PART. 14 - ANNOYING MATES

Saat bisa melihat tiga orang yang sudah berdiri tepat di depan pintu jet, Brant mengabaikan tatapan berkilat nakal dan seringaian geli dari mereka, dengan terus berjalan dan melewati mereka, sambil menggendong Irina yang masih terlelap.

Sempat melakukan pekerjaan di ruang kendali selama hampir satu jam, Brant melakukan rencana mendadak guna mengantisipasi tindakan yang tidak diperlukan.

Dia pun mengatur Lori, orang kepercayaan di farmhouse miliknya, untuk membawa semua anak-anak agar keluar dari rumah itu, dan mengungsi di tempat yang sudah disediakan. Rumah itu pun dijaga oleh para penjaga, termasuk kediaman para petinggi yang ada di Jakarta.

Menjadi kepala pertahanan dalam Eagle Eye, Brant sudah terbiasa untuk berpikir dua kali lebih jauh, dan bersikap kritis dalam segala hal. Meski terkesan berlebihan, tapi lebih baik mencegah daripada bertindak. Karena saat tindakan dilakukan, maka tujuan akhirnya adalah penyelesaian sampai akhir, dan bukan pengampunan.

Adapun dalam hal ini adalah Bashkatov Mikail, sosok yang sedang menjadi calon target yang perlu diawasi, meski orang itu tidaklah berbahaya. Namun, niatnya untuk mencari keponakannya setelah satu dekade patut dicurigai. Sebab sampai hari ini, motifnya untuk mencari Irina belun diketahui.

"Jangan bersikap sinis seperti itu, Brant. Kau tahu jelas jika kami datang untuk memberi bantuan, bukan gangguan," celetuk Darren sambil menyeringai geli, saat Brant memasuki sebuah kamar pribadi yang ada di dalam jet itu.


"Kita memang sudah menjadi orang yang tidak pengertian karena Brant sedang beralih profesi menjadi penjahat kelamin dan menargetkan anak kecil sebagai incarannya. Apa nama istilahnya?" sahut Russell dengan ekspresi seperti berpikir yang palsu.


"Pedofil, Russell. Jangan berlagak bodoh padahal kau tahu," jawab Luke sambil tertawa geli.

Brant merebahkan Irina di ranjang, lalu menyelimutinya. Sengaja membuat wanita itu tertidur, perhitungan waktu Brant adalah Irina baru akan sadar sekitar dua jam lagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga subuh, dan sudah saatnya Brant untuk segera bergegas. Sebelum keluar dari kamar itu, dia menarik travel bag Irina yang sudah diambil oleh Luke dari villa, dan menaruh tas itu di sisi ranjang yang kosong.

Begitu dia berbalik, Brant langsung mendesah malas karena ketiga temannya itu masih berdiri berdampingan sambil menatap dengan ekspresi yang membuatnya jengkel.

"Aku tahu jika kau adalah Alfa yang bisa memanggil kami dalam waktu kurang dari sejam, tapi... bisakah kau memberikan penjelasan untuk membayar jatah liburanku dengan harus datang atas status darurat yang kau kirimkan?" tanya Russell dengan satu alis terangkat dan senyum setengah yang membuat kejengkelan Brant semakin bertambah.

"Untung saja, aku masih berada di Surabaya karena harus mendampingi Sir Petra untuk mengunjungi Master Kim di sana," lanjut Darren sambil bersidekap.

Luke terkekeh geli saat tatapan Brant menyipit tajam ke arahnya. Dia yakin jika apa yang diucapkan Darren dan Russell adalah omong kosong. Sebab, tidak mungkin mereka bisa tiba kurang dari sejam di Nusa Penida, jika memang tidak sedang berada di sekitar sini.

"You were right, Brant. Kami memang sudah berasa di sekitar sini, dan mereka adalah pembual," celetuk Luke ceria, seolah bisa membaca pikiran Brant.

Brant menggelengkan kepala sambil menatap ketiganya secara bergantian.
"Aku yakin jika Sir Joel yang sudah menyuruh kalian untuk menyusulku ke sini, sesaat setelah dia menelepon untuk mengundangku ke pesta ulang tahun anaknya."

"Dan kau masih berpura-pura tidak tahu keberadaan kami, lalu memanggil kami dengan status Red Code," balas Darren sambil memutar bola matanya.

Brant mengangkat bahu dengan acuh, lalu menatap Luke tajam. "Jalankan pesawat ini, Luke."

"Aye aye captain!" balas Luke dengan wajah bersungut-sungut, dan segera berjalan menuju ke kursi kemudi untuk menerbangkan jet itu.

