Bab 11: Berbelanja

Bab 11: Berbelanja

Surabaya, 2020

Jeremias melangkah keluar dari ruang Sidang Tirta 1, pengadilan negeri Surabaya dengan pakaian toga lengkap. Hari ini, sama seperti biasanya, ia berperan sebagai pengacara terdakwa. Agenda kasus kali ini masih Sidang Pertama, pembacaan dakwaan, berisikan pasal-pasal yang dituntut dari Jaksa penuntut umum, dengan jenis perkara Perselisihan Kepentingan Karena Mutasi Pekerja. Agak ribet. Hanya saja, semoga perkara bisa diselesaikan secara damai. Jeremias akan berusaha agar kedua bela pihak memilih bertemu dan berbicara dengan kepala dingin, menjabarkan mana saja yang baik kepada mereka agar kasus ini tidak berlanjut. Mediasi harus lancar.

Tidak jauh di depannya, ada Kyra bersama seorang pria. Entahlah, mungkin kliennya juga. Jeremias hanya menyapa dengan anggukan kepala, dan memutar langkah ke arah mobilnya berada.

Menyalakan mesin mobil. Jermeias jadi teringat satu Minggu lalu ketika ia berdebat dengan Abigail. Setelah itu, sampai sekarang mereka berdua belum saling menyapa. Bahkan, Abigail enggan menatapnya. Sialan. Seharusnya Jeremias yang melakukan itu kepada Abigail. Mengapa sebaliknya?

••••

"Kebetulan Jere udah pulang!" Nenek Fatimah tersenyum lebar menyambut cucunya yang kebingungan. Perasaan Jeremias mendadak tidak enak. "Kamu sama Abi ke Sakinah, ya? Kata teman nenek ada diskon di sana!"

"Huh?" Sejak kapan neneknya bersemangat membeli barang-barang diskon? Ah, neneknya ini memang berbeda dari yang lain. Ia tidak suka berdempetan atau berada di tempat ramai, selama memiliki uang yang banyak, maka beli yang normal-normal saja. Maka, reaksi Jeremias terkejut. Apalagi nenek Fatimah tidak pernah menyarankan cucu kesayangannya membeli barang-barang di luar, biasanya bibi.

Tunggu, ada yang aneh. "Beli di Sakinah, Nek?"

"Iya! Di belakang ITS, itu, lho. Keputih. Ke sana aja, kan kamu enggak sendirian. Ada Abi."

"Tapi biasanya lumayan macet di situ, Nek. Apalagi sekarang gini," dalih Jermias, memelas.

"Sudah. Jangan banyak alasan!" Nenek Fatimah mengambil tas kerja cucunya lalu mendorong tubuh Abigail untuk mendekati Jeremias.

Abigail yang sejak tadi diam, melirik Jeremias dengan canggung. Ia kemudian menundukkan kepala dan menghela napas berat. Begini sekali kehidupannya. Sebagai pekerja di sini, ia tidak memiliki hak untuk menolak kemauan nenek Fatimah, apalagi memintaan itu sehubungan dengan keperluan beliau seperti membeli perlengkapannya. Saat ini, hanya Jeremias yang mampu menolak permintaan neneknya. Semoga saja.

"Ayo." Jeremias kemudian berjalan terlebih dahulu. Meninggalkan Abigail yang tersenyum kaku menatap nenek Fatimah yang sumringah.

Kadang kala, Abigail gemas dengan sikap Jeremias. Kalau tidak mau, katakan saja ia lelah, seharian bekerja mengurusi masalah, membaca dokumen-dokumen penting klien dan banyak hal lainnya. Abigail dengan pasrah naik kembali ke mobil itu, namun tiba-tiba dihentikan oleh Jeremias ketika pintu belakang mobil di buka.

"Kamu pikir saya supir kamu? Duduk di depan!" Jeremias melebarkan matanya ketika berbicara.

Abigail tidak bisa menolak walaupun keinginan hati menonjok kepala pria itu. Ia berpindah ke depan, lalu duduk di sana dengan kilas balik seminggu lalu.

Mobil pun dijalankan. Suasana hening. Apa yang ingin dibicarakan oleh mereka di saat tidak ada yang perlu dibahas, pikir Abigail kala itu. Meskipun, jujur, ia merasa bersalah dengan pertengkaran malam itu. Ia egois dan sok menasehati Jeremias. Aneh. Namun, keadaan ini lebih baik, Abigail tak perlu dekat dengan Jeremias, atau berbicara dengannya. Banyak hal terjadi jika mereka dekat, apalagi berteman. Omong kosong, kata siapa semua akan baik-baik saja jika mereka berteman?

Luka adalah luka. Kecewa yang Abigail lakukan kepada Jeremias tetaplah ada. Hubungan mereka tidak mungkin seperti dulu, kertas yang diremas kuat hingga terkoyak, tidak bisa dimuluskan kembali. Sama hal dengan mereka. Jadi, biarlah seperti ini.

