PART. 13 - UNSPOKEN PROMISE
Biarkan Uncle yang menutup minggu ini, karena aku akan libur update di weekend.
Info ya kalau ada typo. Borahae.
Happy Reading 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Perut yang bergemuruh lapar, spontan membangunkan Irina dari tidurnya. Matanya mengerjap berat, masih terasa mengantuk karena rasa lelah yangn masih menjalar di tubuh, tapi perutnya lapar sekali. Ngilu dan nyeri, itu yang terasa saat Irina mencoba beranjak, lalu terduduk sambil meringis pelan.
Merasakan adanya pergerakan di samping, Irina menoleh dan tersentak melihat Brant yang sedang duduk di sofa kecil yang ada di samping ranjang. Pria itu memperhatikannya sambil menopang kepala dan menatap dengan alis terangkat. Menyadari arah tatapan Brant, Irina spontan menarik selimut untuk menutupi tubuh bagian atasnya karena dirinya masih telanjang.
Brant terkekeh geli, lalu beranjak untuk mendekati Irina dan menautkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Untuk apa menutupi tubuhmu? Aku sudah melihat semuanya."
"Aku malu," jawab Irina gugup.
Brant mencondongkan tubuh untuk bisa mengecup pipi Irina, lalu berbisik lembut padanya. "Aku sudah menyiapkan makanan untukmu. Ayo, kita makan."
Sambil mengerjap bingung, Irina mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan mendapati mini dress-nya teronggok di lantai kamar. Berpikir untuk mengambil pakaian itu, tapi Brant sudah menyodorkan sebuah kemeja yang terlipat rapi di atas pangkuan Irina.
"Pakai ini," ucap Brant sambil menunjuk kemeja itu.
Irina menoleh dengan kening berkerut. "Ini kebesaran."
"Perlu kau ketahui jika masih bersikeras untuk memakai gaun ketat dan kurang bahan seperti itu, maka bukan makan malam yang akan kau dapatkan, tapi kau yang akan menjadi menu utamanya," ujar Brant sambil menyeringai licik dan ekspresi mesum yang membuat Irina merengut kesal.
"Setelah bercinta, kau sudah berani menggodaku secara terang-terangan, Uncle?" ucap Irina cemberut.
Brant tertawa sambil mengacak rambut Irina yang berantakan, lalu beranjak dari sana. "Berpakaianlah, aku akan menunggumu di ruang makan."
Setelah Brant pergi, Irina segera menyibakkan selimut dan bergegas untuk membersihkan diri. Saat berdiri, Irina meringis pelan untuk menahan rasa nyeri yang menjalar di sekitar pangkal pahanya. Rasa nyeri itu semakin menjadi saat Irina menuntaskan urusan pribadinya dengan membuang air kecil.
"Kenapa Ruby tidak memberitahuku jika akan sesakit ini?" keluh Irina seorang diri, lalu menarik napas saat berdiri.
Dia membersihkan diri dalam waktu singkat, dan memakai kemeja pemberian Brant yang kebesaran di tubuhnya, lalu segera keluar dari kamar itu. Perutnya semakin bergemuruh ketika sudah mencapai ruang makan, dimana aroma makanan menyambut kedatangannya hingga membuatnya menelan air liur.
Meski begitu, tatapannya masih sempat menilai interior rumah yang begitu indah dan nyaman. Rumah itu hanya memiliki satu lantai tapi begitu luas. Tidak menyangka jika di tengah hutan seperti itu memilliki sebuah rumah yang indah seperti ini. Dalam hatinya, Irina sudah berpikir jika Brant adalah salah satu klan keluarga Cullen yang harus menyembunyikan identitas keluarga dengan menempati sebuah rumah di tengah hutan.
"That white shirt suits you," ucap Brant yang langsung membuat Irina menoleh padanya.
Pria itu sedang membawa dua piring makanan dari dapur, lalu menaruhnya di meja makan. Senyuman Irina mengembang saat melihat seporsi pasta sudah dihidangkan dan segera duduk untuk menikmatinya tanpa ragu.
