XXXIV - Balasan

Sejauh apapun aku berlari, putaran garisnya selalu berakhir di kamu. Mungkin aku harus berlari lebih kencang lagi.

👑

Elata terjaga oleh cahaya yang begitu terang menyilaukan mata. Ia mengerjap, dan seketika diterpa aroma menyengat pembersih lantai di udara. Kepalanya masih berdengung, denyutnya masih terasa memusingkan.

Dahinya berkerut, memindai ruangan perlahan. Sejenak ia butuh waktu menyadari di mana ia sedang berada. Elata mengangkat tangan, ingin memijit dahi. Dan bingung karena tangan itu sudah terbalut perban rapi. Sama halnya dengan pipinya sebelah kanan yang membuatnya tak biasa leluasa menggerakkan mulut.

Seseorang muncul dari tirai pembatas rumah sakit yang tersibak, menatapnya khawatir. "Elata? Lo udah sadar?"

"Kenapa gue di sini, Dit?"

"Katanya lo abis dipukulin sama laki-laki, kata Ibu Kost lo dia pernah dateng juga sebelumnya. Diamuk warga kampung dia. Terus lo dibawa ke rumah sakit tengah malam tadi."

Seketika pecahan ingatan tentang hal itu berkumpul menjadi satu. Om Lukman yang kesal hingga kalap memukulnya. Rasa sakitnya mendera yang terekam jelas itu membuat Elata mengusap tangannya yang diinjak laki-laki itu.

"Jangan banyak gerak dulu, ya. Mau lanjut tidur? Kata dokter lo butuh istirahat jadi tadi dikasih obat penenang. Badan lo juga kecapean. Perasaan di Vodess nggak terlalu banyak kerjaan, kenapa sampe kurang istirahat gini, Ta?"

Sekujur tubuhnya memang pegal luar biasa. Seolah setiap tulangnya menjerit. Seperti baru selesai berlari yang jauh. Kepalanya masih berdenyut, sangat berat digerakkan.

"Lo emang suka bikin khawatir gini, ya?" Kata Adit dengan nada bercanda, duduk di kursi lipat sebelah ranjangnya. "Rame banget hidup lo, Ta. Kaget gue pagi-pagi dapet telepon kalo lo ada di rumah sakit. Padahal waktu gue anter baik-baik aja."

Elata berusaha tersenyum dan menarik napas panjang. "Gue... kenapa?"

"Kata dokter untungnya kepala lo nggak papa. Nggak ada indikasi geger otak juga. Memar di perut dan muka lo udah diobatin juga."

"Tangan... gue?"

"Aman, Ta. Tangan lo baik-baik aja."

Elata menghembuskan napas tertahannya dengan lega.

"Nggak ada yang patah. Cuma bengkaknya lumayan parah. Jadi untuk saat ini tangan lo nggak boleh dipake gerak berlebihan dulu."

Elata memandangi tangannya. Perlahan mencoba menggerakkan salah satu jarinya tapi tidak bisa. Mungkin karena terlalu ketat dibungkus perban.

"Mau sesuatu, nggak? Minum? makan?"

Noah. "Gue mau... telepon seseorang..."

"Nih..., pake HP gue aja. Kayaknya tadi lo langsung dibawa ke sini, nggak sama barang-barang lo."

"Boleh teleponin Noah?"

"Noah? Maksudnya Pak Noah?"

"Iya,"

Adit mngerutkan dahi tapi membuka ponselnya. "Kalo boleh tau, ada urusan apa nelepon dia?"

Elata harus memperingatkan cowok itu kalau Om Lukman bisa saja mendatanginya dan meminta uang padanya. "Cuma mau ngasih tau sesuatu."

Adit lalu mendekatkan ponsel ke telinga Elata. Mengatakan jika biar dia saja yang memegang gawai itu. Elata mendengar nada sambung pertama. Sejenak diam menunggu, hingga berakhir tak terjawab.

"Nggak diangkat?" Adit menatap ponselnya. "Mau telepon ulang?"

"Nggak usah, Dit."

"Mungkin dia lagi sibuk. Soal Leo kemaren..."

Elata sontak menoleh, mengabaikan pusing di kepala. "Kenapa?"

Adit menggaruk belakang kepala. "Cuma itu aja, sih. Si Leo bikin onar..."

"Kenapa? Noah kenapa?"

"Bukan, Pak Noah baik-baik aja. Si Leo yang hampir mati. Waktu Pak Noah balik, mereka kan berantem lagi. Nggak ada yang bisa misahin mereka. Perlu tiga orang yang narik Pak Noah buat berhenti mukulin Leo."

"Kenapa mereka berantem lagi?" Padahal ia pikir rasa kesal Noah sudah hilang.

"Nggak tau juga. Pas gue sampe sana, Leo udah dibawa ke rumah sakit. Udah banyak polisi. Ternyata dia anak pejabat. Lalu ngaduin Pak Noah soal kasus kekerasan. Vodess harus ditutup untuk sementara waktu buat penyelidikan."

Elata menekan kedua matanya tertutup. Mendengar itu membuat kepalanya semakin sakit. Semua ini adalah salahnya. Karena Noah membelanya, maka kejadian ini malah berbuntut panjang.

Elata meminta Adit untuk menelepon Noah sekali lagi. Setidaknya ia harus meminta maaf. Atau alasan lainnya yang jauh lebih kuat adalah keinginannya mengetahui keadaan cowok itu sekarang Namun panggilan berikutnya itu pun juga sama tak terjawab.

👑

"Ibu, aku masih mau di sini sama Kak Elata!"

Pelita memutar matanya. "Kak Elata masih butuh istirahat, Aluna. Kamu ke sini masa ikut-ikutan tiduran di ranjang segala. Kapan Ibu ngajarin sikap nggak sopan kayak gini?"

"Kak Elata juga nggak keberatan. Ya, kan kak? Kakak seneng kan dijenguk aku?"

"Iya, