Chapter. 11

Written by. CH x She_Liu


Estelle menatap Marion dengan penuh arti, ketika wanita itu memilih beberapa pakaian untuknya. Marion mengambil beberapa pilihan, mengukurkannya pada tubuh, lalu bergumam seperti berpikir, dan memutuskan untuk mengambil pilihan yang dinilainya terbaik.

Melakukan aktifitas berbelanja dengan orang lain, sangat jarang dilakukan olehnya. Dia hanya pergi beberapa kali dengan Duchess Brianna, ibu dari Darren, dan itu hanya pergi ke pasar terdekat atau toko kecil di pusat kota yang tidak modern seperti dirinya berada saat ini.

Membeli pakaian tidak pernah dilakukannya seumur hidup, sebab seluruh pakaiannya dibuat oleh desainer khusus kerajaan, termasuk alat kecantikan dan kebutuhan pribadinya. Kini, dia merasakan berbelanja di pusat perbelanjaan yang sangat besar dan membuatnya takjub melihat sekelilingnya.

“Sudah kuduga jika kau sangat cantik memakai pakaian musim panas dalam balutan loose dress seperti itu. Kau sangat cantik,” puji Marion puas saat melihat Estelle sudah keluar dari ruang ganti, mencoba pakaian yang dipilih Marion untuknya.

“Ini sangat nyaman,” ujar Estelle dengan wajah merona.

“Tentu saja, aku tidak pernah salah memilih. Kau tampak seperti boneka barbie,” kembali Marion memujinya, membuat rona di wajahnya semakin memerah.

“Terima kasih,” balas Estelle sopan.

Marion membelai rambutnya dan menatapnya hangat. “Sejak lama, aku sangat menginginkan seorang putri. Brick selalu menyombongkan diri dengan memilikimu dan sangat pelit karena tidak mau berbagi denganku dulu. Tapi lihat sekarang? Kini kau bersamaku dan sudah menjadi putriku.”

Estelle mengatupkan bibir sambil menatapnya dengan berkaca-kaca. Memiliki keinginan yang serupa, dia bersyukur jika mendapatkan momen membahagiakan seperti ini.

“Oh, Sayang. Jangan bersedih, aku tidak ingin melihatmu menangis,” ucap Marion sambil memeluknya.

“Aku terharu,” bisik Estelle lirih dan memejamkan mata untuk menikmati pelukan hangat itu.

“Sudahlah, ayo kita lanjutkan acara jalan-jalan hari ini. Lekas tukar pakaianmu dan kita akan menikmati makan siang,” ujar Marion dan segera melepas pelukan, mengarahkan Estelle untuk kembali ke ruang ganti.

Estelle segera menukar kembali pakaiannya dan keluar dari ruang ganti. Segera menyusul Marion yang sudah berdiri di depan kasir, bersiap untuk membayar. Dengan sungkan, dia menyerahkan pakaian yang tadi dicobanya dan memperhatikan proses pembayaran.

Ada rasa tidak nyaman ketika Marion membayar semua kegiatan belanja mereka. Estelle merasa sungkan dan tidak tahu harus berbuat apa selain terus mengucapkan terima kasih. Sebab, selain tubuhnya, Estelle tidak membawa apapun. Pakaian sehari-hari yang dikenakan selama tinggal di rumah itu pun disiapkan oleh Marion.

“Jangan merasa tidak enak hati, Sayang. Kau adalah putriku, dan sudah kewajibanku untuk mencukupi kebutuhanmu,” ujar Marion menjelaskan saat mereka sudah keluar dari toko pakaian itu.

Estelle memberikan senyuman tipis. “Aku tidak tahu apa yang bisa kuberikan sebagai balasan, Mom.”

“Cukup menjadi putriku, itu sudah lebih dari apapun. Kehadiranmu sudah membuatku bahagia, sehingga aku memiliki teman untuk menghadapi dua pria bajingan yang ada di rumah,” ujar Marion riang.

“Kau sangat lucu sekali,” balas Estelle sambil terkekeh.

“Hanya kau yang bilang seperti itu, sebab yang lainnya tidak merasa demikian. Karena katanya aku hanya bisa marah-marah,” tukas Marion dengan ekspresi meringis.