Irina memekik senang sambil mengacungkan ibu jari, tanda bahwa pasta itu sangat nikmat. Brant hanya tersenyum sebagai balasan dan menikmati makan malam bersamanya dalam diam. Irina menekuni makanannya, tanpa sekalipun membuka suara seperti biasa. Rasa lapar membuatnya begitu rakus dalam menghabiskan seporsi pasta dalam waktu singkat.
"Apakah selapar itu?" tanya Brant yang membuat Irina segera menoleh dan menyeringai lebar.
"Ini enak sekali, Uncle," jawab Irina sambil tersipu malu.
"Apa kau masih ingin mendapatkan porsi lebih?" tanya Brant sambil menyodorkan piringnya yang masih ada setengah porsi.
Irina menggeleng. "Aku sudah kenyang, terima kasih."
Brant mengangguk dan masih menatapnya sambil bertopang dagu. Hal itu membuat Irina menjadi gugup dan mengernyit bingung.
"Apa ada yang salah di wajahku hingga kau harus menatapku seperti itu?" tanya Irina sambil menangkup wajahnya seolah ada sesuatu.
Brant tersenyum sambil mengangkat satu alisnya. "Aku menyukai bagaimana kau begitu lahap dalam menghabiskan makananmu."
Irina mengerjap cepat, tiba-tiba merasa tidak nyaman karena tidak menjaga sikap dengan baik, hingga harus terlihat rakus di depan calon suami masa depannya. Pikirannya barusan spontan membuat wajahnya memerah, lalu menunduk untuk menyembunyikan kepanikannya. Calon suami masa depan, batin Irina lirih.
Meski menunduk, Irina masih bisa merasakan tatapan Brant yang tampaknya tidak teralihkan. Pria itu menatapnya dengan tajam, seolah menilainya secara rinci, dan itu membuatnya semakin tidak nyaman. Mengangkat kepala, Irina membalas tatapan Brant dengan ekspresi tidak suka.
"Bisakah kau menyampaikan sesuatu yang ingin kau sampaikan, tanpa harus menatapku seperti itu? Ini tidak nyaman," tegur Irina.
Alis Brant terangkat. "Bukankah kau seharusnya yang menyampaikan sesuatu padaku? Atau setidaknya, bertanya padaku?"
"Wah, sungguh luar biasa jika kau menawarkan diri untuk ditanya padaku," ujar Irina takjub dan segera membetulkan posisi untuk sepenuhnya menatap Brant. "Aku akan bertanya tanpa jeda dan malu. Bersiaplah, Uncle."
Brant tersenyum sambil mengangguk sebagai balasan.
"Dimana kita berada? Rumah apa ini? Kenapa bisa dibangun di tengah hutan? Apa tujuanmu membawaku ke sini? Dan apakah kau memiliki hubungan saudara dengan keluarga Cullen?" tanya Irina bertubi-tubi.
Hening. Brant bergeming selama beberapa lama setelah mendengar pertanyaan Irina, dan kembali memasang ekspresi datar.
"Apa kau tidak bisa bersikap serius sedikit saja?" tanya Brant ketus.
"Aku sedang serius," jawab Irina bersikeras.
Brant berdecak dan menatapnya sinis. "Untuk apa kau ingin tahu tentang rumah ini?"
"Karena kau sudah membuang waktuku untuk menyewa sebuah vila dan membuang uang dengan percuma. Jika kau memiliki rumah di sini, kenapa tidak bilang saja tanpa harus membuatku bekerja semalaman untuk mencari tempat menginap?" sewot Irina kesal.
Brant tertegun sejenak, lalu menatapnya tidak percaya. "Seriously? Hanya itukah alasanmu menanyakan tentang rumah ini?"
"Tentu saja tidak! Aku juga ingin tahu kenapa kau memiliki layar raksasa di depan rumah ini dan bisa terbelah menjadi dua? Jika kau bukan salah satu klan keluarga Cullen, mungkin kau mempunyai tongkat ajaib seperti Harry Potter," ucap Irina dengan mata menyipit tajam.
