PART. 15 - THE BIGGEST MISTAKE

Irina membuka mata, mengerjap pelan, lalu terdiam selama beberapa saat. Tersentak, dan langsung beranjak untuk duduk, sambil menatap sekelilingnya yang terlihat asing. Sebuah kamar yang luas, begitu cantik dalam dekorasi yang apik, dan membuatnya merasa seperti hidup dalam sebuah dongeng.

Irina segera turun dari ranjang, lalu menuju ke jendela, dan melihat pemandangan indah berupa taman bunga yang cantik. Sepertinya, Irina sedang berada di mansion besar yang memiliki perkebunan pribadi.

Bingung, juga tidak mengerti. Seingatnya, dia sedang berada di rumah ajaib milik Brant, dan berada di dalam ruangan keren dari balik dinding. Irina juga merasa heran dengan dirinya yang seperti sudah tidur dalam jangka waktu yang panjang dan begitu segar saat ini.

Irina spontan menoleh saat mendengar pintu ruangan terdengar dibuka, lalu melebarkan matanya saat melihat sosok wanita cantik yang tampak familiar. Wanita itu seperti seorang model terkenal yang disukai Irina, tapi memutuskan pensiun dini setelah menikah.

"Selamat pagi, namaku Alena. Kuharap kau tidak bingung karena terbangun di kamar ini," sapanya ramah.

Irina mengerjap tidak percaya, lalu menatap Alena naik turun dengan seksama, dan memekik girang sambil melompat. "Kau benar-benar supermodel kesukaanku! Kyaaa, apa benar kau adalah Alena yang itu?"

Alena tertawa pelan sambil berjalan menghampirinya. "Itu dulu. Sekarang, aku hanya seorang wanita rumahan yang membosankan."

"Tapi kau tetap menjadi muse dari designer ternama dengan brand Lea.Co," seru Irina tidak percaya.

"Itu adalah kontrak mati karena Lea adalah ibuku dan..."

"APA?" seru Irina kaget dengan hal yang baru diketahuinya. Jika dia memberi tautan baru di laman sosial media, sudah pasti akan mendatangkan berupa keuntungan tambahan pengikut baru, dan menjadi viral.

"Ssshhh, tidak boleh ada yang tahu," ucap Alena tenang, seolah bisa membaca pikiran Irina barusan.

"Tentu saja tidak," elak Irina cepat. "Aku hanya... tidak menyangka jika desainer itu adalah ibumu. Omo! Jika dipikirkan, kalian memang terlihat mirip! Kenapa hal itu tidak pernah terpikirkan olehku?"

Alena kembali tertawa sambil menepuk bahu Irina dengan ringan. "Kulihat kau cukup menyukai ibuku."

"Tentu saja! Hasil rancangannya sangat unik! Tapi sayangnya, aku tidak sanggup membeli karena cukup mahal dan hanya bisa mengaguminya saja. Sebenarnya, aku bisa saja membeli, tapi tidak enak jika menghamburkan uang Uncle Brant hanya untuk sebuah pakaian," jawab Irina dengan bibir merengut cemberut, tampak tidak enak hati dengan kenyataan itu.

"Jadi, Brant menjatahi uang jajan dan menjadi orang yang pelit?" tanya Alena dengan mata menyipit sambil bertolak pinggang.

Irina buru-buru menggeleng keras. "Tidak begitu, Kak. Dia selalu memberikan uang, dan sangat banyak. Aku hanya tidak ingin menghabiskannya dengan percuma. Dia sudah bekerja begitu keras hingga jarang pulang untuk menghidupi kami di rumah. Sangat tidak etis jika kami menghabiskan uang dengan sembarangan."

Ekspresi Alena berubah menjadi tertegun dan terlihat tidak percaya, lalu menggeleng sambil bergumam seorang diri.

"Jika kau menyukai pakaian ibuku, aku akan memberikan beberapa rancangannya untukmu," ucap Alena kemudian.

Mata Irina terbelalak lebar. "Benarkah?"

Alena mengangguk sambil tersenyum. "Aku yakin jika ibuku akan senang karena memiliki pengagum yang jujur dan menyenangkan sepertimu."

Irina memekik senang dan mengusap wajahnya dengan rasa tidak percaya. "Aku seperti berada di dunia mimpi saat ini. Terbangun di kamar terindah yang pernah kutiduri, bertemu dengan sosok idolaku, dan mendapat pakaian yang kuimpikan."

