XXXVI - Lepas

Selesai yang sebenarnya hanya jika aku bisa melupakan pertemuan pertama kita. Yang hanya terjadi jika aku menutup mata selamanya.

👑

Get you - Daniel Caesar (Fear. Kali Uchis)

👑

Panduan membaca :
1. Baca di saat malam hari
2. Sediakan bantal sebagai pegangan
3. Jauhkan benda tajam dari jangkauan
4. Banyakin sabar (Kata Elata)
5. Jangan kabur (Kata Noah)

👑

Elata masih butuh waktu lagi untuk mengatur debarannya yang tadi sempat menggila.

Setidaknya ia sudah merasa segar setelah mandi meski tampilannya berantakan. Ia selalu mengenakan piyama saat tidur. Tapi malam itu Elata menyabet kaus oversize dan celana katun panjang sampai ke mata kaki dari dalam kopernya. Wajahnya masih sedikit memerah. Mungkin karena tadi mandi air hangat.

Elata menuju dapur di mana Noah sedang duduk di sana. Dapurnya memiliki meja panjang dengan kursi putar berwarna hitam, berhadapan langsung dengan jendela besar berpemandangan kota. Ia sempat berpikir akan terpesona pada keindahan lampu malam itu, namun aroma lezat makanan justru membuat ia mempercepat langkah. Perutnya seketika bergemuruh. Air liurnya semakin banyak ketika menatap soto ayam di atas meja dengan lapar. Ia menaiki kursi putar, yang ditahan oleh kaki Noah agar tidak bergerak.

Ada dua mangkuk yang sudah terisi isian soto, dengan porsi sama besar. Apakah Noah lupa jika makannya selalu sedikit? Lalu kuah kekuningan yang pekat dan gurih berada di panci silver, diletakkan di atas kompor listrik hitam yang tertanam di meja hingga permukaannya begitu datar seolah tidak ada apa-apa di sana.

Noah mengambil mangkuknya, menuangkan dua centong kuah ke dalamnya lalu mengembalikannya ke hadapan Elata. "Mangkuknya jangan dipegang, panas."

Elata mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Di suapan pertama Elata menutup mata dan mendesah nikmat. Rasanya ia tidak percaya jika ternyata selapar ini. Waktu di rumah sakit, ia hanya sempat makan sedikit.

Karena makan dengan tangan kiri, kuah soto jatuh menetes di ujung bibirnya. Tanpa menoleh Noah menjangkau tisu dan menggesernya ke samping jari Elata, yang langsung ditariknya buru-buru untuk menyeka bibir.

Tanpa keduanya sadari, mereka sedang makan malam bersama dalam diam. Sebuah sunyi yang untuk pertama kalinya tidak mengganggu sama sekali. Tidak ada yang merasa perlu memecah sunyi, cukup suara sendok beradu dengan mangkuk yang terdengar.

Noah lebih dulu menyelesaikan makannya. Cowok itu berlalu melewati punggung Elata entah ke mana. Ia mungkin akan bertanya pada Noah di mana cowok itu membeli soto ini karena rasanya sangat lezat. Ia ingin langsung mendatangi warungnya—

Elata tersentak. Ketika gelungan berantakan rambutnya di tarik lepas. Membuat rambutnya terurai, membingkai turun wajahnya yang sedang menunduk.

"Noah?"

"Lanjutin makannya," ucap cowok itu yang kemudian meraup rambut Elata. Ia memang sudah menyisir rambut di kamar mandi tadi, namun ikatan asal semerawut itu membuatnya sedikit kusut. Oleh karenanya jari-jari Noah sekarang menyusupi helai rambutnya. Menyisirnya perlahan. Menjadikannya dalam satu genggaman di belakang kepala, lalu mengikatnya dengan karet hitam milik Elata.

Ampun. Belum juga sehari.

Noah duduk kembali di kursinya, mengintip ke arah wajah Elata yang hampir masuk ke dalam mangkok karena berdebar. "Ma-kasih."