Brant memutar bola mata sambil mengusap wajahnya dengan frustrasi. Tidak menyangka dengan respon Irina yang membuatnya pusing kepala. "Kau sangat naif, Irina. Aku berpikir jika kau adalah anak berumur sepuluh tahun yang terjebak dalam tubuh seorang wanita berumur dua puluh tahun."
"Umur sepuluh tahun tidak akan mungkin bisa bercinta dan membuatmu menggeramkan namaku dengan nikmat, Uncle," balas Irina yang sukses membuat Brant langsung tersedak saat sedang meneguk birnya.
"Awas saja jika kau sampai meninggalkanku begitu saja! Aku akan sangat marah padamu!" lanjut Irina cemberut dan kesal melihat sikap Brant yang menyebalkan.
"Apa yang kukatakan tidak ada hubungannya dengan itu, Irina! Lagi pula, kita bercinta atas dasar suka sama suka," ucap Brant tegas.
"Tapi aku tidak suka kau menganggapku seperti anak kecil!"
"Maka berhentilah menjadi seperti itu!"
"Kalau begitu, hentikan sikapmu yang terlihat seperti curiga padaku! Kau menyuruhku bertanya, tapi kau juga yang membalikkan pertanyaanku!" protes Irina sebal.
Mengabaikan Irina, Brant menandaskan birnya, lalu mengoyakkan kaleng, dan membuang kaleng itu ke keranjang sampah yang ada di sisi meja. Dia beranjak dan menghampiri Irina.
"Apa kau sudah selesai?" tanyanya, dan Irina mengangguk.
"Kalau begitu, ayo ikut aku," ajak Brant sambil mengulurkan tangannya.
"Apa kita akan jalan-jalan?" tanya Irina antusias, sambil menerima uluran tangan Brant, dan mengikutinya menuju ke halaman belakang rumah.
Ada sebuah gazebo dan kolam renang di bagian belakang rumah. Senyuman Irina semakin melebar saat bisa melihat pemandangan langit bertabur bintang yang begitu banyak dari posisinya saat ini. Brant mengajaknya untuk duduk di gazebo.
"Apa kau ingin minum sesuatu?" tanya Brant yang sedang membuka kulkas satu pintu yang berada di samping sofa panjang.
"Segelas susu dingin," jawab Irina cepat.
Brant mengeluarkan sebotol whiskey dan menuangkannya ke dalam sloki sambil menatap Irina tanpa ekspresi. "Bukankah susu adalah menu sarapan?"
"Minum segelas susu sebelum tidur adalah tips untuk mendapatkan tidur nyenyak," jawab Irina senang.
"Semacam obat tidur?" tanya Brant sambil memasukkan whiskey itu kembali ke kulkas, dan mengeluarkan sekarton susu segar.
"Aku mengalami kesulitan untuk tidur nyenyak. Berbagai macam cara kulakukan agar bisa mendapatkan jam tidurku, dan segelas susu adalah tips yang cukup ampuh untukku," jawab Irina sambil melihat Brant menuangkan segelas susu dengan santai.
"Karena mimpi buruk?" tanya Brant sambil menyodorkan segelas susu untuknya.
Irina mengangguk. "Dan mimpi itu semakin memburuk. Anehnya, aku tidak lagi bermimpi buruk saat kau kembali."
Satu alis Brant terangkat. "Bisakah kau ceritakan mimpi yang semakin memburuk? Barangkali, aku bisa membantu untuk menenangkan dirimu."
Irina terdiam sambil meneguk susunya sampai habis. Perasaannya mulai tidak nyaman setiap kali teringat dengan mimpi buruknya, terlebih lagi saat bertemu dengan seseorang sekitar satu minggu yang lalu.
"Apa kau akan mempercayaiku, Uncle? Karena setiap kali aku mencoba bercerita, mereka bilang aku berhalusinasi," tanya Irina sedih.
"Siapa yang mengatakan hal itu?" tanya Brant, lalu menyesap pelan whiskey-nya sambil mengamati Irina dari posisi duduknya.
"Suster Lori, Mbok Lis, dan Ruby," jawab Irina.
