Bab 10: Acara Pernikahan

Bab 10: Acara Pernikahan

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit menuju salon dan butik, di dekat Galaxy Mall. Akhirnya Jeremias memberhentikan mobilnya bersama Abigail yang terdiam sejak tadi.

Jeremias telah meminta izin kepada sang nenek sebelum membawa Abigail sore itu ke salon. Pria itu sendiri sudah rapi dengan setelan jas. Niatnya agar sekalian setelah mendandani Abigail di salah satu tempat terpercayanya. Salon dan butik ini milik teman SMA-nya. Dimas yang mengganti nama menjadi Dina.

“Dim. Ini Abigail.” Bukan berarti, Jeremias harus memanggilnya Dina, bukan? Membayangkannya saja sudah aneh.

Dimas, dengan balutan busana merah menyala, bibir merona, dan mata lentik tersenyum anggun ke arah Jeremias dan Abigail.

“Ho, dia pacar kamu, kan?” Dimas tidak mungkin salah, ia mengingat dulu Jeremias sering memposting tentang mereka di media sosial. “Aku kira udah putus. Masih langgeng aja, ya.”

Jeremias berdehem. Ia sama sekali tidak menanggapi ucapan Dimas yang berubah drastis. Bahkan, ia yakin Abigail mengira Dimas adalah  perempuan. Melirik Abigail, Jeremias bisa menemukan kerutan halus di sana. Biarlah perempuan itu dengan dunianya sendiri.

“Tolong kamu dandani dia, pokoknya yang simpel aja, tapi tetap elegan.” Jeremias kemudian duduk di salah satu sofa sambil menarik sebuah majalah male di atas meja.

Abigail yang pasrah, menurut saja ketika Dimas membawanya ke sebuah ruangan yang sepertinya khusus memilih baju.

••••

Jermias tidak bisa menahan mata agar berhenti melirik Abigail. Dimas patut diberikan empat jempol Jeremias atas keterampilannya dalam mengubah penampilan Abigail yang awalnya sangat biasa menjadi luar biasa. Tidak dipungkiri tampang Abigail yang good looking memang mendukungnya dalam memakai apa saja.

Setibanya di ballroom hotel bintang lima di daerah Surabaya Barat, Jeremias sengaja berdiri tidak jauh dari perempuan itu. Karena melihat Abigail yang tidak nyaman dengan pakaiannya yang sedikit terbuka, Jeremias melepaskan jasnya dan  menyematkan di bahu mungil Abigail.

“Pakailah. Saya kepanasan.” Sejujurnya, pria itu juga sedikit kegerahan, apalagi dasi yang melingkari lehernya, terasa sangat mengganggu, seperti mencekik. Biasanya kancing teratas kameja pria itu dibiarkan terbuka.

Abigail tidak menolak, melainkan bersyukur. Bertahun-tahun tidak memakai pakaian seperti ini, agak terbuka bagian atasnya, membuat perempuan itu terasa aneh, dan berbeda. Padahal, jika diingat lagi, ia sering kali memakai pakaian terbuka dulu.

“Wih! Mas Jere?” Gadis berpita mawar merah berjalan mendekati Jeremias dan Abigail. Dengan terang-terangan, Gadis itu melirik bergantian Jermias dan perempuan di sebelahnya. “Mas punya pacar, tho? Ini pacar mas yang di Jakarta itu?”

Abigail menundukkan kepalanya. Ck. Kenapa ia berada di situasi menyebalkan ini. Jika Jeremias telah menyebarkan ke orang-orang ia memiliki kekasih di Jakarta mengapa dirinya diajak ke sini? Abigail mengigit bibir bawahnya.

Mengetahui kegelisahan Abigail, Jeremias berseru. “Dia teman saya. Namanya Abigail.”

Tanpa suara, gadis itu, Carmila membulatkan bibir berserta matanya. “Ma–maaf, Mas. Maaf mbak.”

Seorang pria berjalan mendekati mereka bertiga, rambutnya sedikit panjang dan diikat rapi. “Malam, Mas.”

“Lion. Jagain istri kamu, nih. Kepo banget.” Setelah itu, Jeremias menarik pergelangan tangan Abigail untuk melanjutkan langkah. Mereka harus bertemu dengan sang mempelai sebelum kembali pulang.

“Remi? Enggak papa, kah?” Abigail benar-benar tidak nyaman sekarang. Banyak pasang mata yang menatap mereka.

“Apa yang jadi masalah?” Jeremias balik bertanya dengan nada jengkel. Jengkel kepada orang-orang di sekitar mereka. “Apa ada ketentuan wajib setiap orang yang datang ke acara resepsi pernikahan temannya harus membawa kekasih atau istrinya?” Aneh. Jeremias berdecak diakhir perkataannya.

Setelah itu, Jeremias dipanggil oleh temannya, Cakra yang tengah mengobrol dengan Kyra, pengacara yang baru saja pindah ke Surabaya. Tidak jauh berbeda dengan Jeremias.