Elata mengalihkan fokusnya kembali pada makanan. Dan cukup mengejutkan karena sudah menghabiskan seporsi penuh soto itu.

Noah merapikan meja dan menaruh mangkuk ke dalam sink. Membuka kulkas dan membawa dua botol air. Memberikan botol mineral yang tutupnya sudah terbuka kepada Elata, barulah cowok itu menenggak minumannya.

Sepertinya ada yang salah. Kenapa justru dirinya yang diurus.

Elata bersikeras ingin mencuci, namun cowok itu benar-benar tidak bisa dibantah. Noah mencuci di sana membelakanginya. Angin berhembus masuk dari jendela yang dibiarkan terbuka. Di bagian luarnya terdapat balkon berlantaikan kayu pernis dengan dua kursi santai. Pagarnya terbuat dari kaca setinggi pinggang.

Elata jadi mengingat balkon kamarnya, yang sering dipanjat Noah untuk menemuinya. Rasanya masih seperti kemarin. Elata melemparkan kembali pandangan pada punggung lebar cowok itu. Sekarang, seolah ada jarak merentang lebar di antara mereka.

"Noah boleh tanya?" tidak ada jawaban tapi Elata melanjutkan. "Kenapa nggak tinggal di rumah kamu?"

"Jauh dari kampus."

Elata turun dari kursi dan berjalan memutari meja dapur. Melihat-lihat sekeliling dengan mengangguk kecil. "Kamu di sini sendirian?"

"Tadinya," Noah meletakkan semua peralatan makan di pengering. "Sekarang ada lo."

Elata gesit mengambil handuk tangan di keranjang di dekat sana dan memberikannya pada Noah. Cowok itu menatapnya sekilas sebelum menerima dan mengeringkan tangannya. Elata sudah akan kembali bertanya ketika suara pin ditekan dan pintu depan terbuka terdengar. Keduanya sontak menoleh bersamaan.

"Halo semuanya...," Jefano datang dengan mengangkat kedua tangannya. "Idih-idih udah kaya pasangan baru kawin aja? Atau emang udah kawin?"

"Ngapain ke sini?" tanya Noah ketus.

"Ck, biasanya gue nggak pernah ditanyain begini kalo mampir. Mentang-mentang sekarang ada Elata, ya lo. Jadi nggak mau banget diganggu. Maunya beduaan mulu. Hati-hati entar orang ketiganya setan, Pak Noah. Eh, enggak dong masa gue ganteng gini jadi setan. Lo yang setan dari tadi gue nelepon nggak dijawab!"

Rupanya Jefano datang karena meminta bantuan Noah untuk mengerjakan tugas. Cowok itu mengerling padanya dengan melambaikan tangan. "Hi, Elata. Baru kali ini liat lo pake baju rumah. Tambah manis aja."

Elata tersenyum kikuk mengusap sikunya. Noah melemparkan handuk ke meja dan meminta Jefano menunggunya di meja gambar. Cowok itu hanya cengengesan, seolah menikmati kekesalan Noah dan berlalu dengan mengedipkan sebelah mata pada Elata.

"Udah ngantuk?" tanya Noah tiba-tiba.

"Masih setengah delapan, aku udah kebanyakan tidur hari ini. Jadi belum ngantuk sama sekali."

"Oke." Sekali lagi Noah menatapnya terlalu lama.

"Oke," balas Elata, semakin canggung. Kalau begini, lebih baik cowok itu marah-marah saja.

"Gue nugas dulu," Noah melewatinya sebelum kembali berbalik. "Lo mau ngapain sekarang?"

Elata menelengkan kepala ke samping. "Mungkin belajar, ada kuis minggu depan. Boleh aku duduk di balkon luar?"

"Jangan kelamaan. Dingin." Entah kenapa Noah terlihat enggan meninggalkannya. Tatapannya pun kembali berlama-lama padanya.

Elata berdeham. "Makasih ya, Noah."

"Untuk?"

