Eight; Serendepiti
Serendipiti/
Adjektiva; menemukan sesuatu yang menyenangkan saat tidak bermaksud mencarinya.
*****
Padma, ada hal-hal dan kebiasaan yang menyenangkan yang harus dihilangkan. Aku tahu ini akan terasa berat, tapi percayalah kalau semua akan terasa lebih ringan.
Oke, kata-kata Radit yang seperti itu menggema di dalam pikiran. Seperti hantu yang perlahan menelusup hingga membuat hati ini bergetar. Aku bergelut dengan batin yang meneriakkan kata pantang menyerah. Namun lagi-lagi, aku seperti tidak mempunyai nyali. Ada satu suara yang berbisik kuat kalau aku harus berhenti melakukan hobi gila ini. Apakah ini tanda-tanda untuk menuju taubat? Atau aku hanya frustrasi karena penolakan dua pria dalam sehari?
Oh ayolah, aku seperti orang yang hilang arah. Semua kegiatan yang aku lalui beberapa hari ini terasa hampa. Tidak ada bedanya dengan anak ABG yang baru mengenal cinta-cintaan.
Siang ini udara di luar begitu panas, tidak ada yang sejuk saat musim panas apalagi di daerah perkotaan. Dari lantai kantor, lebih tepatnya ruanganku, aku bisa merasakan bagaimana sinar matahari itu membakar semua benda yang ada di bawah. Dia seolah-olah melakukan tarian kemenangan di bumi yang semakin hari semakin tandus. Ah, peduli apa aku soal alam. Ada orang yang lebih kompeten dan memiliki waktu luang untuk memikirkan hal itu. Setelah berkutat dengan pekerjaan dan teman-teman yang menangani bagian produksi, aku ingin rehat sejenak. Badan ini rasanya remuk redam, dan memang benar kata orang tua zaman dulu; kalau pikiran bisa mempengaruhi kondisi tubuh. Kelakuan Bayu Aji adalah pemicu hebat terhadap mood dan tubuhku.
Blazer yang menggantung di sandaran kursi putar kukenakan sebelum keluar dari ruangan. Satu tangan memegang dompet berukuran besar; di dalamnya berisi berbagai macam senjata wanita, selain uang. Dengan santai, aku melewati kubikel-kubikel tanpa menoleh atau menyapa, aku tidak mau menjadi pembantu mereka yang sudi menerima titipan makanan di food court bawah. Sebelum mendekati pintu keluar otomatis, sayup-sayup aku mendengar Inge berbicara dengan intonasi tinggi, sontak aku menghentikan langkah dan melongokkan kepala. Dan benar saja, dia sedang marah dengan seseorang melalui telepon.
Tanganku terangkat kemudian mengetuk pintu. Hal itu sukses menyita perhatian Inge. Dia memutar tubuh, dan matanya tiba-tiba membelalak hebat. Aku tertawa lebar meski tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan, kemudian aku lambaikan tangan untuk menjauh dari ruangan Inge. Dasar wanita bodoh, dia gampang sekali tersulut. Aku yakin pasti habis ini dia akan menanyai teman-teman yang berada di luar ruangan tentang kehadiranku tadi. Bukan hanya dia, tapi semua teman sekantor risih jika aku mengetahui ranah pribadi mereka, terutama tentang hubugan mereka. Aku menyayangkan hal itu karena aku berbeda jauh dari Inge. Aku tidak pernah mengurusi urusan yang bukan urusanku. Namun, aku selalu merespons dengan cepat dan baik bila itu menyangkut pria berstatus milik orang lain.
Sudah menginjak tahun ke enam aku menjalani profesi sebagai shoes stylist. Akan tetapi, Inge adalah karyawan terlama di kantor ini. Meskipun umurnya lebih muda dariku dua tahun, dia adalah karyawan terlama di bawah naungan Bu Siska. Harus aku akui kalau aku terlambat dalam mengenyam pendidikan dan mencari pekerjaan. Di umurku yang ke 27, aku baru lulus kuliah di jurusan fashion design. Penyembuhan pasca depresi memakan banyak waktu sehingga aku baru memulai di umur 21 tahun. Pasti bisa dibayangkan berapa lama aku mengenyam bangku kuliah? Aku sadar kalau kecerdasanku menurun lima puluh persen sejak kejadian itu.
