42#TheSecondLife
"Ale Lionard!"
"Hmm?"
"Aku mencintaimu!"
Sesaat Ali makin mengeratkan peluknya mendengar lisan yang baru saja ia dengar berkata, bahkan sampai membuat pori-porinya meremang akibat daun telinga yang tersentuh tutur setelah sering mengatakan tapi tidak pernah dibalas.
Meski sedari Prilly ingin memeluk ia terheran, namun Ali tidak mencoba mempertanyakan justru menikmati rasa yang membuncah didalam dadanya. Prilly sedang terguncang, Ali memberikan yang ia butuhkan, perlindungan dan dukungan darinya dengan segenap cinta dan percaya.
"Aku lebih mencintaimu!" Lirih Ali sambil membelai rambut Prilly dari puncak kepala kepunggung lalu menghirup wangi yang mengguar dari helaian lembut itu.
"Tidak, aku yang lebih mencintaimu!" Urai Prilly jelas terdengar ditelinga Ali meskipun hanya berupa bisikan.
Prilly memejamkan mata dengan dagu menaut dibahu Ali.
"Tidak ada yang lebih, kita saling mencintai dan saling membutuhkan, aku akan selalu ada untuk kamu, kamu juga akan begitu, benar?"
Ucap Ali dibalas anggukan yang terasa dibahunya. Prilly menarik dagunya dari bahu Ali lalu membenamkan kepalanya diceruk lehernya. Ali mengusap licin permukaan kulit dari tulang ke-dagunya hingga Prilly menengadah mengunci netranya. Kenyal mendarat dikeningnya membuat netra Prilly kembali merapat, ia merasakan ujung hidung Ali menyisir bertemu dengan ujung hidungnya. Ia mencoba membuka erat kelopaknya. Tatapnya mengabur karna tak berjarak hingga ia menutupnya kembali saat bingkainya disesap benda yang sama. Kemudian posisi wajah yang bersinggungan bertahan sampai beberapa detik berlalu.
"Terima Kasih percaya padaku!" Lirih ucap Prilly disela posisi itu.
"Kita saling percaya bukan?" Sahut Ali sama lirih.
Prilly mengangguk hingga ujung hidung dahi dan bibir mereka bergesekan.
"Istirahatlah, semoga cepat pulih sayang, kamu jangan khawatir ya, aku akan menemanimu!"
Ali mengubah jarak meskipun betah dengan posisi wajah tanpa jarak dan saling bersinggungan seperti itu.
"Bisakah aku istirahat dirumah saja?" Pinta Prilly mendongak dengan tatap berharap.
"Besok kita pulang, aku akan mengurusnya, kamu tenang saja, beristirahatlah dulu disini ya!"
Ali mendorong Prilly agar berbaring kembali namun Prilly justru meminta Ali duduk disampingnya kemudian ia menyandarkan kepala dibahu tegak itu.
"Istirahatlah, sayang!" Ali memiringkan kepala menyentuh ujung kepala Prilly yang bertengger dibahunya.
"Hmmm!" Prilly memejamkan matanya merasa tenang.
"Jangan tinggalkan aku, Li!"
"Ya, sayang!"
Ali mengeratkan sisipan jemarinya pada jemari Prilly yang dingin. Ibu jarinya
Menggesek genggaman mereka.
Tak lama suara nafas teratur dengan kelopak tertutup terdengar pelan.
Ali menghela nafasnya pelan, takut mengganggu Prilly yang terlihat nyaman.
-----🎶🎶🎶----
Ali meraih gawainya yang menyala diatas lemari disisi ranjang rawat.
Bang Ben calling
Ali mencoba menerima telpon masih dengan posisi sebelah tangannya menggenggam jemari Prilly.
"Ya bang Ben, masih pemulihan, setelah pulih akan saya atur, Prilly sedang syok, saya belum mengatakannya, mohon urus dulu ya bang Ben, terima kasih!" Setengah berbisik Ali berbicara agar Prilly tak terganggu. Untung saja gawainya sedang bersahabat, meski suaranya pelan bang Ben tetap mendengar. Satu hal yang belum ia katakan kepada Prilly karna keadaannya yang tidak memungkinkan. Ia segera akan dipanggil menjadi saksi atas penyelidikan kasus kematian Amora.