"Karena kau adalah orang yang sudah begitu baik dalam menjalani hidupmu, Irina. Jika kau mau, kau bisa datang ke butik untuk memilih sendiri. Bagaimana?" balas Alena hangat.

Rasanya, Irina ingin sekalli menangis karena terharu. Tidak bisa membalas ucapan selain memberikan cengiran lebar pada Alena sambil mengangguk.

"Apa aku boleh bertanya?" tanya Irina kemudian.

"Tentu saja," jawab Alena.

"Kenapa aku bisa berada di rumahmu?"

"Kupikir kau tidak ingat untuk mempertanyakan hal seperti itu karena sibuk menjadi pengagum seperti tadi," balas Alena sambil tertawa, dan membuat Irina tersipu malu.

"Maafkan aku," ucap Irina pelan.

"Kau tertidur saat dibawa Brant ke sini," ujar Alena yang membuat kening Irina berkerut.

"Kenapa Uncle harus membawaku ke sini?" tanya Irina bingung.

"Karena ada pesta yang harus kalian hadiri, yaitu pesta ulang tahun anak kembarku," jawabnya.

"Pesta?" tanya Irina yang semakin bingung.

Alena mengangguk.

"Tapi kenapa Uncle bisa mengenalmu?" tanya Irina lagi.

"Karena Brant adalah orang kepercayaan suamiku."

Kini, mata Irina semakin melebar saat mendengar ucapan Alena. Jadi, uncle tampan yang memberinya boneka teddy adalah suami dari kakak supermodel favoritnya! Apakah itu berarti aku akan bertemu dengan uncle tampan lagi? Batin Irina mengerang. Juga, dia merasa tidak terima karena Brant tidak memberitahu apa-apa soal Alena yang adalah istri dari bosnya.

"Jadi, selama ini, Uncle selalu bertemu denganmu di setiap harinya, dan dia tidak memberitahuku?" tanya Irina tidak terima.

Alena menggeleng. "Tidak setiap hari. Mereka sering bepergian dan aku tetap di rumah saja. Bukankah aku sudah bilang tentang diriku yang menjadi wanita rumahan yang membosankan?"

"Tapi tetap saja, Uncle bisa melihatmu saat mengantarkan suamimu pulang," sahut Irina.

Alena hanya tertawa saja dan merangkul bahunya untuk menuju ke ruangan yang ada di dalam kamar itu. Sebuah ruang ganti, lengkap dengan berbagai fasilitas berupa pakaian baru di sisi kanan kiri ruangan, juga ada lemari berisikan sepatu dengan berbagai model, dan ada pintu kaca yang adalah kamar mandi.

"Aku akan membantumu untuk mempersiapkan diri. Sekarang, bersihkan dirimu saat aku memilihkan pakaian untukmu. Kau adalah wanita muda yang cerdas, sangat tidak etis dengan hanya mengenakan kemeja pria seperti ini," ucap Alena dengan ekspresi jengkel.

Ucapan Alena membuat Irina baru tersadar jika dirinya masih mengenakan kemeja Brant semalam. Rona hangat menjalar di kedua pipi, membuat Irina mendadak malu dan menundukkan kepala.

"Sudahlah, tidak usah malu. Aku juga pernah menjadi tidak terkendali saat seumuran sepertimu. Pria dewasa memang jauh lebih menggoda, dan mereka begitu sialan karena terlalu seksi untuk ditolak," tambah Alena sambil mengarahkan Irina ke kamar mandi.

Irina terkekeh sambil masuk ke dalam pancuran, mulai membersihkan diri, dan membiarkan Alena di ruangan itu untuk melakukan apapun di sana. Entah kenapa, Irina merasa begitu bersemangat dan tidak sabar untuk menjalani hari ini. Dengan cepat, Irina membersihkan diri, dan mendapati Alena sudah duduk dengan anggun, menunggunya di situ.

Kemudian, Alena mulai bekerja untuk merias wajah Irina, membantunya mempercantik diri, dan Irina merasa sangat senang.

"Apa kau tahu dimana Uncle Brant?" tanya Irina saat Alena sedang menata rambutnya.

"Sedang bersama suamiku, tenang saja. Dia tidak akan pergi kemana-mana, dan jika dia memang pergi, aku yang akan menyeretnya kembali. Jika perlu, aku akan mendorongnya ke jurang neraka," jawab Alena santai, tapi nadanya masih penuh dengan kejengkelan.