"Apa kita akan kembali menghancurkan Base Camp lagi? Entah sudah berapa banyak Base Camp yang kita hancurkan. Para petinggi pun sepertinya sudah malas untuk membangun kembali," ucap Russell.

"Lokasi Base Camp yang diambil pun semakin konyol. Aku dengar jika Base Camp yang baru, akan dibangun di rawa-rawa, dan terowongan di dekat saluran pembuangan," timpal Darren dengan ekspresi jijik.

Brant mengambil sebuah portable dari saku celana, lalu mengulurkannya pada Darren. "Hancurkan."

"Kenapa harus aku yang menghancurkannya?" tanya Darren heran.

"Karena Brant sangat lelah, Darren. Dia belum beristirahat karena sibuk menggauli wanita di bawah umur," sahut Luke dari posisi duduknya.

Russell tertawa keras. "Jujur saja, selama ini aku sangat penasaran dengan selera wanitamu, Brant. Tapi setelah mengetahuinya, well, ini sungguh di luar dugaan."

Brant tidak menanggapi ejekan ketiganya karena sudah duduk di kursinya, dengan posisi terarah pada jendela jet, menghadap pada rumah yang sudah menjadi Base Camp Eagle Eye selama tiga tahun terakhir.

Darren duduk di sisi kanannya, sedangkan Russell menyusul Luke untuk duduk di sampingnya. Dengan perlahan, jet itu mulai merambat naik, dan semakin naik, lalu berhenti pada ketinggian rendah dengan posisi yang disesuaikan untuk tindakan penghancuran.

Tanpa ragu, Darren menekan tombol di portable, dan asap putih mulai menguar dari tembok bangunannya. Pondasi Base Camp itu memiliki struktur beton bertulang, dan dimasukkan sebuah kotak yang berisi cairan penghancur beton, di setiap titik garis pondasi .

Proses penghancuran pun hanya berlangsung beberapa menit setelah tombol pengendali sudah ditekan. Proses penghancuran melalui cairan kimia itu, diawali dengan kotak penyimpan itu meretakkan diri, lalu cairan yang tersimpan di dalamnya akan merembes, dan menjalar di sekeliling.

Asap yang terlihat menandakan cairan itu sudah bekerja untuk menghancurkan beton dari mutu terkeras, dan di setiap perlengkapan yang terpasang di dalam rumah, juga dimasukkan cairan yang sama. Akhir dari proses penghancuran itu adalah bangunan akan rubuh dengan sendirinya, tanpa perlu membakar atau meledakkannya, hingga rata dengan tanah.

Penghancuran itu belum selesai saat Luke mulai kembali menaikkan posisi, memutar arah, dan menerbangkan jet untuk meninggalkan hutan itu.

"Jadi, apa yang bisa kami bantu?" tanya Darren sambil memberi pengaturan pada portable-nya.

Brant menoleh pada Darren yang duduk dengan posisinya yang anggun. Penampilan pria itu tidak terlihat seperti penjaga lainnya. Terlihat berkelas, berbeda, dan memiliki aura yang begitu kuat. Masih tidak habis pikir tentang Darren yang bisa menjadi tangan kanan Sir Petra untuk diperintah melakukan apa saja, karena Darren lebih pantas menjadi putra mahkota saja.

"Irina sedang berada dalam pengawasan selama beberapa tahun oleh pihak pamannya yang berada di Rusia," jawab Brant datar.

"Bukankah itu bagus? Artinya, dia akan segera bertemu dengan keluarganya, meski cukup aneh jika hal itu baru dilakukan sekarang," sahut Russell.

"Tidak ada yang aneh," celetuk Luke dengan nada riang, yang sukses membuat Brant mendengus kasar. "Hanya saja, hal itu menjadi masalah karena Brant ingin menjadikan anak itu sebagai istri. Oh, God! Aku masih mengingat bagaimana dia memanggil Brant dengan suara cadelnya. Uncle, Uncle, aku ingin boneka Teddy!"

Darren dan Russell langsung tertawa keras, mengabaikan ekspresi tidak senang dari Brant. Rasanya menyebalkan jika harus berbagi cerita dan urusan dengan ketiganya, karena inilah yang akan diterima sebagai pembuka. Ejekan dan cibiran, lalu berakhir dengan dukungan dan bantuan. Sangat brotherly sekali, batin Brant kesal.

"Bisakah kita menjadi dewasa dengan membahas masalah ini secara serius?" tanya Brant ketus.

