PART. 4 - THE FIRST TIME IN EVERYTHING.
"Tunggu sebentar, Uncle. Aku hanya perlu menyuruh Nana dan Josi untuk menjaga toko hari ini," ucap Irina riang sambil berlari dan memasuki toko roti itu.
Brant menatap tanpa ekspresi pada Irina yang berlari sambil melambaikan tangan padanya.
Setelah mengenalkan Brant pada lima anak yang tinggal di rumah depan, Irina membuatnya pusing kepala dengan harus kembali menunggu untuk mampir ke toko roti.
Meminta Irina menjadi tour guide sudah membuatnya cukup menyesal. Lagi pula, sejak kapan dirinya membutuhkan leader untuk mengarahkan jalan? Apa fungsi dari mobil pribadi yang sudah terpasang navigator? Ini sudah salah langkah, pikir Brant.
Dengan tenang, Brant berjalan memasuki toko itu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk menilai. Ada dua meja bulat dengan masing-masing memiliki dua kursi di sisi kanan, lalu terdapat etalase dengan berbagai macam pilihan roti di sisi yang lain. Beberapa pelanggan terlihat sedang memilih roti di sana.
Seorang kasir tampak tersenyum ramah melihat kedatangannya. Di samping meja kasir, terdapat pintu yang terbuka sedikit dengan sosok Irina yang terlihat dari celah pintu itu. Tampak dirinya sedang berbicara dengan siapa pun yang berada di balik pintu.
Mengangkat pandangan, Brant melihat beberapa kamera pengawas terpasang di sudut ruang. Memperhatikan sekeliling dengan seksama, lalu kemudian duduk di salah satu kursi sambil mengawasi kegiatan yang berlangsung di toko itu.
Tak lama kemudian, Irina keluar dan tersenyum lebar saat sudah bisa melihat Brant. Alis Brant terangkat melihat keceriaan Irina yang dinilainya tidak masuk akal. Lagi-lagi, perbincangan soal tadi pagi teringat dengan topik obrolan yang konyol. Menjadi calon istri, Heck! Brant mencibir dalam hati dan menilai Irina terlalu naif.
Juga, Brant tidak mengerti tentang Irina yang seolah tidak segan atau takut padanya, seperti lima anak lainnya saat melihat sosoknya. Sebab, Brant sadar diri jika dirinya jauh dari kata ramah.
"Apa kau ingin mencoba roti buatanku, Uncle?" tanya Irina riang.
Brant mengangguk. "Bungkus saja beberapa macam yang menjadi pilihan favorit dari pembelimu. Aku akan membayarnya."
"No! Kau tidak usah membayar. Toko ini dibuka berkat uang jajan darimu, yang artinya adalah milikmu juga. Aku hanya menjalankan saja," balas Irina.
Mengambil sebuah nampan dan alat pencapit, Irina segera mengambil beberapa roti sambil bersenda gurau dengan para pelanggan yang lain. Setelah itu, Irina kembali dengan membawa sekantung roti.
"Ayo kita berangkat," seru Irina sambil menarik Brant agar beranjak berdiri.
Kening Brant berkerut saat Irina menggenggam tangannya dengan erat, dan berjalan berdampingan menuju ke pintu tanpa beban. Tidak nyaman dengan kedekatan ini, Brant spontan melepas genggaman itu dan membuat Irina menoleh dengan kaget.
"Aku bukan orang tua yang jika berjalan harus digandeng seperti ini, dan kau bukan anak kecil yang harus kutuntun," ucap Brant ketus, lalu melangkah lebih cepat untuk mendahului Irina.
Mengabaikan Irina yang berseru memanggil, Brant berjalan menuju ke mobilnya sambil merutuk dalam hati. Merasa bersalah dengan sikap sinisnya tadi. Membuka pintu mobil, Brant duduk di bangku kemudi, diikuti Irina yang duduk di samping.
"Kau selalu saja menjadi pemarah," gerutu Irina.
"Jadi, apa rekomendasi pertamamu untuk menikmati kota ini?" tanya Brant sambil menyalakan kemudi, mengabaikan gerutuan Irina barusan.
"Kita bisa ke Tegalalang Rice Terrace. Setengah jam dari sini," jawab Irina sambil mengetik di ponsel dan mengirimkan titik lokasi pada navigator yang terpasang di dashboard.