Senyuman Estelle semakin melebar dan berusaha menyamakan langkahnya dengan Marion menyusuri jalan yang begitu ramai. Madison Avenue, yang katanya adalah surga belanja bagi rakyat di negeri itu. Terlalu banyak orang, juga seruan keramaian yang membuatnya tidak nyaman, serta sekelilingnya yang membuat gelisah, Estelle masih belum terbiasa.

Berbanding terbalik dengan Marion yang begitu lincah dalam melewati keramaian itu, tampak begitu riang sambil menjelaskan apa saja yang tidak sanggup dicerna Estelle karena sibuk menghindari tubrukan orang yang tidak sabaran, dengan dua tangan yang sudah memegang kantung belanjaan.

Saat dia kesusahan membawa belanjaan, dan menyadari jika Marion sudah terlalu jauh, di situ dia merasa terancam dan ingin menangis. Dua kaki melangkah tersaruk-saruk, dia memanggil Marion yang tidak cukup kencang untuk didengar wanita itu. Bingung kenapa semua orang tergesa-gesa, dan tidak suka dengan hiruk pikuk yang terjadi. Belum lagi, siulan kurang ajar yang terlempar untuknya menambah rasa takutnya.

Kyaaaa,” Estelle berteriak hingga melompat ketika merasa ada dua tangan besar mengambil alih kantungnya dari arah belakang.

Spontan dia menoleh dan matanya terbelalak lebar ketika sudah melihat Jared yang menatap tajam di sana, tampak terganggu dengan teriakannya. “J-Jared!”

“You’re too clumsy and slow, Your Majesty,” komentar Jared sambil mengambil kantung belanjaannya. “Ibuku seperti kelinci, yang begitu lincah dan cepat. Kau bisa saja tersesat jika aku tidak mengikuti kalian.”

Tidak bisa membalas, karena Estelle sudah terisak pelan seperti anak yang terhilang. Berada di keramaian bukanlah kesukaannya. Hidup di negeri orang dan mencoba hal baru tidak membuatnya senang. Dia sering merasa terancam dan ketakutan sepanjang waktu.

“Menangis lagi,” sindir Jared sambil memutar bola mata dan mendesak tubuhnya agar segera maju. “Kau sudah terlalu tua untuk menjadi cengeng, Yang Mulia.”

Satu tangannya memegang kantung belanjaan dengan mudah, dan satu tangan lagi merangkul bahu Estelle untuk membimbing langkahnya. Sorot mata Jared mendelik tajam saat melihat sekelompok berandal yang sedang berkumpul di pinggir jalan tampak bersiul kagum melihat Estelle.

“Sayang sekali aku tidak membawa pistol, ingin rasanya aku menembak mereka satu persatu,” desis Jared sinis, dan menarik Estelle lebih dekat untuk berjalan lebih cepat.

Marion tiba-tiba berlari dari arah depan, menatap cemas pada Estelle, lalu melirik pada Jared dengan ekspresi bingung dan marah di saat yang bersamaan.

“Kau! Kenapa kau bisa ada di sini dan Estelle menangis? Apa yang sudah kau lakukan padanya?” tuduh Marion tanpa basa basi.

Excuse me, Ma’am? Orang yang patut disalahkan adalah dirimu yang lupa daratan karena sibuk berbelanja! Putrimu tersesat dan menangis karena kau meninggalkannya. Teriakannya seperti anak kucing yang merajuk, untung saja ada putra sialanmu ini yang mengawasi dan membantunya,” sembur Jared dengan nada tidak suka.

Marion mengerjap bersalah dan segera menarik Estelle dari Jared untuk memeluknya erat. “Maafkan aku, Sayang. Apa kau terluka? Apa ada yang mengerjaimu? Katakan padaku dan aku akan menghajarnya!”

Estelle menggeleng dan Jared hanya memutar bola matanya. “Aku hanya takut.”

“Oh sayang, maafkan aku. Tidak usah takut, sudah ada kami di sini,” balas Marion dengan nada bersalah sambil mengusap punggungnya.

