---2. CT Scan Eyang---


Sayap bangunan di mana Instalasi Radiologi berada terletak di dekat Instalasi Bedah Sentral dan Instalasi Gawat Darurat. Diantar salah satu anak buah Wadir Pelayanan Medik, Vivi memasuki gedung yang penuh peralatan canggih dan mahal itu. Ia langsung disambut Prof. Heru, kepala para dokter di bagian itu.

"Vivi!" sambut guru besar yang seluruh rambutnya telah memutih itu dengan senyum lebar dan jabatan tangan hangat. "Apa kabar papamu?"

"Papa sedang menikmati masa pensiun yang tenang, Prof," sahut Vivi.

"Oh, sudah pensiun dari Kemenkes? Di mana beliau sekarang? Di Jakarta atau Banjarmasin?" tanya Prof. Heru lagi.

Vivi tertawa kecil. "Balikpapan, Prof."

"Jauh, ya, dari Banjarmasin?"

Vivi kembali terkekeh. Ternyata di usia sudah selanjut ini, Prof. Heru belum bisa melokalisasi kota-kota di Kalimantan. "Kalau naik mobil dua belas jam."

Prof. Heru mengangkat kedua alis. "Jauh juga! Semoga kamu kerasan di Malang, ya." Setelah itu, ia memanggil semua orang yang sedang tidak bertugas ke ruangannya. Ia memperkenalkan semua dokter dan paramedis yang akan bekerja sama dengan Vivi. Dengan takzim, Vivi mendengarkan ceramah sang atasan tentang situasi dan kebiasaan di rumah sakit mereka.

"Nah sekarang, Bu Rini silakan antar Dokter Vivi melihat-lihat alat yang kita punya," ujar Prof. Heru. "Dokter orientasi dulu sampai SIP-nya[1] terbit."

"Baik, Dok," jawab Vivi sembari bangkit untuk membuntuti pegawai bertubuh sintal yang bernama Rini itu.

Keluar dari ruang kepala instalasi, Vivi langsung diajak berkeliling. Ternyata tempat kerjanya itu cukup ramai. Ada beberapa pasien mengantre untuk menjalani pemeriksaan. Selain itu, segerombolan koas dan siswa perawat yang tengah belajar menambah kesan padat.

"Kita punya alat apa aja?" tanya Vivi.

"Lengkap, Dok," jawab Rini. "Yang standar ada X-Ray[2] dan USG[3]. Lalu dua tahun lalu ditambah MRI[4]. CT Scan-nya[5] ada tiga."

"Oh, ya? Yang model berapa slice[6]?"

"Yang paling baru 256. Yang satunya 128. Yang paling jadul 16 slice."

Vivi terheran. "Yang 16 slice itu masih berfungsi?"

Rini tersenyum bangga. "Masih baguuus, Dok! Kami kan merawatnya baik-baik."

"Wah, hebat ya," puji Vivi sekadar untuk berbasa basi.

"Tapi udah jarang dipakai. Dokter-dokter sekarang maunya yang umur muda. Alat eyang-eyang begitu nggak direken[7] lagi."

Vivi terkekeh. "Alat eyang? Punya rambut putih dan jenggotankah?" godanya.

Rini mendadak memegang lengan Vivi. Matanya melebar dan membulat. Wajahnya menjadi seperti karakter kartun karena pipinya chubby. "D-Dokter juga bisa melihatnya? Dokter punya indra keenam?"

"Indra keenam? Satu Indra pun saya tidak punya," sahut Vivi. Aku cuma punya Dani di hati dan ... ah, iya, Brian.

"Maksud saya bukan Mas Indra, Dok. Tapi itu loh, makhluk halus," sahut Rini.

"Emang ada apa di CT Scan tua itu?"

Rini menjadi sadar telah keceplosan. "Enggak ada apa-apa. Enggak ada hantu kok di situ."

Vivi terkekeh lagi. Macam-macam saja tingkah asistennya ini. Memang benar, banyak orang menceritakan kejadian gaib di rumah sakit. Namun selama ini, ia belum pernah sekali pun mengalami sendiri sehingga tidak peduli. "Udah, ah. Yuk jalan!"

"Dokter mau lihat CT Scan Eyang?" tanya Rini.