Brant pun segera melajukan kemudi, mengikuti arahan dari suara navigator.
Tidak ada obrolan selama perjalanan. Brant pun tidak berniat untuk memulai pembicaraan, tapi merasa tidak nyaman dengan suasana canggung seperti ini. Sementara itu, Irina menatap ke luar jendela. Tiba-tiba saja menjadi pendiam, hingga akhirnya Brant tidak tahan untuk berdiam diri karena perjalanan itu terasa begitu lama dan panjang.
"Kenapa kau diam saja?" tanya Brant kemudian.
Irina menoleh dan menatap selama beberapa saat. Melirik singkat, Brant kembali mengarahkan pandangan ke depan dengan degup jantung yang bergemuruh tidak wajar.
"Aku tidak ingin terlalu banyak bicara karena takut kau akan marah, Uncle. Kupikir dengan menjadi diam, maka kau akan lebih nyaman dan senang," jawab Irina.
Itu memang benar dan Brant memang tidak menyukai orang bermulut besar. Tapi saat ini, hal itu terasa salah saat Irina yang menjadi pendiam dan justru membuatnya geram.
"Tidak perlu sampai diam seperti ini. Aku tidak suka," tegur Brant ketus.
"Jadi, apa yang kau suka, Uncle?" tanya Irina sambil mengubah posisi duduk untuk bisa menatap Brant lebih seksama.
"Aku..." Lidahnya mendadak kelu karena Brant tidak tahu apa yang ingin dijawabnya.
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Tidak ada lanjutan dari ucapannya. Irina hanya menghela napas dan kembali menatap ke luar jendela.
"Kau lebih suka ketenangan. Aku tahu itu. Jadi, lebih baik aku diam dan kau menyetir. Aku akan berbicara saat tiba dan mengenalkan keindahan alam yang akan kita lihat nanti," ucap Irina kemudian.
Shit! Ucapan Irina justru membuat Brant semakin mendengus tidak suka. Ada rasa tidak nyaman melihat ekspresi sedih dan tampak tidak bersemangat dari Irina saat ini.
"Apa kau... cukup bahagia tinggal di sini?" tanya Brant ragu, mencoba memulai pembicaraan.
"Kehidupanku cukup memyenangkan, namun aku tidak suka jika hari sudah berganti malam," jawab Irina spontan.
"Maksudmu?" tanya Brant heran.
"Jika berada di tengah-tengah keramaian, aku merasa bahagia dan bebas. Tapi jika sudah malam, aku akan merasa sendirian dan memang seperti itu," jawabnya lagi.
"Karena mimpi buruk yang kau ceritakan semalam?" tanya Brant lagi.
"Ya, karena itu. Aku tidak akan bisa tidur jika mimpi buruk itu kembali membayangiku, Uncle. Herannya, saat aku melihatmu dan tahu kau ada bersamaku, aku bisa tidur dengan nyenyak hingga bangun kesiangan. Kau tahu apa artinya?"
Brant menggeleng sebagai jawaban.
"Kau adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Kau penyelamatku, Uncle. Aku merasa begitu damai dan tenang saat melihatmu. Bahkan, aku sangat bahagia saat bersamamu seperti ini," ucap Irina hangat.
Menoleh pada Irina saat lampu merah menyala, Brant bisa melihat ketulusan dan kejujuran dari sorot matanya. Irina memang terlihat seperti apa yang diucapkannya.
Tanpa sadar, Brant menangkup satu tangan Irina dan mengenggamnya erat. "Kau tidak akan sendirian, Irina. Saat ini, kau bersamaku dan tidak ada hal yang bisa mengambil kebahagiaanmu selama aku ada di sisimu."
Irina tersenyum. "Aku tahu."
Deg! Seolah baru tersadar dengan apa yang dilakukannya, Brant langsung menarik tangannya dan membuang tatapan ke depan sambil berdeham. Hilang akal, juga terasa semakin salah, perasaannya semakin tak menentu.
Sisa perjalanan itu membuat keduanya terdiam. Tidak ada pembicaraan lagi selain suara navigator yang mengarahkan jalan. Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka tiba di Tegalalang Rice Terrace, Ubud, yang tampak asri dengan pemandangan hijau yang menyegarkan.