Brant berpindah posisi untuk duduk di dekat Irina tanpa mengalihkan tatapan. "Ceritakan padaku. Aku berjanji akan mempercayaimu."
Ekspresi serius Brant seolah membuat Irina merasa percaya diri untuk menceritakan mimpi buruknya. Kedua tangan yang sedang menggenggam gelas kosong mulai meremas gelisah, juga tampak tidak nyaman saat pikirannya berkelana dalam mimpi itu.
"Aku bermimpi ada sekumpulan orang berpakaian hitam datang, dan mereka menodongkan senjata ke arahku, Uncle," ucap Irina dengan suara gemetar. "Tapi, itu adalah akhir dari mimpiku. Sebelumnya, ada lagi..."
Brant mengambil gelas kosong Irina, menaruhnya di meja, dan menggenggam dua tangan Irina dengan erat. Tatapannya penuh arti, seolah mengatakan bahwa Irina akan baik-baik saja, dan memberi kode agar Irina melanjutkan.
"Tidak usah takut, aku ada di sini. Ceritakan mimpimu padaku," ucapnya lembut.
"Ada dua orang sedang bertengkar di ujung koridor. Pria dan wanita. Kemudian, pria itu memukul wanita dengan keras hingga aku menjerit ketakutan. Pria itu mengarahkan senjata pada wanita itu, seperti akan menembaknya. Aku takut, dan sangat takut sambil memeluk boneka beruangku, lalu berlari ke kamar," lanjut Irina yang tidak sadar sudah terisak pelan.
Brant menganggukkan kepala, tanda dia mendengarkan dan menunggu kelanjutan. Sama sekali tidak terkesan seperti yang lainnya saat mendengar Irina bercerita. Brant seolah ikut merasakan apa yang dirasakan Irina saat ini.
"Dalam mimpiku, ada yang menjerit. Banyak yang menjerit, lalu suara tembakan, dan seruan permohonan yang terdengar mengerikan di luar kamar. L-Lalu, sekelompok orang berpakaian hitam itu mendatangiku, Uncle," isak Irina dengan tubuh gemetar.
"Apa yang terjadi setelahnya?" tanya Brant sambil membelai pipi Irina, dan memberi seulas senyuman menenangkan.
"Aku melihat dirimu dan menyuruh mereka untuk menurunkan senjata. Setelah itu, aku mengejarmu karena kau seperti akan pergi meninggalkanku di sana. Kau seperti marah dan mengumpat, tapi aku terus memeluk kakimu dan memohon untuk tidak pergi. A-aku sangat bingung, aku benar-benar bingung. Mimpi itu selalu berulang dan setelahnya aku tidak bisa tidur lagi. Aku takut."
Brant segera menarik Irina dalam pelukan, menenangkannya dengan kecupan-kecupan lembut di keningnya, dan membisikkan kata-kata yang terdengar menyenangkan. "Kau akan baik-baik saja. Sudah ada aku di sini."
"Jangan tinggalkan aku, Uncle. Aku tidak sanggup jika harus berpisah denganmu. Aku berusaha untuk menjadi mandiri supaya tidak merepotkanmu. Aku akan menjadi setara denganmu, tapi tolong jangan tinggalkan aku," ucap Irina sambil memeluk Brant dengan erat dan isak tangis yang semakin kencang.
"Sshhh, itu tidak akan terjadi. Tenanglah, Sayang," bisik Brant menenangkan.
Irina menarik diri dan menatap Brant lirih. "Kau harus berjanji untuk tidak meninggalkanku. Katakan padaku jika kau akan selalu bersamaku, apa pun yang terjadi. Kau akan memperjuangkan diriku, dan aku akan melakukan hal yang sama."
Tercengang, juga tampak kaget. Brant tidak mampu membalas selain menatapnya tidak percaya. "Irina..."
"Aku sudah menyerahkan diriku semuanya untukmu. Aku memang sangat naif sampai berpikir untuk mengikat dirimu karena sudah mengambil keperawananku. Pokoknya, kau tidak boleh meninggalkanku."
"Irina..."