Semuanya. "Sotonya enak."

Sungguh bukan hanya itu yang ingin dikatakannya. Daripada terima kasih, bukankah seharusnya Elata meminta maaf. Tapi ia tahu maaf dari Noah pun tidak pantas untuk didapatkannya.

Bukannya menghampiri Jefano yang sudah menunggu, Noah justru mendekat ke arahnya, meraih belakang kepala Elata dan menarik ikatan. Membuat rambutnya kembali tergerai melewati bahu.

Elata menarik kepalanya ke belakang, terkejut. "Kenapa di lepas?"

Karet hitam miliknya itu dimasukkan ke dalam lengan Noah, bersisian dengan gelang rantai cowok itu. "Nanti gue pasangin lagi." lalu benar-benar meninggalkan dapur untuk menyusul Jefano.

Kayaknya bener, kalo kenyang dia jadi anteng.

👑

Cukup lama Elata duduk di kursi balkon apartemen itu, menikmati pemandangan kota diselimuti lampu. Pikirannya tidak sepenuhnya mampu untuk belajar, karena begitu banyak hal yang lewat di kepalanya sekarang.

Dari bawah tumpukan buku yang diambilnya di dalam tas tadi, Elata menarik buku sketsa yang masih disimpan rapi sejak dua tahun lalu itu. Untung saja buku itu terselip di dalam buku symphoni 1, sehingga tidak ada kemungkinan Noah bisa menemukannya. Cowok itu tidak perlu mengetahui perasaannya.

Elata memutuskan masuk karena udara yang semakin dingin. Sudah jam setengah dua belas lewat lima. Ia menuju sofa ruang tamu setelah tadi mengambil segelas jus apel terlebih dulu dari kulkas yang diletakkan di atas meja, bersisian dengan buku-bukunya.

Jika Jefano tidak datang dan membuat Noah sibuk dengan tugas, Elata tidak akan berani membuka ponselnya sekarang. Mungkin karena cowok itu selalu memerhatikan gerak-geriknya yang membuat Elata menjadi canggung.

Tentu saja ada banyak telepon masuk tidak terjawab dari Om Lukman. Belum lagi puluhan pesan yang tidak berani dibukanya. Entah di mana laki-laki itu sekarang, tapi yang jelas Elata tidak berani membayangkan jika mereka bertemu kembali.

Elata sama sekali tidak ada niatan untuk melawan. Ia sudah menuruti semua permintaan laki-laki itu seperti yang selama dua tahun ini dilakukannya. Namun kemarin, kendalinya hilang ketika Om Lukman menyeringai menatap kartu milik Noah. Ia tidak ingin melibatkan cowok itu dalam masalahnya.

Lagi pula ini bukan pertama kalinya Om Lukman memukulnya.

Elata menelepon mbak Lia untuk menanyakan kabar Mama. Untungnya keadaan Mama stabil dan setidaknya itu bisa sedikit membuatnya tenang. Tanpa sengaja tangan kanannya terantuk pinggiran sofa yang membuatnya sontak meringis menahan nyeri tiba-tiba.

Oh, benar juga. Satu hal yang membuatnya lega tapi juga penasaran, karena Noah sama sekali tidak menanyakan apa-apa tentang keadaannya sekarang. Padahal tangannya dibebat perban dan wajahnya pun masih berbekas memar akibat pukulan.

Noah yang dulu akan menjadi gila jika melihatnya sekarang. Mengingat cowok itu begitu menjaganya, selalu menegur untuk hati-hati menggunakan tangannya. Mungkin Noah yang sekarang sudah tidak terlalu peduli.

Itu bagus. Elata tidak perlu repot mengarang alasan.

Elata menarik kakinya naik, memeluk lutut dan menyandarkan kepala di atas lengan. Wajahnya menghadap ke arah pintu di mana Noah dan Jefano tadi masuk. Masih tidak bisa dibayangkannya jika sekarang ia menyetujui usul cowok itu untuk tinggal bersama. Apa yang sebenarnya Elata harapkan? Apa yang sebenarnya diinginkan Noah darinya?

