidak pernah padam.
Abigail mengigit bibir bawah. Seharusnya ia tidak terbawa suasana, dan malah berakhir dengan satu ranjang dengan Jeremias. Mata Abigail melebar bersamaan dengan leburan nikmat, klimaks keduanya.
"Kamu enggak pakai kondom?"
Mampus!
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top