XXXVII - Rumor

Biarkan kita buta sesaat, untuk bisa terus mendekat.
👑

Panduan membaca :
1. Pegangan
2. Udah itu aja

👑

"Loh, El. Lo masuk. Katanya ngambil cuti dulu." Sapa teman pengajarnya ketika Elata baru selesai mengajar.

Hampir saja ia lupa kalau hari itu ada satu sesi mengajar di jam pertama. "Udah baikan, Mirna."

"Gue denger lo digebukin sama perampok, ya?" wanita itu lalu menatap tangannya. "Mana tangan lo cidera lagi. Padahal itu asset pianis. Nggak parah, kan?"

Elata belum bisa menggerakkannya secara sempurna. "Nggak kok, cuma bengkak."

"Tapi kalo gue jadi lo juga nggak enak sih ambil cuti. Secara Yayasan udah baik banget sama lo. Diterima kerja di sini padahal lulusan SMA, sekarang malah dikasih beasiswa juga."

Mirna memang selalu blak-blakan. Tapi tidak ada yang salah dari perkataannya.

"Perampoknya udah ketangkap, belum? Ngeri juga ya sekarang ini. Apalagi kita cewek. Mana lo juga tinggal sendiri, kan? Eh, sekarang tinggal di mana? Udah dapat kost baru? Bisa dong housewarming. Entar gue bawa kerupuk, yang lain gue suruh bawa ayam bakar."

"Belum dapet kost, Mir. Sementara tinggal di rumah temen."

Mirna mengangguk kecil. Lalu mengambil bungkusan yang diletakkannya di meja Elata. "Ini pesenan lo."

"Thanks, ya." Elata memberikan uang dan menyimpan benda itu ke dalam tas.

"Selama gue jualan online baru kali ini gue liat lo beli sesuatu. Tapi kenapa belinya bra olahraga? Langsung satu lusin lagi."

"Lagi mau coba olahraga, aja. hehe."

"Tapi bra olahraga yang gue jual ini emang bagus bahannya, Ta. Ketat gitu loh tapi tetap nyaman di badan. Gue yang nggak olahraga aja suka make buat sehari-hari. Enak nggak ada kawat, nggak ada kaitannya juga."

Elata hanya bisa tersenyum setengah hati. Bisa dibilang, ia tidak terlalu akrab dan mengenal lebih banyak teman sesama pengajarnya di sana. Setelah selesai kelas biasanya ia akan langsung pulang atau menuju tempat tutor. Apalagi sekarang jam mengajarnya dipotong karena harus kuliah. Tidak jarang Elata disebut sombong karena tidak mau bergaul. Ia tidak menyanggah hal itu dan tidak pula mencoba mendekatkan diri.

Elata hanya tidak punya tempat untuk menerima orang baru.

"Hei," sapa Elata pada cowok yang sudah menunggunya di luar sekolah itu. "Beneran disamperin. Kenapa nggak tunggu di kampus aja?"

"Biar sekalian jalan bareng. Sepeda lo belum ketemu?"

Nanti gue tanyain ibu kost. Ada apa, Dit? Sampe nyusul gue ke sini."

"Nggak ada apa-apa. Lo tinggal di mana sekarang? Udah nemu kost baru?"

"Numpang di rumah temen."

"Di deket kostan gue ada kost ceweknya. Kalo mau nanti gue tanyain soalnya gue kenal sama yang punya. Bulanannya ringan. Banyak diincer mahasiswi juga."

Tawaran itu terdengar menggiurkan. "Nanti gue kabarin lagi ya, Dit. Soalnya gue harus ngomong sama temen yang gue tumpangin ini dulu. Gue terlanjur janji tinggal sama dia."

Terlihat benar Adit penasaran. Sebelum cowok itu menanyakan lebih lanjut, Elata menunjuk Bus yang akan mereka tumpangi menuju kampus. Adit pun bermaksud ingin membayari ongkosnya.

"Apaan pake bayarin gue segala? Nggak, nggak ada." Tolak Elata.

"Apaan cuma segitu doang lo perhitungan banget nggak mau dibayarin." Balas Adit meniru nada bicaranya.

Elata tertawa singkat. "Mana ada orang nggak mau dibayarin itu perhitungan. Ayolah, Dit. Ambil. Pegel nih tangan gue." Elata sudah mengusungkan uang ke arah Adit dari sejak mereka turun dari bus hingga berjalan di sepanjang jalan menuju gedung kampus. Tapi cowok itu terus menghindar bahkan kadang berlari mendahuluinya.

Elata mencoba menjejalkan uang di ransel Adit dengan tangan kirinya. Adit tentu berontak dengan memutar tubuh. Keduanya pun saling memaksa dan menolak. Namun Elata akhirnya berhasil memasukkan uang itu di sisi kantong tas Adit.

