XXXV - Canggung

Apakah aku memikirkanmu selama ini?
Setiap waktu.Di mana aku meletakkanmu?
Tak pernah berdebu.

👑

Dari semua hal yang pernah Elata dengar, yang barusan dikatakan Noah adalah yang paling mengejutkannya. Bibirnya yang sedari tadi tergigit sampai terlepas karena menganga.

Noah masih menatapnya dengan tangan bersidekap di depan dada. Jika Elata begitu panik, terkejut dan kehilangan kata-kata, cowok itu terlihat sangat santai seolah apa yang baru saja dikatakannya bukan berarti apa-apa.

"Nggak ada alasan aku tinggal sama kamu," Elata lalu berdiri, kakinya bergerak merasakan kelembutan karpet. "Aku harus pulang ke kostan, Noah. Barang-barangku pasti berantakan di sana."

"Maksud lo itu," Noah mengangkat telunjuk ke arah belakang kepala Elata. Di sana ada sebuah koper silver bersama tas hitam.

Itu adalah miliknya! "Kok bisa ada di sini?"

"Udah diberesin."

"Beresin apanya? Kamu ke kostan aku?"

Noah mengangguk.

Elata menatap cowok itu tidak percaya. "Ngapain ke sana? Kenapa kamu datang ke sana? Tunggu, kamu tau dari mana alamatnya?"

"Semuanya ada di catatan pegawai Vodess."

Benar juga. Ia selalu memperbaharui data setiap kepindahannya. "Tapi... buat apa kamu ke sana? Kamu ketemu Ibu Kost aku? Dia marah? Dia pasti marah. Kamu dimarahin?"

"Dia cuma minta ganti rugi kerusakan. Pagar sama beberapa pintu di sana jebol. Dia juga bilang nggak mau liat lo lagi di sana. Daripada barang lo di lempar keluar sama dia, lebih baik gue bawa ke sini."

Elata terduduk kembali, seakan kehabisan energi dengan mulut setengah terbuka. Astaga. Apalagi ini? Apa saja yang sudah dilakukan Om Lukman. Itu artinya uang sewanya hangus sia-sia dan ia harus mencari tempat baru lagi.

Tapi tetap saja, ia tidak bisa tinggal bersama Noah di sini. "Aku... nggak bisa... tinggal sama kamu."

Noah melipat tangannya di dada. "Kasih tau gue alasannya,"

Setelah semua kesulitan dan rasa sakit yang ia berikan pada cowok itu dua tahun lalu. Keributan di Vodess, dan sekarang cowok itu juga membereskan ganti ruginya.

Setelah ciuman itu.

Elata mengedarkan pandangan asal bukan ke mata Noah. "Aku bisa cari kostan baru. Sementara itu, aku akan numpang di Yayasan. Mbak Pelita bisa bantu aku."

"Apa bedanya semua tempat itu dengan di sini?"

Karena di sana aku tidak perlu merasakan debaran menggila ini setiap saat. "Kamu udah bantu soal kost aku—tenang aja aku bakal ganti. Aku juga bikin kamu bermasalah sama Leo sampai Vodess harus ditutup sementara. Aku nggak mau terus-terusan ngerepotin kamu, Noah."

"Emang siapa yang ngerasa direpotin?"

Aduh, ngeselin banget sampe nggak bisa jawab.

"Lagian, kalo lo di sini, lo bisa lebih gampang ngurusin makan gue. Biasanya gue suka laper tiba-tiba kalo lagi begadang."

Jujur saja alasan itu sangat konyol. Noah bahkan bisa memesan makanan sendiri seperti yang dikatakannya beberapa waktu yang lalu. Cowok itu tidak butuh dirinya untuk mengurusi makan.

Namun Elata jadi teringat cerita Jefano tentang malnutrisi yang pernah dilalui Noah. Tentu saja ia merasa sangat bersalah. Mungkin ini salah satu cara untuk bisa menebusnya dengan mengikuti keinginan cowok itu.

