PART. 5 - HAPPINESS IS BEING WITH YOU
Irina masih merasakan sensasi asing yang bergejolak dalam dada, saat bibirnya dilumat dengan keras, atau hisapan yang begitu kuat dilakukan. Juga, sensasi aneh ketika rongga mulutnya dimasuki liukan lidah yang bergerak lincah di dalamnya.
Sungguh. Ini adalah pengalaman pertama yang membuat Irina tidak sanggup melakukan apa pun, selain bergeming dengan pikiran yang masih berkelana tentang ciuman yang terjadi sekitar sejam yang lalu. Ya Lord, apakah ini diperbolehkan? pikirnya. Berciuman dengan orang yang sudah seperti keluarga sudah terasa salah, apalagi menjadikannya sebagai orang pertama yang memberikan pengalaman dalam berciuman.
Menarik napas untuk kesekian kali, Irina berharap jika ciuman itu hanyalah sebuah mimpi, tapi terlalu nyata untuk dijadikan sebuah halusinasi di senja hari.
"Jadi, hari ini kau resmi menjadi pendiam, terlebih sudah mendapat ciuman dariku? Jika hal itu memang berdampak luar biasa, harusnya sudah kulakukan sejak awal," celetuk Brant.
Menoleh ke samping, Irina mendengus saat melihat Brant sedang menatapnya dengan satu alis terangkat, tampak begitu usil dan terlihat puas.
"Jangan berlebihan. Itu hanya sebuah ciuman dan tidak usah menatap dengan wajah merona seperti itu," tambah Brant yang membuat Irina menjadi kesal.
"Uncle!" seru Irina sambil memukul bahu Brant dengan kencang.
Brant berdecak. "Kenapa kau memukulku?"
"Kau seenaknya berbicara dan tidak meminta maaf padaku! Bagaimanapun, aku adalah seorang wanita dan berada di posisi paling dirugikan soal cium mencium ini!" desis Irina.
Kening Brant mengerut bingung. "Ciuman tadi bukanlah pemaksaan. Kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Kau membalasku, ingat? Bahkan, kau mendesah dan..."
"Kyaaa, hentikan! Aku tidak mendesah," seru Irina sambil menutup telinga dengan wajah yang sudah memanas.
Demi apapun, Irina merasa sangat malu dan tidak mampu berkutik dengan suasana seperti ini. Menundukkan kepala sambil memejamkan mata, Irina terus mengingatkan diri untuk tetap tenang dan tidak gegabah. Dia yakin jika dirinya tidak mendesah, selain ber-hm ria saat adegan bertukar lidah.
Ish, itu namanya mendesah, bodoh! rutuk Irina dalam hati.
Tersentak kaget, Irina merasakan Brant menggenggam satu tangannya, lalu menoleh dan mendapati Brant sedang menatapnya dengan sorot mata tajam.
"Kau sudah sesumbar ingin setara denganku dan mencalonkan diri sebagai istriku. Itu hanya sebuah ciuman dan kau sudah seheboh ini. Aku tidak bisa membayangkan jika kita melakukan sesuatu yang lebih daripada itu. Bisa jadi, kau akan pingsan," ucap Brant serius.
"M-Melakukan sesuatu lebih dari itu? A-Apa maksudmu?" tanya Irina gugup.
Sambil menyeringai licik, Brant mendekat dan mengarahkan bibirnya ke telinga Irina untuk berbisik. "Mengisap atau menyentuh seluruh tubuhmu, sampai kau memintaku untuk jangan berhenti."
Mata Irina melebar kaget dan spontan beringsut menjauh, tapi dua tangan Brant lebih dulu menahan tubuhnya agar tetap berdekatan. Entah kenapa saat ini, Irina merasa dipermainkan oleh lelaki tua itu. Seharusnya, dia tidak perlu takut dan menguasai diri untuk tetap menjaga sikap. Tidak menjadi konyol dan kekanakan seperti ini.
"Jangan mempermainkanku, Uncle," ucap Irina dengan suara gemetar.
"Apa aku terlihat sedang bermain-main di sini?" balas Brant sinis. "Kau yang memulai lebih dulu, ingat? Jika kau sudah memulai, maka kau harus menyelesaikannya."