"Mmm, kenapa kau terdengar seperti marah?" tanya Irina ragu.

Alena menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya saja, kenapa harus membawamu datang dengan penampilan dan dalam keadaan tidak sadar saat subuh tadi? Itu saja."

"Maafkan aku," ucap Irina dengan suara mencicit.

"Untuk apa meminta maaf? Kau tidak salah. Yang salah adalah pria sialan itu," desis Alena sambil terus bekerja untuk menata rambutnya. "Dan aku sedang berusaha untuk membuatmu cantik. Biarkan pria tua itu kaget dan mendapat serangan jantung saat melihatmu seperti ini."

Irina menatap dirinya di cermin, dan merasa seperti bukan dirinya. Yang terpantul dari cermin begitu cantik. Memiliki sepasang mata yang jernih, pipi yang merona, bibir berwarna merah muda yang tampak alami, dan semakin sempurna dengan rambutnya yang ditata dengan model braided style.

Tidak lama kemudian, Alena selesai dan tampak puas dengan hasil kerjanya. Irina bahkan tidak berhenti tersenyum saat melihat pantulan dirinya di cermin. Dengan memakai gaun selulut berwarna biru laut, Irina merasa seperti seorang putri di negeri dongeng.

"Aku yakin dia akan kaget selama beberapa detik, lalu mati karena serangan jantung," ucap Alena sambil menggeram pelan.

Irina tersenyum sambil berbalik untuk menatap Alena dengan sumringah. "Uncle Brant adalah orang yang kusayangi. Orang itu datar, tapi perhatian. Dingin, namun hangat. Meski terlihat angkuh, tapi hatinya begitu baik. Aku mengaguminya."

Alena mengerjap tidak mengerti, lalu menghela napas sambil menggelengkan kepala. "Kau tahu, aku melihatmu seperti diriku saat muda. Naif, dan mabuk asmara. Sangat menyebalkan."

"Siapa yang sangat menyebalkan?" tanya seseorang tiba-tiba, membuat keduanya menoleh.

Irina tersentak kaget melihat uncle tampan yang memberinya boneka teddy. Itu adalah atasan dari uncle Brant, yang juga suami dari Alena. Pria itu melebarkan senyuman, meski istrinya tampak merengut. Dia memeluk dan mencium kening Alena dengan lembut, lalu merangkul pinggangnya, dan menatap Irina sekarang.

Napas Irina tertahan saat sorot mata tajam pria itu sepenuhnya menatap padanya. Membuatnya tidak sanggup melakukan apa-apa, selain menegang kaku dan terdiam dengan tatapan yang tidak teralihkan.

"Tarik napas, Irina. Kau akan mati karena wajahmu sangat merah," tegur Irina dengan nada geli dalam suaranya.

Irina spontan menarik napas, dan menaruh tangannya di dada. Merasa malu, tapi tidak bisa menolak pesona dari uncle yang memberi ingatan terindah waktu itu. Sampai hari ini, boneka pemberiannya masih disimpan dengan baik olehnya.

"Kuharap kau tidak marah padaku, Kak. Tapi, aku mengagumi Uncle Joel," ucap Irina dengan suara mencicit.

"Uncle?" tanya Alena sambil tertawa dan melihat Joel dengan ekspresi geli. "Jadi, kau dipanggil Uncle olehnya?"

"Senang jika melihatmu kembali senang, Sayang," balas Joel tenang sambil menunduk untuk mengecup kening istrinya. "Acara akan segera dimulai."

Alena mengangguk dan segera menarik tangan Irina. "Ayo, kau diundang untuk menghadiri pesta anak kamui."

Irina tersenyum lebar dan mengangguk, lalu menatap Joel dengan tatapan penuh harap. "Apakah ada Uncle Brant di sana?"

Joel mengangguk. "Dia sudah menunggu."

Irina mengangguk dengan antusias dan merasa tidak sabar untuk bertemu dengan pria itu. Perasaan rindu tiba-tiba menyapa, membuatnya merasa perlu memberitahu tentang apa yang dialaminya hari ini. Terbangun di kamar yang indah, diberi kesempatan untuk bertemu dengan idola, dan bertemu dengan uncle baik hati yang memberinya boneka.