"Sampe... kapan?" tanyanya hati-hati.

Noah kembali terdiam. Beberapa saat masih menatapnya tak berkedip.

Kenapa lagi? Salah ngomong apa?

"Maksudnya, sampai kapan aku ngurusin makan kamu?"

"Sampai gue balik."

Ke mana?

"Program exchange-nya cuma satu semester. Setelah itu gue balik ke London."

Oh.

Informasi baru. Itu artinya tersisa lima bulan lagi. Selama waktu itu Elata harus tinggal di sini bersama Noah dan membantu cowok itu mengatur makan dengan benar.

Sebelum mereka kembali berpisah lagi.

Elata mengikis kutikulanya. Bolehkah begitu? Bolehkah Elata sedikit egois kali ini. Bahwa tawaran Noah itu juga menggelitiknya. Jika ternyata sudut hatinya berbunga tanpa bisa ditahannya.

Bolehkah ia merasa berdebar lagi karena Noah?

Noah lalu merogoh saku dan menggulir layar ponselnya. "Anggap aja balas budi."

Elata mengerjap, menatap cowok itu.

"Dulu lo pernah bantu gue dengan ngizinin tinggal di gudang. Sekarang, gue cuma mau ngelakuin hal yang sama. Biar nggak ada apa pun lagi yang tertinggal di antara kita."

Nggak ada yang tertinggal.

Elata tersentak. Oleh kenangan yang dilemparkan Noah di antara mereka. Oleh kenyataan yang menghantamnya. Elata hanya berharap ini adalah keputusan yang benar.

👑

Yang langsung disesalinya satu jam kemudian.

Elata menatap dirinya di pantulan cermin kamar mandi. Ia sudah selesai mandi dengan gelungan rambut asal berantakan. Wajahnya memerah karena air hangat yang dipakainnya tadi. Uap memburamkan cermin. Tapi masalah ini sudah membuatnya pegal bahkan hampir menangis.

Dari luar pintu kamar mandi, Elata mendengar suara Noah lagi. "Ngapain lo di dalam lama banget? Makanannya udah dateng dari tadi. Dingin entar nggak enak, Elata."

"Kamu... makan duluan aja."

"Emangnya lo ngapain, sih?"

Elata kembali menatap pantulannya di cermin dan menggigit bibir. Mau berapa lama lagi dia di sini? Ia pun membuka pintu kamar mandi, membuat sela kecil yang hanya cukup menampilkan setengah wajahnya terlihat.

Noah di sana berdiri berkacak pinggang dan tidak sabaran. "Kenapa lagi lo?"

"Noah," Elata berpegangan pada pintu sangat kuat. "Bisa minta tolong?"

"Apa?"

"Tapi ini... agak... sedikit...,"

"Apa, Elata?"

Elata membuka pintu lebih lebar sampai ia berdiri di hadapan Noah. Cowok itu tidak mengalihkan barang sedikit pun tatapan dari matanya. Tidak, Elata tidak sanggup mengatakannya. Lebih baik tidak usah.

"Nggak jadi." Elata akan tinggal di kamar mandi selamanya saja. Ia sudah akan kabur dan berbalik tapi Noah berhasil menangkap lengannya.

"Mau ngomong apa, sih? Lo kenapa? Ada yang sakit? Butuh apa? Bisa nggak jangan selalu milih kabur di saat lo lagi di situasi kejepit. Itu nggak nyelesain masalah."

Entah kenapa kalimat itu seolah sedang menyinggungnya.

"Bilang sama gue sekarang. Ada apa? Maunya apa? Butuh gue ngapain?"

Jelas jerat tangan Noah di lengannya tidak akan terlepas sampai Elata membuka mulutnya. Sudah kepalang tanggung. Lagipula Elata sudah kehabisan stok malunya.

"Bantuin...," Elata menelan ludah. "Bantuin aku pake bra."

Seketika kecemasan yang tadi dilihatnya sekilas di mata Noah memudar. Sekaligus melonggarkan pegangannya sampai terlepas.