"Keras kepala banget lo jadi cewek," gerutu Adit membenarkan posisi ranselnya. Keduanya sama-sama tertawa ketika suara klakson nyaring dan panjang membuat mereka berjengit kaget.

Mobil hitam itu berhenti di belakang mereka. Jefano membuka kaca penumpang dan mengeluarkan kepalanya seraya berkata. "Hi... Elata, gue kira kita bisa bareng berangkatnya. Eh, ada Adit juga."

Kaca depan mobil itu memang gelap, namun bias matahari membuat pengemudi mobil bisa terlihat dengan samar.

Elata jadi teringat sesuatu lalu menghampiri Jefano. "Tolong kasih ini ke Noah," kata Elata seraya menyerahkan bungkusan cokelat berisi roti yang sejak tadi tentengnya.

"Kasih langsung dong, Ta," Jefano menunjuk ke kursi sebelah. "Ini orangnya."

Adit masih memerhatikan dari jauh, begitu pula orang-orang yang lewat. Mobil sport itu sangat menarik perhatian apalagi berhenti di tempat yang bukan parkiran. "Kan bisa lo oper, Jef."

"Duh sorry, nggak bisa kalo sekarang, nih Ta. Ini, di sini," tangan Jefano melayang di tengah antara dirinya dan Noah. "Ada pembatas cermin tak kasat mata. Yang kalo gue lewatin gue pasti bakal langsung disambit karena beliau ini lagi tantrum."

"Tantrum?" Elata memiringkan kepalanya. "Kenapa?"

Jefano tertawa. "Gumoh dia soalnya banyak ngelewatin orang pacaran. Jadi demi keselamatan gue, lo kasih lewat jendela sebelah."

Elata tidak mengerti maksud Jefano, tapi karena tidak mau menarik perhatian banyak pejalan lainnya, Elata berlari memutari mobil, mengetuk kaca jendelanya.

Di sana, Noah duduk di belakang setir. Kacamata hitam yang dikenakannya senada dengan T-shirt berlengan pendek yang ujungnya digulung.

"Buat sarapan, ya Noah."

Noah menerima bungkusan itu tanpa menoleh padanya. Dan tanpa mengatakan apa pun juga, kaca mobil kembali terangkat naik. Mobil itu pun melaju kembali meninggalkan tempatnya berdiri.

Ada apa lagi sama cowok itu? Padahal tadi pagi sikapnya baik-baik saja.

Mungkin laper.

👑

Tidak ingin bermaksud berlebihan, tapi hampir dua jam kelas berjalan Elata merasa telinganya gatal oleh pembicaraan cewek-cewek yang duduk tepat di belakangnya. Ketiga cewek itu berkumpul di meja tengah, sibuk memerhatikan ponsel. Awalnya ia mencoba untuk tidak peduli, sampai nama itu disebut dan membuyarkan konsentrasinya.

"Gue yakin itu dia."
"Waduh, kerja di klub ternyata. Padahal mukanya innocent banget gitu."
"Nggak bisa dinilai dari muka kalo sekarang mah. Gue penasaran dia siapa. Kenapa sampe ditolongin Noah?"
"Pasti dia kegenitan sama Noah."
"Noah bikin Leo babak belur, anjing. Pasti ada apa-apa di antara mereka."
"Ihh... kasihan, ya Noah dimanfaatin sama cewek itu."
"Mungkin cuma nolongin doang. Leo juga brengsek ngelecehin dia."
"Bener juga. Gue mungkin udah nangis di posisi dia."
"Tapi gimana kalo Noah kena teguran. Kali aja mahasiswa pertukaran disorot harus berkelakuan baik."
"Iya lagi! Mana dia gitaris Interlude. Kalo sampe viral gimana Noah gue?!!"
"Kayaknya dia cewek bispak, deh."
"Hush... entar kedengeran orangnya."

Ketika dosen di depan menyudahi kelas, Elata bersyukur karena akhirnya bisa pergi dari sana. Ia membereskan barang-barangnya dengan cepat namun ternyata tidak secepat itu ia bisa kabur.

Noah melenggang masuk dengan drafting tube, menyisir rambut ke belakang dengan jari membuat rambutnya malah semakin berantakan, membalas sapaan orang-orang yang mencoba menarik perhatiannya hingga sampai di samping mejanya. Kumpulan cewek di belakangnya pun ikut menyapa Noah. Dengan mengangkat sebelah tangan, Noah tersenyum singkat ke arah mereka. Ketiga cewek yang sepanjang kelas sibuk bergosip itu menjerit rendah.

"Gue laper." kata cowok itu menatap Elata.

Ya emangnya mau apa lagi kamu ke sini?