Cuma lima bulan, Ta. Setelah itu semuanya bisa benar-benar selesai.
Cuma lima bulan, Ta. Ambil kesempatan ini untuk memenuhi celengan kenangannya.

Daun pintu terbuka, Jefano yang tadi ceria kini menggaruk kepala dengan wajah kusut. Tapi langsung tersenyum ketika melihatnya. "Eh, gue ditungguin Elata... pemandangan indah baru di apartemen Noah ini kenapa belum bobo?" cowok itu melompat duduk di sebelahnya. "Gimana tangan lo? udah baikan? Kapan-kapan gue pengen liat lo main piano, boleh?" Katanya permainan lo bisa menghipnotis orang sampe nangis. Emang bener?"

Dari ruangan yang sama, Noah juga keluar dan menatapnya sambil lalu.

"Gue mainnya biasa aja kok, Jef."

"Nggak gitu yang diceritain Noah,"

"Kapan gue pernah cerita-cerita!?" sahut Noah dari depan kulkas, cowok itu mengambil minuman.

Elata menatap jus apel yang tadi dibawanya. Yaahh.

Jefano memutar matanya dengan mulut mencebik. "Iya dia nggak ada cerita. Tapi kalo bukan permainan piano, terus apa dong yang bikin cowok bisa keinget terus sama lo biar pun udah terpisah ribuan mil? Contohnya Jakarta sama London? Kurang jauh apa lagi coba."

Di belakang sana, Noah menyebut nama Jefano dengan diakhiri umpatan.

Jefano lagi ngomongin mereka? "Bulan depan gue ada uji gelar pertunjukkan," Elata melirik ke arah Noah dan kembali menatap Jefano. "Acaranya umum di aula seni. Bisa didatengin jurusan lain juga."

"Lo lagi ngundang gue?" Jefano menatapnya terharu. "Gue pastiin bakal ke sana buat nonton lo, Elata. Ya ampun gue jadi sayang sama lo karena diundang special gini. Sini, kita pelukan dulu... ANJING!"

Umpatan itu terucap karena Noah yang menarik kerah belakang baju Jefano sampai cowok itu terjengkang, hampir terseret. Jika saja tubuhnya tidak segera memijak lantai dan menyeimbangkan diri.

"Wah, bro yang bener aja gue ditenteng gini kayak cucian kotor."

"Udah selesai nugas. Pulang gih." Noah menarik Jefano sampai ke depan pintu. Tiba-tiba saja keduanya terlihat seperti anak kecil yang bertengkar. Rengekan Jefano baru hilang ketika Noah berhasil menendangnya keluar dan menutup pintu.

Jefano mirip sekali dengan Ginan yang suka mengganggu Noah. Bedanya kalau dulu Noah akan menanggapi dengan tawa, Noah yang sekarang seakan frustasi dan kesal.

"Kamu laper?" tanya Elata ketika cowok itu kembali ke ruang tamu. "Mau makan cemilan?" Tidak ada jawaban karena Noah langsung masuk ke dalam kamarnya dan keluar dengan bungkusan putih dan selimut berwarna abu-abu di tangan.

Saat Noah duduk di sebelahnya, kewaspadaan Elata meningkat pesat. Berbeda dengan Jefano tadi, cowok itu jelas memberikan efek berbeda untuknya.

Saatnya untuk pertanyaan satu juta dollar, "Aku boleh tidur di mana ya, Noah?"

"Ada dua kamar di sini. Satu yang tadi lo pake mandi. Seperti yang lo liat, kamarnya masih kosong. Nggak ada ranjang atau lemari. Kamar kedua, punya gue. Pilihannya cuma dua, kamar gue atau sofa."

"Aku di sofa aja." Sahut Elata cepat.

"Gue tau lo pasti milih itu." ujar cowok itu seolah bisa membaca pikirannya. Noah merapatkan jarak duduk mereka, sampai lutut keduanya hampir bersinggungan.