"M-Menyelesaikan apa?"
Mengadu kesakitan, Irina mengusap keningnya karena Brant mendaratkan sebuah sentilan di sana. Ugh, itu sakit sekali, keluh Irina.
"Pandu jalanmu dengan benar! Sedaritadi, kita hanya berjalan tanpa tujuan dengan dirimu yang terus melamun. Lihat sekelilingmu, dimana kita berada?" sewot Brant sambil menjauh dan mendengus kesal.
Mengerjap bingung, Irina memandang sekitar dengan penuh penilaian. Berada di taman belakang yang ada di Istana Presiden Tampak Siring, disitulah Irina berdiri. Tidak ada pemandangan apa pun yang bisa dilihat dari situ, pantas saja Brant terlihat kesal.
"M-Maafkan aku," gumam Irina sambil menyusul Brant yang sudah berjalan mendahuluinya.
Entah dirinya sedang berhalusinasi atau memang terlihat seperti itu, Brant tampak terkekeh geli saat sudah menyeimbangkan langkah. Pria itu tampak menahan tawa sambil memegang perut, dan berjalan lebih cepat untuk menghindari tatapan Irina. Membuat senyuman Irina mengembang begitu saja melihat hal yang langka seperti itu.
Dia berlari kecil untuk menghampiri Brant dan memeluk lengan besarnya dengan erat, sambil memamerkan cengiran lebar saat pria itu menunduk untuk menatapnya. "Ayo, kita ke sumber mata air yang ada di sini. Banyak turis asing menyukai pemandian ini untuk menyucikan diri."
Saat mereka tiba di gerbang utama, tiba-tiba langkah Brant terhenti. Irina menoleh dan melihat Brant tampak mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah salep. Irina merasakan debaran yang begitu kencang dalam dada saat pria itu mengoleskan salep itu di keningnya.
Perasaannya mengembang saat mendapati perhatian Brant yang dinilainya sangat manis. Dari sikap dingin pria itu, terdapat kelembutan dan kehangatan yang sudah diyakini sejak lama oleh Irina, bahwa pria itu adalah orang yang sangat baik.
"Terima kasih, Uncle," ucap Irina tulus.
"Aku minta maaf karena sudah menyentil keningmu. Itu kulakukan agar kau kembali menapak di bumi dan tidak melayang dalam pikiranmu yang sempit itu," ucapnya datar sambil memasukkan salep itu ke dalam ransel. "Nikmati masa muda, cari pengalaman hidup sebanyak-banyaknya."
"Aku sudah menikmati masa mudaku saat bersamamu seperti ini, Uncle. Bahagia, itu yang kurasakan. Bahkan, lebih dari itu," balas Irina sambil tersenyum lebar.
Brant tampak tertegun, meski ekspresi wajahnya tidak memberi respon yang berarti. Bagi Irina, seperti itu saja sudah cukup. Bersyukur adalah cara Irina untuk menikmati hari ini, tanpa perlu memikirkan esok yang belum pasti.
"Kau adalah anak muda yang cukup gila rupanya," komentar Brant datar.
Irina terkekeh sambil mengajak Brant untuk menuju ke loket pembelian tiket masuk. Sebelum masuk, terdapat pondok kecil dimana terdapat tumpukan kain-kain yang diwajibkan untuk dipakai oleh pengunjung. Irina mengambil dua buah kain, satu untuknya, dan satu untuk Brant.
"Untuk apa kau memakaikan ini padaku?" tanya Brant ketus.
"Kau harus memakai kain ini untuk bisa masuk ke dalam. Di dalam sana, dipercaya adalah tempat yang sakral dan tidak bisa masuk sembarangan tanpa persiapan. Lihat sekitarmu, semua memakai kain yang sama," jawab Irina sambil melilitkan kain ke pinggang Brant dengan terlatih, seolah hal itu sudah biasa dilakukannya.
Setelah urusan memakai kain selesai, Irina mengikat rambut panjangnya dalam satu ikatan sederhana.
"Kenapa kau mengikat rambutmu?" tanya Brant sambil memperhatikan Irina.
