---6. Tiga Bulan---


Pagi-pagi, sesuai saran Yuendri, Brian membawa mobil sedan milik lelaki itu. Ia juga mengenakan kemeja, bukan kaus seperti kemarin. Cambangnya dicukur bersih. Kumis dirapikan. Hidung yang tidak biasa menghirup wewangian, sekarang terpaksa menahan mabuk akibat parfum yang disemprotkan oleh Yuendri.

"Gajimu puluhan juta. Penampilan juga harus menyesuaikan. Jangan model tukang pipa ledeng[1] gini," kritik Yuendri semalam.

"Tapi saya memang tukang pipa, Om. Pipa minyak," sanggah Brian sembari meringis.

"Calonmu itu anak mantan pejabat eselon 1[2]. Kamu harus menyesuaikan diri. Ajak dia ke tempat elit, jangan ke restoran fast food."

Brian menggaruk tengkuk. Memang benar, ayah Vivi dulu sempat menjabat sekretaris menteri. Namun berhubung pembawaan Bermawi yang sederhana, Brian tidak pernah merasakan kesenjangan itu. "Kalau soal itu saya buta. Saya tahunya mengurus kebun karet."

Saran Yuendri memang manjur. Mengenakan kemeja hitam dan celana kain cokelat tua serta jaket kain senada dengan warna celana, Brian tampil semakin macho saja. Senyum manisnya terkembang saat Vivi menyambut di depan pintu. "Pagi," sapanya.

Perubahan itu ternyata membuat Vivi terkesiap. "Kamu? Pagi banget udah datang?"

Brian menerobos masuk tanpa menunggu dikomando. "Mau antar kamu ke rumah sakit."

Vivi terpaksa membuntuti sosok tinggi besar itu. Dalam hati ia mengakui fisik Brian memang memukau. "Tumben rapi banget?"

Brian mendudukkan diri di sofa. "Biar nggak malu-maluin kalau jalan sama kamu."

Wajah Vivi memerah. Brian begitu serius dengannya. Ia jadi malu sendiri telah marah-marah kemarin. "Kamu udah sarapan?" tanyanya.

"Belum. Tapi aku bawa ini." Brian mengeluarkan kotak makanan dari dalam ransel, lalu memberikannya ke Vivi.

"Apa ini?" Vivi membukanya.

"Kamu pasti kangen itu. Sambal telur ikan dan sambal tempuyak. Tadi dibuatin Om Yuendri. Kamu punya nasi, kan?"

Wajah Vivi kembali memerah. Ia tidak pernah memasak selama di Malang. "Mmm, aku lupa masak," kilahnya. Padahal ia memang sengaja tidak menyentuh dapur.

Ada kilas kekecewaan dalam sorot mata Brian. "Ya udah. Kamu simpan aja itu. Tapi jangan lupa dimakan."

Vivi berjalan ke kulkas untuk mengambil teh kemasan. Saat menyerahkannya ke Brian, sekali lagi ia melihat sorot kelam itu. "Kamu mau minuman panas?"

Brian menggeleng, walau sebenarnya ia lebih suka teh atau kopi panas. "Jam berapa berangkat?" tanyanya untuk mengalihkan perhatian.

"Aku berangkat sendiri aja. Aku kan bawa mobil."

Brian kembali menatap sendu. "Mumpung aku di sini, apa salahnya aku antar jemput, sih, Vi? Aku udah pinjam mobil Om Yuendri."

"Ya aneh aja. Aku kan biasa mandiri," sahut Vivi sambil melengos. "Besok lagi  jangan bikin repot om kamu, pakai pinjam mobil segala."

"Besok-besok aku beli mobil sendiri kalau udah jelas ke mana aku harus pulang," sahut Brian.

Vivi mencibir disindir seperti itu. "Kamu sekarang nggak tahu ke mana mau pulang?"

"Tahu banget. Tapi kamu belum izinkan aku pulang ke kamu. Kemarin baru datang aja udah kamu suruh balik," sahut Brian. Tidak ada senyum di wajah gantengnya.

Kontan, Vivi menggigit bibir. Ia tahu Brian sedang marah. "Kamu datang cuma buat nyinyir?"

"Kamu masih marah?" Brian balik bertanya. "Aku minta maaf sudah mendesak kamu kemarin."

Vivi tidak menjawab, hanya menerawang jauh melalui jendela. Brain semakin nyeri melihat kekasihnya seperti itu.

"Kamu nggak suka aku datang? Kamu mau aku pergi?" tanya Brian dengan nada dalam. "Kamu udah punya calon lain?"

Pertanyaan itu menghunjam cukup dalam di hati Vivi. Semalaman ia tidak bisa tidur. Papanya menelepon dan berceramah panjang lebar. Ia yakin sekali, Brian pasti mengadukan kejadian kemarin. Ia terpaksa berpikir ulang. Ya, kalau tidak dengan Brian, ia akan menikah dengan siapa? Umur 33 tahun jelas tidak muda dan bukan masa-masa untuk bertualang. Di samping itu, kalau ia sia-siakan Brian tanpa alasan, apakah dirinya tidak akan dihujat oleh segenap keluarga besar? Bisa-bisa ia dikutuk menjadi penunggu kuburan.

"Kok pedes banget omonganmu, Bri? Kamu kebanyakan curiga. Udah, ah. Kita berangkat. Tapi ntar mampir cari sarapan dulu," ucapnya kemudian dengan suara lebih lembut. Ia berdiri, lalu mengambil tas. "Yuk," ajaknya.

Di luar dugaan, Brian bergeming di sofa. Wajahnya terlihat tegang karena kedua rahangnya terkatup rapat.

"Vi," panggilnya dengan suara lirih, namun tegas, "jangan beri aku gula-gula, tapi setelahnya racun. Jawab dulu, kita masih mau lanjut atau enggak? Kamu mau aku lamar atau minta dilamar orang lain?"

Vivi lemas. Papanya semalam tidak cuma ceramah, tapi mengamuk. Ia sampai heran, mengapa sang ayah bisa sesayang itu pada Brian.

"Iya. Tiga bulan lagi. Kamu atur aja sama papa tanggal berapa," jawab Vivi akhirnya.

Wajah Brian seketika semringah. Ia bangkit lalu mendekat ke Vivi dengan tatapan bahagia. Tangan gadis itu ditarik hingga mereka merapat. Tahu-tahu Vivi sudah terbenam dalam kehangatan dada bidang yang berotot padat. "Aku sayang kamu, Vi," bisiknya.

_________
[1] ledeng = saluran air PDAM
[2] Eselon 1 adalah tingkatan tertinggi dalam jenjang jabatan Pegawai Negeri Sipil.

---Bersambung---

Udah beres berarti urusan Brian dan Vivi.
Besok lamaran, lanjut nikahan, terus tamat?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top