"Aku sudah tahu siapa yang bertanggung jawab pada kematian Amora!"
Ali terhenyak, menunduk menatap Prilly yang berkata namun dengan mata yang tertutup.
"Mimpi ya?"
Prilly menggeliat dipelukannya dan Ali menganggapnya hanya mengigau. Saking syoknya mendengar berita kematian Amora Haneenia yang meresahkan sampai terbawa kedalam mimpi.
*****
"Anda yang paling benci kepada Amora, nyonya Prilly, anda yang paling punya alasan membunuhnya, dia sudah menderita gangguan jiwa kenapa anda tega kepadanya yang sudah tidak berdaya?!" Gemeretak marah yang tertahan terdengar dari ucap menuduh.
"Lihat saja cctv, dia masih hidup saat nyonyaku pergi, tuan!" Sergah Jasmine mendengar tuduhan itu.
"Bisa saja dia membunuh bukan dengan tangannya, dia kaya, banyak pembunuh bayaran, dia datang menjenguk Amora hanya untuk membuat alibi agar tak dicurigai!" Usik Sandro lagi.
"Anda juga bisa saja membuat alibi datang sebelum kematiannya, tuan Sandro, bukankah anda mencintainya? Anda sakit hati cinta anda tak terbalas, sebab dia justru lebih suka mengejar suami orang!" Setengah memekik dengan tangan yang mengepal Jasmine tak bisa menahan dirinya terlebih apa yang sudah dilakukan Sandro sebelum ini cukup melukai perasaannya.
"Kau!!"
"Apa? Anda mau apa tuan?" Tantang Jasmine tanpa ketakutan melihat kepalan tangan Sandro. "Anda lupa demi dia anda mendekati saya? Menjadi kaki tangannya untuk memberikan informasi aktivitas tuan Ali dan nyonya Prilly sehingga dia tau semuanya dan berusaha merusak bisnis dan perasaan mereka? Jangan jauh-jauh mencari pembunuh bayaran, anda memungkinkan untuk itu!!" Lanjut Jasmine berapi seolah meluapkan seluruh emosinya.
Sandro, laki-laki pengkhianat yang sempat mematahkan hatinya tapi ia cukup kuat menahan, sebab kehilangan orangtuanya karna kecelakaan lebih luka dari hanya sekedar seorang pria yang dicintainya tak seberapa lama.
Baginya untung saja saat itu belang Sandro ketahuan lebih awal. Dia bukan seorang budak cinta. Kemandirian dan ketegarannya dipertaruhkan. Mendengar orang yang selama ini dekat dengannya, mencintai orang lain hanya membuatnya patah hati sesaat. Nasib baik belum mendalam. Lagipula Sandro tidak punya kontribusi apa-apa dalam hidupnya seperti keluarga Lyandraz. Dia akan lebih membela Prilly daripada harus Bucin dan gila seperti Amora. Memangnya tidak ada laki-laki lain didunia ini? Yang kaya, yang tampan, dan bersahaja banyak, hanya Tuhan saja yang belum mempertemukan. Jadi tak ada ambisi dan obsesi untuk memiliki berlebihan.
"Jes, sudah!"
Ali menghentikan perdebatan antara Jasmine dan Sandro. Saat ini ada hal yang lebih penting daripada melayani tuduhan Sandro. Mereka datang mendampingi Prilly memenuhi panggilan kekantor polisi sebagai saksi atas kematian Amora. Sandropun datang kesana sebagai saksi karna dari keterangan pihak rumah sakit, yang mengunjungi Amora sebelum ditemukan tidak bernyawa adalah mereka.
"Sebaiknya jelaskan didepan penyidik saja apa yang ada dibenak kalian!" Sahut bang Ben yang juga ikut mendampingi.
