---4. Dani?---
Brian dan Vivi saling berdiam diri selama perjalanan ke apartemen. Jarak tempuh dua puluh menit menembus kepadatan jalanan Malang di kala sore itu disertai tanda tanya besar di kepala Brian.
Vivi mengotot pindah ke Malang walau sang ayah menyarankan untuk bekerja di Balikpapan saja. Dari ayah Vivi pula ia tahu bahwa ada lowongan untuk ahli radiologi di salah satu rumah sakit swasta berkelas internasional. Sayang, Vivi ngotot pergi ke Jawa. Padahal bila gadis itu mau tinggal di sana, Brian lebih mudah berkunjung. Cukup menaiki helikopter perusahaan, ia akan diantar ke kantor di kota itu. Sekarang betapa jauh perjalanan untuk menebus rasa kangen. Dari Balikpapan, ia harus ke Surabaya dulu, lalu lanjut ke Malang.
"Kita nggak mampir makan dulu, Vi?" tanya Brian.
Vivi menggeleng. "Aku capek. Pengin cepet-cepet mandi. Kalau kamu udah lapar, aku anterin deh ke mana kamu mau."
"Iya sih, lapar. Tapi kalau kamu capek, lebih baik kita ke apartemenmu aja. Kamu punya bahan-bahan buat dimasak? Aku masakin, ya?" Brian terpaksa mengalah. Padahal ia belum sempat makan siang karena dari bandara tadi ia langsung ke Malang demi memburu waktu Vivi pulang kerja.
Yah! Kok malah jadi ditungguin sama dia, sih? gerutu Vivi dalam hati.
"Ntar kamu lihat aja sendiri di kulkas," jawab Vivi. "Emang kamu bisa masak?"
Brian tersenyum lebar. "Aku bawain tempuyak kesukaan kamu. Udah lama nggak makan itu, kan?"
Mau tak mau Vivi menoleh. Buah durian yang diperam dengan garam itu memang menimbulkan rasa kangen pada tanah lelulur beserta semua kenangan kebersamaan dengan mereka. Dulu saat masih kecil, ia sering berkumpul dengan nenek dan sepupu-sepupu, lalu mereka memasak ikan dan sambal tempuyak.
Melihat senyum Brian dari samping, timbul pula rasa ibanya. Brian sudah datang jauh-jauh, masa ia perlakukan dengan judes? Lelaki ini memang tidak romantis seperti Dani, bahkan kadang kurang peka, tapi ia tahu Brian baik. "Makasih," ujarnya lirih.
Begitu sampai di apartemen, mereka turun dari mobil, langsung menuju lift. Dua kantung kue dibawa oleh Brian. Vivi sempat berdebar karena ingat kartu ucapan Dani.
"Sini, biar aku bawa," pintanya.
Brian tersenyum. "Nggak usah, biar aku aja."
Vivi tidak berkutik. Kalau ia ngotot, pasti lelaki ini curiga.
"Masuk," ajak Vivi saat mereka sampai di unitnya. Apartemen kecil dengan dua kamar tidur itu ditata apik dengan interior bernuansa cokelat muda. Mereka langsung duduk di ruang tengah.
Begitu sampai di sofa, ia langsung mengambil kotak kue dari tangan Brian. Diambilnya satu. Saat dibuka, ternyata bukan yang berisi kartu. "Mau?" tanyanya pada Brian.
Brian duduk tanpa dipersilakan. Ia langsung mengambil kue itu dan memotongnya sedikit.
"Aku mandi dulu. Kalau haus, ada air minum di kulkas. Kalau mau bikin kopi, ada di pantri," ujar Vivi sembari mengambil bungkusan kue dari Dani. Secara sembunyi, ia mengambil kartu ucapan, lalu membuangnya ke tempat sampah. Setelah itu ia memasukkan kotak itu ke kulkas. Tanpa berkata-kata lagi, Vivi menghilang ke kamar tanpa memedulikan reaksi Brian.
Ditinggalkan begitu saja, Brian sebenarnya nelangsa. Bahkan mengambilkan minum saja Vivi tidak mau. Kalau ibunya tahu putra sulungnya diperlakukan seperti ini, pasti wanita itu mengamuk. Ia masih ingat dengan pembicaraan mereka melalui telepon saat ia masih transit di Balikpapan.
