PART. 12 - THE VIRGIN AND THE BASTARD UNCLE

WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. CH-Zone
Rewrite by. Sheliu.

Brant menyukai apa yang disentuhnya saat ini. Dengan napas tertahan, degup jantung yang berdentum keras, dan tangan yang memanas, Brant begitu mengagumi kulit Irina yang begitu sehat dan kencang.

Cukup kagum dengan keberanian Irina yang berani menantangnya, meski Brant tahu jika apa yang dilakukan Irina semata-mata karena ide konyol sahabatnya. Wanita muda itu bahkan tidak mampu berdiri sampai harus mencengkeram kausnya erat-erat karena gemetar, dan Brant merasa perlu memberi apresiasi.

Satu tangannya masih setia merangkul pinggang Irina, dan satu tangannya lagi membelai lengan kurus Irina, mengarah ke atas, hingga bahu dan leher, selagi bibirnya sibuk menyesap kulit leher Irina.

"Uncle..."

"Ini adalah waktunya menyampaikan apa yang sudah menjadi imajinasi liarmu, Irina," bisik Brant hangat, lalu mengecup bahu Irina, kemudian menggeliatkan lidah di sana, memberi jejak basah.

"M-Maksudmu?" tanya Irina dengan suara tercekat.

Brant mengangkat kepala untuk menatap wajah Irina yang begitu merona. Cantik, pikirnya.

"Saat kau menikmati film itu, apa kau membayangkan diriku sebagai prianya?" tanya Brant sambil membelai sisi wajah Irina, lalu memainkan bibir bawahnya dengan ibu jari.

Irina mengerjap cepat, tampak gugup dengan wajah yang semakin merona. "Apakah itu aneh?"

"Tidak," balas Brant langsung. "Itu... menggairahkan."

"Kau tidak merasa aneh jika aku membayangkanmu seperti itu?" tanya Irina lagi, seolah memastikan jika dirinya tidak salah dengar.

Brant menggelengkan kepala. "Tidak sama sekali."

Irina menelan ludah dengan susah payah, sambil mengencangkan cengkeramannya di kerah kaus Brant. "Mungkinkah itu bisa terjadi saat kau... adalah uncle-ku?"

"Kenapa tidak mungkin?" tanya Brant sambil menurunkan tangannya untuk menangkup bokong Irina yang membulat sempurna.

Tubuh Irina terasa pas di telapak tangannya, sukses menaikkan gejolak hasrat yang sudah berdentum hebat, hingga membuatnya berkedut nyeri dengan ketegangan yang sudah menyesakkan jeans-nya. Kemana saja kau selama ini, Brant? batinnya mengingatkan.

"Uncle, ini geli," desah Irina saat kepala Brant sudah menunduk untuk mencium bahunya, dilanjutkan untuk menjilat, lalu meliukkan lidah menyusuri sepanjang garis bahu.

Tidak menghentikan aksinya, justru Brant semakin bernapsu dalam memberi cumbuan di sekitar leher dan bahu, hingga suara cecapannya terdengar begitu nyaring dengan hasrat yang semakin meningkat.

"Apakah ini yang dimaksud dengan bercumbu?" tanya Irina dengan suara berbisik.

Pertanyaan Irina dijawab dengan liukan lidah yang mulai naik ke telinga, yang membuat Irina semakin gelisah. Cengkeraman di kerah kaus Brant mengetat, saat Irina diangkat dalam gendongan dengan dua tangan yang langsung menangkup bokong, menahan berat badannya di sana.

Dua tangan Irina melingkar di leher Brant, sementara dua kakinya melingkar di pinggang Brant, yang secara tidak langsung mini dress yang dikenakan Irina tertarik ke atas hingga sampai batas pinggul, memberi keluasan bagi tangan Brant untuk menangkup bokongnya secara penuh. Fuck!

Brant mencium bibir Irina, menebarkan sensasi liar dalam setiap lumatan, dan membuat Irina mengerang saat lidahnya meringsek masuk ke dalam rongga mulut, menguasai dan mengeksplorasi harmoni gairah yang seimbang.