Mereka bertiga keluar, dimana Alena membimbing Irina, dan Joel mengikuti mereka di belakang. Mansion yang dimiliki mereka sangatlah luas dan indah, Irina bahkan berani bersumpah jika itu adalah tempat terindah yang pernah dimasukinya.

Begitu tiba di lantai bawah, sudah begitu banyak pekerja yang berlalu lalang untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Beberapa penjaga membungkuk menyambut kedatangan mereka, mempersilakan untuk keluar dari area mansion, dan mengiring mereka untuk menuju ke perkebunan.

Sepanjang Irina mengikuti Alena, sepanjang itulah dekorasi apik yang mengusung tema pesta kebun sudah terpasang. Begitu meriah, begitu mewah, dan begitu ramai. Alangkah bahagianya jika anak-anak yang berada di farmhouse bisa ikut hadir dan mengikuti pesta ulang tahun seperti ini.

"Apa kau yang mempersiapkan semuanya?" tanya Irina takjub, tidak pernah melihat pesta semeriah itu seumur hidupnya.

"Tentu saja tidak. Semua dipersiapkan oleh kedua orangtua kami, dimana mereka sangat ahli dalam mengambil peran Opa dan Oma yang terlalu berlebihan dalam menyayangi cucunya," jawab Alena tanpa ekspresi.

Irina tersenyum. "Aku percaya jika anak kalian sangat dikasihi."

"Tentu saja," balas Alena setuju sambil merangkul bahunya. "Kau juga demikian."

"Tidak seberuntung anakmu," sahut Irina spontan. "Maksudku, ada beberapa yang harus mengalami kehilangan orangtua di usia dini, dan terpaksa menjalani kehidupan tanpa figur orangtua yang masih dibutuhkan."

Teringat tentang anak-anak yang berada di farmhouse, juga dirinya sendiri, Irina tiba-tiba merasa asing dan tidak nyaman. Pandangannya langsung mengedar ke sekeliling untuk mencari sosok Brant yang belum terlihat. Melihat hal itu, Joel mengambil alih untuk menenangkannya.

"Kau aman bersama kami, Irina," ujar Joel yang kini sudah berada di samping kanannya.

"Mmm, apakah aku masih berada di Bali?" tanya Irina cepat.

"Tidak, saat ini kau sedang berada di Jakarta," jawab Joel kemudian.

Irina tidak mengerti dengan kesan yang didapatinya dari Joel sehingga membuat napasnya tertahan. Dia sangat tampan, juga terkesan penuh kendali. Kesan yang sama ketika berhadapan dengan Brant. Meski panik, Irina masih sempat untuk mengagumi sorot mata tajam dari Joel, hidungnya yang tinggi, bibirnya yang melengkung sempurna, dan facial hair yang membuatnya terlihat lebih menawan.

"Tarik napas kembali, Irina," bisik Alena mengingatkan, dan Irina langsung melakukan.

Wajahnya memanas ketika melihat Alena terkekeh geli dan merangkul Joel dengan santai. Rasanya memalukan saat dirinya tertangkap basah mengagumi suami orang. Apa mungkin diriku memilliki keanehan tentang tidak bisa menolak pesona pria dewasa? pikir Irina.

"Maafkan aku," ucap Irina akhirnya, yang membuat keduanya tertawa pelan. "Aku sangat mengagumi kalian dan... aku sangat takjub melihat pasangan serasi seperti ini."

"Soal pasangan serasi, kurasa itu berlebihan karena ada yang jauh lebih serasi daripada mereka," celetuk seseorang dari belakang, dan membuat Irina segera menoleh.

Mata Irina spontan terbelalak kaget saat bisa melihat sosok yang jauh lebih tampan. Di samping pria itu, ada seorang wanita muda yang sedang hamil, dan sangatlah cantik. Mereka seperti pangeran dan putri dari negeri dongeng versi nyata.

"Jadi, apakah dia adalah daun muda kesukaan Brant yang sedang heboh itu?" tanya pria itu dengan riang.

"Jaga ucapanmu, Noel. Itu tidak sopan," tegur wanita yang ada di samping pria itu, lalu tersenyum hangat pada Irina sekarang. "Hai, namaku Vanessha, dan ini adalah suamiku, Noel. Maafkan perkataannya tadi."

Irina spontan menggeleng sambil menyambut uluran tangan Vanessha, yang wajahnya begitu cantic seperti boneka. "A-Aku Irina, salam kenal. Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan lelucon para orang dewasa."