Elata berdiri dari kursi, menyampirkan tote bag di bahu. Tapi Noah mengambil tas itu dari bahunya, dan berjalan lebih dulu dengan membawa tasnya.

Elata hampir berlari mengikuti langkah Noah yang cepat di depannya. Meski begitu, ia pun masih bisa merasakan tatapan dari orang-orang yang dilewatinya. Mereka berbisik-bisik, bahkan ada yang tak sungkan menuding ke arahnya. Ke arah mereka!

Melihat sifat Noah yang tidak pernah peduli pada pendapat orang lain, cowok itu pasti tidak akan menyadari keadaan aneh ini.

Di ujung lorong, Elata menahan drafting tube milik Noah, membuat cowok itu berhenti. Ia lalu menariknya, tapi ternyata berbeda dengannya, Noah tidak mudah ditarik.

"Apa?" katanya melihat Elata yang tengah menarik-narik tabung gambar itu.

"Ikut aku bentar,"

Noah membuang muka namun mengikuti Elata juga naik ke lantai tiga. Tempat paling sepi di gedung fakultasnya karena di sinah perpustakaan seluas keseluruhan lantai berada. Elata menarik Noah masuk ke perpustakaan. Meja penjaga di depan kosong. Mereka melewati banyak lorong-lorong rak buku yang berdebu. Ia baru berhenti di lorong rak paling ujung yang mana berhimpit pada dinding dengan kaca bertirai putih.

Ketika berbalik menghadap Noah, cowok itu menatapnya dengen sorot mata yang... menyebalkan.

"Kita harus bicara."

Noah mengangkat sebelah alisnya. "Di perpustakaan?"

"Kamu harus berhenti datengin aku ke kelas, Noah. Orang-orang bisa curiga."

Noah meletakkan tas Elata dan drafting tube ke atas meja di dekat sana. "Curiga kenapa?"

Pasti ada orang yang menyebarkan insiden di Vodess. Elata tidak tahu sejauh mana berita itu beredar, tapi akan lebih baik kalau mereka tidak terlihat bersama saat di kampus. Ia tidak peduli orang mengatakan apapun tentangnya, tapi ia tidak ingin merusak nama baik Noah. Dan menambah kesulitan cowok itu.

"Boleh, nggak kalo di kampus kita nggak usah barengan. Maksud aku anggap aja kita nggak saling kenal."

Noah mengerutkan dahi, melangkah maju mendekat. Membuat Elata harus mendongak. "Isi kepala lo itu terlalu rumit. Apa nggak capek mikirin omongan orang mulu?"

Ini demi kebaikan kamu! "Pokoknya sembunyiin aja semuanya, ya."

"Memangnya apa yang perlu disembunyikan, Elata?" Noah maju mendekat lagi. Kali ini Elata harus mundur untuk mempertahankan jarak. "Harus ada sesuatu dulu di antara kita."

Sesuatu di antara kita.

"Jangan sampai orang-orang tau kalo kita—,"

"Apa?" Noah kembali mendekat. "Kita apa, Elata?"

"Noah, please... aku akan ngelakuin apa aja keinginan kamu. Asal kamu mau jauh-jauh dari aku di kampus."

Noah menenggelamkan tangannya di saku. "Coba ulangin apa aja yang mau lo sembunyiin,"

Wangi parfum Noah yang sudah dihapalnya di luar kepala itu menyerbu penciumannya. "Jangan sampai ada yang tahu kita mantan,"

Noah kembali mendekat, Elata melangkah mundur. Mengurungnya di antara rak buku dan jendela kaca. "Terus?"

"Ja-ngan ada yang tahu kita... tinggal bareng. Makanya kita nggak bisa berangkat sama-sama."

"Apa lagi?"

Punggung Elata menabrak dinding. Namun Noah tidak berhenti mendekat, yang membuatnya menahan perut cowok itu. Noah menatap turun ke arah tangan Elata, yang segera dilepaskannya saat itu juga.

Terdengar suara-suara yang berasal dari luar. Semakin jelas karena sepertinya orang-orang itu mendekat ke arah mereka.

"Kalo mereka liat kita di sini,—" kalimat Noah tak selesai karena Elata membekap mulut cowok itu dengan satu tangan kirinya. Napas halus cowok itu menyapu tangannya. Meski merinding luar biasa, Elata memfokuskan telinga mendengar jejak orang-orang yang baru saja memasuki perpustakaan itu.

Noah dan Elata berdiri diam tak bergerak di sana. Sayangnya sekumpulan orang yang sepertinya laki-laki dan perempuan itu berhenti di lorong rak tidak jauh dari mereka. Hanya terpisah tiga rak.

Noah menarik turun tangannya. Ia panik. Kalau saja cowok itu bersuara. Mulutnya mengerucut, meminta cowok itu untuk diam.