Tanpa menghentikan ciuman, Brant mulai melangkah dan menuju sebuah kamar yang ada di ujung koridor. Begitu tiba di depan kamar, Brant membelakangi pintu, dan menempelkan bahu kanan yang memiliki tato pengenal, untuk memindai dari daun pintu, lalu... klik! Pintu kamar pun terbuka.

Ciuman itu masih berlangsung, justru semakin memanas dan liar. Balasan Irina pun sudah begitu terlatih, mampu mengikuti ritme yang dimainkan Brant, dan sama sekali tidak sadar jika dirinya sudah direbahkan di atas ranjang, dengan Brant yang sudah menindihnya.

"Mmmmm," desah Irina saat Brant menyesap bibir bawahnya dengan keras.

Sedaritadi, tangannya pun tidak diam. Brant sudah melakukan pekerjaannya dengan baik dalam melepaskan heels Irina, menyelipkan tangan ke balik punggung untuk menarik turun risleting mini dress-nya, dan melepaskan ciuman tanpa peringatan.

Mini dress itu diturunkan dan menumpuk di pinggang Irina, memperlihatkan bagian atas tubuh Irina yang membuat sorot mata Brant mengerjap liar. Tatapan Brant sepenuhnya tertuju pada sepasang payudara yang mengayun lembut ketika Irina bernapas dalam buruan kasar. Payudaranya bulat, padat, kencang, dan cukup besar. Puting mungil berwarna merah muda yang sudah menegang, menambah kesempurnaan sebagai payudara terindah yang pernah dilihat Brant.

Satu tangan Brant sudah mendarat di salah satu payudara itu, lalu mengerang pelan saat merasakan sensasi kelembutannya. Meremas pelan, Brant bisa merasakan kulit tubuh Irina meremang, seiring dengan erangan lembut dari wanita itu.

"Uncle," desah Irina lirih.

Seperti tidak ingin melewati sedetik pun dengan berdiam untuk mengagumi, satu tangannya yang lain sudah meluncur ke bawah, membelai pahanya, dan menjalar naik untuk bisa membelai tubuh Irina yang terasa begitu lembap dari balik celana dalamnya yang tipis.

Irina memekik malu, berusaha menutup kedua pahanya, tapi tubuh Brant sudah menghalangi dengan memaksa kedua kakinya tetap melebar. Mini dress-nya hanya setumpuk kain yang menumpuk di pinggang, memamerkan bagian yang menawarkan keindahan untuk dillihat, dan begitu mengundang untuk dijamah.

"Uncle," pekik Irina malu, sambil berusaha menutup tubuhnya dengan kedua tangan.

Brant mencengkeram dua tangan Irina, menaruhnya ke sisi tubuh untuk memperlihatkan kembali kemolekan tubuh wanita muda yang sudah membakar gairahnya, hingga tak tersisa sedikit pun pertahanan diri yang seharusnya dilakukan.

"Jangan malu, Irina. Kau terlalu indah untuk ditutupi," ucap Brant parau.

"A-Aku harus bagaimana? Aku..."

"Rasakan dan nikmati," sela Brant sambil membuka kausnya, melemparnya dengan sembarang, dan langsung membungkuk untuk mencumbu dada Irina.

Satu liukan untuk menguji kesensitifan. Dua liukan untuk mempertajam godaan lidahnya. Tiga liukan untuk memberikan rasa nyeri yang menyenangkan. Empat liukan. Lima liukan, dan seterusnya, sampai Irina meracau dalam ucapan tidak jelas, namun terdengar menyenangkan.

Tubuh Irina menggelinjang, melemparkan kepala ke samping sambil memejamkan mata, dengan mulut yang tidak henti-hentinya merintih. Brant sudah mengulum satu puting, dengan lidah yang menari-nari di dalamnya, membuat putingnya semakin mengeras. Satu tangan pun sudah bekerja untuk meremas sisi yang lain, menjamah kelembutannya, dan memainkan reaksi tubuh Irina dengan memelintir putingnya gemas.

Demi apa pun, kulit Irina yang lembut membuat telapak tangan Brant yang kasar, terasa kian memanas dan gemetar. Kulitnya yang kencang sangat disayangkan untuk tidak dijamah lebih banyak dengan memijat, meremas, atau memilin.