Kontan Vivi menggeleng. "Buat apa? Bagusan yang baru."

"Wah, bener juga. Sekarang Dokter mau lihat alat apa dulu?"

"Apa aja boleh."

"Kalau gitu kita ke ruang MRI dulu," ajak Rini.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Vivi hari itu. Ia memang boleh memeriksa, tapi di bawah supervisi dokter radiologi yang lain. Alasannya adalah legalitas. Surat Izin Praktiknya belum terbit. Ia bahkan diperbolehkan pulang cepat hari itu. Tentu saja, Vivi tidak menyiakan kesempatan libur itu dengan langsung pulang.

Baru beberapa hari kemudian, Vivi mendapat pasien yang sesungguhnya. Seorang wanita muda yang mengalami tabrak lari.

"Diagnosis sementara cedera kepala, Dok," ujar Rini yang kebetulan bertugas menjadi asistennya. "Permintaan CT Scan kepala cito[8]."

"Oke. Langsung saja dibawa ke Ruang 1," ujar Vivi sambil bangkit dari kursi pemeriksaan USG. Baru berjalan dua langkah, ia menyadari kalau Bu Rini tidak bergerak. "Kenapa, Bu?"

Bu Rini terlihat ragu, lalu mendekat ke Vivi. "Dok, kita pakai Ruang 3 saja."

"Loh, CT Scan yang 256 kan nganggur?" tanya Vivi dengan keheranan.

Bu Rini semakin terlihat gelisah. "Mmm, gini. Kata Dokter Damian, dokter senior setelah Prof. Heru, Dokter Vivi sebaiknya memakai CT Scan Eyang."

"Loh, kenapa saya harus memakai yang jadul kalau ada yang baru?" Vivi mulai merasakan gelagat tidak enak.

"Mmm, kata beliau buat meningkatkan utilisasi alat. Karena dokter lain tidak mau menggunakan CT Scan Eyang, maka dokter Vivi yang ditugasi buat memanfaatkan alat itu."

Vivi langsung masam. Aturan apa itu? rutuknya dalam hati. "Jadi saya nggak boleh pakai yang lain?"

Rini mengangguk dengan sorot mata prihatin. Vivi langsung paham akan situasi. Di mana-mana, senioritas selalu memegang peran. Sebagai orang baru, ada baiknya ia tidak membuat guncangan yang bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri.

"Ya, sudah. Tolong disiapkan alatnya. Udah dinyalakan belum?" tanya Vivi.

Rini kontan meringis. "Belum, Dok."

"Loh katanya cito. Nggak keburu dong, kalau nunggu nyiapin si Eyang?"

"Iya juga, sih," jawab Rini sembari menggaruk tengkuk.

"CT Scan baru udah nyala?"

"Udah, Dok."

"Saya pakai itu saja!"

"B-baik, Dok."

Tak lama kemudian, Vivi pun telah berada di ruang kontrol, melakukan pemindaian kepala pasien. Pemeriksaan itu tidak memakan waktu lama. Saat ia hendak keluar, ada sosok lelaki paruh baya memasuki ruangan itu. Vivi tahu, itu Dokter Damian sehingga ia langsung memberi salam dengan hormat.

"Pagi, Dok. Maaf, saya terpaksa menggunakan yang 256 slice karena yang 16 slice belum dinyalakan sedangkan pemeriksaannya cito."

Dokter Damian cuma mengangguk. Ekspresi datarnya membuat ruang yang sudah dingin itu semakin dingin. Pria itu tidak menjawab Vivi, malah menoleh ke arah lain.

"Bu Riniii!" serunya. Vivi sampai terjingkat karena tidak menyangka pria itu akan berteriak.

Yang dipanggil tergopoh datang. "Ya, Dok?"

"Kenapa CT Scan sebelah tidak dinyalakan?" tanya dr. Damian dengan nada tajam.

"M-maaf, maaf. Sudah saya nyalakan, Dok."

"Kasihan tuh Dokter Vivi, mau periksa nggak bisa!"

Rini menunduk dengan hormat. "M-maaf, maaf," ujarnya serba salah.

"Ya sudah! Segera masukkan pasien saya!" ujar dr. Damian.

