Two ; Jarum Kenangan

Kau tahu bagaimana jarum kenangan bekerja? Benda itu akan terus menusuk di tempat yang sama secara terus menerus, hingga waktu bersekutu dengan rasa sakit.
~Padma~

*********

Tahu lagu Balonku Ada Lima? Katakanlah aku kenakak-kanakan karena begitu menyukai lagu itu. Aku menyukai lagu itu bukan karena ada kenangan atau apalah yang di setiap lagu harus memiliki peristiwa tertentu hingga membuat kita suka, melainkan karena aku hanya suka mendengarkan lagu itu. Oh ayolah, hidupku tidak seperti cerita-cerita di novel romance yang kebanyakan beredar. Hidupku terlalu simpel dalam sudut pandangku, entah jika dinilai dari sudut pandang orang lain, dan aku sama sekali tidak ambil pusing tentang hal itu. Kembali lagi dengan lagu Balonku Ada Lima, lagu ini terdengar lebih dinamis setelah diaransemen oleh Radit. Yap, saat ini aku sedang bermain dengan not-not lagu Balonku Ada Lima yang sudah digubah oleh Radit—sang Maestro, itu menurutku. Dia sekarang duduk di sebelahku, memainkan tangga nada yang sama, hanya saja terkadang dia melakukan improvisasi.

Aku selalu takjub melihat kelentikan jarinya di atas tuts berwarna hitam putih itu. Dia selalu memesona ketika di hadapkan dengan benda satu ini, kelembutannya semakin terpancar dan juga ketampanannya. Bukan seorang guru piano kalau tidak mahir dalam bermain piano, benar begitu 'kan? But wait, ini tidak seperti yang ada di pikiran kalian. Aku tidak pernah meletakkan perasaan kepada seorang pria, sekali pun aku mengaguminya. Aku menjadikan seorang pria hanya sebagai obyek untuk membuktikan diri; aku memang istimewa di depan mereka. Dan satu hal yang perlu di garis bawahi, Radit sudah memiliki tunangan. Memang aku suka merebut pasangan orang lain, tapi Radit tidak pernah ada dalam daftarku. Aku tidak mau kehilangan satu-satunya sahabat dalam hidupku.

Kami menyudahi permainan piano yang berlangsung selama lima belas menit itu. Singkat, tapi cukup membuat suasana hatiku menjadi lega. Itulah fungsi seorang sahabat, di mana kita mempunyai tempat untuk membuang sampah-sampah yang menggunung di dalam otak. Aku melihat jarum jam menunjukkan pukul sembilan, tidak begitu larut bagiku, tapi itu sudah sangat larut bagi Radit.

Radit bangkit dari kursi, memungut tas jinjing yang tergeletak di atas kursi sebelah pintu. "Pulanglah, sudah malam."

Aku meraih tas yang diberikan Radit. "Sampai jumpa lain waktu." Aku mencium pipi kanan dan kirinya. "Sampaikan salamku sama Una."

Radit hanya mendengus. "Aku nggak mau bertengkar dengan Una hanya karenamu."

Kuputar bola mata jengah. Predikat sebagai wanita pencari onar sudah melekat dengan benar di otak Radit. "Dengar ya, aku nggak sebejat itu!"

"Whatever, Padma." Kedua tangan Radit terangkat, menujukkan bahwa dia malas berdebat dengaku.

"Night, Radit," ucapku sambil membuka pintu.

"Ingat langsung pulang. Jangan kelayapan!"

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar teriakannya. Sifatnya sudah seperti seorang ibu-ibu yang takut anak perawannya melakukan ritual belah duren dengan pria yang bukan suaminya. Dangdut banget! Lagipula, aku bukan anak gadis yang harus dicemaskan, justru pria-pria sepertinya lah yang patut dicemaskan ketika bertemu dengan wanita sepertiku. Kusinggingkan senyum indah saat melewati meja resepsionis yang dihuni oleh dua wanita berpakaian formal. Mereka membalas senyumanku dengan hal yang serupa. Kalau saja mereka tahu siapa aku, mungkin mereka tidak akan sudi memberikan senyuman, bahkan melihat pun juga enggan.

