Chapter. 23

Written by. She_Liu

Bingung. Itulah yang dijalani Estelle selama seminggu ini. Berbagai macam cara sudah dilakukan, tapi Royce tetap tidak terkendali.

Royce terus menangis, juga tidak mau menyusui. Gelisah dan gusar, juga tidak mau tidur dengan tenang. Jika biasanya bayi itu mau ditaruh di boks, kali ini akan terbangun setiap kali ditaruh, setelah susah payah ditidurkan dalam gendongan.

Lilou juga kewalahan dalam membantu Estelle menenangkan Royce. Keduanya bergantian untuk menggendong dan menjaga. Seminggu seperti itu membuat Estelle tidak bisa bepergian, dan hanya berkutat dengan menenangkan Royce sepanjang hari.

"Apa kau sudah mengukur suhu tubuhnya?" tanya Estelle untuk kesekian kalinya.

"Sudah, Yang Mulia. Normal dan tidak ada tanda bahwa dia demam," jawab Lilou sambil menenangkan Royce yang terus menangis.

Bukan hanya menangis, tapi bayi itu juga menjerit. Kelelahan, juga kurang tidur, Estelle ikut menangis dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

"Kurasa aku harus membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan," ucap Estelle serak.

"Tapi Yang Mulia, pangeran tidak sakit dan..."

"Demi Tuhan, aku sangat bingung!" sela Estelle histeris sambil mengusap wajahnya dengan kalut. "Dia terus menangis dan aku takut jika itu akan membahayakannya."

Lilou terdiam dan terus menenangkan Royce yang semakin menjerit ketika mendengar suara histeris Estelle.

Seminggu adalah waktu yang cukup panjang untuk menerima dan menghadapi kerewelan seorang bayi. Estelle bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk bertahan dalam keadaan seperti itu, ketika Lilou yang adalah pengasuh berpengalaman pun tidak sanggup untuk menangani Royce.

"Selamat malam, Yang Mulia," suara Alban terdengar dan orang itu sudah berada di ambang pintu kamar.

"Siapkan kendaraan, Alban. Aku ingin membawa bayiku ke dokter spesialis," ucap Estelle gemetar dan mendekati Lilou sambil mengulurkan dua tangan untuk meminta Royce darinya.

"Maaf, Yang Mulia. Tapi ini sudah hampir tengah malam," balas Alban saat Estelle sudah menerima Royce dari Lilou.

"Apa kau pikir ini bukan hal darurat saat aku memintamu menyiapkan kendaraan di jam seperti ini?" sahut Estelle dengan nada tinggi, disusul jeritan tangis dari Royce.

"Sshhh, maafkan aku," ucap Estelle sambil menatap Royce lirih. "Apa yang harus kulakukan padamu, Sayang? Mommy bingung."

"Ini adalah daerah perbatasan yang mendekati alam liar. Suara kendaraan akan memicu binatang liar di luar sana untuk mencari posisi kita, juga jalur yang cukup berbahaya untuk dilewati. Maafkan aku, Yang Mulia, tapi jika perjalanan tetap dilakukan malam ini, itu akan sangat berbahaya," ucap Alban dengan tenang.

"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Estelle sambil terisak dan sudah pasrah.

Alban dan Lilou terdiam sambil menatap Estelle penuh simpati. Tidak ada yang berani membuka suara saat Estelle ikut menangis karena bingung, sementara Royce tetap menangis.

Sampai akhirnya, Jared muncul bersama Eryk, memasuki kamar itu tanpa ekspresi dan melempar tatapan dengan Alban.

Seturut dengan perintah Estelle, bahwa Jared tetap tinggal di rumah itu, dan tidak diperkenankan untuk keluar dari kamarnya. Sudah seminggu mendapat perawatan, keadaan Jared membaik dan mulai bisa sedikit menggerakkan bahunya yang terluka.

Menyadari kehadiran Jared, Estelle tersentak kaget dan sorot matanya menajam. "Kau tidak diperkenankan untuk keluar dari kamarmu, Jared!"

Nada tinggi dari suara Estelle, kembali memicu jerit tangis Royce dan semakin kencang. Bayi itu meronta, tidak bisa diam, dan semakin membuat Estelle kewalahan dalam mengendalikannya.

