PART. 2 - LATE NIGHT CONVERSATION
Seumur hidupnya, Brant tidak pernah sekali pun merasa kaget sampai harus tercengang selama dua detik terpanjang yang pernah dia rasakan sebelumnya. Sial! Ini adalah masalah!
Baru saja dia kembali dari Lawrenceville dan berpikir untuk mampir ke farmhouse miliknya yang berada di Ubud sebelum kembali ke Jakarta.
Dia memiliki kunci utama rumahnya dan berhasil masuk ke dalam rumahnya tapi kelupaan dimana saklar lampu rumahnya sendiri karena hanya ada sebuah lampu kecil yang menyala. Alhasil begitu dia berjalan untuk mencari-cari dimana saklar lampunya, tanpa sengaja dia menyenggol sebuah vas bunga lalu pecah begitu saja.
Saat dia membungkuk untuk membereskan pecahan vas yang sudah menyebar kemana-mana, dia bisa mendengar sebuah rintihan kesakitan dari arah belakangnya dan tersentak kaget ketika melihat seorang wanita hampir terjatuh ke lantai dengan pecahan kaca yang berserakan.
Dengan cepat, dia segera menangkap tubuh mungil itu dan aroma strawberry menguar masuk ke dalam indera penciumannya.
Tapi bukan aroma strawberry itu yang membuat pikirannya kosong dengan mata terbelalak lebar. Karena dalam dekapannya saat ini adalah tubuh seorang wanita yang hanya mengenakan jubah handuknya dan memperlihatkan lekuk tubuhnya dari bagian yang tersingkap sehingga mengekspos sebagian kaki jenjangnya sampai batas paha dan belahan payudara yang terlihat dari bagian atas dengan tali yang tidak mengikat dengan baik.
Tubuh wanita itu gemetar dan wajahnya ketakutan dengan mata terpejam. Dari keremangan, Brant sepertinya mengenali wanita ini yang.... astaga! Apakah dia Irina? Si Anak Perempuan yang selalu merengek padanya sejak dulu dan yang merepotkannya dengan semua pesan singkat dan panggilan telepon yang tidak pernah dibalasnya? Jika ya, Brant tidak percaya kalau dia sudah beranjak menjadi wanita dewasa yang... shit!
Mata Brant melebar saat dia mendengar Irina mulai berteriak dalam suaranya yang gemetar dan buru-buru dia membekap mulutnya agar tidak membuat keributan.
"Tolong! Ada pen... hmmmppphhh!!!"
"Sssshhh! Jangan takut. Ini aku!" desis Brant tajam.
Ketika mata Irina terbuka dan menatapnya dengan sepasang mata hijau emerald-nya, disitu Brant menahan napas jika wanita itu tampak berbeda dari yang terakhir kali dilihatnya. Dia bukanlah anak perempuan atau gadis muda yang kekanakan. Dia sudah menjadi wanita muda yang mulai beranjak dewasa.
Irina mengangguk seolah memberikan kode mengerti pada Brant dan dia spontan melepas bekapannya.
"U... uncle!!" seru Irina dengan suara tercekat sambil mencondongkan tubuh untuk memeluknya begitu saja.
Deg! Wanita ini benar-benar tidak sadar diri jika sudah setengah telanjang dan membuat Brant semakin tidak berdaya. Dia bahkan bisa merasakan kelembutan sepasang payudaranya di dada karena pelukan itu begitu erat dan mantap.
"Aku merindukanmu, Uncle. Hiks... aku pikir kau tidak akan pulang lagi... hiks," isak Irina.
Brant bersikukuh untuk menenangkan dirinya saat ini karena :
Satu, dia sudah lelah karena baru pulang setelah melewati belasan jam di dalam pesawat,
Dua, dia sudah cukup lama tidak berhubungan dengan wanita atau sekedar melepaskan hasratnya,
Tiga, bukan saatnya berpikiran kotor dengan melihat gadis di bawah umur sebagai objek seksualnya.