"Satu hal lagi, para wanita diwajibkan untuk mengikat rambut jika ingin masuk ke dalam sana," jawab Irina ceria.
"Kenapa begitu?" tanya Brant heran.
"Bagi masyarakat Hindu, wanita dengan rambut tergerai dipandang sebagai simbol kemarahan, kebencian, dan dendam. Itulah sebabnya, wanita tidak diperbolehkan menggerai rambut jika ingin masuk ke dalam Tirta Empul. Siapa pun yang datang ke rumah Tuhan, harus penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Kau bisa melihat tanda peringatan yang ada di sana," ucap Irina sambil menunjuk papan peringatan berwarna hijau.
Hanya mengangguk, Brant pun tidak lagi bertanya selain mengikuti Irina menaiki anak tangga untuk masuk ke dalam Pura itu. Pemandangan pertama yang dilihat mereka adalah antrian untuk masuk ke dalam pemandian, membuat Irina spontan menoleh pada Brant yang terlihat tidak berminat.
Selama berada di sana, Brant sibuk memotret dan terlihat begitu menikmati pemandangan yang berada di sekelilingnya. Irina mengikuti kemana pun Brant pergi, tidak bertanya atau mengusik ketenangannya selain berjalan di sisinya dalam diam.
Melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul enam sore, Irina segera bertanya. "Apa kau masih ingin berkeliling lagi, Uncle?"
Brant menggeleng. "Sudah cukup untuk hari ini. Bagaimana jika kita mencari makan malam?"
"Apa yang kau inginkan? Aku akan membuatnya untukmu," balas Irina.
"Tidak perlu repot-repot. Kita bisa mengunjungi salah satu restoran yang berada di sekitar sini," tolak Brant cepat.
Melihat ekspresi Irina yang sedih karena penolakan barusan, Brant buru-buru menambahkan. "Aku berencana untuk mengambil waktu selama seminggu untuk berlibur di sini, Irina. Kau masih memiliki banyak waktu untuk membuatkan makanan untukku."
Ekspresi sedih langsung berubah menjadi tidak percaya, Irina bahkan hampir menjerit karena terlalu senang. "Baiklah, Uncle! Aku akan membawamu ke restoran yang menyajikan makanan lezat."
Brant mengangguk dan melepas kain yang membelit pinggang saat sudah keluar dari area Pura.
"Jadi, apa rencanamu untuk besok, Uncle?" tanya Irina antusias, setelah mereka sudah berada di dalam mobil.
Brant tidak langsung menjawab. Dia menyalakan mesin mobil dan memakai sabuk pengaman, tampak berpikir sejenak.
"Kudengar, Nusa Penida adalah tempat yang layak untuk dikunjungi jika kau berada di sini," ucap Brant kemudian.
"Bukan hanya layak, tapi wajib! Nusa Penida sangat indah dan memiliki pemandangan yang begitu Instagramworthy! Selain foto, kau bisa diving di sana," seru Irina senang.
"Baiklah, aku ingin ke sana," putus Brant sambil melajukan kemudi.
"Aku akan menyewa boat untuk kita menyebrang ke sana," sahut Irina.
Kening Brant berkerut sambil menoleh pada Irina. "Aku tidak bilang pergi bersamamu."
"Seperti yang kau katakan bahwa aku harus menyelesaikan sesuatu yang sudah kumulai dari awal, Uncle. Aku akan memandu kemana pun kau pergi, dan memastikan dirimu menikmati semua keindahan yang ada di sini," ucap Irina dengan penuh penekanan.
Tentu saja, itu hanya sebuah alasan, karena Irina tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama dengan orang favoritnya. Terlebih lagi jika bisa melihat pria itu selama seminggu, karena biasanya pria itu hanya menetap tidak sampai satu jam jika berada di Bali.
"Irina, sepertinya kau belum paham," gumam Brant seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Bagian mananya aku tidak paham? Apa maksudmu tentang kau yang tidak bisa menahan diri saat aku sedang berusaha menjadi setara denganmu? Atau tentang kau yang akan mengisap dan menyentuhku hingga aku tidak ingin kau berhenti seperti ucapanmu tadi?" tanya Irina dengan lugu.