Estelle mengangguk dan melepas pelukan. Dia menoleh pada Jared yang terlihat masam.

“Pantas saja kau menginginkan seorang putri, supaya ada yang menurunkan sikap cerobohmu, kan?” tuduh Jared dengan alis terangkat setengah pada Marion.

“Supaya kau memiliki pekerjaan tambahan, Jared!” balas Marion sambil menyibakkan rambutnya. “Untuk apa kau kemari? Apa kau mengikuti kami? Atau ayahmu yang menyuruh?”

“Seperti yang kau bilang bahwa aku memiliki pekerjaan tambahan. Tidak usah berterima kasih, sungguh. Aku sangat mengenal ibuku yang lupa daratan soal berbelanja dan tuan puteri yang manja ini,” sindir Jared sambil mulai melangkah, diikuti Estelle dan Marion di belakangnya.

“Kau benar sekali, anak laki-laki memang wajib difungsikan sebagai tukang suruh. Baiklah! Kau diperkenankan untuk ikut dalam kegiatan belanja kami,” sahut Marion yang sepertinya membuat Jared semakin kesal.

Tujuan mereka kali ini adalah sebuah restoran bergaya vintage dan nyaman. Tidak terlalu banyak orang, tapi juga tidak sepi. Seperti sudah sering datang ke restoran itu, seorang pelayan langsung menyapa Marion dan membawanya ke sebuah meja di dekat jendela.

“Pesanan biasa untukku dan putriku, lalu untuk Jared,” ujar Marion senang.

“Aku tidak tahu jika kau memiliki dua anak,” balas pelayan itu dengan ekspresi menilai pada Estelle.

Estelle menunduk karena merasa tidak percaya diri jika diperhatikan oleh orang asing. Sebaliknya, Marion yang duduk di sampingnya, langsung merangkul bahunya erat dan memperkenalkannya dengan bangga.

“Dia adalah putriku. Sangat cantik, bukan?” ujar Marion.

Pelayan itu tersenyum penuh arti. “Kukira dia adalah menantumu. Cukup serasi jika disandingkan bersama Jared.”

Estelle segera mengangkat wajah dengan ekspresi tercengang, lalu menoleh pada Jared yang duduk di sebrang. Pria itu tampak biasa saja sambil menopang dagu untuk menatap pelayan itu.

“Bukankah kau terlalu banyak bertanya, Pierre? Cepat buatkan pesanan kami, atau aku akan mengadu pada bosmu!” cetus Jared dengan nada malas.

Pelayan yang bernama Pierre itu hanya tertawa pelan. “Mrs. Chelsea tidak akan keberatan jika aku bermulut besar, karena katanya bersikap ramah kepada tamu langganan adalah kehormatan. Lagi pula, kalian sudah seperti keluarga.”

“Sampaikan salamku pada Chelsea dan Liam,” sahut Marion senang.

Will do, Ma’am,” balas Pierre hangat, lalu menoleh pada Estelle dengan sumringah. “Senang berkenalan denganmu, Cantik. Namaku Pierre, kepala pelayan di restoran ini. Kapan pun kau ingin kembali, aku bersedia melayanimu.”

Estelle membungkuk hormat. “Terima kasih.”

Pierre tersenyum heran lalu meninggalkan meja itu, dimana Jared dan Marion menatap Estelle dengan tatapan yang sama.

“Ada apa?” tanya Estelle bingung.

Jared hanya tertawa geli di sana, sementara Marion mendesis tajam pada Jared tanda menegur.

“Apakah aku sudah melakukan kesalahan?” tanya Estelle lagi.

Marion menggeleng. “Tidak, Sayang. Tidak sama sekali. Hanya saja perlu kau ketahui bahwa kau tidak perlu membungkuk seperti tadi ketika berbicara dengan orang lain. Kau cukup mengucapkan terima kasih sambil menatap mata lawan bicaramu.”

Estelle terdiam dan menghapalnya dalam hati tentang apa yang diberitahukan Marion. Membungkuk adalah sebuah kewajiban ketika mendapatkan pujian dan keramahan seseorang, setidaknya itu adalah cara paling aman daripada punggung tangannya dicium oleh orang asing.