"Well, well, well... klub pecinta daun muda memang sudah bertambah, dan aku sangat bangga dengan pilihan anggota baruku," sahut sosok baru yang tiba-tiba mendatangi mereka.

Jantung Irina terasa ingin mencelos melihat pria tampan yang tidak kalah mempesona dengan dua pria lainnya. Apakah ini benar-benar kenyataan, atau masih dalam dunia mimpi? batin Irina bingung.

"Perkenalkan, namanya Petra," ujar Joel mengenalkan pria yang datang bersama dengan pasangannya yang tidak kalah cantik dengan Alena. "Dia adalah suami dari adikku, Joana."

Irina tertegun dan melihat Joel dan Joana secara bergantian, lalu menatap Petra yang sedang terkekeh geli padanya. Kumpulan para rupawan yang terbentuk dalam satu keluarga besar. Entah seperti apa keturunan mereka nantinya, Irina sudah tidak berani untuk membayangkan karena tidak ingin menjadi sesak napas.

"Jangan bingung, mereka adalah orang-orang yang bekerja bersama dengan Brant. Bisa dibilang, mereka adalah satu tim," ujar Alena menjelaskan, seperti memahami kebingungan Irina saat ini.

"Jadi, kalian adalah atasan dari Uncle Brant?" tanya Irina ingin tahu, merasa senang dengan kenyataan baru yang diketahuinya saat ini.

"Kami adalah tim sukses yang selalu bekerja sama," jawab Noel santai.

"Selalu membantu satu sama lain," tambah Petra meyakinkan.

"Dan, Uncle Joel adalah bosnya?" tanya Irina sambil menoleh pada Joel yang terlihat meringis karena panggilannya barusan, membuat semua yang ada di sana mengulum senyum geli.

"Kurang lebih seperti itu," jawab Joana sambil menyeringai lebar.

"Aku sangat senang jika Uncle Brant memiliki atasan yang baik seperti kalian," ucap Irina tulus, sambil menatap mereka dengan sorot mata penuh syukur.

"Oh, tidak seperti itu. Bisa dibilang, kami hanyalah anak buah yang tidak begitu berguna dalam pekerjaan, sedangkan Brant yang sangat luar biasa dalam menyelesaikan pekerjaan," sahut Petra tanpa beban.

"Benarkah?" tanya Irina takjub.

"Tidak usah menganggap serius untuk semua ucapan yang dikeluarkan oleh mulut pria sialan itu, Irina. Sebab, dia tidak normal," desis seorang wanita yang datang sambil menggendong seorang anak laki-laki, dan menggandeng seorang anak perempuan.

Wanita yang datang tampak begitu cantik dan modis, meski terlihat masam. Seorang pria berwajah oriental datang dengan seorang anak laki-laki, yang sepertinya adalah anak kembar karena mirip sekali dengan anak yang digendong oleh wanita itu.

"Apakah ini yang dibilang oleh Luke tentang kekasih jiwa Brant?" tanya pria itu dengan ramah.

"Terlalu cantik dan terlalu muda untuk Brant," timpal wanita itu sambil menatap Irina dengan penuh penilaian.

"Jangan menilai orang di depan mata seperti itu, Ashley," tegur Alena ketus.

"Aku tidak bisa membicarakan orang di belakang," balas wanita yang bernama Ashley sambil mengangkat bahu. "Maafkan aku, Irina. Aku tidak bermaksud buruk, tapi kau memang cantic sekali. Perkenalkan, aku adalah Ashley, dan ini adalah suamiku, Hyun. Dan tiga anak ini adalah anak-anak kami."

Irina mengangguk dan melebarkan senyuman sambil menatap semua orang itu dengan sumringah. "Terima kasih, namaku adalah Irina, dan aku adalah wanita muda yang sedang bersama dengan Uncle Brant, dan akan seterusnya seperti itu. Apapun yang kalian dengar tentang hubungan kami, itu benar adanya. Sebab, aku masih berjuang untuk mendapatkannya."

Semuanya tertegun, kecuali Noel dan Petra yang terlihat menahan tawa, tapi gagal karena setelahnya, mereka tertawa terbahak-bahak. Irina tersentak saat merasakan adanya cengkeraman kuat yang mendarat di lengan, membuatnya segera menoleh, dan ekspresinya langsung sumringah karena Brant mendatanginya.