Setelah berjalan dengan sepatu flat yang dipaksakan, aku memasuki mobil dan segera melempar sepatu itu ke belakang dengan sembarang. Kurenggangkan sebentar ujung-ujung kaki yang mulai lelah sembari memainkan ponsel. Mau ke mana malam ini? pertanyaan itu menggantung sebelum aku melajukan mobil. Beberapa klab malam mengadakan promo ladies night dengan bonus Baileys irish cream, minuman yang tidak memiliki kadar alkohol tinggi. Akan tetapi jika seorang pemula meminum minuman ini sebanyak tiga shot, aku berani jamin orang itu akan klenger, bahkan pingsan. Dan karena aku sudah terbiasa minum alkohol tipe ini, jadi tidak masalah bagiku. Anggap saja meminum minuman berkarbonasi yang bisa menghangatkan tubuh.

Pilihan jatuh pada klab yang tidak jauh dari tempat ini, tetapi sedikit jauh dari rumah. Mobil yang kukendarai mulai melaju keluar area ruko. Pada jam-jam seperti ini jalanan kota masih terlihat padat. Polusi cahaya mengalahkan bintik-bintik kecil di atas sana, dan bahkan orang-orang tidak akan peduli dengan cahaya yang lebih purba itu, karena mereka sudah terlena oleh modernisasi kehidupan. Begitu juga dengan diriku yang terlena dengan kemegahan perkembangan di bumi hingga tidak menggubris hal yang sebenarnya berperan penting terhadap keseimbangan bumi. Ah sudahlah, omonganku semakin melantur!

Baru saja mobilku melenggang dan berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya, ponsel yang tergeletak di jok depan berdenting. Kusapukan jemari ke layar datar untuk melihat pesan. Menghela napas adalah sesuatu yang efektif setelah membaca pesan itu. Pria yang istrinya baru saja melabarakku di kantor pagi tadi mengirim pesan. Dia memberitahukan kalau dia sudah berada di depan rumahku. Pria itu menginginkan hubungan terlarang ini berlanjut, sebuah hal yang terus terjadi berulang pada pria berbeda yang telah jatuh di tanganku.

Mobil yang semula akan melaju ke klab malam akhirnya berubah haluan untuk kembali pulang ke garasi rumah. Hal itu terpaksa kulakukan karena aku ingin memutuskan hubungan saat ini juga, dan sudah waktunya mengganti pria itu dengan pria yang berada di tempat les piano tadi. Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdebar, sebentar lagi aku akan mengencaninya dan juga ... kalian tahu sendiri bagaimana seorang pria dan wanita dewasa menjalin sebuah hubungan. Seks, ya ... seks. Hanya orang munafik yang mengagungkan sebuah hubungan hanya berlandaskan cinta tanpa adanya embel-embel seks di belakangnnya. Masa' iya cuma ngobrol doang? It's impossible! Dan yang lebih menariknya lagi, wanita mana yang akan melabarkku? Aku terbahak ketika membayangkan kesenangan itu, membayangkan ekspresi kesal mereka terhadapku.

Setelah cukup lama berkutat di jalan raya yang padat merayap, mobilku sudah memasuki area perumahan. Dari jauh, aku melihat mobil gagah berwarna hitam metalik terparkir di depan pintu gerbang. Seorang pria dengan perut sedikit membuncit, memakai kemeja putih, dan celana kain hitam keluar dari mobil. Satu tangannya membawa paper bag berukuran besar. Jika dilihat dari brand yang terpampang di bagian luar paper bag, bisa ditebak kalau isi paper bag itu adalah sepatu. Aku berdecak bahagia, bagian ini yang paling aku suka; hadiah perpisahan. Dengan memasang wajah dongkol, aku keluar dari mobil memakai sandal japit, berpura-pura di hadapannya tentang penderitaanku pagi tadi.

"Sayang." Pria itu melangkah dengan merentangkan tangan, tetapi aku berjengit mundur. Dia menghentikan gerakan dan melihat kakiku. "Mana sepatumu?"

Aku melipat tangan, menaikkan dagu angkuh dan menatap sinis. "Istrimu keterlaluan! Gara-gara dia rambutku rontok, dan gara-gara dia heels-ku patah!"