Tidak pernah menyentuh wanita yang sama sekali tidak berpengalaman, tapi kali ini adalah pengecualian. Brant menikmati perannya sebagai bajingan yang sudah berani mengajarkan hal yang senonoh, pada anak asuh yang sudah beranjak menjadi wanita dewasa yang menginginkan dirinya.

Cumbuan di payudara terasa cukup, dengan banyaknya jejak merah yang ditinggalkan olehnya. Tatapannya terangkat untuk melihat ekspresi Irina yang mendamba, sepenuhnya terangsang, dan sepertinya siap untuk ke tahap selanjutnya. Satu tangan kembali meluncur ke bawah, mengusap kelembapan yang masih tertutup kain tipis celana dalam dengan ibu jari, yang sukses membuat Irina mengerang.

"Uncle! Ini..."

"Ssshhh, nikmati apa yang kulakukan, Sayang," sela Brant sambil mengecup ringan bibir Irina, lalu beringsut turun, untuk mencapai titik sensitif Irina.

Wanita itu kembali memekik malu, berusaha menutup kedua kaki, tapi tangan Brant sudah lebih cepat menekan pahanya. Mata Brant menggelap melihat Irina yang sudah begitu siap dari celana dalamnya yang basah. Bahkan, cairan hasrat itu mengalir sampai ke pangkal paha.

"Look at you, Baby. You're so ready for me. Your body wants me to fuck you," ucap Brant sambil mengusap bercak basah yang terjeplak di celana dalam Irina.

"Ahh, Uncle," erang Irina parau.

Dengan mudah, Brant meloloskan celana dalam Irina, dan wanita itu sepenuhnya telanjang. Napasnya memberat melihat tubuh Irina yang begitu menggiurkan. Celahnya sudah sangat basah, begitu merah dan membengkak, garis tubuhnya yang rapat membuktikan bahwa wanita itu belum pernah terjamah.

"Flushed, swollen, and... drenched," bisik Brant dengan suara tercekat saat tatapannya sejajar dengan tubuh Irina yang sudah begitu siap untuk dimasuki.

Jari tengahnya bergerak mengitari bentuk milik Irina, melakukannya beberapa kali, sebelum akhirnya menekan klitoris Irina yang membengkak, hingga membuat Irina mengerang penuh damba. Cairan hasratnya pun keluar semakin banyak, tanda bahwa Irina akan segera sampai.

"A-Aku seperti ingin meledak, Uncle," rintih Irina.

Brant segera membuka mulut dan menyapu klitoris Irina dengan lidahnya, lalu meliuk naik turun di sana, menambah sensasi kenikmatan yang dirasakan Irina lewat desahan yang mulai terdengar memberat. Saat Brant menyesap klitoris, tubuh Irina menegang, lalu menjerit keras sambil mengangkat pinggul, kemudian mengejang kuat, saat mencapai orgasme pertamanya.

Menyeringai senang, Brant segera beranjak sambil terus memainkan celah basah Irina dengan gerakan memutar, untuk melepas jeans dan boxer-nya. Irina yang masih mengerang, kini mengerjap kaget melihat ketegangan Brant saat ini. Sorot mata hijau wanita itu, mengarah sepenuhnya pada kejantanan Brant sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kau... besar," ucap Irina dengan suara berbisik.

Brant mengulum senyum geli, lalu kembali membungkuk, dan Irina refleks mundur sampai batas kepala ranjang. Irina terlihat gugup, juga gelisah, seperti sedang bergumul seorang diri, tapi juga terlihat penasaran.

"Tidak ada kata mundur, Irina. Apa yang sudah kau mulai, harus kau selesaikan," ucap Brant sambil melebarkan dua kaki Irina dan mengambil posisi.

"A-Aku bukan pengecut. Hanya saja, aku butuh waktu untuk... ouch! Uncle!" pekik Irina saat Brant mulai mengarahkan diri untuk menekannya.

Jejak orgasme Irina membuatnya semakin basah dan licin, hingga cukup menyulitkan Brant untuk memasukinya. Sial, umpat Brant dalam hati. Seumur hidupnya, dia tidak pernah mengalami kesulitan dalam memasuki wanita. Inilah resiko yang harus dihadapi saat mencoba menggauli perawan, dan memastikan diri bahwa ini adalah pertama sekaligus yang terakhir untuknya.