Tatapannya beralih pada kedua telapak kaki Irina yang sepertinya berdarah karena menginjak pecahan kaca, spontan dia mengangkat tubuh Irina dan membawanya duduk diatas sebuah sofa sambil menahan nafas untuk membetulkan jubah handuknya karena dia tahu kalau Irina tidak memakai apa-apa di dalamnya.
"Lepaskan aku, Irina," ucap Brant datar karena Irina masih memeluknya dengan begitu erat, meskipun Brant sudah memindahkannya.
"Tidak! Nanti Uncle akan pergi lagi," balas Irina dengan isakan yang masih terdengar jelas.
"Aku tidak akan pergi karena baru tiba jadi lepaskan aku" sahut Brant dengan geraman pelan.
Irina melepas pelukan tapi tidak sampai terlepas. Dia menarik diri untuk menatap Brant dengan seksama tapi disitu letak kesalahan terbesar terjadi. Sorot kedua matanya yang sembap itu seolah kembali memberikan sengatan listrik yang membuat Brant tertegun sepersekian detik.
"Apakah kau berjanji, Uncle? Aku sudah lama tidak melihatmu dan takut kalau kau akan pergi sebelum matahari terbit," ucap Irina sambil terisak.
Brant mengerjap dan menatap Irina dengan kebingungan yang kentara. Ada apa dengan wanita muda ini? Seingatnya, dia tidak pernah melakukan sesuatu yang sampai harus dibutuhkan seperti ini, tapi ekspresi wajah Irina seakan memohon padanya.
"Apa ada yang mencoba untuk menyakitimu selagi aku tidak ada?" tanya Brant sambil menangkup wajah Irina dan menatapnya tajam.
Irina menggeleng. "Aku merindukanmu, Uncle. Jangan pergi lagi. Aku sendirian di sini."
Kembali Irina memeluknya dan kali ini dalam pelukan itu lebih erat dari sebelumnya. Brant tidak bisa melakukan apa-apa selain menghela napas dan membiarkan wanita itu menangis sampai puas.
"Aku tahu kau sedih tapi bisakah kau lepaskan aku? Tidak sadarkah kau sudah menyiksaku juga?" tanya Brant datar.
Tangisan Irina terhenti dan langsung menarik diri untuk menatap Brant dengan cemas. "A-Aku menyiksamu? Mana yang sakit?"
Napas Brant kembali memberat melihat pemandangan berupa jubah mandi yang dikenakan Irina semakin tidak karuan, yang hampir memperlihatkan satu payudaranya. Bagaimana pun, Brant adalah pria normal yang akan menegang jika melihat wanita setengah telanjang di hadapannya.
"Aku akan mengambil obat untuk mengobati lukamu dan tolong perbaiki jubah mandimu," ucap Brant dengan suara bergumam, lalu beranjak cepat untuk mengambil kotak P3K yang seingatnya ada di sudut ruangan, dan ternyata masih ada.
Begitu dia berbalik, Irina sudah merapikan jubah mandinya ke letak yang seharusnya, dan dia bergerak untuk membuka saklar lampu yang ternyata ada di tembok belakang sofa itu.
Brant memejamkan matanya sesaat karena kesilauan, lalu kembali berjalan mendekat ke arah Irina yang kini tersenyum lebar dengan sorot mata penuh antusias padanya.
"Aku tidak menyangka jika Uncle akan datang di jam seperti ini. Apakah kau lapar? Aku akan membuatkanmu makanan. Aku bisa membuat macam-macam makanan yang kau inginkan sehingga kau bisa...," ucap Irina bertubi-tubi sampai Brant malas untuk mendengarkannya lebih lanjut.