Orang yang paling berharga di dalam hidupku adalah Radit. Dia adalah teman, sahabat, orangtua, dan orang asing yang begitu peduli denganku. Kekayaan dari orangtuanya ia manfaatkan untuk membantuku. Pada saat aku bertanya untuk apa dia membantuku hingga sejauh ini, dia hanya menjawab bahwa aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia menginginkanku bangkit dan membalas semua penderitaanku dengan kesuksesan yang kuraih sendiri. Sejak aku mengetahui kalau di badan ini memiliki satu kehidupan baru, dan mengetahui kalau Aruna adalah bajingan di balik semua ini, Radit datang menolongku. Dia memberi pilihan yang sangat membantu. Aku memutuskan keluar dari rumah, berpamitan ingin bekerja dan kuliah, bahkan orangtuaku sempat berteriak histeris saat melihatku pergi begitu saja. Kepergian itu membuatku enggan untuk menginjakkan kaki di rumah masa kecil penuh kenangan itu. Bisa dibayangkan betapa berharganya Radit di dalam hidupku.
Lift yang membawaku sudah menginjakkan kakinya di lantai bawah sendiri. Tiga orang yang berada di belakang juga ikut keluar bersama denganku. Bu Siska tidak mungkin menegur jika aku tidak ada di ruangan di luar jam istirahan. Sudah kubilang sebelumnya, bahwa dia enggan berdebat denganku. Dia tidak mau muka ketatnya kendur gara-gara beradu argumen. Bu Siska lebih senang melimpahkan emosi kepada teman-teman yang bekerja di kubikel-kubikel itu. Aku dan Inge adalah tombak perusahaannya.
Bisa kurasakan rambut kuncir kuda mengayun-ayun menyentuh punggung saat kaki ini melangkah. Melewati meja resepsionis, aku menuju ke sisi kiri gedung untuk membeli minuman dan camilan. Namun, sebuah suara bas yang sudah seminggu ini tidak menghampiri gendang telinga sanggup menghentikan langkahku.
"Padma."
Tidak, jantungku tidak berhenti seperti di dalam sebuah cerita novel-di mana si pemeran utama selalu merasakan keanehan saat bertemu dengan seorang pria tampan-jantung ini merespons dengan sangat biasa. Aku menoleh kemudian mengerutkan dahi.
Dia tersenyum lebar sambil berjalan menghampiriku. "Kebetulan sekali kamu turun ke lantai bawah."
Aku masih terdiam dan tersenyum kecut. Jujur aku malas bertemu dengan orang ini karena dia berhasil menurunkan tingkat percaya diriku dengan sangat drastis.
"Nggak sibuk?" tanyanya setelah dekat denganku.
Aku mengangkat bahu sekilas. "Sedikit sibuk."
"Mau ke mana?"
Mataku melirik ke sebelah kiri, menunjuk pada tulisan food court yang terpampag dengan ukuran besar dan bercahaya terang.
"Mau makan siang?" Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. "Lalu?"
"Untuk apa kamu ke sini?"
Matanya bergulir ke kanan dan ke kiri, jemarinya memegangi kancing jas yang sudah tertutup. Aku bisa menangkap kegugupan dari tingkahnya itu. "Aku ingin ngobrol tentang sepatu pesananku."
"Kamu nggak cocok desainnya? Aku sudah mendiskusikannya dengan bagian produksi, mungkin saat ini sudah dimulai proses pembuatannya."
Kedua tangannya bergoyang kiri-kanan. "Oh enggak-enggak, nggak ada masalah soal desainnya."
"Lalu?"
"Em ... lebih enak kalau kita duduk santai dulu, gimana?"
"Kalau begitu mari ke ruanganku."
"Bagaimana kalau di sana," selanya dengan jempol yang menunjuk ke food court.
Kepala ini hanya mengangguk, tetapi pikiranku menangkap keganjilan. Bola mataku bergulir di sisi belakang secara sembunyi-sembunyi untuk mengecek keberadan asisten pribadinya. Aku kembali menatapnya penuh curiga saat menyadari keanehan ini. Tumben asisten pribadinya tidak ada di jam-jam sibuk seperti ini. Namun, aku menahan diri untuk tidak bertanya. Hati ini sudah terlanjur kecewa dengan penolakannya, jadi untuk apa menanyakan hal yang tidak begitu penting. Kami berjalan beriringan menuju food court. Setelah sampai di sana, aku mengantre pada booth yang menjual varian kue bakar dan minuman susu. Camilan ini sangat cocok dimakan di hari menjelang siang, itu bagiku yang sedang malas makan nasi. Dan Bayu, dia pergi ke booth yang sama denganku, parahnya lagi, dia memesan menu yang sama. It's ok, mungkin dia juga ingin sesuatu yang lezat siang ini.
Setelah memesan makanan dan menunggu selama beberapa menit, kami berdua membawa nampan berisi pesanan dan mengambil duduk di tengah-tengah kursi yang berjejer memenuhi ruangan food court.
Aku memakan satu potongan yang sudah dibagi menjadi beberapa bagian. "Kamu ingin nambah sepatu model apa?"