"Maaf, aku hanya ingin memastikan keadaan baik-baik saja. Tangisan Yang Mulia bisa menarik perhatian," jawab Jared sambil menatap punggung kecil Royce dari gendongan Estelle.

"Aku sudah bilang akan..."

"Yang Mulia, kecilkan suaramu," sela Lilou sambil mendekat, hendak mengambil alih Royce, tapi Estelle sudah mengangkat tangan agar Lilou berhenti.

Royce yang terus menangis, kehadiran Jared yang ada di situ, juga tatapan penuh simpati dari para bawahannya, membuat Estelle merasa terancam dan tidak berguna.

Panik, kuatir, lelah, juga bimbang, semua bercampur menjadi satu. Isakannya pun semakin terdengar, membaur dengan jerit tangis Royce di sana.

Suara tangis Royce melemah, pertanda dia lelah dan haus, tapi terus meronta. Estelle sangat takut jika terjadi sesuatu pada bayi itu. Juga, asupan minum Royce sangat berkurang.

Jared memberanikan diri untuk bergerak, melangkah dengan hati-hati, dan Estelle tidak menyadari jika pria itu mendekat padanya. Alban dan Lilou segera bergeser untuk memberi ruang, membiarkan Jared bertindak, dan bergabung dengan Eryk di dekat pintu.

Tanpa berkata apa-apa, Jared memeluk Estelle yang sedang menggendong Royce, membuat bayi itu berada di antara keduanya.

Bingung, juga tidak sempat menegur, tapi pelukan hangat Jared seolah menjadi kebutuhan yang diperlukan Estelle saat ini. Tangisannya semakin memberat, seolah mencurahkan seluruh perasaannya dalam pelukan itu.

Saat ini, justru hanya Estelle yang menangis, sedangkan Royce mulai tenang. Jared mengusap punggung Estelle dengan pelan dan sangat hati-hati, meski harus menahan sakit karena bahunya masih belum sepenuhnya pulih.

"Maaf jika aku sudah lancang, Yang Mulia. Aku hanya bersikap spontan dan tidak tahu kenapa aku merasa harus memelukmu seperti ini," bisik Jared dalam nada suara yang hanya bisa didengar Estelle.

Estelle menggeleng sebagai jawaban, sudah terlalu lelah untuk sekedar memberi balasan.

"Bolehkah aku membantumu?" tanya Jared ragu. 

Sambil mengerjap panik, Estelle mengangguk dan membiarkan Jared membantunya.

Jared menoleh pada Lilou untuk mengambil alih Royce dari Estelle. Dengan sigap, Lilou melakukannya saat Jared sudah mengurai pelukan.

Saat Royce sudah berpindah tangan pada Lilou, bayi itu kembali menangis dan menjerit nyaring. Estelle langsung panik dan hendak mengambil Royce kembali.

Tapi sebelum Estelle sempat melakukannya, Jared lebih dulu mengambil Royce dari Lilou, dan menggendongnya dengan hati-hati. Dengan posisi kepala mungil Royce yang berada pada dada Jared, tangisan bayi itu berhenti, berganti dengan sisa isakan yang terdengar seperti merajuk.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Hingga semenit kemudian, tidak ada tangisan Royce dan keadaan berubah menjadi tenang. Bahkan, dengan mudahnya Royce tertidur dalam dekapan Jared.

Estelle menatap tidak percaya, sedangkan Jared tampak kebingungan sambil menahan sakit, karena bahu kanannya dipakai untuk merengkuh tubuh mungil Royce.

"K-Kau bisa menaruhnya di dalam boks," ucap Estelle serak sambil menunjuk boks bayi.

Jared mengangguk dan melirik pada Lilou yang sigap mendekat, lalu mengambil Royce dengan hati-hati.

Baru saja Lilou memegang Royce, tapi bayi itu langsung terbangun dan kembali menangis. Tidak ingin menimbulkan kericuhan lagi, Jared kembali menggendong Royce, dan bayi itu pun terdiam.