Tidak ada yang berubah dari Irina selain bentuk tubuh yang melekuk sempurna dan wajah yang terlihat lebih cantik dengan kesan dewasa yang menurut Brant cukup unik. Kecerewetannya itulah yang membuat Brant malas berlama-lama di sini. Apalagi jika dikumpulkan dengan anak-anak lain yang ada di rumah itu.
Karena itulah dia sengaja membangun satu rumah di lahan kosong yang masih ada di dalam komplek farmhouse miliknya, agar dirinya dijauhkan dari para pengganggu seperti mereka. Tadinya, dia berharap kalau Irina juga akan pindah kesana sehingga rumah ini bisa ditempatinya sendirian. Nyatanya? Irina tetap ingin tinggal di rumah ini agar bisa menemani dirinya.
Brant menggumamkan maaf pada Irina sambil mengangkat kedua telapak kaki ke atas meja kaca, lalu mulai membersihkan serpihan kaca yang menempel di kulit telapak kaki wanita itu. Luka-luka kecil itu cukup banyak dan berdarah. Kemudian, Brant membasuh luka itu dengan alkohol, sementara Irina meringis pelan.
"Seharusnya kau tidak usah sampai bertindak berlebihan seperti tadi," ucap Brant sambil menaruh obat luka pada telapak kaki Irina.
"Aku pikir ada pencuri. Lagi pula, kenapa kau sampai memecahkan vas bunga?" tanya Irina sambil meringis.
"Aku lupa dimana saklar lampu dan tidak sengaja menyenggol vas itu," jawab Brant.
"Setidaknya kabari aku jika Uncle akan pulang, sehingga aku bisa membukakan pintu untukmu," balas Irina.
"Ini rumahku dan aku tidak memerlukan oranglain membukakan pintu untukku. Aku memiliki kuncinya, ingat?" cetus Brant ketus.
"Aku tahu tapi setidaknya kabari aku. Kupikir ada pencuri dan aku ketakutan," sahut Irina lirih.
Brant terdiam saja dan tidak ingin menoleh pada Irina karena merasa diperhatikan dengan seksama. Rasanya tidak nyaman jika diperhatikan oleh oranglain dengan tatapan yang... memuja.
Selama ini, Brant selalu ditakuti oleh siapa pun, tanpa terkecuali. Termasuk anak-anak yang ada di rumah depan. Dan sudah seharusnya seperti itu karena Brant tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dia sudah terbiasa sendiri.
"Tidak akan ada pencuri yang berani masuk ke sini, apalagi penjahat. Farmhouse milikku dipastikan aman dan tidak ada yang akan berani macam-macam denganku," ujar Brant tegas, lalu segera membereskan peralatan P3K itu kembali ke kotaknya.
"Tapi tetap saja aku selalu takut, Uncle," balas Irina sambil menurunkan kedua kaki untuk duduk di hadapan Brant, yang kini sudah menegakkan tubuh dengan kotak P3K yang ada di tangannya.
"Takut dalam hal apa?", tanya Brant dengan kening berkerut.
"Aku masih suka mimpi buruk. Kau kan selalu membaca pesanku tentang aku yang bercerita kalau masih mendapatkan mimpi yang tidak menyenangkan. Aku takut dan mimpiku seperti nyata. Aku merasa ada banyak orang berbaju hitam mengelilingiku, dan mengarahkan senjata padaku, Uncle. Lalu, dalam mimpiku hanya dirimu yang menolongku saat itu," jawab Irina dengan sorot mata menerawang.
"Siapa suruh kau terus bermimpi yang tidak-tidak? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di rumah depan bersama dengan anak-anak itu, tapi kau tetap mau di sini," cetus Brant tanpa ekspresi, lalu beranjak untuk menaruh kotak P3K itu.
Brant tidak mendengar balasan dari Irina dan itu membuatnya menoleh untuk melihat. Wanita itu terdiam dengan wajahnya yang terlihat begitu sedih. Heck!