Dia meminum susu putih sebelum menjawab pertanyaanku, "Aku suka model sepatu brogue, tapi setelah kupikir-pikir ... nggak ada salahnya kalau aku punya oxford."
Oh, jadi dia ingin menambah sepatunya? But, "Kenapa nggak langsung bilang ke Bu Siska? Kenapa harus repot-repot datang ke sini.... " Aku berhenti sejenak sambil melirik ke arah pintu masuk food court, "Dan nggak sama asisten pribadimu?"
Tawa khasnya menguar. "Ayolah, kehidupan seorang pemilik department store nggak seperti di dalam sinetron. Justru orang-orang seperti kami lebih bebas dan mempunyai banyak waktu luang. Asisten pribadiku, hanya ikut di saat ada meeting, selanjutnya dia bekerja sesuai job desk-nya. Dan kali ini, aku nggak ada meeting."
Kepalaku mengangguk sambil menyuapkan kembali roti bakar. Selalu, dia selalu berbicara panjang lebar untuk menjelaskan alasannya. "Kamu ingin desain oxford yang aku buat kemarin, atau ingin model yang lainnya?"
Bola matanya bergulir ke atas. "Pakai desain yang kamu buat sebelumnya saja."
Oke, kesabaranku mulai menurun. "Kenapa kamu harus repot-repot datang ke sini hanya untuk ingin menambah koleksi sepatumu? Bukankah kamu bisa menyuruh asisten pribadimu, mungkin? Seperti saat pertama kali kamu menggunakan jasa kami." Dan aku ingin meneruskan kalimatku: sebaiknya kamu temani istrimu itu merangkai bunga dan berjalan-jalan, daripada bersusah payah datang ke tempat ini hanya untuk sebuah sepatu!
"Iya, maka dari itu aku datang ke sini untuk menemui Bu Siska."
Dan kenapa kamu mengajakku makan di food court? What the...? Calm down, Padma, calm down! Senyum itu harus terus berkembang dan sangat menyebalkan.
"Aku ingin istirahat sebentar, setelah itu kita pergi bersama-sama ke ruanganmu." Senyumnya mengembang sambil menggigit roti bakar. Gayanya seperti sedang menggodaku. Percuma, itu sama sekali tidak berpengaruh!
Kepalaku mengangguk dan mulai menyantap roti itu dengan tempo yang cepat, dan kalau bisa, piringnya aku lahap sekalian! Oh Ya Tuhan! Aku nggak suka berbasa-basi dengan orang yang telah menolakku. Secepat mungkin aku melahap roti bakar dan meminum susu untuk menyudahi kebersamaan yang menyebalkan ini. Aku tidak mau dianggap seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran, menghalalkan semua waktu hanya untuk berdua saja. Setelah semua makanan habis, aku berdiri terlebih dahulu untuk menyudahi keadaan ini.
"Mari ke lantai kami."
Aku langsung berjalan meninggalkannya tanpa menunggu jawaban apa pun darinya. Persetan dengan persepinya tentangku, yang jelas jarak di antara kami harus jelas!
"Terburu-buru sekali."
"Bu Siska ada urusan lain setelah jam makan siang, jadi lebih cepat lebih baik." Kepalaku enggan menoleh ke arahnya.
Kami sudah berada di depan lift, dan tidak lama kemudian pintu besi itu terbuka. Aku segera masuk dan disusul olehnya. Seperti sebuah kebetulan yang menyebalkan; lift ini tidak ada orang lain selain aku dan dia. Hening menyelemuti seluruh ruang berbentuk persegi ini, karena terlalu heningnya, aku bisa mendengar deru napasnya.
"Padma."
Aku langsung menoleh ke arahnya.
Dia terdiam sejenak dan menatapku intens. "Apa benar kamu pernah hamil?"
Aku mengangguk dengan penuh curiga.
"Kamu sudah pernah memeriksakan keadaan rahimmu ke dokter kandungan?"
"Untuk akhir-akhir ini belum, aku memeriksakannya waktu kontrol pasca keguguran." Aku melipat tangan dan membalas tatapannya. "Kamu ingin mengujinya?"
Dia mengalihkan pandangan ke deretan angka yang berada di bagian atas lift. "Bisakah setelah pulang kerja kamu pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa keadaannmu? Apa kamu nggak keberatan?" Aku bisa melihat jakunnya naik-turun setelah merampungkan kalimat terakhir itu.
Aku terdiam sejenak sambil menatapnya dalam diam kemudian memutar kepala ke depan untuk menyembunyikan senyum kemenangan. "Aku hanya ingin membuktikan bahwa Aruna tidak memiliki masalah tentang keturunan. Aku nggak mau kamu menyalahkan temanku tentang hal ini. Jadi ... dengan senang hati."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top