"Vivi pindah ke Malang? Kenapa nggak di Balikpapan aja biar dekat kamu?" tanya Lina, mamanya, yang tinggal di Palangka Raya.
"Dapat kontraknya di sana, Ma," jawab Brian. Berbohong sedikit tak mengapa, demi aman dunia.
"Ah, kenapa begitu? Lebih enak dekat orang tua, bisa merawat mereka kalau sudah sakit-sakitan."
"Nggak pa-pa, buat pengalaman. Aku juga nggak selamanya tugas di Balikpapan, kok. Kemungkinan tahun depan pindah ke tempat lain," lanjut Brian.
"Bisa pindah ke darat, Bri?"
"Bisa-bisa aja. Tapi sementara masih di laut, Ma."
"Lalu kapan kita ke Balikpapan ketemu papanya Vivi?"
Brian terdiam sejenak sebelum menjawab lirih, "Belum tahu."
Ibunya sejenak tidak menjawab, namun tak lama kemudian kalimat bernada tinggi tersembur. "Diajak ke tempat Mama nggak mau. Mau dilamar, nunda-nunda terus. Maunya apa sih anak itu? Kamu cari yang lain aja dah, Bri. Mama pusing!"
Brian menghela napas panjang. Entah seperti apa bila dua perempuan ini bertemu. Mereka sama-sama keras. Namun, ia sudah telanjur jauh-jauh datang ke sini. Masa belum apa-apa mundur?
Lelaki tinggi besar itu berjalan ke kulkas untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ternyata, hanya ada minuman kemasan dan satu butir telur. Apa yang mau dimasak? Lebih baik ia memesan makanan jadi lewat layanan online.
Setelah mengambil teh kemasan, pandangan Brian tertumbuk pada kotak yang katanya pemberian pasien itu. Entah apa yang ada di pikiran, tiba-tiba ia ingin mengecek sesuatu. Dibukanya kotak itu. Tidak ada apa-apa selain mille feuille. Tapi, ia yakin Vivi melakukan sesuatu dengan benda itu sebelum memasukkannya ke kulkas.
Mata Brian mengerling ke tempat sampah. Ia segera menginjak pembuka tutupnya. Di dalam benda bulat itu, ia melihat kertas kecil yang diremas. Saat dibuka dan dibentangkan, terlihat logo toko kue Bon Appetite. Ia yakin sekali kartu ucapan ini berasal dari kotak mille feuille karena ada sisa krim yang menempel di salah satu bagian. Brian tergoda untuk membaca isinya. Seketika kening lelaki itu berkerut.
Semoga masih suka kue ini?
Maaf untuk semua yang telah lalu?
Brian kontan curiga apakah kue ini benar dari pasien. Kata-kata itu seperti seseorang yang telah mengenal Vivi lama. Orang itu bahkan tahu mille feuille adalah kue favorit Vivi. Brian membaca nama pengirimnya.
Dani?
Brian memutar otak, berusaha menemukan memori tentang Dani. Namun, ia tidak mendapat petunjuk apa pun. Ia juga tidak yakin nama itu milik lelaki atau perempuan. Mungkinkah itu mantan Vivi? Tapi menurut Vivi mantannya sudah meninggal. Atau masih ada lagi mantan yang belum diceritakan?
Belum sempat Brian berpikir lebih lanjut, terdengar suara-suara dari kamar Vivi. Cepat-cepat ia membuang kartu itu ke tempat sampah dan kembali duduk di sofa.
Vivi keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Melihat Brian mengunyah kue, ia tak tega juga. "Kayaknya aku nggak punya apa-apa di kulkas. Mau aku pesenin makanan online?"
Brian langsung setuju. "Kalau bisa yang nggak pakai dimasak dulu, biar cepet."
Sedih juga hati Vivi mendengarnya. "Kamu udah makan siang?"
Brian menggeleng, malas berbohong. "Nggak sempat. Takut nggak keburu jemput kamu."
Vivi kontan merasa bersalah. "Iya, aku pesenin yang cepet. Kamu mandi dulu aja."
Brian menurut dan meninggalkan Vivi sendiri diruang tengah.
☆---Bersambung---☆
Ikuti kata mama aja kali ya Brian?
Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top