Dia baru saja ingin menyapa, tapi Brant mengabaikannya dengan menatap tajam pada semua yang ada di situ. "Acara akan dimulai, dimohon untuk segera menuju ke tempat acara. Akan sangat lucu jika kalian masih berkumpul di sini."

"Terima kasih, Brant," balas Alena sambil menarik Joel, dan mereka segera mengundurkan diri tanpa berkata apa-apa lagi.

Irina begitu senang saat bisa melihat Brant dan spontan memeluk pinggangnya dengan erat. Hal itu membuat Brant menunduk dan menatapnya dengan tatapan menegur. "Lepaskan aku, ini tidak pantas."

"Kau harus menjelaskan padaku tentang aku yang bisa berada di sini, padahal semalam aku berada di rumah ajaibmu," ujar Irina mengabaikan teguran Brant.

"Lepaskan aku," ucap Brant tegas, sambil melepas pelukan Irina dari pinggangnya.

"Kenapa harus malu? Mereka sudah mengenalku dan tahu tentang diriku, Uncle. Apa kau yang memberitahu mereka tentang hubungan kita?" tanya Irina sambil terkekeh dan merasa lucu dengan sikap tidak nyaman Brant.

"Tidak ada yang bisa kuberitahu karena kita tidak memiliki hubungan seperti yang mereka pikirkan," jawab Brant tanpa beban.

Kening Irina berkerut, menatap Brant yang terlihat tidak senang, dan merasa terganggu saat ini. Apakah seperti ini jika dirinya sedang bersama dengan atasannya? Dari posisinya, Irina bisa melihat jika ada tiga pria yang melihatnya tanpa repot-repot mengalihkan pandangan saat Irina menangkap basah mereka yang sedang memperhatikan.

"Kata mereka, aku adalah wanita muda yang sedang bersamamu," ujar Irina memberitahu.

"Lalu, apa yang spesial dari hal seperti itu?" balas Brant ketus.

"Kenapa ucapanmu begitu menyebalkan?" tanya Irina dengan rasa marah yang mulai merambat.

Brant mendengus dan menatapnya tajam. "Pada intinya, aku ingin kau bisa memahami sekelilingmu, Irina. Kau harus memilih mana yang harus kau sampaikan, dan mana yang tidak."

"Aku tidak menyampaikan apa-apa, tapi mereka yang terus menyampaikan semua itu, dan aku mendengarnya," ujar Irina membela diri.

"Dan kau merasa ucapan terakhirmu pada mereka bukanlah apa-apa?" balas Brant sengit.

"Apakah itu masalah?" sahut Irina.

"Tentu saja. Kau menambah jumlah spekulasi mereka yang tidak diperlukan," tegas Brant.

"Setelah apa yang kita lewati? Seperti semalam?" balas Irina kecewa.

"Itu tidak ada hubungannya," ucap Brant dengan penuh penekanan.

"Tidak ada?" tanya Irina tidak percaya.

Brant menatapnya begitu tajam, tampak tidak menggubris nada kecewa yang tersisip dalam suaranya. "Tidak, karena kebersamaan itu adalah sebuah kesalahan dan seharusnya tidak terjadi."

Jika saat bangun tadi, Irina merasa senang seperti berada dalam dunia mimpi yang indah. Saat ini, mimpi indah itu berubah menjadi mimpi buruk. Kesalahan, satu kata itu membuat hatinya berdenyut nyeri. Sebab, kesalahan yang dianggap Brant adalah momen yang tak terlupakan baginya.

Irina merasa sangat sedih, juga kecewa, dan tidak percaya. Mungkin hal ini adalah resiko yang harus diterimanya karena sudah menjadi pemaksa. Atau mungkin saja, Irina terlalu antusias dan bersemangat dalam merasa percaya diri untuk mendapatkan Brant.

"Acara sudah dimulai, dan aku ingin melihat pesta," ucap Irina pelan, lalu segera berbalik untuk menuju ke tempat acara.

Langkahnya semakin cepat, berharap agar Brant tidak menyusul, dan bersyukur karena pria itu tidak mengejarnya. Lagi pula, untuk apa Brant mengejarnya? Toh, dirinya sudah dianggap sebagai kesalahan.