Noah menunduk, menyibak rambutnya ke belakang bahu, dan mengecup ke bagian bawah telinganya. Membenamkan bibirnya di sana, menekan dan menghisap kulit lehernya.

Elata tak sengaja mengeluarkan suara, namun ia langsung menekan mulutnya sendiri. Tangannya mendarat di dada Noah, ia ingin mendorong cowok itu menjauh tapi berhenti dengan gemetar ketika beberapa cowok berpindah ke lorong sebelahnya.

"No-ah...,"

Noah mengangkat mulutnya untuk berbisik. "Jangan bersuara, Elata." Lalu kembali menekan hidungnya di kulit lehernya. Mengecupi hingga belakang telinganya.

Setelah suara-suara tadi semakin menjauh, sampai benar-benar hilang barulah Elata memiliki kekuatan mendorong Noah menjauh. Ia tersengal, entah karena sejak tadi menahan napas, entah karena jejak basah yang sekarang di rasakannya. Ia mendongak dan melihat Noah yang tengah menatapnya.

"Kenapa...," Elata mencoba mengatur napas. "Kamu... kayak gitu,"

"Lo yang narik gue ke sini, Elata. Tau, kan artinya apa?"

"Seakan lo minta gue apa-apain di sini."

Elata melotot. "Enggak, ya!" Cuma mau ngomong.

Noah mengangkat bahu dan berbalik sambil menyugar rambutnya menuju meja.

"Nanti aku pesenin kamu makan lewat aplikasi aja, ya. Nggak bisa ke kantin lagi soalnya."

"Tunggu gue di halte dekat kampus. Gue jemput di sana," Noah mengambil drafting tube beserta tas Elata. "Kalo nggak dateng, gue buang tas lo."

👑

Elata duduk di halte. Menunggu.

Ia jadi terpikirkan kembali. Bagaimana menyebut hubungannya saat ini dengan Noah. Bahkan hubungan mereka sekarang sangat sulit dijelaskan. Terlalu canggung disebut teman, terlalu jauh disebut kenalan.

Elata menatap sepatu yang dipasangkan Noah tadu pagi. Ia tau tidak seharusnya dia berada sedekat itu dengan Noah. Tidak seharusnya tinggal di rumah cowok itu. Tidak seharusnya menerima pemberian apa pun.

Elata bahkan harus berbohong dengan membawa nama Adit, mengakuinya sebagai pacar.

Tapi hal itu seolah sia-sia di depan Noah. Cowok itu tak terelakkan. Setiap kali ia satu kali melangkah mundur, cowok itu maju tiga langkah mendekatinya. Memaksanya.

Tidak, Noah tidak benar-benar memaksa. Ada andil dirinya juga dalam hubungan tanpa nama ini.

Sebagian dari dirinya tahu siapa Noah. Hati Elata tahu siapa pemiliknya. Setiap Noah menyentuhnya, Elata terlalu terbuai akan masa lalu yang diam-diam ingin didatanginya. Ingin diulanginya.

Elata menghela napas. Mendongakkan kepala sebelum tubuhnya mematung sempurna. Menegang dalam satu tarikan napas tertahan.

Di seberang jalan, Elata melihat Om Lukman sedang berdiri menatapnya.

👑

Hai, kabar kamu pasti baik.

Yang lagi nggak baik, tetep hai. 🥰

Gapapa ya nangis hari ini. Besok bisa kok ketawa lagi. Bisa kok seneng lagi. Bisa kok makan enak dan happy karena sampe rumah paket yang kamu tunggu dari toko online udah dateng.

Maaf ya kalo ada orang-orang yang nggak ngerti mau kamu. Mungkin mereka juga sedang berusaha melawan sesuatu, cuma kita nggak tau aja. Jadinya dilimpahin ke kamu.

Semoga, apapun yang kamu hadapin sekarang, nggak menghilangkan siapa diri kamu sebenernya.

Terharu deh pada menuhin target komen yang aku minta 😭😭😭🤚🏻

Baru dicerita ini aku sering mintain target gini wkwk. Soalnya, setelah melahirkan kemaren aku sempet struggle juga buat balik nulis. Sempet ngilang lama kan. Jadi sekarang aku mulai dari awal lagi.

Makanya seneng banget ternyata masih ada yang nungguin ceritaku 🥹🥹

Sayang banget ya sama Noah Elata?
Huhuhuu 🥹🫶🏻

Aku lebih syaang kalian sebenernya tapi takut digeruduk, tapi gapapa aku tetep sayang 🤣

Faradita
I love you in every word 🤍

Nggak ada target di bab ini, kalian istirahat aja 🤣🤸🏻‍♀️🤚🏻

Elata kata aku mah kamu tidurnya sambil buka mata aja 😆

Daripada diseruduk banteng ini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top