Kembali mengarahkan dan menuntun kejantanannya, Brant berusaha memasukkan diri ke dalam celah basah Irina. Tidak mudah, sampai harus berkali-kali mencoba. Sampai akhirnya, Brant mengangkat sedikit pinggul Irina, sambil menekan lebih kuat.

"Fuck!" umpat Brant saat ujung kejantanannya sudah berhasil masuk ke dalam.

Matanya terpejam erat, merasakan sensasi kenikmatan yang membuat kepalanya seperti ingin meledak, disusul rintihan kesakitan dari Irina. Sempit dan nikmat, batin Brant sambil mengembuskan napas berat.

"Uncle, ini sakit," ucap Irina gemetar.

Brant membuka mata, menyaksikan ekspresi Irina yang tampak menahan sakit, dan mengecup lembut pelipisnya. "Rasa sakit ini tidak seberapa dengan rasa nikmat yang akan kau dapatkan, Sayang."

"Tapi, ahhhh, Uncle!"

Brant menarik sedikit untuk mendorong lebih dalam, mendesak masuk dalam satu hentakan keras, berhasil menerobos sekat tipis yang membuatnya masuk hingga terdalam. Cengkeraman kuat mengelilingi sepanjang kejantanannya, mengimpit begitu ketat hingga membuatnya terasa sesak, dan kepalanya semakin pening oleh gairah.

"It feels so fucking good, Irina," desis Brant dengan suara mengetat.

Irina sudah terisak pelan, tubuhnya gemetar, juga merintih kesakitan. Brant mengecup keningnya, berusaha menenangkan, dan kembali memberi cumbuan yang jauh lebih liar dari sebelumnya. Dia memainkan reaksi tubuh Irina dengan mencium bibir, menjamah seluruh tubuhnya dengan sentuhan, meremas dan mengusap, terus dilakukan hingga isakan Irina berubah menjadi desahan.

Mulut Brant sudah menguasai bibir Irina, meredam sisa isakan Irina yang kini sudah mengerang penuh damba, dengan dua tangan yang masih sibuk menggerayangi tubuhnya. Saat Brant bisa merasakan kehangatan yang menyelubungi mulai memanas, dengan cengkeraman di sepanjang kejantanannya yang mulai meregang meski masih begitu kuat, di situ Irina kembali siap untuk mendapatkan kenikmatannya.

"Aku akan memulai, Irina. Mungkin sedikit sakit, tapi akan menyenangkan jika kau rileks dan mengikuti gerakanku," bisik Brant lembut.

"I-Ini terasa nyeri dan seperti ada yang mengganjal, Uncle," ucap Irina dengan napas terengah.

Ucapan Irina spontan membuat ketegangan Brant berkedut nyeri, merasa hilang akal dengan kepolosan Irina yang sudah menjadi godaan baginya.

Brant menarik napas, lalu perlahan menarik diri, lalu mendorong ke dalam. Matanya langsung terpejam sambil mengulang gerakan maju mundur yang teratur, menikmati sensasi gesekan yang membuatnya semakin bergairah, merasa liar, dan tersesat dalam hasrat yang sudah membuatnya hilang akal.

"Ah," desah Irina sambil mencengkeram bahu Brant dengan erat, tampak menahan sakit, namun juga terlihat begitu nikmat.

Irina tampak begitu cantik di bawahnya, terlihat dewasa dan menggairahkan. Pikiran tentang Irina yang masih begitu kecil menguap entah kemana, berganti dengan kesan wanita penggoda yang berhasil menarik perhatian sepenuhnya.

"Uncle," erang Irina parau.

Erangan Irina membuat Brant menaikkan kecepatan gerakannya. Penyatuan tubuh itu mulai terasa nyaman, seimbang, dan panas. Irina pun seperti sudah bisa menerima dirinya, hingga tidak merasa sakit saat Brant mendesakkan tubuhnya dengan tempo yang menggila.

Gerakan maju mundur yang dilakukan Brant semakin cepat dan tidak terkendali. Dari perlahan menjadi cepat, dan semakin menjadi. Deruan napas kasar dari Brant, dan erangan lembut dari Irina, berbaur menjadi satu dalam kamar itu.