"Nggak usah digubris. Aku minta maaf atas kelakuan istriku."

Dia memasang wajah memelas bercampur nafsu. Aku sudah bosan melihat wajahnya.

"Aku ganti sepatumu dengan ini." Dia menyodorkan paper bag. "Aku tahu suasana hatimu akan kembali pulih kalau melihat sepatu baru."

Aku hanya bergeming melihat paper bag berwarna putih itu.

"Ayolah." Dia maju selangkah.

Dengan cepat, aku mundur. "Aku mau masuk ke rumah. Hubungan kita cukup sampai sini! Aku nggak mau dilabrak istrimu untuk kedua kalinya!" Setelah mengucap kata perpisahan, aku membuka pintu mobil. Akan tetapi, pria itu mencegah pergerakanku. Dia menarik lenganku, dan dengan cepat bibirnya sudah melumat bibirku. Gerakannya begitu beringas hingga sulit untuk meloloskan diri.

Aku bukan wanita yang gegabah. Karena keberingasannya melahap bibirku, aku mencoba membalasnya, mencari celah agar dia yakin kalau aku meluluh dengan sentuhannya. Selang beberapa menit lumatannya terhenti, matanya menatap penuh keinginan dan napasnya memburu.

"Maafkan aku," bisiknya.

Pelan tapi pasti, tanganku meraih tangannya yang menggenggam paper bag. "Terima kasih untuk hadiahnya," desahku. Aku mendorong tubuhnya agar menjauh, dan langsung masuk ke dalam mobil. "Kita sudahi hubungan ini!" Pintu mobil aku tutup dengan sekali sentakan.

Pria itu mencoba membuka pintu mobil, kemudian menggebrak jendela kaca. Aku melihat mulutnya memanggil namaku. Sebuah senyum miring tersungging, setelah itu kubunyikan klakson mobil sekeras mungkin untuk mencari pertolongan. Paling tidak security yang bertugas malam ini sanggup mengusirnya pergi. Dia mulai kelimpungan dan panik, aku tahu dia pasti takut dituduh yang tidak-tidak. Pria itu langsung berlari ke arah mobilnya, kemudian memacu kencang mobil seharga ratusan juta itu.

Aku terbahak melihatnya lari kocar-kacir. Kurang lebih seperti itulah caraku mengusir mereka, dan jika mereka kembali lagi untuk mengharapkanku, tinggal sodorkan pria baru untuk melindungiku. it's simple, right? Semua sudah kuperhitungkan dengan benar, termasuk hadiah sepatu yang sudah berada di dalam mobil. Tidak perlu merogoh uang yang banyak di dalam tabungan untuk mengumpulkan sepatu dengan kualitas bagus.

Aku memasukkan mobil ke halaman rumah. Di sini aku tinggal sendirian, tanpa orangtua, tanpa saudara, hanya satu pembantu yang menemaniku. Tidak mungkin juga aku tinggal bersama mereka dengan pola hidup yang seperti ini. Tapi, aku akan kembali kepada mereka suatu saat, entah kapan, aku sendiri juga tidak tahu. Rumah minimalis dengan desain modern adalah nauganku dari kepenatan rutinitas. Aku melemparkan map yang berisi pekerjaan kantor di atas sofa sambil merbahkan tubuh di sandaran sofa. Kepalaku menoleh ke arah map itu, kemudian mengambil lembar yang telah diklip.

Mataku menjelajah tampilan seorang pria yang akan menjadi klienku. Membalik lembar berikutnya untuk membaca informasi tentang pria bernama Bayu Aji itu. Pandanganku langsung terkunci saat melihat satu nama terpampang jelas di deretan tulisan itu. Aku langsung menegakkan posisi, kemudian membalik beberapa lembar untuk mencari sebuah foto, meyakinkan bahwa pradugaku salah. Gerakan tanganku terhenti saat melihat foto Aruna Daneswari menodai kertas putih di genggamanku.

Lalu, jarum kenangan itu bekerja lagi,menusuk-nusuk di tempat yang sama. Jadi, dia suamimu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top