Setelah memarkirkan mobil, keduanya segera keluar dan berjalan berdampingan untuk menuju ke lokasi. Irina memimpin jalan untuk menuruni anak tangga yang berada di dekat bibir jalan raya. Dari atas jalan raya, Brant sudah bisa melihat terasering terbentang indah di bawah sana. Udara sejuk yang berhembus di sore hari memberi kesegaran dan Brant cukup menikmati.
"Tempat ini sering dikunjungi para turis pecinta alam. Kau bisa berfoto di titik ini untuk mendapat gambar terbaik, atau kau bisa turun lebih ke bawah untuk mendapat angle yang jauh lebih baik," ujar Irina menjelaskan sambil menunjuk ke kiri, lalu ke kanan.
Diam-diam, Brant tersenyum tipis mendengar bagaimana Irina menjelaskan tempat itu layaknya seorang tour leader. Well.. sepertinya wanita muda itu sangat totalitas dalam menjalani perannya untuk mengenalkan sebuah tempat wisata, padahal tanpa dijelaskan, Brant sudah tahu dimana letak keindahan alam itu.
Pemandangan terasering itu cukup indah dengan lapisan-lapisannya yang sangat miring. Brant pun tidak henti-hentinya mengambil gambar lewat kamera yang dibawanya, dan menyukai udara sejuk yang berhembus di sore hari itu.
"Uncle."
Terdengar suara Irina memanggil dan Brant spontan menoleh padanya. "Yeah?"
Irina tersenyum sambil menatapnya penuh arti. "Aku baru sadar kalau kau terlihat lebih muda dengan kameramu."
Memutar bola mata karena jengah, Brant membuang pandangan ke arah lain sambil melanjutkan kegiatan memotret seolah tidak mendengar apa-apa barusan. Dia mengabaikan Irina yang sepertinya terus memperhatikannya.
"Aku akan ke bawah sana untuk duduk, sementara kau bisa melanjutkan aktifitasmu, Uncle," ujar Irina kemudian.
Brant langsung menoleh dan melihat Irina sudah berjalan menjauh darinya, menuruni anak tangga menuju ke sebuah pondok kecil yang ada di sana. Dia memperhatikan Irina selama beberapa saat, atau sampai wanita muda itu tiba di pondok.
Irina menatap ke arah terasering dengan sorot mata sayu. Brant berpikir apakah dia sudah menyakiti wanita muda itu? Sepertinya dia memang terlalu menarik diri dan bersikap sinis pada wanita muda yang berusaha akrab padanya. Tapi, sejujurnya Brant memang tidak bisa bersikap ramah ataupun melunak kepada siapa pun.
Kelamnya masa lalu membuat dirinya menjadi begitu keras dan tidak berperasaan. Dia tidak merasa harus menyenangi orang lain atau tersinggung dengan penilaian orang lain padanya. Seperti itu.
Sedangkan, Irina yang berusaha mendekatinya dengan keramahan dan keceriaan yang polos, seakan memberi satu ancaman untuk dirinya sendiri. Entahlah. Brant heran dengan dirinya yang sudah terlalu banyak berkompromi saat ini.
Brant menyusul Irina ke pondok dan duduk di sampingnya. Sepasang mata hijau yang cantik itu menatapnya senang. "Kau sudah selesai?"
Brant mengangguk saja. "Mana rotimu? Aku ingin makan."
Segera mengeluarkan sebuah roti dari kantung, Irina mengulurkannya dengan antusias. "Cobalah, Uncle. Aku yang membuat resep Salted Egg Croissant dan menjadikannya sebagai produk dengan penjualan terbaik."
Brant membuka dan menikmati makanan itu dalam diam. Mengunyah tanpa ekspresi karena baginya semua makanan beragi sama saja, meski Croissan itu memang lembut dan harum. Rasanya enak dan pas. Bukan pecinta roti atau pastry, tapi Brant sudah menjadikan croissant itu sebagai yang terlezat.
"Enak?" tanya Irina penuh harap.
Brant mengangguk. "Enak."
"Mau lagi?"
"Boleh."
Brant kembali menerima Croissant dari Irina dan menikmatinya lagi. Suasana di sekelilingnya begitu menenangkan, setelah sekian lama, Brant tidak merasakan ketenangan seperti ini.