Marion mulai bercerita. Wanita itu sepertinya senang menceritakan segala sesuatu dengan berbagai ekspresi dan Estelle sangat menyukai orang yang ekspresif. Dia hanya bisa membalas dengan senyuman dan anggukan, lalu akan bertanya jika apa yang disampaikannya tidak dimengerti.

Jika Estelle begitu tertarik dengan pembicaraan Marion, lain halnya dengan Jared yang tampak malas dan bergeming saja. Sesekali, dia melempar tatapan ke luar jendela dengan tajam, memperhatikan sekeliling dengan penuh penilaian, lalu kembali menatap dua wanita yang duduk di sebrangnya.

Pesanan mereka pun tiba, dan Estelle tidak tahan untuk tidak memekik senang melihat tampilan makanan yang tidak pernah ditemuinya. Begitu menggiurkan dan membuat perutnya semakin lapar.

“Apa nama makanan ini, Mom?” tanya Estelle sambil memakai serbet di pangkuannya.

“Itu adalah nasi goreng dengan sate ayam. Salah satu makanan otentik Asia yang ditawarkan dan menjadi favorit di sini,” jawab Marion menjelaskan.

“Sate ayam?” tanya Estelle sambil mengangkat satu tusuk daging yang dilumuri bumbu kacang. “Aku tidak yakin jika selai kacang bisa dibalur pada makanan seperti ini.”

Jared tertawa keras sambil memijat pelan keningnya, dan langsung mendapat teguran keras dari Marion yang menertawakan Estelle.

“Yang Mulia tersayang, itu bukan selai kacang tapi saus kacang yang diberi bumbu untuk membuat sate itu lezat. Dimakan terlebih dulu baru bertanya, okay? Supaya kau tidak terlihat bodoh dan naif, seriously,” celetuk Jared geli.

“Jared!” tegur Marion lagi.

Estelle menatap Jared dengan cemberut dan tidak ingin mempedulikan pria itu lagi. Dia menyendok makanaan itu dan memakannya. Matanya melebar kaget dengan rasa makanan yang kaya akan rempah dan tidak familiar. Ini benar-benar makanan yang baru, pikirnya.

Semangkuk sup diarahkan padanya, membuatnya mengangkat wajah untuk menatap Jared yang kini mengulum senyum penuh arti di sana. “Kau perlu mencoba sup oxtail ini. Aku jamin kau akan menyukainya.”

“Tapi itu adalah makananmu,” balas Estelle.

“Tidak apa-apa, kau bisa mencobanya lebih dulu.”

“Tapi itu tidak sopan jika mencobai makanan orang lain. Lagi pula, semua makanan harus dihabiskan, tidak boleh bersisa.”

Jared menarik napas dan terlihat masam, dimana Marion kembali mengingatkannya untuk bersabar.

Be nice, Son,” ujar Marion santai sambil asik menikmati menu yang sama seperti Estelle.

“Dengarkan aku, Estelle,” ujar Jared dengan penuh penekanan. “Dalam hubungan sosial, ada istilah berbagi makanan. Aku menawarkanmu, itu berarti aku mempersilakanmu untuk mencoba atau menghabiskannya jika kau mau. Sesederhana itu.”

“Tapi itu makananmu,” balas Estelle kemudian.

“Dan aku bisa memesannya kembali. Ayolah, coba sup ini. Aku tahu kau sudah penasaran,” sahut Jared dengan nada gemas.

Dengan ragu, Estelle menerima sendok baru dari Jared dan mencoba sup itu. Matanya melebar kembali dan pria itu menyeringai puas melihat ekspresinya.

“Apa kubilang?” celetuk Jared. “Coba wortel dan dagingnya, kau pasti akan suka.”

Estelle menurutinya dan benar apa yang dikatakannya bahwa itu adalah sup daging terenak yang pernah dinikmatinya. Setelah mencoba beberapa suap, Jared menarik makanannya kembali dan mengambil alih sendok yang dipakai Estelle untuk digunakannya dengan santai.