Elata mencoba menebak apa yang akan dilakukan Noah. Tapi ketika cowok itu memegang sisi wajahnya, ia refleks menjauhkan diri.

Seakan bisa membaca geraknya, Noah kini memegangi wajahnya dengan dua tangan.

"Mau.. apa?"

"Coba liat sini," dengan sangat perlahan sekali, Noah mengangkat dagunya hingga Elata mendongak. Membuat wajah mereka kini berhadapan.

Elata tercekat tanpa berani bergerak ketika cowok itu memerhatikan memar di wajahnya. Jari Noah mengusap di sekitar memar keunguan itu. Napas Noah bahkan terasa di pipinya. Elata menahan napas, mengigit bibirnya.

Hal itu yang membuat pandangan Noah bergerak dari memar di pipi menjadi turun memerhatikan bibirnya. Dengan ibu jarinya yang lain, cowok itu mengusap ujung bibir Elata, membelai bibir bawahnya sampai gigitan di bibirnya terlepas.

"Jangan digigit, Elata."

Sepertinya Elata harus menarik keputusannya untuk tinggal bersama Noah sebelum kesehatan jantungnya bermasalah.

"Pipinya masih sakit?"

Elata menggeleng pelan. Meneguk ludah. Tangannya berkeringat. Ia belum menyiapkan alasan jika Noah bertanya penyebab lebam ini. Ia bahkan tidak bisa berpikir sekarang.

"Jawab pake mulut," Noah mengusap ujung bibirnya. "Gue mau denger."

Elata diam-diam menikmati rasa nyaman ini. Wajahnya yang dirangkum tangan Noah itu seperti memberi tempatnya pulang. "Enggak sakit lagi. Ini... cuma bekasnya aja."

Noah lalu mengambil sebuah salep dari bungkusan yang tadi dibawanya. Membuka kemasan tube dengan logo rumah sakit dan mengeluarkan isinya di jari telunjuk. Noah menyusupkan lagi tangannya di leher Elata, menahannya untuk tidak bergerak ketika ujung jari cowok itu mengoleskan krim ke bagian lebam di wajahnya.

Sensasi rasa dingin berpadu dengan wajahnya yang menghangat. Rasanya sulit sekali untuk bernapas. Kedua tangannya mengepal di atas paha. Dadanya sakit karena berdebar.

"Elata yang sekarang," Noah menepuk pelan area di sekitar lebam. "Udah jadi cewek yang kuat, ya?"

Jika tadi matanya berlarian menghindar, kini Elata menjatuhkannya di mata Noah.

"Udah nggak manja lagi," Noah mendekatkan bibirnya ke pipi Elata, meniupkan udara di sana. "Nggak cengeng lagi."

Apakah sama sepertinya, jika Noah juga membandingkan dirinya yang sekarang dengan yang dulu? Kecewakah cowok itu?

Noah masih meniup pipinya, ketika cowok itu melirikkan mata menatap Elata. "Kenapa? Gue salah?"

Elata masih terdiam saat Noah beralih melihat tangannya. Menyentuh kulit di sekitar perbannya dengan hati-hati. Sekilas ia menangkap perubahan ekspresi yang tadi tenang di wajah Noah, kini dihiasi rahang yang mengeras. Apakah cowok itu marah? Mungkin hanya perasaan Elata saja.

"Kamu bener. Aku udah berubah. Aku bukan lagi Elata yang kamu kenal dulu."

Noah tersenyum lurus yang singkat. Seolah menyangsikan ucapannya.

"Kamu juga banyak berubah,"

Sekarang Noah menatapnya. "Jelasin bagian mana?"

Kamu lebih dingin. Lebih gampang emosi. Kamu nggak lagi seramah dulu biarpun masih senyum menanggapi orang lain. Kamu nggak seceria dulu dan lebih banyak diam. Tatapan kamu nggak sehangat dulu.