Semakin mendekati tempat acara, langkahnya semakin memberat, dengan pandangan yang sudah mengabur. Irina mengerjap-ngerjapkan matanya untuk tidak menangis karena tidak ingin menarik perhatian. Sebab nantinya, hal itu akan menyusahkan Brant, dan dia tidak ingin mempermalukan pria itu lagi.

Sebulir air mata sudah lolos begitu saja tanpa bisa dicegahnya. Membuatnya menutup mulutnya sendiri, mengerjap bingung untuk melihat sekeliling yang begitu ramai, dan merasa asing dengan sekelilingnya, seperti tamu yang tak diundang dan tersesat.

Merasa sendiri, Irina mulai panik dengan keinginan menangis yang sangat besar. Langkahnya mulai tidak terarah, entah kemana dia berjalan, karena berusaha ingin menjauh dari sana. Dadanya terasa sesak, napasnya memberat, dan... bruk!

Irina menubruk seseorang dan itu membuatnya semakin panik, juga takut. Sialnya, dia justru mulai terisak, dan tubuh besar itu melingkupinya dengan pelukan yang erat.

"M-Maafkan aku," ucap Irina parau, dan mendongak untuk melihat pria asing dengan senyuman lebar dan ramah itu.

Pria itu memiliki siluet wajah peranakan Jepang karena kesannya yang unik. Sering memimpin tour bersama turis dari mancanegara, membuat Irina mudah untuk melihat kesan wajah seseorang dari negara asalnya.

"Hello, Cantik. Rasanya terlalu sayang untuk wajah secantik ini harus terlihat sedih," sapanya ramah, lalu merogoh sesuatu dari saku celana, dan mengusap wajah Irina dengan sangat hati-hati.

"A-Aku..."

Irina yang baru tersadar sedang berada dalam pelukan pria asing, hendak melepaskan diri, tapi rengkuhan pria itu terlalu erat.

"Jangan memberontak, itu tidak akan baik," ujarnya tenang. "Aku tidak tega dan berniat untuk memberi pelajaran pada orang yang begitu tega mengabaikanmu."

"Apa?" tanya Irina bingung.

Pria itu terkekeh dan sudah selesai mengusap wajah Irina. "Namaku Alejandro, kau bisa memanggilku Ale. Aku adalah adik dari Alena, mungkin kau sudah mengenal kakakku yang sedang sibuk merayakan ulang tahun keponakanku."

Irina tertegun dan menatap Ale dengan tatapan menilai. Sorot mata dan senyumnya terlihat persis seperti Alena. "H-Hai."

Ale melebarkan senyuman dan mengangguk senang. "Siapa namamu, Cantik?"

"Irina."

Mata Ale melebar takjub. "Namamu sangat cantik. Senang berkenalan denganmu. Kurasa, kau adalah wanita yang katanya tidur di kamar tamu yang berada di lantai dua."

"Kamar yang seperti kamar seorang putri kerajaan," tambah Irina hangat.

Kesedihannya entah menguap kemana saat bersama dengan pria itu. Pembawaannya yang ramah dan hangat, membuat Irina merasa nyaman. Setidaknya, dia sudah memiliki teman baru.

"Dan kau sangat cocok menempatinya," ujar Ale hangat, lalu melepaskan pelukan dan meraih satu tangan Irina untuk digenggam.

"A-Aku..."

"Pesta ulang tahun anak-anak sangat membosankan untuk kaum muda seperti kita. Aku akan mengajakmu berkeliling. Di mansion ini, ada ranch kuda dan danau yang luas di dekat sana," ujar Ale sambil berjalan berdampingan dengan bergenggaman tangan.

"Ranch dan danau?" pekik Irina kaget.

Ale tertawa dan mengangguk. "Kau akan sangat menyukainya."

Dan benar saja. Irina sangat menikmati kebersamaan dengan Ale. Pria itu mengajaknya berkuda dan menaiki perahu hingga ke tengah danau. Dia bercerita apa saja tentang kehidupannya, bagaimana sulitnya berkuliah, dan mengeluh tentang betapa keras ayahnya mendidiknya.

Perasaan Irina begitu ringan saat mendengarkan pengalaman hidup Ale yang begitu berwarna, hingga tidak menyadari jika sedaritadi, ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari kejauhan, sejak dari mereka meninggalkan tempat acara tadi.

Republished: 09.11.20 (19.46 PM)

Aku nggak baca ulang lagi karena nggak enak badan. Info aja kalau ada typo ya.
💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top