"Jika boleh memilih, aku juga tidak ingin bermimpi dan sudah pernah mencoba untuk tidur di rumah depan, tapi... hasilnya tetap sama. Jadi menurutku, mau dimana pun aku berada, maka aku akan tetap bermimpi buruk. Herannya mimpiku itu-itu saja," ucap Irina kemudian.
Ada perasaan bersalah dalam diri Brant ketika Irina menjelaskan sesuatu seperti barusan. Dia tahu kalau ucapan yang dikeluarkannya selalu terdengar menyakitkan. Tidak ada yang salah dengan apa yang terjadi pada Irina, Brant tahu jelas soal itu.
Setelah membawanya keluar dari mansion keluarga sialannya sekitar 10 tahun yang lalu, Brant membawa Irina ke salah satu base camp Eagle Eye untuk menghilangkan trauma anak itu, dengan menyuntikkannya serum penghilang ingatan. Semua itu dilakukannya demi kebaikan anak itu sendiri.
Hal itu juga dilakukannya kepada semua anak-anak yang ditampungnya. Entah kenapa Brant merasa hatinya tergerak, setiap kali melihat sosok anak kecil yang sebatang kara karena orangtua mereka yang terpaksa harus dihabisi, oleh karena kejahatan yang mereka lakukan sudah teramat fatal.
Jika para orang kepercayaan lainnya seperti Luke, Darren dan Russel lebih memilih jalur aman seperti membawa anak-anak yang tertinggal ke sebuah panti asuhan atau tempat penampungan terdekat, lain halnya dengan Brant yang justru membawa anak-anak para penjahat itu ke farmhouse tersembunyi miliknya.
Setiap kali melihat anak yang tertinggal, setiap kali itulah dia merasa deja vu dengan sosok Irina dalam bentuk anak yang baru berumur sepuluh tahun kala itu. Sorot mata penuh harap dan kesedihan yang terpatri dalam wajah Irina membuatnya merasa kasihan.
"Aku akan memakai pakaianku dan aku akan memasak untukmu, Uncle," ujar Irina yang membuyarkan pikiran Brant.
Brant melihat Irina beranjak berdiri sambil meringis pelan karena menapaki lantai tanpa alas kaki.
"Kau tidak usah repot-repot. Aku tidak merasa..."
"Aku memaksa, Uncle. Karena aku bisa melihat dirimu sepertinya belum makan dan lelah. Aku tidak akan lama," sela Irina hangat.
Brant langsung terdiam dan tidak bisa membalas ucapan Irina yang kini sudah berlalu sambil berjinjit menuju ke lantai atas. Dia masih merasa asing dengan Irina yang selalu berusaha bersikap akrab dan memanggilnya dengan sebutan Uncle. Dari antara semua anak-anak yang dibawanya, tidak ada yang berani memanggilnya seperti itu. Mereka memanggilnya Mr. Brant. Hanya Irina yang memanggilnya Uncle, karena wanita itu percaya jika Brant adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
Tanpa mau berpikir lebih banyak, Brant segera membereskan serpihan vas yang berserakan di lantai. Dia membersihkan kekacauan yang dia lakukan tanpa kesulitan yang berarti dengan waktu yang begitu singkat.
Kemudian, dia segera menuju ke lantai atas untuk menuju ke kamar pribadinya dan mendapati kamar itu tidak berubah dari terakhir kali meninggalkan rumah itu. Hanya saja kamar itu bersih dan harum, sepertinya setiap hari kamarnya dibereskan dan dibersihkan.
Aroma kayu dan lavender bercampur menjadi satu, memberikan kesenangan tersendiri untuk Brant karena perpaduan aroma itu adalah kesukaannya. Dia pun segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dengan menikmati pancuran air hangat selama beberapa saat.
Sudah lama sekali dia tidak pulang ke rumahnya sendiri. Dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di berbagai negara untuk menjalankan misinya bersama para petinggi Eagle Eye. Kesibukannya bertambah semenjak para petinggi memutuskan untuk rehat sejenak dari organisasi dan menyerahkan tugas itu kepada para orang kepercayaan.