Estelle tercengang dan meringis melihat Jared memakai sendok bekas dipakainya. Kini, Marion yang mengambil alih penjelasan.

“Tenang saja, tidak masalah berbagi alat makan yang sama karena kita adalah keluarga,” ujar Marion menenangkan.

Jared menyeringai geli. “Ini bukan bertukar lidah atau ciuman, Sayang. Hanya masalah sendok, bukan permasalahan yang...,”

“Jared! Hargai adikmu!” sela Marion tajam.

Oh please, bisakah kau berhenti menegurku, Mom? Lagipula, tidak ada yang percaya jika dia adalah adikku,” keluh Jared.

Perdebatan terjadi, dan Estelle hanya terdiam sambil menoleh ke luar jendela. Alisnya berkerut ketika melihat sosok familiar dari arah sebrang. Dia mencoba mengerjap kembali untuk memastikan agar tidak salah lihat, dan ketika beberapa mobil melintas di jalan, sosok itu sudah tidak ada.

“Kenapa begitu?” tanya Marion ketus, menyita kembali perhatian Estelle pada perdebatan itu.

“Bukankah Pierre mengira dia adalah menantumu? Lagipula, dia pirang dan kita bukan. Kita bukan keturunan berambut pirang,” balas Jared tanpa beban, dengan ekspresi seolah rambut pirang adalah kaum hina.

“Apa kau ingin bilang aku bodoh karena berambut pirang?” tanya Estelle kemudian.

“Aku tidak bilang seperti itu, meski benar adanya. Tapi, kau adalah wanita yang cantik dan aku suka,” jawab Jared.

Marion tertegun, menatap Jared tidak percaya lalu menoleh pada Estelle yang bergeming di sana. Tidak mengerti apa yang diinginkan Jared karena selalu mencari kesempatan untuk menghina atau memancing emosi.

“Itu bukanlah hal yang pantas untuk diucapkan, sebab kau akan membuat Estelle merasa terancam. Hanya karena kau dan dia tidak sedarah, bukan berarti kau boleh melewati batas, Jared. Apa kau dengar itu?” ucap Marion dengan tegas.

Estelle menunduk dan mengabaikan ucapan Marion sambil menyendok makanannya banyak-banyak. Berusaha agar tidak menatap Jared yang tampaknya masih biasa saja seolah ucapan Marion tidak memberi pengaruh apa-apa.

“Jika aku melewati batas, apa yang akan kau lakukan padaku, Mom?”

Estelle tersentak dan langsung menatap Jared dengan kaget. Pria itu bahkan bersikap begitu santai sambil menikmati makan siangnya meski Marion sudah mulai naik pitam.

“Jika kau berani menyentuh Estelle, maka kau akan berhadapan denganku! Aku tidak akan memaafkanmu, Jared,” ujar Marion.

“Kenapa begitu?” tantang Jared.

“Karena itu berarti aku sudah gagal dalam mendidikmu sebagai seorang pria sejati. Lagipula, kau tidak menyukai Estelle, bukan? Seharusnya...,”

“Tidak menyukainya sebagai adik, Mom,” sela Jared dengan nada yang semakin santai.

“A-Apa?” pekik Marion kaget.

“Bukan berarti aku tidak menyukainya sebagai wanita. Aku adalah pria normal yang akan tergoda dengan wanita cantik seperti dirinya. Dalam hal ini, kau salah dalam mengangkat seorang puteri karena terlalu cantik, Mom. Kau melupakan bagian tentang anakmu yang adalah bajingan,” tambah Jared lagi.

“Apa kau bisa berhenti untuk membuat keributan?” tanya Estelle dengan dingin. “Jika kehadiranku membuat hubungan keluarga ini menjadi dingin, maka aku lebih baik kembali ke negeriku.”

“Estelle, tidak! Jangan dengarkan Jared!” sahut Marion cepat.

“Kurasa, aku memang tidak cocok tinggal di negeri seperti ini, Mom. Aku hanya wanita yang pernah berbuat jahat dan tidak pantas mendapat kebaikanmu,” ujar Estelle.