Tapi apa hak Elata mengatakan semua penilaian itu? "Itu bukan urusan aku..." katanya pada akhirnya.

"Menghindar lagi, Elata?" Noah menyentuh dagunya. Sekali lagi mengusap bibir bawahnya sampai gigitan di bibirnya terlepas. Elata bahkan tidak sadar melakukan itu. "Sampai kapan lo mau kabur-kaburan gini? Bahkan buat sekadar ngomong apa yang lo pikiran aja nggak bisa."

Elata menggerakkan dagunya lepas dari tangan Noah. "Nggak semua apa yang dipikirin harus dikeluarin."

"Nggak harus. Tapi biar gue bilang sesuatu," Jari Noah menangkap ujung rambutnya, memilinnya melingkar. "Menurut gue lo nggak berubah sama sekali. Lo masih jadi Elata yang mikirin perasaan orang lain ketimbang perasaannya sendiri. Lo lebih milih menyimpan semua sendiri, menanggungnya sendiri dibanding ngebagi rasa sakit lo ke orang lain. Lo masih jadi Elata yang penurut dan patuh sama rasa takut. Sampai lo buta sama orang-orang yang ada di sekeliling lo."

Ada banyak orang yang mengatakan jika Elata adalah orang yang tertutup. Namun di hadapan Noah ia merasa ditelanjangi. Cowok itu terlalu mengenalnya untuk dibohongi hanya dengan kata-kata.

Elata menunduk. "Udah, Noah... udah malam."

"Liat, lo bahkan nggak berani berdebat sama gue."

"Emangnya kamu mau aku ngapain?"

"Berhenti pura-pura kuat bisa, Elata?"

Elata sudah tahu ia akan menangis. Ia tahu semua yang dikatakan Noah tadi sebuah kebenaran, yang terus menerus disangkalnya.

"Memangnya aku punya pilihan apa selain berpura-pura baik-baik aja? Apa lagi yang bisa aku lakuin selain itu, Noah?" Elata meremas tangannya.

"Selalu ada pilihan selain kabur dari masalah."

"Aku bisa menghindar sebelum masalah itu muncul. Belum lama kita ketemu, aku udah bawa banyak masalah buat kamu. Vodess di tutup gara-gara kamu nolongin aku. Sekarang kamu terlibat kasus sama Leo. Ini semua gara-gara aku, Noah."

"Emang gara-gara lo, Elata. Semua yang gue lakuin karena lo."

Elata menutup wajahnya sesaat. "Aku terus-terusan nyusahin kamu,"

"Gue nggak keberatan disusahin sama lo."

"Mungkin sebaiknya aku numpang di Yayasan aja—"

"Jangan konyol," Noah menarik dagunya, membuat mereka bertatapan. "Gue butuh lo di sini."

Elata mengerjap mendengar hal itu. Noah membutuhkannya? Tidak mungkin cowok itu masih menyimpan perasaan untuknya, kan?

"Elata, susah dibilangin, ya," Noah menangkup wajah Elata, lalu mendekatkan wajah hingga mulut cowok itu mengapit bibir bawahnya. Melepaskan gigitan yang lagi-lagi tidak disadarinya.

Elata mengerjap dengan bibir setengah terbuka, berhadapan dengan bibir Noah karena jarak mereka belum menjauh. Mereka bertatapan. Semburat kehangatan menjalar di wajahnya.

"Beneran gue cium kalo berani gigit bibir lagi. Ngerti ya, Elata?"

👑

Elata juga harus berhenti tidur seperti orang mati. 

Ia sangat panik sampai harus mencengkram dada saat keesokan paginya Elata terbangun di tempat tidur Noah. Seingatnya tadi malam ia tidur di sofa. Tidak mungkin juga ia tidur sambil berjalan. Maka sudah pasti Noah lah yang memindahkannya ke tempat tidur.

Elata menunduk di atas selimut. Ia bergegas turun dan menemukan sofa tempatnya tidur tadi malam. Masih ada selimut abu-abu, namun kini ada peralatan gambar Noah di sana.