Prilly justru hanya bungkam tanpa sepatah katapun mendengar perdebatan itu. Ia cukup kuat karna Ali mendukung dan percaya padanya. Tangannya yang digenggam Ali sebenarnya begitu dingin. Bukan karna takut karna bersalah. Sebab ia yakin tidak bersalah. Didampingi orang-orang terdekat yang bisa dikatakan mengetahui aktivitasnya sehari-hari ditambah dengan pengacara yang disegani sudah cukup membuatnya tenang. Nyalinya tak menciut meskipun Sandro sudah berusaha menjatuhkan mentalnya.
Mereka dipersilahkan memasuki sebuah ruangan dan diminta menunggu untuk penyidikan.
"Selamat siang!"
Seseorang datang membuat Prilly tersenyum. Pak Bondan. Prilly sengaja mengundang beliau datang untuk membantu menjelaskan bagaimana keadaan Amora saat ia dan Ali meminta mengurus wanita yang semasa hidupnya sangat meresahkan itu.
"Tuan Li, Nyonya Li!"
Pak Bondan menjabat tangan Ali dan Prilly kemudian Jasmine dan bang Ben.
"Terima Kasih sudah datang, pak Bondan!" Ucap Prilly.
"Sudah menjadi kewajiban saya kepada nyonya Prilly, bagaimanapun juga saya sudah lama mengabdi, Lyandraz Corp sudah banyak membantu mewujudkan mimpi saya dan keluarga, dari memiliki rumah hingga kendaraan pribadi, " tutur Pak Bondan.
"Saya meminta pak Bondan datang selain karna Amora pernah dalam pengawasan bapak, ada yang ingin saya sampaikan kepada bapak!" Kata Prilly lagi.
"Iya nyonya!" Angguk pak Bondan.
"Saya ingin menyampaikan pesan Amora, saat terakhir saya mengunjunginya!"
"Amora sesungguhnya sudah seperti putri saya, kasian kenapa sampai harus berakhir tragis begini?" Sesal pak Bondan sambil menggeleng. Prilly tersenyum.
"Tentu, bapak sedekat bagai jari manis dan kelingking, bapak yang membantu saya mengurus Amora waktu itu walaupun pada akhirnya saya tetap disiram ditempat umum!" Prilly sedikit terkekeh. Suaranya samar getir terdengar.
"Maafkan saya nyonya, waktu itu seharusnya tidak terjadi, padahal saya sudah mengajaknya konsultasi ke psikiater, ia nampak tenang, saya pikir dia mulai membaik hingga lepas dari pengawasan saya," sahut pak Bondan.
"Ada pengawasnya yang lain, pak, apa bapak tahu?" Prilly memandang kearah sandro diikuti pak Bondan.
Tentu Bondan mengenal Sandro karna pernah bekerja ditempat yang sama tapi mereka beda departemen di Lyandraz corp. Dalam pandangan Prilly wajah Sandro yang keras memerah. Merah karna marah atau karna malu Prilly tak peduli.
"Jangan berusaha membalik fakta nyonya Prilly, anda ingin mengadu domba saya dengan pak Bondan?" Sandro menyahut membuat pak Bondan menatap padanya dengan tatap yang sulit diartikan.
"Bisakah anda tenang, bung?" Ujar pak Bondan membuat Sandro hanya mendengus namun patuh kemudian diam.
"Dia menyebut-nyebut nama pak Bondan, dia bilang anaknya akan jadi pewaris keluarga Lionard, tidak mungkin menjadi pewaris pak Bondan yang tidak kaya dari Lionard, saya heran kira-kira apa ya pak maksudnya?" Tanya Prilly menumpahkan keheranannya.
Pak Bondan terlihat terhenyak.
"Maksudnya bagaimana nyonya?"
"Kenapa Amora membandingkan suami saya dengan anda ya pak? Apa hubungannya dengan bapak? Amora memang meresahkan, dia bilang untuk menjadi manager menggantikan bapak ia harus membayar mahal, bayarnya dengan tubuhnya katanya!"
"BOHONG! Dia yang merayu saya dan memaksa membayar dengan tubuhnya! Wanita laknat, perusak rumah tangga saya, memang layak diMUSNAHKAN!!"
#####
Banjarmasin, 8 Februari 2023
23.59 wita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top