"Aku tidak ingin mendengar penolakan apapun darimu! Aku akan menuntutmu dan membuatmu menyesal!" sela Irina dengan sungguh-sungguh.
Brant tertegun, tidak mampu memberi balasan dan itu membuat Irina cemas.
"Kau akan meninggalkanku, bukan begitu?" tanya Irina sedih.
"Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya..." Brant seperti sedang berpikir keras untuk memikirkan kelanjutannya, tapi itu memicu isak tangis Irina semakin menjadi. Tentu saja, pria itu kewalahan dalam menenangkan Irina.
"Jangan menangis," ucap Brant panik.
"Jika hanya karena aku terlalu muda untukmu, bukankah itu adalah hal yang bagus dan kau tidak perlu memiliki wanita simpanan? Bagiku, kau tidak terlalu tua dan kita masih pantas untuk berjalan bersama," ucap Irina.
"Irina, perlu kau ketahui bahwa tidak semua hal bisa kau paksakan dengan keperawanan sebagai alasan. Bahkan, beberapa wanita merelakan hal itu demi kepuasan dan rasa penasaran. Seperti dirimu," ujar Brant menjelaskan.
"Aku memang penasaran, tapi juga karena memiliki perasaan padamu. Aku tidak perlu berpikir keras untuk menerimamu dalam hidupku, Uncle," balas Irina.
"Kita terpaut lima belas tahun," ucap Brant mengingatkan.
"Itu bukan masalah karena kita baru saja melakukan seks dan saling menikmati," sahut Irina mantap.
Tertegun, lalu kemudian Brant tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak percaya jika anak muda zaman sekarang terlalu bersemangat dan pemaksa."
"Karena pria dewasa di zaman sekarang sangat lamban dalam memberi keputusan," tukas Irina cemberut.
"Kau sudah bisa membalasku rupanya," ucap Brant dengan tangan yang sudah merayap di atas paha Irina, dan mengelusnya lembut.
"Berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan meninggalkanku, apalagi menyakitiku, Uncle," balas Irina sambil menangkup wajah Brant dan mencium bibirnya dengan dalam.
Sentuhan tangan Brant semakin naik, dari hanya membelai paha, kini sudah menyelinap masuk untuk menangkup bokong Irina, lalu meremasnya kuat. "Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum pasti, Irina. Tapi aku bisa pastikan bahwa aku adalah orang pertama yang akan selalu melindungimu dari ancaman bahaya apapun."
Irina spontan mendorong bahu Brant, menatapnya dengan ekspresi sedih. "Jadi, begitu ya?"
Brant langsung menggeleng. "Aku tidak mau berjanji, bukan berarti aku akan meninggalkanmu, Irina. Justru, aku menghindarimu dari rasa kecewa karena janji yang tidak terpenuhi. Aku hanya ingin kau menjadi realistis di sini. Kau masih begitu muda dan jalan hidupmu sangat panjang. Percayalah, hidup tidak semudah dan seindah yang kau bayangkan, Irina."
Kecewa, itulah yang dirasakan Irina. Mungkin benar ucapan Brant tentang menghindarinya dari rasa kecewa karena ingkar janji. Namun, ketegasan Brant sudah menjadi sebuah penolakan bagi Irina dan itu sudah terasa menyakitkan.
Irina pun menyadari jika dirinya tidak bisa memaksakan kehendaknya atas Brant. Sangat maklum jika pria itu akan menolaknya. Brant adalah pria dewasa yang sudah memiliki banyak pengalaman hidup, selalu berpikir dengan logika dan bukan emosi sesaat. Keputusan yang diambil sudah pasti penuh perhitungan dan tepat. Tentu saja, Brant tidak ada waktu untuk menghadapi kelabilan sikap dan emosi dirinya.
"Hentikan pikiran burukmu," ucap Brant seolah mengetahui isi pikiran Irina.
Irina tidak menjawab dan hanya mengangkat bahu saja.
"Karena aku sudah mendengar semua ceritamu, kini giliranku," ujar Brant tegas.