"Bisakah kau bersikap santai sekali saja supaya hidupmu tidak monoton, Brant? Aku hanya melempar sedikit lelucon," balas Luke.

"Dan kau terlalu banyak bercanda!" sahut Brant.

"Itulah caraku untuk menikmati hidup, Kawan," balas Luke lagi.

"Luke, sudahlah. Brant sedang tidak ingin bercanda," lerai Russell sambil menepuk bahu Luke.

"Baiklah, aku memang selalu mendapat teguran dari Brant yang sama sekali tidak asik sebagai kawan," balas Luke tanpa beban.

Tanpa peringatan, Brant langsung menendang kursi Luke yang ada di depannya dengan keras. Tendangan itu membuat tubuh Luke terdesak ke depan, dan tidak sengaja menekan tombol kendali, hingga membuat posisi jet tiba-tiba menukik tajam.

"Shit, Brant! What the fuck are you doing?" teriak Luke kesal, sambil bekerja untuk mengembalikan posisi jet itu.

"Lihat apa yang kukatakan tadi, kan? Jangan membuatnya marah!" sembur Russell kesal.

Darren mengerutkan kening sambil menepuk bahu Brant. "Easy, Big Bro. What the hell happened? Jika kau lelah, tidurlah."

"Ya, lebih baik kau tidur saja sana! Sekalian cari penyegaran di kamar dan..." sewot Luke dan ucapannya terhenti, saat dia melihat Brant mulai beranjak dari kursi.

"Stop it, Brant!" seru Darren yang langsung menahan gerakan Brant yang hendak menggapai Luke.

"Easy, easy, Dude! Sorry, I'm so sorry, K?" seru Luke yang juga sudah berdiri dan menatap Brant dengan waspada.

"Seriously? Apakah harus bertengkar seperti ini?" keluh Russell sambil menggelengkan kepalanya.

Brant kembali ke kursi sambil menatap berang pada Luke. "Sekali lagi kau bersuara, aku akan patahkan lehermu."

"Sebelum kau melakukan itu, aku yang akan mematahkannya lebih dulu," balas Luke keras kepala.

"Go back to your fucking seat, Luke! Kau sudah mengenal Brant cukup lama, dan jika dia tidak senang, maka hentikan! Kita harus menempatkan posisi dalam bersosialisasi, dan kau jangan memperkeruhnya dengan mengabaikan batasan seseorang dalam bergaul," tegas Darren yang masih menahan Brant, cemas jika sewaktu-waktu Brant akan menyerang.

"Kau bisa lepaskan aku, Darren!" tegur Brant sinis.

Darren mendengus dan melepasnya dengan enggan, lalu kembali ke kursinya. Luke dan Russell pun sudah duduk di kursi masing-masing, tidak lagi bersuara.

"Langsung pada intinya saja, apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Darren kemudian.

Brant menghela napas sambil melempar tatapan ke luar jendela. "Aku mendapatkan kejanggalan selama dua hari ini. Seperti yang Sir Joel katakan padaku, bahwa pihak keluarga Irina mulai bergerak. Sepertinya, Irina sudah dikenali dan dijadikan target pengawasan, yaitu wanita yang berperan sebagai sahabat, atau putra dari pemilik perusahaan tempat Irina bekerja, juga beberapa pelanggan di toko rotinya."

"Apa yang kau maksud adalah Bashkatov Mikail?" tanya Luke.

"Kau mengenalnya?" balas Brant dengan kening berkerut.

"Dia adalah pengusaha baja terbesar di Rusia, juga memegang beberapa perusahaan media terkenal di sana. Dia juga masuk dalam daftar sepuluh orang terkaya dalam negeri itu versi BusinessMagz," jawab Luke lugas.

"Apa kau melakukan pencarian informasi tentang orang itu?" tanya Russell.

Luke mengangguk. "Ayahku sempat memintaku untuk mencari tahu tentang orang itu, sebelum Sir Ashton melakukan kerja sama dengannya. Dari yang kudapatkan, dia tidak berbahaya."

"Jadi, dia memang berniat untuk mengawasi Irina dari kejauhan," gumam Brant dengan tatapan menerawang.

"Dan menunggu saat yang tepat untuk mengenalkan diri sebagai keluarga," lanjut Darren.  

"Mungkin saja jika orang itu sudah muncul di depan Irina," tebak Russell.

"Pertanyaanku adalah kenapa baru sekarang? Kenapa tidak langsung melakukan pencarian setelah penyerangan itu?" lanjut Brant.

"Jika itu terjadi, maka ceritamu tidak akan dibuat, Brant," sahut Luke sambil terkekeh geli.