Mendengar itu, tanpa diminta Vivi langsung menyingkir dan mempersilakan dr. Damian duduk di depan monitor. "Maaf sudah mengganggu pekerjaan Dokter," ujarnya lirih.

"Iya, nggak pa-pa," sahut dr. Damian tanpa memandang ke arah Vivi.

Kontan Vivi angkat kaki dari ruang monitor dan bermaksud menuju ruang CT Scan Eyang. Saat ia menapaki lorong, sayup-sayup terdengar petugas administrasi memanggil seseorang. Sebuah nama yang sangat ia kenal. Hanya mengingat penggalannya saja, hati Vivi sudah seperti ditabuh. Kini ia benar-benar mendengar nama itu secara lengkap.

"Dokter Mardani Aprilio?" panggil petugas lagi.

Vivi membalikkan badan menghadap arah pintu masuk. Seketika, ia merasa diseret ke belasan tahun yang lalu, yaitu hari pertamanya sebagai mahasiswi kedokteran. Hatinya berdebar melihat sosok jangkung yang melangkah dengan berwibawa memasuki ruang orientasi mahasiswa baru. Itulah pertama kali ia melihat wajah orang yang kemudian mengisi hari-harinya.

Sekarang, setelah belasan tahun putus hubungan, wajah tirus berhidung mancung itu masih memancarkan pesona yang sama. Mata yang agak sipit tetap menyorotkan binar yang lembut. Celakanya, pesona lelaki itu masih mempunyai kekuatan untuk membobol pertahanan hati Vivi.

"D-Dani?" gumam Vivi.

Lelaki itu tidak melihat ke arah Vivi karena menyapa petugas yang menyambutnya, lalu berjalan masuk mengikuti si petugas. Mungkin karena merasa diperhatikan, sebelum membelok ke ruang CT Scan 1, ia menoleh. Seketika lelaki itu menghentikan langkah dan tertegun. "Vivi?"

Jantung Vivi berdenyut tidak karuan. Mungkin bila diperiksa dengan EKG, akan membuat alat itu error.

Dani tidak jadi masuk. Ia malah mendekati Vivi. "Kamu dinas di sini?" tanyanya dengan senyum menawan yang belum berhasil dilunturkan oleh usia.

Vivi terpaksa mengulurkan tangan untuk menyambutnya. Sekuat tenaga ia menahan deru yang membuat kakinya kesemutan. "Iya. Apa kabar, Dan? Kamu juga tugas di sini?"

Senyum dan binar mata Dani memudar. "Enggak. Aku mau periksa dengan Dokter Damian."

"Kamu sakit?" tanya Vivi.

Dani tersenyum lebar. "Mmm, mungkin. Aku cuma mau check up."

Vivi tercenung. Bila hanya check up rutin, apakah Dani harus diperiksa menggunakan CT scan? Bukankah cukup dengan rontgen?

"Ah, aku udah ditunggu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi," ujar Dani sambil melempar senyum lebih lebar yang memperlihatkan deretan gigi yang rapi.

Sosok jangkung itu membalikkan badan, lalu berjalan menjauh, meninggalkan Vivi. Saat itulah Vivi baru sadar bahwa tubuh Dani jauh lebih kurus dari terakhir kali ia lihat. Di depan pintu Ruang 1, Dani tiba-tiba menoleh. Ia kembali tersenyum, tapi matanya terlihat sendu. Vivi tiba-tiba disentak oleh kesedihan yang ia sendiri tidak mengerti dari mana asalnya.

_____________________________

[1] SIP = Surat Izin Praktik, merupakan syarat untuk menjalankan pekerjaan profesi dokter
[2] X-Ray = alat rontgen
[3]USG = ultrasonography
[4] MRI = Magnetic Resonance Imaging
[5] CT Scan = Computerized Tomography Scanning
[6] Slice = istilah untuk bidang potongan virtual. 16 slices berarti dalam satu bidang pemeriksaan, alat membuat potongan sejajar sejumlah 16 potong
[7] Direken = dialeg lokal untuk menyebut "tidak dihiraukan"
[8] Cito adalah istilah untuk tindakan yang harus dilakukan segera karena kondisi pasien

☆---Bersambung---☆

Brian, cerewet.
Dani, udah masa lalu.
Gimana Vivi baiknya? Cari baru?
Komen please....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top