Sepertinya ucapan Irina membuat Brant tidak senang, karena pria itu mengusap wajah dengan kasar dan tidak membalas ucapannya lagi.
"Lihat, kau kembali marah. Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku saat bisa bersamamu seperti ini. Aku sangat bahagia. Sungguh," ucap Irina cemberut.
Brant masih bergeming dan tidak memberi respon berarti selain mengabaikan, hingga membuat Irina merasa kesal. Dalam benaknya saat ini, dia sudah berencana untuk bangun lebih awal untuk menghalangi langkah Brant nantinya.
"Apa kau pernah berpacaran, Irina?" tanya Brant tiba-tiba.
Irina menoleh dan menggeleng. "Tidak."
"Dekat dengan lawan jenis, misalnya?" tanya Brant lagi dan Irina kembali menggeleng.
"Kenapa begitu? Tidak ada yang mendekatimu?" tanya Brant heran.
"Sepertinya banyak, tapi aku tidak mau," jawab Irina jujur.
"Kenapa?"
"Karena aku hanya ingin dimiliki olehmu, Uncle. Aku ingin menemani dan mengikuti kemana pun dirimu pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu, itu adalah janjiku. Meskipun, aku tidak ingat kapan hal itu kukatakan padamu, tapi aku sangat yakin akan hal itu."
Laju mobil tiba-tiba terhenti, kini Brant sepenuhnya menatap Irina dengan tajam. "Kau tidak ingin berpacaran karena... menungguku?"
Irina mengangguk tanpa ragu. "Aku tidak menginginkan siapa pun kecuali dirimu, Uncle. Selama ini, teman baikku hanya Ruby seorang."
Jawaban Irina membuat tatapan Brant kian menajam, membuat Irina spontan memutus tatapan mereka, dengan menundukkan kepala sambil menahan napas.
"Jadi, kau adalah milikku, ya?" tanya Brant.
Irina mengangguk tanpa berani untuk menoleh padanya, sebab degup jantungnya semakin memburu kencang. Rasanya berbeda ketika berhadapan dengan Brant saat ini, tidak sama seperti sebelumnya.
"Kuharap kau bisa bertanggung jawab atas ucapanmu, Irina. Karena setiap ucapan adalah sebuah janji dan harus kau tepati," tambah Brant santai.
Merasa tersinggung, Irina spontan menoleh dan menatap Brant tidak suka. "Aku selalu memegang ucapanku."
"Baiklah, aku cukup senang mendengarnya. Jadi, apa kau ingin menemaniku pergi berlibur?"
Irina langsung memekik girang dan memeluk lengan Brant dengan erat. "Tentu saja, Uncle!"
Tersenyum miring, Brant mengusap kepala Irina sambil menatapnya tajam. "Jangan lupa siapkan beberapa pakaian karena aku ingin bermalam di sana, demi menikmati semua keindahan yang kau ceritakan tadi. Bersamamu."
"Tentu saja. Aku akan mempersiapkan semuanya untukmu, Uncle! Berapa malam kau ingin menginap? Semalam? Dua malam? Atau tiga malam? Terserah, aku ikut denganmu," seru Irina antusias, tanpa menyadari apa yang dimaksud Brant darinya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Republished : Oct 3rd, 2020. (21.36 PM)
Sehubungan dengan naskah lama ini yang ternyata terlalu banyak dan panjang, jadi aku putuskan untuk nggak bisa update sampe komplit dalam satu hari.
Satu part terdiri dari 3500+ kata, bahkan ada yang sampe 5000-an. 😭
Berantakan dan perlu banget diberesin. Jadi, kuharap kalian maklum dan bersabar lebih banyak.
Niat udah ada, tinggal ditindaklanjuti. Pokoknya, tenang aja, aku akan repub sampe komplit. Nggak tipu2.
Nggak ada penambahan, pengurangan, atau perubahan alur, tapi kudu dirapihin yang makan banyak waktu.
Aku udah seharian pegang laptop dan baru bisa beresin prolog + 5 part. 😢
So, sorry not sorry, Genks.
I republish to be better, not to be the way before.
I purple you 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top