"Luke, stop!" tegur Russell.

Brant tidak lagi menanggapi ejekan Luke dan mulai mengulang kejanggalan yang didapatinya selama dua hari ini dalam pikirannya. Sebab, semuanya terjadi secara berurutan, dan tidak mungkin itu hanya sebuah kebetulan.

"Apa mungkin ini berhubungan dengan usia yang cukup untuk menjadi alih waris? Bukankah Irina sudah genap berusia 20 tahun sekarang?" tanya Darren.

"Benar sekali," jawab Brant masam. "Aku sudah yakin ada sesuatu yang terjadi, saat Sir Joel tiba-tiba memberikan cuti liburan, dan menyuruhku untuk singgah ke Bali, sebelum kembali ke tempat tinggalku di Jakarta."

Brant menggertakkan gigi, mengumpat dirinya sendiri karena sudah bertindak sejauh ini. Baru menghabiskan waktu selama dua hari, tapi Brant sudah merasa seperti orang lain.

Kejanggalan yang ditemukan. Kebetulan yang mencurigakan. Situasi sekeliling yang membuat tidak nyaman. Dan meniduri Irina adalah kesalahan fatal yang sudah dilakukan. Di samping itu, kepolosan dan kewaspadaan yang begitu minim dari Irina, sudah membuatnya hilang akal. Atau mungkin, sudah tidak ada? Shit! 

"Kurasa, Alfa memiliki alasan kuat saat merencanakan sesuatu, Brant. Dan dalam waktu dua hari, kau sudah bisa menerkanya," ujar Darren sambil memperhatikannya dengan seksama. 

"Benar sekali. Seks dengan anak muda menyegarkan pikiran dan membuatmu bertambah jenius. Kurasa, aku perlu mengikuti langkahmu, Brant," sahut Luke tiba-tiba.

Darren dan Russell langsung mengambil posisi untuk bertindak sambil menatap Brant waspada, sebab Luke kembali membuat ulah. Tapi, Brant masih begitu tenang dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Aku yakin jika hanya kau dan dia di dalam jet ini, kau sudah mati, Luke. Bisakah kau menjaga mulut sialanmu?" bisik Russell geram.

Luke terkekeh geli sambil menoleh pada Brant yang masih bergeming. "Aku suka melihatnya seperti itu. Tidakkah kau lihat jika dirinya mulai berekspresi? Bahkan, saat aku mengejeknya, dia langsung meluapkan kemarahannya seperti tadi. Biasanya, dia hanya bersikap diam dan mengabaikanku. Telinganya seperti tuli, dan kaku seperti robot jika kita sedang bercanda."

"Setidaknya, jaga mulutmu, Luke. Naluri isengmu tidak diperlukan sekarang," balas Darren sambil melirik waspada pada Brant yang kini memejamkan mata dengan ekspresi yang masih berpikir.

"Darren, coba tendang kakinya. Kenapa dia hanya terdiam saja? Apa dia baik-baik saja?" tanya Russell bingung, dan Luke mengikuti arah pandang Russell yang sedang melihat Brant.

"Dia sedang berpikir," jawab Darren.

"Dia tidak sedang yoga, bukan? Maksudku, tidak sampai mengosongkan pikiran, dan rohnya tetap berada di dalam raganya, bukan?" tanya Luke sambil menatap ngeri.

Merasa yakin jika ketiganya mulai tidak waspada, Brant segera melepas sabuk pengaman untuk beranjak dari kursi, dan segera mencapai Luke untuk memberikan sebuah pukulan keras di wajah sialannya. Darren dan Russell tersentak, tidak sempat melakukan sesuatu, karena Brant bergerak begitu cepat.

Luke yang kaget, berusaha menjauh tapi tubuhnya hampir mengenai pusat kendali kemudi pesawat. Melihat hal itu, Brant segera menarik tubuh Luke, mendorongnya ke belakang, dan terhempas begitu saja di kursi kosong yang tadi didudukinya.

"Dude, kau tidak perlu sampai..."

"Tutup mulutmu, Russell! Biarkan bajingan itu duduk diam di sana, sementara aku yang mengendalikan jet ini!" sela Brant tajam sambil melotot galak pada Russell.

"Kenapa kau yang mengambil alih kemudi?" tanya Darren sambil meringis membayangkan apa yang akan dilakukan Brant.

"Untuk memudahkanku menghajar bajingan bermulut besar itu, tanpa perlu mengganggu penerbangan ini," jawab Brant sengit. "Aku tidak ingin adanya pemberitaan soal sabotase, lalu kejatuhan pesawat jet ini di media, dan berkembang menjadi isu teroris di negara ini."