Elata bergegas mandi dan bersiap-siap ke kampus. Selama itu juga ia meyakini jika Noah sedang tidak berada di apartemen. Ketika sampai di depan pintu, Elata memejamkan mata sambil memukul kepala. Ia lupa tidak memiliki sepatu.

Elata memeriksa laci-laci di sana. Berharap ada sendal atau apa saja untuk bisa dipinjamnya. Ketika sedang membuka laci terbawah, pintu apartemen terbuka hingga ia terduduk saking terkejutnya. Noah berdiri di sana, dengan jaket olahraga dan celana pendeknya.

Noah melepas headphone turun hingga menggantung di leher. "Mau ke mana?"

Elata segera berdiri. "Ke rumah sakit. Aku biasanya emang bangun pagi. Mampir liat Mama sebentar. Terus mau ke kampus..."

Seolah enggan beranjak dari ambang pintu, Noah bersidekap, bersandar di sana mendengarkan.

"Kamu mau sarapan apa? Roti kemarin mau? Aku beli murah, tapi enak, kan? Nanti aku kasih di kampus. Atau mau yang lain? Nasi uduk? Bubur ayam? Soto lamongan depan kampus?"

Alih-alih menjawabnya, Noah justru bertanya. "Nyenyak tidurnya, Elata?"

Sengaja sekali cowok ganteng ini. "Jangan suka pindah-pindahin aku gitu bisa, nggak?"

"Nggak bisa."

"Terus kamu tidurnya di mana? Masa di sofa?"

"Mau emang tidur berdua?"

Bukan begitu juga. "Kan aku yang numpang. Lain kali jangan lagi, ya. Yaudah, aku duluan."

Noah menangkap lengannya. "Tunggu bentar,"

"Nggak bisa. Kita nggak bisa berangkat bareng. Sendiri-sendiri aja."

Noah membuka lemari yang menyatu dengan dinding. Mengambil kotak di rak paling atas. Cowok itu berjongkok di depannya, membuka kotak yang ternyata berisi sepatu.

"Kamu mau apa? Ngapain kok jongkok?"

"Masih pagi Elata udah bawel," ujar Noah sembari memasangkan sepatu berwarna cokelat muda itu di kakinya. Ukurannya sangat pas dan sangat nyaman.

"Ini punya siapa?"

Noah berdiri lagi. "Punya Elata."

"Punya aku? Kapan belinya? Perasaan aku nggak punya sepatunya baru kemarin? Kenapa beliin aku sepatu?"

Noah mencubit pipinya. "Biar kalo kabur lagi, bisa gue kejar ke manapun tempatnya."

👑

Yassalam.

Apalagi ini Noah. Udah bergerak ugal-ugalan sepertinya. 🤸🏻‍♀️

Kalo lo ga mau, noah buat gue aja. Ngerti ya elata? 😡

Selamat malam.
Apa kabarmu hari ini?
Selamat hari kesehatan mental sedunia. Hari dimana kamu bisa merayakan diri sendiri dengan memaafkan tubuh dan pikiran kamu yang udah bekerja keras selama ini.

Ayo sama sama, peluk diri masing-masing. Beri tepukan di bahu kamu sendiri dan bilang. "Terima kasih aku. Karena sudah bertahan sejauh ini. Karena sudah kuat sampai di sini. Terus kuat sampai nanti ya."

Terima kasih juga yang sudah mendukung cerita ini. Di manapun kamu berada, semoga sepenggal cerita sederhana ini bisa menjadi alasan kamu untuk tetap ada.

🫶🏻
Faradita
I love you in every word 🤍

Ps: mau target? Karena part ini panjang sampe 3ribu kata. Jadi komennya 3 ribu juga hehehehehhehehehehe

Ps 2: elata kunciran emang manis ya noah hehe

Ps 3:
Laper mulu lu perasaan pengen makan elata terus, iya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top