Setidaknya Abigail tidak merasa aneh berdiri di tengah-tengah ketiga orang ini. Awalnya ia pikir mereka akan bertanya seperti orang-orang sebelumnya tentang status mereka, tapi mereka hanya membahas tentang hal-hal hangat yang tengah terjadi di perusahaan. Tentang kasus yang masing-masing mereka tangani.

Puas mengobrol, Kyra mengajak mereka bersama-sama untuk naik ke panggung pelaminan dan mengucapkan selamat dan foto bersama, lalu dilanjutkan dengan makan-makan. Abigail mencoba membiasakan diri di sekitar mereka, walaupun tatap saja terasa janggal. Jika dulu, mungkin saja ini biasa saja untuk Abigail, tapi sekarang berbeda. Beberapa hal besar telah terjadi sehingga mengubah sedikit pribadi, pola hidup, dan kehidupan sosialnya.

Menggoyangkan tangan Jeremias, Abigail meminta izin kepada pria itu untuk pergi ke toilet untuk memperbaiki lipstiknya yang sedikit berantakan sehabis memakan menu-menu ringan yang disediakan. Di toilet, ia berdiri di samping seroang perempuan yang berpakaian merah menyala dengan rambut yang terurai panjang.

“Kamu pacarnya Mas Jere, ya?”

Menghela napas berat, Abigail menyelesaikan kegiatannya memakai lipstik. Ia malas sekali menanggapi hal itu lagi. Mengabaikan perempuan tersebut, Abigail memasukkan lipstik ke tas. Ia kemudian berjalan dari sana tanpa melirik  manusia di sebelahnya itu.

Satu langkah di luar, pintu toilet kembali dibuka. Tak lama tangannya ditahan dan ditarik hingga Abigail harus mengundur setengah langkah. Ada apa lagi, ini? Satu aslinya terangkat dengan mata terbelalak.

“Enggak usah sok cantik, deh. Paling bentar lagi dibuang!” Ternyata perempuan di kamar mandi tadi merasa tersakiti dengan tindakan Abigail.

Membasahi bibir, Abigail memutar bola matanya jengah. Ya ampun, yang benar saja, di umur yang setua ini masih ada yang melabrak seseorang, yang bahkan bukan pacar atau keluarganya.

Mendengkus kasar, Abigail kembali mengabaikannya dan berjalan. Namun, perempuan itu seakan-akan singa yang tidak akan meninggalkan mangsanya pergi, ia kembali mencegat Abigail.

“Kamu jangan so—”

“Mbak siapanya Jeremias? Jeremias dekat sama mbak? Kalau dia dekat sama mbak, bukan saya yang diajak jalan sama dia tapi mbak. Kalau bukan apa-apa, saya minta maaf sebelumnya, mbak mending minggir karena saya mau jalan.”

“Kamu! Aw—”

“Ada apa ini?” Jeremias tiba-tiba muncul. “Kamu siapa?” Jeremias menyipitkan mata, melihat dari bawa hingga atas kepala perempuan itu.

“Sa–saya ....” Merasa malu, perempuan itu berlalu dari hadapan Jeremias dan Abigail.

“Kamu enggak diapain sama dia, kan?” tanya Jeremias khawatir. Untungnya salah satu kenalannya mengatakan bahwa Abigail tengah diganggu seorang perempuan, yang sungguh, Jeremias tidak mengenalnya.

“Pulang. Aku mau pulang.” Hanya itu yang Abigail inginkan saat ini. Berlama-lama di tempat ini hanyalah menambah drama kehidupan yang membosankan dan menggelikan.

“Ayok.”

Dalam perjalanan pulang. Abigail rasa kepalanya mau meledak akibat memikirkan perasaan kekasih Jeremias jika informasi malam ini ia bersama pria itu di resepsi pernikahan temannya.

“Remi, kamu beneran udah kasih tau pagar kamu, kan?”

“Kamu enggak usah mikirin itu.” Jeremias sudah mengatakan bahwa ia datang bersama Abigail kepada Evelyn. Pacarnya pun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Lalu apa yang salah? “Dia enggak papa, kok.”

“Kamu kok egois?”

Jeremias menautkan kedua alisnya hingga terhubung. Mengeratkan genggaman pada setir. Jeremias menepikan dan mematikan mobilnya di pinggir jalan. Menolehkan kepalanya, berseru dengan wajah tidak percaya. “Kamu bahas egois sama saya?”

“Kalau kamu enggak egois, kenapa ngajak aku, Remi?”

Pria itu spontan mengeluarkan tawa kering. “Are you sure? Egois mana sama kamu?”

Abigail terdiam.

“Kamu ninggalin saya 7 tahun lalu tanpa ba-bi-bu lagi! Kamu pikir itu enggak egois? Kamu pikir udah paling benar sekarang, Bi?”

Abigail menelan salivanya sendiri.

“Jangan sok mengajari saya yang mana benar dan salah, kalau kamu sendiri enggak benar.” Jeremias kemudian menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan dengan suasana mencekam.

To be Continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top