---12. Semangat Juang (2)---

Dani melepas kepergian Vivi dengan lambaian dan senyum manis. Begitu mobil Vivi tak terlihat lagi, ia kembali ke ruang tengah dan duduk tercenung. Beberapa waktu yang lalu, ia memang membiarkan diri larut dalam kesia-siaan. Rumah tangganya telah berakhir. Sang mantan istri pun telah mendapatkan pengganti, bahkan tengah mengandung anak pertama mereka. Ia punya apa selain kenangan bersama Vivi dan tumor ganas yang bercokol di otak?

Entah semesta masih sayang padanya atau memang garis takdir seperti ini. Ia berjumpa Vivi kembali. Secara ajaib juga Vivi masih menyimpan perasaan padanya, sama besar dengan rasa yang ia miliki. Seolah mereka memang digariskan untuk bersatu kembali.

Dani seperti diberi napas baru. Ia ingin hidup lebih lama. Tidak cuma itu, ia ingin sehat lebih lama. Biarkan saja tumor itu ada di dalam tengkorak, asal ia bisa jalan dan menyenangkan Vivi untuk waktu yang lama, cukuplah. Sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya?

Secara medis, ia sudah berkeliling bahkan ke luar negeri. Semua sama. Keganasan glioblastoma belum bisa ditaklukkan dengan kecanggihan teknologi kedokteran zaman ini. Buat apa susah-susah ke luar negeri bila kemungkinan sembuh sama-sama kecil?

Dani membuka sebuah pesan. Ia kenal dengan si pengirim saat berobat di Penang. Seorang tua yang menderita kanker hati yang didiagnosis tujuh tahun lalu. Menurut perhitungan medis, seharusnya ia sudah menjadi tanah dan tulang lima tahun lalu. Namun terbukti penyakit itu tidak berkembang, malah semakin hari kondisinya semakin bagus berkat 'berobat' ke 'orang pintar'. Dari si kakek tersebut ia mendapatkan alamat itu, seorang paranormal di daerah Lawang, Jawa Timur.

Sudah berhari-hari Dani memikirkan alternatif itu. Dulu ia sangat skeptis dengan hal-hal mistis seperti ini. Namun situasi telah berubah. Siapa bilang kesembuhan hanya datang dari dunia kedokteran? Akhirnya ia memanggil sang sopir.

"Pak Jo, coba lihat ini. Bapak tahu alamat ini?" tanya Dani seraya menyodorkan ponsel.

Pak Jo mengamati sejenak, lalu mengangguk mantap. "Tahu banget, Pak Dokter. Beliau ini sangat terkenal. Dulu sewaktu masih kerja di travel, saya beberapa kali mengantar tamu dari Jakarta, Medan, Malaysia, malah ada yang dari Saudi ke sana."

"Oh, sehebat itu?"

"Nggih, Pak Dokter. Hebat sanget!" Pak Jo mengacungkan ibu jari untuk meyakinkan. "Pak Dokter mau ke sana?" tanya lelaki paruh baya itu. Ia agak heran. Setahunya, sang majikan tidak peduli dengan hal-hal mistis seperti itu. [banget]

"Saya mau coba apa saja. Toh kesembuhan itu bisa datang dari mana pun," jawab Dani kalem.

Pak Jo mengangguk. "Nggih, nggih. Tempatnya agak keluar kota, dekat dengan Lawang."

"Jam berapa beliau bisa menerima pasien?"

"Setahu saya, mulai dari jam delapan pagi. Mungkin sekarang masih sempat kalau segera berangkat."

Dani setuju. Tak lama kemudian, ia sudah berada di jalan arteri Malang-Surabaya, melaju menuju Lawang.

☆☆☆

Menjelang siang, Dani telah berada di alamat yang dituju, sebuah rumah model masa kini dengan halaman luas yang ditata apik. Sungguh berbeda dengan bayangannya, rumah kuno yang gelap dan penuh aroma dupa.

Rumah tempat orang pintar itu ternyata sepi. Aneh. Padahal menurut keterangan Pak Jo, dukun satu ini selalu ramai dikunjungi pasien. Seolah hari itu ia memang ditunggu untuk datang.

Hanya ada seorang pekerja terlihat di halaman, sedang mencabuti rumput. Dani segera masuk dan menemui orang itu. Oleh pekerja tersebut, Dani dipersilakan menunggu di ruang tamu.

Tak lama kemudian, dukun yang dikenal dengan nama Mbah Wito muncul. Ia sudah renta, mungkin usianya telah mencapai kepala delapan. Rambutnya putih dan badannya sedikit membungkuk. Mbah Wito tidak segera menyapa atau duduk. Ia malah menatap Dani lurus-lurus dengan manik mata yang sebagian telah menjadi abu-abu.

"Laopo rene, Le[1]?" [ Buat apa ke sini, Nak?]

Dani berdiri dan menyalami dengan sopan. "Saya Dani, Mbah. Saya mau minta pertolongan Simbah."

Mbah Wito duduk dengan sedikit kesusahan. Barangkali sendi dan tulangnya telah aus dimakan usia. Ia tidak segera menjawab, malah menatap Dani semakin lekat. Tak lama kemudian, ia menggeleng-geleng sembari terbatuk. "Kamu harus menerima takdir, Le. Jalani saja yang sekarang dengan baik. Semoga kamu dilahirkan kembali dalam kondisi yang lebih baik."

Dani termangu. "Penyakit saya tidak ada obatnya?"

"Kalau ada, apa kamu akan datang ke sini, Le?"

Tulang-tulang Dani seperti dirontokkan. Lemas. "Apa tidak ada yang bisa saya usahakan lagi?"

"Ada! Hiduplah dengan baik di umur yang masih ada ini. Kalau ada salah, bertobatlah. Jangan pula membuat kesalahan baru."

Dani mendesah. Ia tidak terima!

Mbak Wito dapat menerawang ke jiwa lelaki muda di depannya. Ikatan karma itu tergambar dengan sangat jelas. Ia memang ditakdirkan untuk mengalami penyakit itu. Beratus kehidupan telah dilalui, begitu pula beratus luka. Bukan apa-apa. Semua itu adalah sarana untuk memahami apa yang penting bagi hidup. Selama ia belum bisa menyadarinya, ia akan terus mengalami luka yang sama.

"Hidup di dunia ini sebenarnya mampir ngombe lan mampir sinau. Hidup yang sebenarnya itu di alam sana. Kenapa takut ke sana?" [singgah untuk minum dan singgah untuk belajar]

"Maksud Simbah kados pundi?" [seperti apa]

"Penyakitmu ini harus bisa membuat kamu menjadi manusia yang lebih baik, Le."

"Jadi penyakit saya ini tidak bisa dibuang?"

Mbah Wito menggeleng. "Bukan begitu cara kerja semesta. Mungkin bisa diobati, mungkin juga tidak. Semua itu tergantung bagaimana kamu memaknai pelajaran hidupmu ini."

"Terus saya harus gimana, Mbah?" tanya Dani dengan nada frustrasi.

Mbah Wito mengangkat jari ke atas. "Pasrahkan semua kepada Sing Maringi Urip." [Sang Pemberi Hidup]

Pasrah? Aku kamu suruh mati aja gitu, Mbah? Big no! Dani merutuk dalam hati.

________

[1] 'Le' berasal dari kata 'thole' (Jawa) yang berarti sebutan bagi anak lelaki


☆---Bersambung---☆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top