"Abi?"

Abigail tidak menjawab, pandangannya masih fokus menatap ke depan, melihat motor yang hilir mudik, bersama suara klakson yang memekakkan telinga.

"Abi? Bisa denger saya enggak?"

"Kenapa?" Abigail menoleh. Biarlah ia tampak kurang ajar sekarang. Abigail sedang malas berdebat. Apalagi Demian sedang sakit di rumah. Pikirannya menjadi bercabang.

Apa anaknya itu sudah minum obat, dan makan makanannya? Abigail telah mengatakan kepada Dela, obat apa saja yang harus ia berikan kepada anaknya. Kebetulan, sepulang dari rumah nenek Fatimah, barulah mereka pergi ke klinik untuk memeriksa keadaannya.

"Tolong bukakan botol air ini." Jeremias memberi kode botol minum di dasbor mobil yang masih tersegel.

"Kamu ada masalah?" tanya Jeremias. Sejak tadi ia memanggil nama perempuan itu tapi tidak ada sahutan, pandangannya kosong dan seperti orang linglung.

"Enggak papa."

Kata-kata andalan Abigail sejak dulu jika ditanya sesuatu. Memang belum berubah. "Kalau ada sesuatu, ya, cerita. Kalau diam-diam mana bisa saya bantu."

"Saya bisa atasi sendiri." Abigail berkata dengan pelan. Namun, masih terdengar jelas di telinga Jeremias.

"Jadi karena berlandaskan pola pikir gitu, kamu lari tujuh tahun lalu, Bi? Apa yang bisa kamu atasi sendiri?"

Memejamkan mata. Ada apalagi ini. "Aku lagi enggak pengen debat sama kamu, Remi."

Tibalah mereka di Sakinah. Kebetulan kos-kosan Abigail tidak jauh dari sana. Sedikit berjalan maju, melewati Masjid Jami' As-Sa'adah, ada sebuah lorong yang nantinya terhubung dengan perumahan dosen ITS yang biasa dikunci pintunya. Di situ kos Abigail berada.

Berjalan di lantai satu Sakinah. Ternyata tidak ada yang diskon. Semua aktifitas berjalan seperti biasa, hanya saja memang harga di Sakinah lumayan murah, terjangkau untuk banyak mahasiswa, jadi banyak yang berdatangan ke sini, di lantai dua pun terdapat peralatan perkuliahan dan belajar.

Namun, Abigail harus membeli barang-barang yang diminta Nenek Fatimah. Sabun mandi kesukaan beliau ada di rak teratas, sedangkan tubuh Abigail yang tidak seberapa agak kesulitan mengambilnya. Berjinjit, sedikit lagi tangannya sampai. Hingga sebuah dorongan kasar dari samping membuat tubuh Abigail terjatuh ke lantai. Hal itu menimbulkan banyak tatapan aneh dari orang sekitar.

"Kamu anak si jalang itu, kan?!" bentak si ibu yang mendorong Abigail. Ia kemudian berjalan mendekati Abigail dan menarik kuat rambutnya.

Di samping ibu itu, terdapat perempuan yang ikut berjalan maju dan mendorong kepala Abigail dengan kasar. "Pelacur!" makinya.

"Ah! Mbak! I-ibu? Ada apa?!" Abigail berusaha melepaskan genggaman wanita paru baya itu, tapi kesulitan.

Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Abigail hingga memerah. "Kamu anak si jalang ini! Bapakmu korupsi uang rakyat hingga mati, dan mamak kamu jadi jalang, merebut suami saya! Kamu tahu itu. Apalagi melihat wajah kalian yang sangat mirip. Kami juga jadi pelacur seperti dia? Atau pencuri uang orang?"

Abigail tertunduk diam. Air mata berjatuhan. Semua itu benar. Ia tidak punya hak untuk membela diri. Tapi, ia bukan pelacur. Rasa malu tidak bisa ditahan. Mungkinkah, mamanya merebut suami ibu ini? Ingin menjelaskan, tapi Abigail tidak bertenaga sekarang.

"Ada apa ini?!" Jeremias naik ke lantai dua pun segera turun ketika mendengar keributan. Betapa terkejutnya saat melihat Abigail tersungkur dan dicaci maki oleh ibu tersebut.

"Pelacur!"

"Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. KUHP 336. " Ia kemudian menoleh ke arah perempuan muda di samping si ibu. "Merujuk pada Pasal 310 KUHP, pencemaran nama baik adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudkan agar hal itu diketahui umum. Pencemaran nama baik bisa dilaporkan, baik pencemaran secara lisan maupun tertulis!"

Jeremias kemudian membantu Abigail berdiri. Memeluk perempuan itu, dan kembali menatap kedua orang tersebut.

"Ibu bisa saya laporkan ke posisi dengan tuntutan Kekerasan dan pencemaran nama baik." Jermias kemudian menoleh ke gadis di sampingnya. “Saya enggak pernah main-main.”

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top