Kesehariannya adalah berkutat dari satu misi ke misi yang lain. Mengikuti alur, menjalani perintah, dan terjun lapangan. Tidak ada yang berbeda, semua sama saja.
"Uncle, apa kau sudah mempunyai kekasih?" tanya Irina.
Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya dan spontan menoleh pada Irina yang sedang menatapnya dengan serius.
"Tidak," jawab Brant.
"Apa kau masih mempunyai keluarga selain diriku?" tanya Irina lagi.
Kening Brant berkerut sambil memperhatikan Irina. Sudah lama, Brant tidak memiliki siapa-siapa dan Irina bukanlah keluarganya. Selain para petinggi dan teman seprofesi dalam Eagle Eye, Brant tidak memiliki hubungan apapun dan dengan siapapun.
"Bukan urusanmu," jawab Brant akhirnya.
Irina tersenyum getir. "Tentu saja itu urusanku, sebab kau adalah keluargaku. Uncle kesayanganku. Satu-satunya penyelamat hidup ketika aku merasa sendirian. Tapi, aku merasa kita seperti orang asing, kenapa bisa begitu?"
Karena memang seperti itu, jawab Brant dalam hati.
Brant mengedarkan pandangan ke sekeliling tanpa perlu merasa harus membalas ucapan Irina. Obrolan seperti ini selalu dihindarinya, karena setiap kali dia bertemu dengan Irina, setiap kali itulah Irina menanyakan hal yang sama.
"Bagaimana jika satu hari nanti saat kau kembali dan aku tidak ada di rumahmu lagi, Uncle?" tanya Irina lirih.
Deg! Brant kembali menoleh dan menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"
"Aku berpikir untuk hidup mandiri. Aku ingin keluar dari rumahmu, dan menjalani kehidupanku sendiri. Tapi, aku tidak bisa pergi begitu saja karena aku harus meminta izin darimu," jawab Irina menjelaskan.
"Hidup mandiri bukan berarti kau harus keluar dari rumah itu. Rumahku kosong dan kau bisa menempatinya kapan pun kau mau," balas Brant langsung.
"Justru, karena tinggal di tempatmu, itu membuatku merasa terlalu mengandalkanmu," sahut Irina.
"Bisakah kau menyampaikan sesuatu secara spesifik? Aku tidak mengerti," ucap Brant ketus.
"Aku merasa kau membenciku dan menganggapku tidak ada. Karena itu, kupikir akan lebih baik jika aku keluar dari rumahmu, dan hidup mandiri sehingga kau tidak perlu bersikap dingin pada orang lain seperti ini," ujar Irina.
"Aku tidak membencimu," tukas Brant bingung.
Irina hanya tersenyum sambil beranjak dari duduknya. "Sudah hampir senja. Sehabis ini, bagaimana kalau kita segera pergi mengunjungi Istana Presiden Tampak Siring? Disitu ada pemandian Tirta Empul, juga ada terowongan bawah tanah di antara jembatan persahabatan."
Tidak ingin memperpanjang urusan, Branr beranjak dan mengikuti Irina yang sudah berjalan lebih dulu menuju ke mobil.
"Apa kau masih ingin berfoto, Uncle?" tanya Irina tanpa menghentikan langkah.
"Tidak," jawab Brant.
Irina tidak lagi bertanya dan keduanya berjalan berdampingan menuju ke mobil. Tidak ada obrolan selama perjalanan dan ketenangan yang terasa membuat Brant tidak nyaman.
Melihat ekspresi wajah Irina yang tampak murung, Brant kembali mendengus tidak suka. "Apa kau baik-baik saja? Jika lelah, kita pulang saja."
"Tidak, aku hanya ingin diam saja," jawab Irina sambil memberikan senyuman.
"Aku tidak ingin kau harus berdiam diri seperti itu, hanya karena aku menyukai ketenangan. Jadilah dirimu sendiri dan jangan pedulikan apa tanggapan orang lain," ucap Brant lugas.
Irina tertegun, kemudian tertawa pelan. Seperti ada sesuatu yang menggelitik dalam perut, entah kenapa Brant menyukai lesung pipi yang selalu muncul saat Irina sedang tertawa seperti itu.
