Bagian 1 [usaha]
Hidup Ge tidak mulus, memang. Dan semua itu juga terjadi pada kehidupan orang lain. Bukan hanya Ge. Jika ada yang bersedia menggantikan, jelas akan berbeda jalan ceritanya karena pasti akan mengambil keputusan yang berbeda.
“Mbak Ge ... ada yang nyari.” Melia mengetuk sebelumnya dan tidak mendapat jawaban sama sekali. Jadi, daripada membuat seseorang menunggu di bawah, Melia memutar kenop pintu saja meski belum dijawab.
“Eh, kenapa, Mel?”
“Yhaaa, masih bengong ternyata.” Melia menggelengkan kepalanya dramatis, lalu mengulang ucapannya. “Ada yang nyari, Mbak Ge. Lagi di bawah.”
“Oh, oke. Saya ke bawah, bilang sebentar lagi.”
Melia pasti selalu mematuhi ucapan pemilik The Orc’s itu. Meski pada dasarnya Ge tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Tak lama, Ge turun. Yang membuatnya lama menemui tamunya adalah karena langkah hati-hati mengingat perutnya sudah begitu besar.
“Nah, ini dia pemiliknya, Bu.”
Ge tersenyum membalas wajah semringah wanita yang sebelumnya ditemani oleh Melia itu.
“Hai. Saya Geihara pemilik The Orc’s. Ada yang bisa saya bantu?” suara Ge yang lembut membuat wanita di depannya itu makin memperlebar senyuman.
“Saya Ambika, panggil Ika aja. Maaf, ya Mbak Ge bikin ribet. Saya enggak tahu kalo pemiliknya lagi hamil. Maaf,” ucap Ambika.
“Udah biasa, kok, Ika. Ruangan bawah belum selesai dekor, jadi di atas dulu.” Ge mengambil gelas teh yang telungkup dan memosisikan ke atas agar bisa menuangkannya untuk sang tamu.
Sistem di The Orc’s memang seperti rumah. Ada teko berisi teh tubruk yang harum melatinya menyerbak mengisi ruangan, lalu gelas telungkup yang sudah disediakan. Ge menghidangkannya untuk Ika dan kembali tersenyum sebelum bertanya, “Jadi kamu butuh apa? Enggak mungkin belain dateng ke sini kalo enggak mendesak.”
Ika mencecap bibir, dan menatap serius pada Ge.
“Sebenarnya saya udah pesen via telepon, Mbak. Pegawai Mbak yang Melia itu juga tau, kok. Cuma saya mau mastiin aja untuk pesta pertunangan saya yang masih empat bulan lagi.”
“Oh, saya ingat. Melia memang bilang sama saya. Uhm, bagian orkestra itu beneran mau dipesan, kan? Saya udah terlanjur bilang sama pihak Z’Tra.”
Ika mengangguk. “Jadi kok, Mbak. Saya cuma agak ribet
aja kalo ada acara sepenting ini. Boleh, kan kalo nanti saya banyak permintaan dan sering dateng ke sini?”
Ge tidak keberatan. Menurutnya itu malah bagus, sebab kecil kemungkinan akan disalahkan oleh pelanggan nantinya.
“Enggak masalah. Biar nanti enggak salah komunikasi.”
“Saya sudah banyak dengar dari pejabat-pejabat tinggi mbak kalau The Orc’s ini kerjanya bagus. Belum lagi banyak konsep unik dan lengkap yang ditawarkan. Saya percaya kalau The Orc’s bisa meng-handle acara yang saya ingini sangat berbeda, Mbak.”
Ge tidak heran sebenarnya jika banyak klien yang meminta konsep super rumit dan terlalu banyak ini itu karena memang biaya yang mereka keluarkan sebanding dengan kerumitan permintaan.
Dengan senyuman Ge membalas, “Makasih. Banyak pihak yang memang memengaruhi The Orc’s bisa sampai membuat banyak orang memercayai kami.”
Ambika memang terlihat begitu gampang bergaul, pantas saja Melia tidak begitu mempermasalahkan klien satu ini yang datang mendesak dan inginnya Geihara langsung yang menangani.
“Calon suami saya enggak bisa diajak kompromi untuk hal semacam ini, Mbak. Dia sibuk di kantor. Saya ajak ketemu saja sulitnya minta ampun, apalagi saya suruh datang ke sini.” Lagi, Geihara membalas dengan senyuman lebih dulu, dia tidak pandai menyembunyikan rasa. Ketika Ambika menyinggung mengenai calon suami, ada rasa mengganjal yang Geihara benar-benar tidak inginkan untuk ada di tengah waktu seperti ini.
Pembicaraan keduanya terus berlanjut hingga jarum jam menunjukkan pukul 16.43—meski beberapa pembahasan membuat Ge iri dengan apa yang Ambika dapatkan—dan membuat Ge terkesiap.
“Aduh, seru banget ngobrolnya. Saya sampe lupa waktu, Mbak Ge.”
“Iya. Saya juga sampe lupa kalo harus pulang soalnya ada yang mau diurus.” Ge meminta Melia untuk naik ke ruangan dan merapikan barangnya, sembari menemani Ika yang masih menunggu jemputan.
“Nih, Mbak Ge. Coba di cek dulu ada yang ketinggalan enggak?” Ge menyurukkan tangan ke dalam tas bawaannya sehari-hari. Segala vitamin dan kebutuhan lainnya sudah lengkap.
“Udah semua, kok, Mel. Makasih, ya.”
“Sama-sama, Mbak. Saya ke belakang dulu, ya.”
Ge baru menyadari kalau Ika memandanginya dengan mata berbinar.
“Ika? Kenapa?”
“Eh? Enggak, Mbak. Kagum aja liat mbak sama pegawainya akrab, baik banget lagi. Saya jadi nge-fans sama mbak buat jadi wanita karier sekaligus istri dan calon ibu yang baik.”
Ge sedikit tertohok dengan pujian yang Ika tujukan padanya. Ge hanya bisa tersenyum membalas pujian tersebut. “Ika ... maaf sebelumnya. Saya enggak bisa nemenin kamu lebih lama, saya benar-benar harus pulang.”
“Ya udah, Mbak. Hati-hati.”
Ge menatap ke arah langit yang mulai mendung merata. Sudah dipastikan sebentar lagi akan turun hujan. Untungnya hari ini Ge ditemani pak Hamir, karena seminggu sebelumnya sopir keluarga itu sedang berhalangan.
Dari spion mobil, terlihat mobil arah berlawanan yang menuju The Orc’s, Ge yakin itu adalah mobil jemputan Ika. Tak memedulikan lagi, Ge memilih memejamkan mata. Lelah. Bersiap menyambut sikap dingin ayahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top