“Tidak! Kau adalah wanita yang mandiri dan kuat. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, dan itu bukan kejahatan. Kau berusaha memperbaiki apa yang salah dan tidak akan mengulanginya, itu adalah hal yang baik,” balas Marion.

Estelle tidak mau membalas lagi, selain berusaha untuk memghabiskan makan siangnya yang sudah tidak terlalu berselera meskipun sangat lezat. Pikirannya sudah terbagi saat ini. Marion terus menceramahi Jared yang tampak begitu santai dan seolah tidak ada masalah di sana. Sampai akhirnya, ucapan Marion yang terdengar begitu tegas dan lugas, membuat Estelle menegang kaku dan menatap tidak percaya.

“Jika memang tidak ada titik temu, dan kau sudah sangat keterlaluan, maka lebih baik kalian menikah saja! Aku menginginkan Estelle di rumahku, sedangkan kau menyukainya sebagai wanita dan bukan adik. Bukankah itu lebih baik?”

Pikiran Estelle seketika buntu dan gelap. Menikah? Dengan Jared? Lantas, saat dia menatap pria itu, ada kesan yang tak terbaca di sana. Jared begitu datar dan tenang, sama sekali tidak menggubris ibunya selain menghabiskan makan siangnya.

“Apa kau sudah menanyakan pendapat Estelle sebelum memutuskan hal seperti itu, Mom? Bisa jadi, tuan puteri sedang bersedih hati karena merasa sudah diatur secara paksa tanpa bertanya lebih dulu,” tanya Jared sambil melirik pada Estelle.

Estelle merasa lidahnya kelu dan tidak mampu menjawab. Dia yakin jika wajahnya sudah pucat pasi dengan perasaan yang mendebarkan.

“Estelle, maukah kau menikah dengan Jared? Supaya bajingan itu bisa menutup mulutnya dan tidak menyakitimu lagi,” tanya Marion penuh harap.

“Jawab saja, Sayang. Tidak perlu sungkan,” celetuk Jared tanpa beban.

Untuk pertanyaan yang selalu menjadi impian para wanita, tapi harus didengarnya dari Marion dan bukan Jared. Merasa tidak dihargai, tentu menyakiti perasaannya. Estelle tahu jika dirinya sudah menaruh perasaan pada Jared, tapi merasakan cinta sepihak sungguh tidak menyenangkan.

Tanpa sadar, Estelle menaruh alat makannya, mengusap bibirnya dengan serbet, dan beranjak berdiri. Dia menoleh pada Marion dan berbisik “Aku perlu ke toilet. Permisi.”

Dia segera berjalan menuju ke bilik toilet wanita sesuai arah petunjuk restoran dan termenung di sana. Matanya mengerjap lirih, lalu mengusap sudut matanya yang basah, enggan untuk membiarkan airmatanya terjatuh.

Tidak ada siapapun atau keluarga yang bisa menjadi pelipur lara, juga tidak tahu harus mencari siapa untuk melepaskan keluh kesah. Estelle merasa sendirian dan merasa tidak layak. Mungkin saja, Marion merasa iba karena dirinya sebatang kara, dan dengan mudah menyuruh putranya untuk menikahinya. Sementara Jared terus menghina dan merendahkan dirinya.

Cukup lama dia berada di sana, sampai saat dirinya mulai bisa menenangkan diri, Estelle segera keluar dan tersentak ketika melihat Jared sudah menunggu di depan bilik itu.

“Apa kau menangis di dalam?” tanyanya pelan.

Estelle mengabaikan dengan bergeser agar bisa melewatinya, tapi Jared sudah lebih dulu mencengkeram lengannya untuk menahan langkah.

“Aku minta maaf, Estelle. Aku tidak berniat untuk memancing keributan atau merendahkanmu,” ujar Jared menjelaskan.

“Benarkah? Itukah yang kau bilang tidak berniat untuk memancing atau menghina?” balas Estelle kecewa.

“Aku tidak pandai berbohong. Aku juga tidak suka berbohong atau menutupi apa yang sudah kita lakukan,” sahut Jared.