Setelah berkeliling mengikuti petunjuk dan perintah dari Alfa selama dua tahun terakhir, Brant dan yang lainnya diperkenankan untuk pulang ke tempat masing-masing, sekedar menikmati cuti liburan selama beberapa minggu.
Brant yang memiliki apartemen pribadi di Jakarta memilih untuk mampir sebentar di farmhouse-nya selama beberapa hari, Luke yang kembali ke rumahnya yang ada di Osaka, Darren yang kembali ke daerah asalnya yaitu Chicago dan Russel yang pulang ke keluarganya di Inggris.
Setelah membersihkan diri, Brant mengeringkan tubuh dan memakai pakaian bersih yang ada di lemari pakaian. Dia heran dengan kebersihan yang ada di kamarnya. Pakaian yang dikenakan terkesan baru dicuci bersih dengan keharuman yang menyenangkan. Belum lagi peralatan dan perlengkapan lainnya yang ada di kamarnya ini. Apakah mungkin Irina membersihkan kamarnya setiap hari? Jika ya, Brant semakin yakin jika wanita itu memang suka menyibukkan diri dengan hal yang tidak perlu.
Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan tersentak saat melihat Irina sudah ada di dalam kamarnya sambil membawakan sebuah tray yang berisikan semangkuk makanan yang masih mengepul. Tapi bukan itu yang mengalihkan perhatian Brant.
Dengan gaun tidur berbahan satin yang terbungkus indah dalam jubah tidur berenda berwarna ivory, Irina tampak seperti wanita muda yang begitu segar dan menggoda. Shit! Hentikan pikiran kotormu, Brant!, batinnya kesal.
Dia yakin tidak ada masalah dengan dirinya dan hasratnya hanya timbul pada wanita dewasa yang seksi. Dia sama sekali tidak tertarik pada wanita muda yang polos dan tidak berpengalaman, apalagi Irina adalah anak perempuan yang diasuhnya. For Godsake, dia lebih pantas menjadi ayah dari wanita muda itu.
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Brant sinis.
"Membawakan makanan untukmu, Uncle," jawab Irina ceria.
Wanita itu memberikan senyum lebarnya yang cantik, sehingga Brant bisa melihat lesung pipi di kedua pipinya. Rambutnya yang setengah basah tadi, kini sudah mengering dan melambai lembut di balik punggungnya.
"Kau tidak perlu membawakan makanan sampai masuk ke dalam kamar. Apa kau tidak tahu jika wanita tidak boleh sembarangan masuk ke dalam kamar pria, di jam yang sudah mendekati tengah malam?" ucap Brant sambil mengangkat satu alisnya, dan menatap Irina dengan tatapan yang menghunus tajam.
Irina masih mempertahankan senyumannya tanpa beban. "Kau bukan orang lain. Kau adalah Uncle terbaikku dan aku menyayangimu. Lagi pula, aku sangat senang karena bisa bertemu denganmu malam ini setelah sekian lama."
"Aku membuatkan sup ayam jagung kesukaanmu, makanlah selagi hangat. Aku juga menuangkan susu segar agar tidurmu nyenyak," lanjut Irina.
Ekspresi wajah Brant yang dingin seakan tidak dilihat karena Irina melangkah mendekatinya, lalu menarik tangannya untuk duduk di sofa. Astaga! Brant tidak menyangka jika Irina sudah semakin berani padanya. Setahunya, wanita ini pemalu dan penakut. Dia memang cerewet tapi tidak sekali pun berani mendekat atau menyentuhnya. Tapi sekarang?
"Jangan menyentuhku!" bentak Brant sambil menepis tangan Irina.
"Kalau begitu, duduklah. Jangan berdiri saja," balas Irina sambil terkekeh.
