9#TheSecondLife

"Saya minta maaf karna saya tadi malam tidak tidur sebab ibu saya sakit, saya minta maaf karna terburu sampai tersenggol sebab saya sudah terlambat, saya minta maaf karna saya membuat anda menunggu lama sebab saya serasa gak bisa buka mata, saya sangat mengantuk, saya minta maaf, saya mendahulukan tuan Ale Lionard karna saya pikir kerjasama yang akan dia tawarkan lebih penting demi perusahaan ini, saya tidak tahu siapa yang menunggu saya sebelumnya dan untuk urusan apa jadi saya lebih mendahulukan yang sudah jelas, begitu maksud saya!"

Meski panjang kali lebar, Prilly masih ingat alasan yang diutarakan Amora sesaat tadi. Kenapa semuanya jadi terasa ia yang terlalu sensitif dan hanya merasa tidak dihargai?

"Pap, menurut papa apa aku bisa kerjasama dengan orang yang seperti itu?" Tanya Prilly ketika ia  berdiskusi diruangan ayahnya. 

"Seperti itu bagaimana?" Tanya Tuan Lyandraz ingin penjelasan yang lebih spesifik.

"Bersalah, tapi pandai mencari pembenaran agar kita yang seolah tak punya belas kasihan!"

Prilly teringat ibunya yang sakit yang menjadi alasan kenapa ia tidak tidur semalaman, akhirnya terlambat dan mengantuk. Seharusnya adab orang yang sayang kepada orangtua lebih bagus daripada itu.

"Bisnis tidak bisa dicampur adukkan dengan perasaan, kalau menurutmu dia memang belum layak manager dan masih harus banyak belajar, pilihannya ada 2, dipecat atau diturunkan menjadi staf biasa, kalau dia masih mau bekerja disini!" Tuan Lyandraz 'to the poin' dengan solusinya.

"Kenapa bisa-bisanya dia yang menggantikan pak Bondan? Karyawan yang lebih lama kan banyak," komplin Prilly dengan wajah yang ditekuk.

"Karna dia selama hampir 2 tahun menjadi staf dan membantu pekerjaan pak Bondan, menurut pak Bondan dia dapat diandalkan, Amora sudah tahu dan paham cara kerjanya!" Jelas tuan Lyandraz.

"Tapi sayang adabnya kurang baik, pa!" Timpal Prilly sambil menggenggam tangannya yang berada diatas meja.

Tuan Lyandraz nampak melepas kacamatanya lalu berkata dengan nada tanya,

"Ini bukan karna kamu tidak suka dia lebih exited bertemu Ali daripada kamu kan?" Tembak tuan Lyandraz.

"Papa ini!" Prilly mencelos tak terima, namun disambut tawa tuan Lyandraz.

Prilly mengusap rambut lalu menyangga dagu dengan sebelah tangannya. Papanya itu membuat bayangan Ali berkelebat.

Sebelum ia menuju ruangan ayahnya, Ali lagi-lagi pamit. Prilly tidak berusaha mencegahnya karna ia tak lupa misinya saat ini. Ia mulai belajar untuk tidak repleks atau keceplosan didepannya. Ia harus pada misi semula, jaga image, menghindari 'malaikat' pencabut nyawanya tersebut. Meski semakin ia ingin menghindari, selalu saja ada cara Tuhan untuk membuat mereka bertemu.

"Kau tunggu saja sebentar, Li, kita makan siang setelah kami selesai!" Ujar Tuan Lyandraz pada Ali. Padahal baru saja Ali membatin, kenapa Prilly tidak menahannya seperti tadi? Namun perintah tuan Lyandraz cukup membuatnya tak bisa menolak. Lagipula sebenarnya urusannya belum selesai. Ia belum membicarakan apapun sesuai dengan misi kedatangannya.

Sementara Prilly membatin, bukan dia yang menahan, ada papanya yang berinisiatif. Setidaknya papa menghargainya sebagai tamu yang belum selesai berurusan dikantor ini.

"Melamunkannya?"

Prilly tersentak mendengar pertanyaan ayahnya. Ia mulai tak profesional. Meski sikap Ali saat ini berbandimg terbalik dengan saat ia melewatinya, harusnya ia tidak gegabah membiarkan perasaannya seperti semula.

"Apaan sih Papaaa, harusnya papa mengajari aku profesional!" Protes Prilly melihat ayahnya seolah menatapnya mencari kebenaran.

"Bukan begitu, papa tidak ingin kamu stress dihari pertamamu menginjakkan kaki dikantormu sendiri!" Ujar Tuan Lyandraz menenangkan. Bagaimanapun ia paham putrinya masih harus banyak belajar tak mungkin langsung ia lepas begitu saja.

"Iya papa, aku harus banyak belajar!"

"Syukurlah kamu sekarang sudah mulai menuju kesana, mau belajar, terutama belajar mengontrol diri, karna posisimu akan berada ditengah antara pegawaimu dan klienmu!" Nasehat tuan Lyandraz.