"Aku benar-benar tidak menyukai hal ini," desis Estelle melihat kejadian itu dengan perasaan yang sudah campur aduk.

Jared menoleh padanya dengan sorot mata penyesalan dan berusaha menenangkan Royce dalam pelukannya.

"Beri waktu setengah jam saja, aku akan berusaha untuk menaruhnya di boks. Istirahatlah, Yang Mulia," ucap Jared kemudian.

Tanpa bersuara, Lilou bersama Alban dan Eryk, segera menyingkir dari kamar itu dan menutup pintu, meninggalkan Jared dan Estelle dalam keheningan di sana.

Royce sudah tenang dan tertidur lelap di dada Jared, sedangkan Estelle masih berdiri dan menatap tidak percaya.

"Kurasa, kau lebih baik duduk dan bersandar di sofa, karena bahumu masih terluka," ucap Estelle saat melihat ekspresi Jared yang masih tampak menahan sakit, karena menahan beban berat tubuh Royce di sebelah kanan secara tidak sengaja.

Jared mengikuti arahan Estelle untuk duduk bersandar, hal itu membuat Royce semakin nyaman dan menguap lebar. Bahkan, bayi itu menggenggam erat sisi kemeja Jared di sana, seolah tidak ingin dia pergi.

Tidak butuh waktu lama bagi Royce untuk terlelap, bahkan mendengkur halus di sana. Ditambah tepukan ringan di punggung mungilnya yang dilakukan oleh Jared, menambah kelelapannya di sana.

Menghela napas lelah, Estelle terduduk di sofa yang lain, mengerjap tidak mengerti pada Royce dan Jared bergantian, lalu mengusap wajah dengan perasaan gusar.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Jared tiba-tiba.

Estelle mengangkat wajah dan menatap Jared hampa. "Tidak, aku tidak baik-baik saja."

Mata Jared melebar kaget. "Apa yang sakit? Apa..."

"Tidak! Aku bahkan tidak tahu apa yang kurasakan saat ini. Berhenti bertanya, kau akan membangunkannya," sela Estelle dengan suara gemetar.

Jared menuruti ucapan Estelle dan spontan kembali menepuk pelan punggung mungil Royce, saat bayi itu mengubah posisi.

"Kau harus makan, Yang Mulia," ucap Jared dalam suara pelan, seolah takut membangunkan Royce.

Estelle menggeleng. "Aku tidak lapar."

"Tapi..."

"Apakah kau bisa menjawab beberapa pertanyaanku?" tanya Estelle kemudian.

Tatapan Jared menajam, tampak mempelajari ekspresi Estelle, lalu mengangguk dengan hati-hati.

"Apa kau tahu... semuanya?" tanya Estelle ragu.

Jared tidak langsung menjawab. Meski tatapannya tajam, tapi ekspresinya menghangat, mewakili jawaban yang sudah bisa ditebak Estelle.

"Kenapa?" lanjut Estelle dengan suara tercekat.

Masih belum menjawab, Jared tampaknya enggan bersuara dan hanya sekedar memberi ekspresi sebagai jawaban. Kali ini, tampak menyesal dengan sorot mata berkaca-kaca.

Segera beranjak berdiri, Estelle keluar dari kamar sambil memeluk tubuhnya sendiri, enggan berhadapan dengan Jared lebih lama.

Merasa gamang, tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga mulai ragu dengan rancangan hidup yang sudah tersusun rapi. Estelle sudah sangat lelah.

Selama setahun menjalani kehidupan, Estelle tahu jika dia tidak sendirian. Para sahabat ayahnya masih tetap mengawasi, walau dari kejauhan, tujuannya adalah memastikan dirinya aman.

Estelle pun tahu tentang keputusan Jared untuk mengabdikan diri di Almauric, yang diyakini sebagai bentuk penyesalan dan penebusan atas kesalahan yang sudah dilakukan.

Jika di awal, Estelle tidak mengerti dengan istilah 'Jared tidak akan mengusik kehidupanmu lagi karena mengira dirimu sudah mati' dari para petinggi, kini dia sudah sangat mengerti. Jared adalah pria cerdik yang penuh perhitungan, maka dari itu, ada yang aneh saat mendengar ucapan mereka.