Kening Brant berkerut tidak mengerti dengan respon Irina yang begitu santai dan tanpa beban.
"Irina, aku tidak suka jika kau berani membantah atau mengabaikan ucapanku!" kembali Brant mendesis, dan kali ini dengan ekspresi yang sama sekali tidak bersahabat.
Irina masih tersenyum dan mengangguk cepat, lalu mengambil posisi duduk di sampingnya. Shit! Apakah wanita ini tidak mengerti apa yang dikatakannya barusan?
"Maafkan aku. Aku hanya terlalu antusias dan akan duduk di sini tanpa berbicara, hingga kau selesai makan. Aku janji akan menutup mulutku rapat-rapat," ujar Irina dengan mimik wajah sungguh-sungguh.
"Aku tidak perlu kau temani dan..."
"Biarkan aku bersamamu selagi kau ada di sini, Uncle," sela Irina dengan nada sedih.
Brant kembali menyoroti sorot mata kesedihan dan ketakutan dalam tatapan Irina. Apakah dia sudah melakukan kesalahan sehingga wanita itu terlihat sendu dan rapuh? Brant tidak mengerti apa yang terjadi selagi dirinya tidak ada, karena kesibukan yang mengharuskannya untuk fokus pada pekerjaan. Dia bahkan tidak begitu mengenal Irina selain kecerewetan dan antusiasnya setiap kali mereka bertemu.
"Baiklah. Kau duduk saja dan jangan bicara. Aku akan makan," ujar Brant kemudian.
Irina mengembangkan senyuman sambil mengangguk. Dia duduk bersandar di sofa tanpa berkata apa-apa dan Brant pun menunduk untuk menikmati apa yang disajikan di atas meja.
Brant mengambil sendok dan segera menikmati makanan yang disajikan Irina. Harus dia akui jika kemampuan tangan Irina cukup hebat dalam membuat makanan. Dari laporan yang diberikan Lori dan Lis, dua orang yang dipekerjakannya sebagai pengawas di rumah itu, Irina sering memasak untuk anak-anak. Bahkan, Irina sudah menjadi kakak favorit mereka.
Brant tidak sadar jika semangkuk sup itu sudah habis begitu saja. Mengambil segelas susu dan menandaskannya, lalu menarik selembar tissue untuk mengusap bibirnya. Brant sudah menyelesaikan makan malamnya.
Menoleh untuk melihat Irina, ternyata wanita itu sudah terlelap dengan begitu nyenyak. Irina tampak begitu lelah sehingga tertidur begitu saja. Kemudian, Brant mengangkat tubuh Irina dan beranjak untuk membawanya ke kamar tidurnya yang ada di sebelah.
Merebahkan Irina di atas ranjang, menarik selimut, dan menatapnya selama beberapa saat. Ada sesuatu yang membuat Brant merasa perlu mencari tahu tentang apa yang dialami Irina saat ini. Entahlah. Brant mendadak tidak suka dengan kesedihan yang terpampang di wajahnya yang ceria itu.
Bahkan tangannya mengarah pada puncak kepala Irina, lalu mengusapnya tanpa permisi. Rambutnya terasa lembut bagai sutera. Usapan Brant menurun dari rambut, lalu telinga, pipi dan... shit! Brant tersentak ketika menyadari apa yang barusan dilakukannya dan spontan berdiri untuk menjauh dari Irina.
Ini sudah gila! batinnya mengerang. Sepertinya, berbagai misi yang sudah dijalankan membuat otaknya semakin menggila dengan tindakan konyol yang dilakukannya barusan.
Dia benar-benar membutuhkan liburan dan mencari penyegaran di sini. Di Bali.
Tanpa berpikir apa-apa lagi, Brant melangkah keluar dari kamar itu, untuk segera mendapatkan tidurnya karena rasa kantuk yang sudah tidak tertahankan.
Republished : Oct 3rd, 2020. (15.26 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top