Elata mengangkat tangan kanannya. "Aku udah nyoba dari tadi, Noah. Tapi ternyata lebih susah dari yang aku bayangin. Perban ini nggak bisa bikin aku gerakin jari. Tadi aja aku mandinya sambil angkat tangan biar nggak basah. Sekarang aku nggak bisa pasang daleman karena kaitannya kecil."

"Yaudah. Cepet."

"Tapi kamu tutup mata, ya?"

"Gimana gue pasanginnya kalo tutup mata coba?"

"Diraba aja,"

"Siapa yang nanggung kalo gue salah pegang?"

"Kalo gitu kamu hadap belakang—"

"Jangan ngada-ngada. Cepetan, nggak!?"

"Kenapa jadi marah, Noah. Kalo nggak mau nggak papa, kok."

"Siapa yang marah?!"

"Itu nadanya jadi tinggi."

Noah menghela napas sembari memejamkan mata. "Elata, gue beneran laper sekarang."

Oh, pantes galaknya kambuh.

Elata lalu membalikkan badan. Dari balik bathrobe putih yang dikenakannya sangat rapat itu, ia sudah menalikan bra di kedua bahu. Hanya butuh bantuan menyatukan pengait di belakang punggungnya.

Sebelum keberaniannya sirna, Elata melonggarkan ikatan di pinggangnya, dan menurunkan bathrobe sampai lengannya. Membuat bahunya terbuka.

Elata akan mengingat ini hari tersial dalam hidupnya sekaligus memalukan. Ia tidak berani menoleh sama sekali. Tiba-tiba saja seluruh tubuhnya menegang dan kaku seolah tertusuk ribuan jarum.

"Itu... tolong, ya Noah."

Noah sepertinya mendekat, karena Elata merasakan hawa panas mendera kulit bahunya. Cowok itu mengambil kedua ujung pengunci. Dan ia hampir terkesiap karena tangan cowok itu mengenai kulit punggungnya. Ia menekan kedua bibirnya kuat-kuat.

Ya ampun.

Noah menarik kedua ujungnya untuk dikaitkan. "Emang harus seketat ini makenya?"

Malah ngobrol. "Udah pasangin aja dulu."

"Lo yakin bisa napas?"

Justru kamu yang bikin nggak bisa napas. Ya ampun wajah Elata sangat panas. "U-dah belum?"

Satu kaitan sudah tertaut. Sial sekali ada tiga di sana. "Lo pernah minta tolong ginian sama cowok lain?"

Mana mungkin! "Tangan aku nggak pernah diperban sebelumnya."

"Artinya lo nggak ngerti apa yang lo lakuin sekarang?"

Memangnya apa? Elata hanya meminta tolong.

Memang tidak bisa dihindari, jika selama cowok itu menautkan tali, jari-jari Noah terus bersentuhan dengan punggungnya. Elata memejamkan mata, berharap ini cepat selesai.

Elata bisa merasakannya jika bra sudah terpasang. Tapi tangan Noah belum juga beranjak.

Mungkin ini hanya perasaannya saja. Tapi Elata merasakan jari Noah menyentuh kulit punggungnya dengan sengaja, membelai turun hingga menarik bathrobe semakin jatuh ke sekitar pinggangnya. Sangat lembut. Sangat singkat. Sangat menyengat jiwanya.

"Bikin makin laper aja." gumam cowok itu berbalik pergi dari sana. Dan Elata berlari ke dalam kamar mandi dengan wajah terbakar.

👑

Halo... apa kabar hari ini?
Semoga terus baik dan bahagia dengan sederhana.
Selamat hari senin, semangat terus ya.

Terima kasih dukungannya untuk cerita ini.
Makasih sudah menyayangi Noah dan Elata sebanyak itu.

Faradita
I love you in every word 🫶🏻

"Bikin makin laper aja," tapi mukanya gini.

"Mama aku malu seumur hidup!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top