Meski sudah memprediksi pria itu akan berlagak tidak tahu dan mengawasinya dari jauh, akan tetapi saat bisa mengetahuinya secara langsung, justru mengoyahkan pendirian Estelle.

Tidak ingin menangis, tapi air matanya mengalir begitu saja. Sudah tidak terhitung kesedihan yang dirasakan Estelle, dan entah sampai kapan dirinya membiarkan kesedihan itu menguasai hidupnya.

Bukankah setiap orang berhak untuk merasa bahagia? batinnya lirih. Jika ya, maka satu-satunya cara adalah mendapatkan sumber kebahagiaannya.

Kelahiran Royce sungguh berarti dan memberi sukacita dalam hati, tapi tetap saja, Estelle merasa kosong. Saat ini, Estelle berpikir jika Royce adalah sebuah pengalihan kesedihannya, untuk tetap semangat dalam menjalani hidup.

Namun, saat melihat Jared mendekap Royce, memeluk dan menenangkan bayi itu, perasaan Estelle bergejolak. Seperti kembang api yang meletup-letup, memberi debaran kencang dalam dada. Seolah batinnya melompat kegirangan, tapi fisiknya terlampau lelah untuk sekedar tersenyum.

Mengusap pipinya yang basah, Estelle menarik napas dalam, dan berpikir untuk kembali ke kamar. Membuktikan sesuatu.

Sesuatu yang dulu pernah dirasakan, dan nyaris terhilang oleh karena keadaan. Dia ingin mencoba, sekedar pembuktian. Hanya ingin tahu apakah jika melakukannya, rasa itu akan kembali?

Memikirkan hal itu, membuat langkah Estelle semakin tergesa dengan debaran jantung yang kian menggila, seperti ingin cepat sampai ke kamarnya sebelum keinginannya pudar.

Begitu tiba di kamar itu, dia bisa melihat Jared sedang memunggunginya, terlihat berhati-hati dalam menaruh Royce ke dalam boks itu.

Seperti habis berlari, napas Estelle terengah, padahal dia yakin jika sudah berjalan seperti biasa. Saat Estelle sudah menutup pintu, Jared sudah berbalik untuk melihat kedatangannya.

Keduanya berhadapan, menatap satu sama lain dalam tatapan penuh arti. Di hadapannya, Jared begitu menjulang dan tampak bingung.

Menyadari jika dirinya berada di negerinya sendiri, Estelle merasa penuh percaya diri atas kuasa yang berada di genggamannya. Termasuk Jared, pikirnya.

"Yang Mulia," panggil Jared pelan, saat melihat Estelle sedang melangkah untuk menghampirinya.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Sampailah dia tepat di hadapan pria yang dulu begitu angkuh, licik, dan meragukannya.

Tatapan Estelle mengarah pada wajah Jared yang masih mempesona seperti dulu, begitu detail dalam memperhatikan garis wajah, sorot mata, dan ekspresinya.

"Yang Mulia?" tanya Jared dengan alis bertautan.

"Aku ingin mencari tahu," jawab Estelle dengan suara gemetar.

"Mencari tahu?" tanya Jared lagi.

"Ya."

"Tentang?"

"Sebuah rasa."

Sebelum Jared kembali bertanya, Estelle segera bertindak dengan seluruh keberaniannya.

Berjinjit untuk bisa menangkup sisi wajah Jared dengan dua tangan, Estelle mencondongkan tubuh dan memiringkan wajah untuk mencium bibirnya. Singkat. Dalam. Hangat.

Napasnya tertahan, nyaris sesak, dengan derap pacu jantungnya yang mengentak keras dalam dada. Bukan lagi soal rasa yang pernah hinggap, tapi rasa yang tertinggal dalam hati, dan masih membara sepenuhnya, seperti pertama kali dirinya memutuskan untuk tenggelam dalam emosi cinta yang tak pernah padam.

◾◾◾

October 12th, 2020.
21.00.

Akhirnya, gue bisa main-main di next chapter.

Aq bakal pensiun kolabs sama qm, qlo alur ceritanya bikin keki kayak gini She_Liu


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top