"U-Uncle... aku... aku sudah bertekad untuk menjadikan diriku sebagai yang terakhir untukmu," ucap Irina dengan terengah.

Napas Brant semakin memburu, bersamaan dengan desakan-desakan kuat yang dilakukan, menggali kenikmatan lebih dalam, untuk mencapai pelepasan yang diinginkan. Sedikit lagi, pikir Brant. Sedikit lagi, dan Irina akan mencapai orgasme keduanya.

Dan benae saja. Saat Brant mengentak lebih keras, jeritan parau Irina mengudara. Pinggulnya bergerak gelisah, disusul dengan denyutan kencang yang meremas sepanjang kejantanan Brant yang semakin membesar dari dalam, mengetatkan cengkeraman. Kepala Brant seperti berputar, napasnya sudah tidak beraturan, seluruh otot tubuh menegang, dan ketegangannya semakin keras.

Hentakan demi hentakan dilakukan Brant, seirama dengan erangan Irina yang terdengar begitu sering, dan nyaris membuat wanita itu tersedak. Pertahananannya runtuh oleh desakan gairah yang kian meluap, saat Brant merasakan ujung kejantanannya seperti akan meledak, lalu menarik diri untuk melepas penyatuan, dan menumpahkan ledakan gairahnya di atas tubuh Irina sambil memijat naik turun.

Brant mengerang parau, membiarkan air maninya membasahi sekitaran payudara Irina, bahkan sampai mengenai wajahnya. Selama beberapa saat, Brant menenangkan diri dengan dua tangan yang berada di sisi tubuh Irina, menahannya agar tidak menindih, sehingga bisa menatap Irina yang sedang menatapnya dengan lirih.

"Kau sangat tampan," ucap Irina sambil melayangkan satu tangan untuk membelai wajah Brant dengan lembut.

Brant memejamkan mata untuk menikmati sentuhan Irina di wajahnya, lalu mengalihkan wajah untuk mencium telapak tangan Irina yang membelainya. Brant tersenyum saat Irina menjilat bibirnya yang terkena semburan air mani, lalu mencecapi rasanya dengan kening berkerut.

"It called sperm. Maybe weird at the first, but you'll get used to it later," ucap Brant geli.

Segera beranjak, Brant meraih sekotak tissue yang berada di nakas, dan menarik beberapa lembar untuk membersihkan tubuh Irina dari semburan air maninya.

"Is that mean I'll have another round with you?" tanya Irina dengan alis terangkat, bukan ekspresi menantang, tapi sekedar bertanya seperti biasa.

Gerakan Brant terhenti dan mengangkat kepala untuk menatap Irina dengan tatapan tidak percaya. "What?"

Irina beranjak, lalu meringis dan kembali merebah. "Tubuhku lemas seperti jelly. Pangkal pahaku nyeri, dan seperti ada yang tertinggal di dalam tubuhku."

Keluhan Irina membuat Brant menyeringai geli dan kembali menuntaskan pekerjaannya dalam membersihkan tubuh Irina. Tentu saja, Brant mengagumi lekuk tubuh Irina yang begitu sempurna.

"Tubuhmu membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan rasa nyeri yang menjalar di tubuhmu. Selebihnya, kau akan baik-baik saja," ucap Brant kemudian.

Tatapan Brant tertunduk saat melihat ada bercak darah pada seprai, atau tepat berada di bawah tubuh Irina. Senyumnya mengembang begitu saja dan merasa bangga karena sudah menjadi yang pertama bagi Irina.

"Apa kau selalu membersihkan wanita sehabis bercinta, Uncle?" tanya Irina saat Brant membersihkan tubuh bawah Irina dengan apik.

Irina mencoba duduk sambil tetap melebarkan kedua kaki saat Brant masih membersihkan tubuhnya. Tatapan Brant terangkat, melihat posisi Irina yang justru terkesan menggoda dengan sikap spontan yang tidak disadari Irina.

"Hanya denganmu, aku melakukan hal seperti ini. Biasanya, aku segera pergi setelah urusanku selesai," jawab Brant jujur.