"Aku diam bukan karena tidak menjadi diri sendiri, Uncle. Aku hanya ingin mencoba mengerti akan dirimu. Kan sudah kubilang jika aku akan bersikap seperti wanita dewasa yang setara denganmu," ujar Irina geli.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu," balas Brant.
Irina berdecak kesal. "Kau ini! Apa sih yang tidak kau mengerti? Lama-lama kau membuatku kesal saja."
"Eh?"
"Aku diam, kau bingung. Aku cerewet, kau protes. Aku ingin dekat denganmu, kau bilang aku harus menjaga sikap karena bukan anak kecil lagi. Aku bersikap dewasa, kau menegurku untuk jadi diri sendiri. Sekarang ini, aku merasa sangat kesal, Uncle," desis Irina dengan ekspresi tidak senang.
Seperti sudah memahami apa yang diinginkan wanita itu, Brant segera menepikan mobil di pinggir jalan yang lengang, melepas sabuk pengaman, lalu mengarahkan tubuh pada Irina.
"Ada apa, Uncle? Kau ingin turun di..."
"Dengarkan aku, Irina. Aku menegur dan bersikap tegas, bukan karena aku marah atau membencimu! Apa kau tahu dampak dari kedekatan yang kau tawarkan padaku?" sela Brant dengan mata menyipit tajam.
Irina terdiam sambil mengawasi ekspresi Brant dan terlihat seperti mencerna ucapannya barusan.
"Kita akan semakin dekat. Sebagai keluarga pada umumnya," jawab Irina kemudian.
Astaga! Harus berapa kali kubilang jika kita bukan keluarga? desis Brant dalam hati. Tidak ada hubungan darah di antara keduanya, membuat Brant semakin geram dengan keinginan Irina untuk mempertahankan sikapnya yang tak wajar.
"Salah!" desis Brant tajam. "Dampaknya adalah aku ingin menciummu seperti ini!"
Tanpa aba-aba atau peringatan, Brant menangkup dua pipi Irina, memiringkan wajah, dan mencium bibir sialan itu dengan singkat. Sialnya lagi, degup jantung Brant memacu dua kali lipat lebih kencang.
Brant hanya mencium dalam sebuah ciuman singkat, tanpa perlu melanjutkan. Menarik diri, Brant memperhatikan Irina yang terlihat masih terkejut.
"Inilah yang kumaksud, Irina. Bahwa kita bukanlah keluarga yang membuatmu harus bersikap seolah aku adalah pamanmu, dan kau adalah keponakanku. Tidak. Aku hanya ingin kau bersikap seperti...."
Deg! Ucapan Brant terhenti ketika dua tangan Irina yang dingin, kini menangkup dua pipinya. Wanita muda itu menatapnya dengan sorot mata penuh minat, yang sulit digambarkan Brant dengan kata-kata. Yang pasti, Irina terlihat begitu serius.
"Kalau begitu tidak ada halangan untukku menjadi setara denganmu, Uncle. Bahwa aku akan bersikap layaknya wanita dewasa, yang akan menjadi calon isterimu, demi membalas semua kebaikanmu. Aku akan menemani dan mendampingimu sampai masa tua nanti" ucap Irina tegas.
Kemudian, Irina melakukan sesuatu yang sukses membuat napas Brant tertahan, karena wanita itu sudah mencium bibirnya begitu saja. Kecupannya begitu lembut dan sangat hati-hati, seolah itu adalah hal pertama yang baru dilakukannya. Apakah wanita muda itu baru saja memberikan ciuman pertamanya? batin Brant.
Kecupan itu terjadi selama sepersekian detik, dan Irina melepasnya sambil menatap sayu. Shit! Pertahanan diri Brant menguap karena merasa tidak puas dengan hanya saling memberi kecupan.
Oleh karena itu, Brant kembali memiringkan wajah, menahan tengkuk Irina, dan mencium lebih banyak. Damn! Bibir wanita muda yang sama sekali tidak berpengalaman dan terasa kaku itu, justru membuat Brant semakin rakus untuk mencecap kehangatan dan membawanya dalam satu pengalaman ciuman pertama yang liar dan memabukkan.
Republished : Oct 3rd, 2020. (17.30 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top