"Kau itu... ck! Begitu saja pakai marah-marah. Tidak seru," gerutu Luke sambil mengusap darah yang ada di sudut bibirnya.

"Tutup mulutmu, Luke. Lihat, kau berdarah," tegur Darren.

"Hanya sedikit lecet dan bukan masalah besar. Namanya juga laki-laki," balas Luke enteng sambil menerima uluran sapu tangan dari Russell. 

"Jadi, apa yang kau rencanakan saat ini, Brant? Dengan kita membawa Irina, sudah pasti pihak keluarganya akan melakukan pencarian," tanya Russell.

"Ada pesta yang harus kita hadiri di Jakarta," jawab Brant.

"Benar sekali. Sir Joel membutuhkan bantuan untuk meniup balon dan memasang dekorasi ulang tahun anak kembarnya," balas Luke tengil.

"Apakah itu berarti semuanya akan hadir?" tanya Darren pelan, dan langsung menarik perhatian ketiganya untuk menoleh ke arahnya.

"Semuanya yang kau maksud itu berarti satu wanita, bukan begitu?" cetus Luke dengan alis terangkat setengah.

"Itu tidak akan berhasil," balas Russell sambil tertawa.

"Bisa jadi," sahut Brant menyetujui.

"Kenapa tidak?" tanya Darren dengan alis terangkat menantang.

"Satu, kau bajingan. Dua, kau yang memulai. Tiga, kau harus merasakan akibatnya," jawab Luke mantap.

"Selalu ada hal baru yang bisa kita pahami untuk sebuah perbaikan, bukan?" balas Darren.

"Apa kau bermaksud untuk melakukan renovasi?" tanya Brant dengan alis terangkat setengah.

"Wanita itu sama seperti sebuah rumah. Home sweet home. Apa benar begitu? Aku tidak yakin. Kita sebagai laki-laki yang memiliki kesibukan sehingga jarang pulang, dan itu berarti kita tidak membutuhkan wanita. Maksudku, jika bisa memiliki beberapa wanita, kenapa kita harus terjebak dengan wanita yang itu-itu saja?" timpal Russell sambil menyeringai.

"Jangan berbicara seperti itu, Russell. Itu tidak baik untuk teman kita yang baru saja memiliki wanita yang itu-itu saja di dalam rumahnya," sahut Luke dengan ekspresi tanpa dosa.

Deg! Semuanya langsung terdiam. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

"BRANT! STOP IT!!!!" seru Darren ketika melihat Brant sudah meninggalkan kursi untuk kembali menghajar Luke.

"Shit!" umpat Russell sambil menarik Brant menjauh dari Luke, dimana pria sialan itu justru terkekeh geli mendapatkan pukulan Brant.

"Apa kau gila, Luke? Kau ingin mati?" tanya Darren kesal.

Brant mendengus sambil menatap Luke tajam, dan menyingkirkan cengkeraman Russell pada lengannya.

"Bukankah ini menarik? Brant yang dingin bisa menunjukkan emosi, hanya karena diejek olehku. Respon spontan yang dilakukan manusia adalah bertindak, ketika hal yang benar diremehkan atau dijadikan bahan lelucon. Jika tidak benar, maka tidak akan memberikan respon berlebihan. Jadi, hal ini sudah semakin jelas jika Brant sudah memiliki perasaan, hanya saja belum menyadarinya," jawab Luke santai, sambil menikmati ekspresi tertegun dari Brant.

Tidak ada yang berani membuka suara, karena Brant tidak memberi balasan untuk ucapan Luke barusan. Suasana di dalam jet itu seketika hening, seolah membiarkan Brant kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Perasaan? pikir Brant. Dia masih belum mengerti tentang apa yang dirasakannya saat ini. Apakah dia memang sekedar ingin bermain-main? Atau sudah menganggap Irina lebih dari apa yang dipikirkannya selama ini?

Entahlah. Brant masih belum tahu pasti soal itu. Namun yang pasti, dia bertekad untuk melindungi Irina dan tidak akan membiarkan Bashkatov Mikail mengambilnya begitu saja.

Seperti yang pernah dikatakan Irina padanya bahwa Brant adalah segalanya dalam hidup Irina, dan akan mengabdikan seumur hidupnya untuk Brant. Kini, sudah saatnya bagi Brant untuk melakukan sesuatu agar Irina membuktikan perkataannya. 

Republished : 31.10.2020 (10.53 AM)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top