"Kenapa begitu? Apa itu karena kau masih menganggapku seperti anak kecil yang belum bisa membersihkan tubuhku sendiri?" tanya Irina panik.

Brant menghela napas dan mengingatkan diri untuk tetap sabar. "Bukan seperti itu, dan berhentilah mencemaskan hal yang tidak perlu. Bukankah kau bilang jika kau lemas?"

"Tubuhku yang lemas, sedangkan mulutku tidak. Jadi, kurasa tidak ada salahnya untuk terus bertanya padamu," balas Irina langsung.

"Ah, ya, aku mengerti. Kelak, aku akan membuat semua otot tubuhmu lemas, hingga kau tak mampu berpikir, atau pun berbicara," sahut Brant enteng sambil beranjak untuk membuang tissue.

Irina terdiam, lalu menghela napas. Dia menarik selimut dan bersandar di kepala ranjang, saat Brant kembali menaiki ranjang untuk bergabung dengannya.

"Aku lapar, Uncle," ucap Irina sambil memeluk lengan Brant yang sudah berada di sampingnya.

Brant merebahkan diri, lalu menarik Irina dalam pelukannya. "Aku akan membuat makan malam."

"Tapi, kenapa kau masih berada di sini?" tanya Irina sambil memeluk Brant dan menghela napas lega. "Hmm, kau hangat sekali, Uncle."

"Setelah kau terlelap, aku akan membuatkan makan malam. Tidurlah," balas Brant lembut.

Brant mengusap kepala Irina, mengecup pucuk rambutnya, dan memejamkan mata. Sudah merasa lelah dengan aktifitasnya di hari itu yang cukup menguras tenaga.

"Kau selalu membuatku tersentuh dengan semua hal yang kau lakukan, Uncle. Kau sangat baik dan aku menyukaimu. Tidak. Aku tidak hanya menyukaimu, tapi juga menyayangi dan mencintaimu, Uncle. Mungkin kau pikir aku terlalu terbuka, dan katanya wanita tidak boleh mengungkapkan perasaan lebih dulu, tapi aku tidak peduli. Sebelum orang lain yang melakukannya, biar aku yang mengambil kesempatan ini lebih dulu," ujar Irina dengan nada mengantuk.

Brant tersenyum. "Apa kau memang selalu semangat seperti ini?"

"Hanya denganmu, Uncle. Dan jangan lupa tentang keinginanku untuk mendapatkanmu?" balas Irina.

"Aku tidak percaya jika kau menyukai pria yang jauh lebih tua darimu, Irina. Apa kau memang memiliki pikiran senakal itu sejak kau masih mengenakan seragam sekolahmu?" tanya Brant dengan tatapan menerawang.

"Mmmmm... aku sudah menyukaimu sejak dulu," jawab Irina dengan suara bergumam, lalu deru napasnya terdengar begitu teratur, tanda bahwa wanita itu sudah terlelap.

Terdiam selama beberapa saat, Brant mencerna setiap ucapan Irina. Masih belum mempercayai tentang Irina yang sudah menyukainya sejak lama, tapi tidak menampik rasa senang yang dirasakannya saat mengetahui hal itu.

Tidak banyak yang menyukainya, juga tidak sedikit yang takut dan segan padanya. Umumnya, orang-orang akan menjauhinya karena label kriminal sudah terjeplak di wajahnya. Bahkan, anak-anak asuhnya pun urung mendekatinya, dan cenderung takut. Tapi Irina? Wanita itu terus bersikap hangat dan ramah padanya, meski dirinya sudah bersikap dingin dan terkesan menjauhinya.

Brant tenggelam dalam pikirannya sendiri, sampai dirinya menemukan sebuah kesalahan. Sebuah kejanggalan. Sebuah kecurigaan. Dan juga sebuah kebetulan yang terjadi dalam satu hari. Intuisinya tidak pernah salah. Hal itu membuatnya berniat untuk mengikuti apa yang sudah ditemuinya, dengan bermain-main sebentar sambil memastikan semua itu terbukti.

Republished : 20.10.2020 (20.00 PM)

Meski aku rewrite, tapi tetep aja ada denyutan dari atas sampe ke bawah 😖
Malah hujan pulaaa...


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top