“Tidak bisakah kau menutup mulutmu tentang hubungan satu malam itu? Anggap saja jika kita...,”

“Tidak! Jika kau berpikir aku menjadikanmu sebagai pemuas, kau salah besar. Munafik jika aku tidak tahu apa perasaanmu padaku, Estelle. Aku bisa merasakannya!” sela Jared.

“Dan kau tidak perlu merasa terbeban!”

“Memang tidak, tapi aku yang tidak ingin membiarkanmu seperti itu. Kau terus merasa rendah diri, rapuh, lemah, dan selalu bersikap diam. Aku ingin kau membela dirimu sendiri, berteriak atau memaki jika perlu, dan buat perhitungan jika orang sudah begitu parah dalam merendahkanmu! Bukannya hanya diam, lalu menangis secara sembunyi-sembunyi, dan berakhir sebagai pecundang. Kau lebih dari itu, Estelle. Kau adalah seorang ratu yang memiliki semua kekuatan yang dimiliki oleh kaummu.”

“Jangan memuji jika kau ingin aku menjawab pertanyaan ibumu. Aku..,”

“Aku memang tidak pantas untukmu. Aku hanya bajingan yang sudah mengambil keperawananmu dan kau tidak perlu terjebak dalam rasa penyesalan karena itu. Kau berhak menentukan siapa yang menjadi pendampingmu meski kau bukan perawan, Estelle. Banyak pria lain yang lebih baik di luar sana, yang siap membahagiakanmu,” sela Jared yang justru membuat hatinya semakin sesak.

“K-Kau bermaksud seperti itu?” tanya Estelle tidak percaya.

“Aku tidak bermaksud seperti apapun yang kau pikirkan sekarang, Estelle.”

Tidak ingin mendengar lagi, Estelle segera berjalan meninggalkan Jared untuk kembali ke meja. Saat dia berjalan cepat untuk menghampiri Marion yang masih duduk di meja dan sedang menelepon, tatapannya menangkap pergerakan tidak biasa dari sebrang, persis dari kaca jendela yang bisa dilihatnya.

Sosok yang dilihatnya di sebrang jalan tadi. Ternyata dia tidak salah lihat. Seorang pria berpakaian hitam, sedang berada di lantai kedua dari bangunan sebrang restoran, tampak mengarahkan senapan ke arah meja yang ditempati Marion dari jendela bangunan, hendak menembak di situ. Melihat adanya ancaman bahaya, Estelle segera berlari untuk menghindari Marion dari hal yang tidak diinginkan.

“Estelle, jangan!” seru Jared dari arah belakang, ketika Estelle sudah lebih dulu mencapai Marion.

Saat Estelle menarik Marion dari kursi hingga terjatuh, dalam posisi memeluk Marion dengan erat, dia bisa mendengar suara pecahan kaca jendela yang memekakkan telinga, bersama dengan seruan histeris dari para pengunjung, dan isakan tangis Marion sambil berteriak memanggil namanya.

Estelle merasa sesak dan sekujur tubuhnya terasa basah. Dia masih bisa mendengar suara tembakan di luar sana, tapi sudah tidak terlalu jelas karena kepalanya begitu pusing dan telinganya berdengung. Berada dalam rengkuhan Marion yang terus berteriak memanggil namanya, dia berusaha untuk tetap sadar meski merasakan nyeri yang tak tertahankan di sekujur tubuhnya.

Jared sudah datang, bersimpuh di sisinya dengan ekspresi cemas, dan menekan sisi bahu kanannya dengan keras. Pandangannya mengabur, bersamaan dengan rasa tidak nyaman yang menyeluruh. Rasa dingin mulai menjalar dan dia merasa kedinginan. Tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena Estelle sudah memejamkan mata dan enggan untuk membukanya kembali.

■■■■■

Sunday, Mar 29th 2020
15.52 PM

Yeah, I know. Ide Sheliu emang seniat itu.
Lanjutannya bikin males 💩

WFH di rumah, Mami bikin keki.
Katanya : Gimana jadi orang, coba? Yang lain udah disiapin makan sama doinya, udah dua-duaan nonton Netflix, ato ngegym bareng. Qm msh aja dibangunin sama Mami. Malu-maluin.

Anjir, bukan doain malah nistain.
Aing syedih 💩



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top