"Ada apa, Uncle?" tanya Irina sambil mengamati ekspresi serius Brant.
"Sudah berapa lama kau mengenal Ruby?" tanyanya.
Kening Irina berkerut, lalu menatap Brant dengan mata menyipit curiga. "Untuk apa kau ingin tahu? Aku tahu dia cantik, tapi..."
"Bagiku, kau jauh lebih cantik darinya," sela Brant sambil mengangkat kedua alisnya dengan lantang, sukses membuat wajah Irina merona.
Ketakutan tentang Brant yang akan menyukai Ruby sirna sudah. Bukan karena Irina tidak percaya diri, hanya saja Ruby memiliki semua kelebihan yang mampu membuat semua wanita iri padanya.
"Aku mengenalnya saat SMU. Dia adalah murid pindahan dari Melbourne yang pindah ke Bali karena mutasi ayahnya," jawab Irina kemudian.
"Murid pindahan? Melbourne?" tanya Brant dengan alis bertautan.
Irina mengangguk, "Dia sangat baik dan ramah padaku. Aku menyukainya."
"Apa dia yang mendekatimu lebih dulu?" tanya Brant lagi.
Irina mengangguk sebagai balasan.
"Jadi, kau sudah mengenal Ruby, terhitung sejak lima atau enam tahun ini?"
"Hampir enam tahun. Kami tetap berteman meski sudah lulus dan dia sudah menikah dengan Toby," jawab Irina.
"Bagus! Aku pastikan jika malam ini adalah terakhir kalinya kau bertemu dengan teman sialanmu itu," ucap Brant sambil beranjak dan membantu Irina untuk berdiri.
"Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan Ruby?" tanya Irina kaget, sambil mengikuti Brant untuk berjalan kembali ke dalam rumah itu.
"Karena kau sedang dalam pengawasan seseorang, dan kau dalam bahaya," jawab Brant sambil mendekat ke arah perapian yang ada di ruang tengah, dan meraba batu bata yang tersusun rapi pada dinding perapian.
Irina tersentak saat salah satu batu bata didorong Brant, lalu terjadi pergeseran dinding di belakang perapian. Mata Irina terbelalak lebar saat melihat adanya ruang rahasia di balik perapian. Dia merasa seperti hidup dalam mimpi, dan bukan kenyataan.
"U-Uncle!"
"Selamat datang di Base Camp Eagle Eye, Irina. Ini adalah satu-satunya tempat teraman di Nusa Penida selama beberapa jam ke depan, karena sebentar lagi aku akan menghancurkannya," ujar Brant sambil menarik tangannya untuk masuk ke dalam ruangan di balik perapian itu.
"B..Base Camp? Eagle Eye?"
"Aku akan menjelaskan padamu, tapi beri aku waktu untuk bekerja sebentar," ucap Brant sambil mengarahkan Irina untuk duduk di sebuah sofa tunggal, dan segera beranjak ke tengah ruangan yang terlihat penuh dengan teknologi canggih di situ.
"A-Aku tidak mengerti. Apa yang terjadi? Dan kenapa aku bisa dalam bahaya?" tanya Irina panik.
"Setengah jam!" seru Brant tanpa menoleh ke arahnya. Pria itu sudah berkutat dengan beberapa perangkat yang sudah menyala. "Beri aku waktu setengah jam untuk bekerja. Sambil menunggu, silakan tidur, Sayang."
"Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini?" tanya Irina bingung.
Entah kenapa rasa kantuk terasa, dan Irina mulai menguap sambil mengerjapkan mata yang terasa memberat.
Brant menoleh padanya sambil tersenyum miring. "Tentu bisa, Sayang. Seperti yang kau katakan bahwa segelas susu dingin dapat membantumu untuk tidur nyenyak."
Banyaknya pertanyaan di kepala, menguap entah kemana, karena Irina langsung merebahkan kepala di pegangan sofa, dan tertidur dalam posisi meringkuk di sofa itu. Irina sepenuhnya terlelap saat Brant kembali bekerja tanpa melihat ke arahnya lagi.
Republished : 23.10.2020 (18.30 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top