"Itulah pa, aku akan fokus!" Lirih ucap Prilly. Ia hanya sudah menjalani hari ini hingga ia bisa mengatur strategi, ia bersyukur, apa yang ia lewati menjadi pelajaran untuk hari yang akan ia lewati ulang ini.

"Jadi bagaimana mengenai Amora?"

"Pa, sebenarnya aku ingin Amora sudah tidak bekerja lagi disini, aku tidak percaya dia, aku tidak ingin dia menikamku dari belakang, tak mau setiap melihatnya ada perasaan tidak nyaman, namun jika kesalahannya papa anggap masih bisa dimaafkan, aku bisa apa?"

Sungguh. Prilly hanya tidak ingin melihat Amora lagi berada dikantornya. Tidak ingin terjadi seperti dimasa yang sudah ia lewati, ia mencintai tapi dikhianati. Meski ia saat ini tak bisa mengubah perasaannya terhadap Ali namun setidaknya ia harus belajar untuk menerima bahwa cinta tidak harus memiliki. Namun dengan tidak ada sangkut paut dengan Amora lagi ia merasa akan lebih aman. 

"Aku pikir Amora ini hanya mencari pembenaran untuk mempertahankan posisinya saja, aku tidak bisa membayangkan jika ia terus berada disini bekerja sama denganku!" Ucap Prilly lagi.

"Sebaiknya kita makan siang saja dulu, mungkin setelah perut kita kenyang, kita dapat lebih jernih berpikir dan bisa mendapatkan  keputusan terbaik!"

Prilly setuju dengan ayahnya. Sebetulnya iapun harus banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. Bukan hanya yang terbaik untuknya, tapi terlebih untuk perusahaan.

"Pa, aku ketoilet dulu!" Pamit Prilly.

Papanya mengangguk sambil berbenah. Beliau meraih gagang telpon sepertinya meminta driver bersiap karna mereka akan keluar dari kantor.

"Sudah tahu dimana toiletnya?"

"Nanti aku tanya sama staf!"

Didepan ruangan papanya, Prilly melihat Jasmine menghampirinya begitu ia membuka pintu.

"Bagaimana?" Jasmine bertanya saat mereka sudah berjalan beriringan.

"Masih belum ada keputusan! Kita makan siang dulu, tapi aku mau ketoilet dulu Jes!" Sahut Prilly.

"Oh oke, disebelah sana!"

Jasmine menunjukkan kemana arah toilet, rupanya ia tadi sudah menggunakan fasilitas membuang isi perut itu saat menunggunya.

"Saya benar-benar blank, tidak menyangka akan seperti ini!"

Mereka menghentikan langkah saat terdengar suara sebelum mereka berbelok kelorong menuju toilet.

"Saya begitu membutuhkan pekerjaan ini, saya ini tulang punggung keluarga, itulah kenapa saya bekerja keras mencapai posisi ini diusia muda!"

Dari posisinya berdiri, Prilly hanya dapat mendengar suara. Dan ia mengenali suara itu. Amora Haneenia.

Jasmine mencondongkan badannya kedepan, sedikit mengintip agar lebih jelas siapa yang sedang mereka dengar. Dari kalimatnya memang mereka sudah tidak salah tebak suara siapa yang mereka dengar.

"Mohon bantu saya untuk meyakinkan mereka kalau saya mau belajar dari kesalahan dan dapat diandalkan!"

Tak terdengar jawaban, hingga Prilly tak dapat menebak dengan siapa Amora sedang berbicara. Dan sejujurnya memang ia sangat ingin tahu hingga ia mencondongkan badannya dan mendorong sedikit kepalanya kedepan agar dapat melihat ke lorong menuju toilet itu.

"Please, please, saya dapat melakukan apa saja untuk anda!"

Prilly melebarkan mata. Bukan hanya karna terdengar permohonan yang menurutnya sangat tidak pantas. Namun dengan siapa Amora saat ini berhadapan dengan tangan yang menggenggam. Darahnya berdesir dengan ulu hati yang tiba-tiba bagai ditendang. Sesak.

Apakah pertemuan hari ini ujung-ujungnya akan sama dengan waktu yang sudah ia lewati dihari yang sama dan tidak ada perubahan? Apakah justru hal ini  tetap akan membuat mereka melanjutkannya pertemuan hingga keluar dari gedung ini seperti yang lalu?

Prilly menekan dadanya. Lututnya seketika gemetar. Punggungnya tanpa sadar sudah tak ada jarak dengan tembok. Sebelah tangan memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.

"Ya Tuhanku!"

#####
Banjarmasin, 9 Desember 2022
03.42 wita.

Kacamata aku yang lama lensanya copot dan hilang sebelah.
Kacamata aku yang baru, patah karna ketindihan. Gak tau kronologinya kenapa bisa patah, pas aku ngetik rupanya ketiduran, begitu jam 1.25 terjaga kacamata udah ketindihan dan patah. Ya Salam. Padahal kalau ga pake kacamata baca bener-bener buram. Maklum mataku plus, bukan minus. Maaf agak pendek ya hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top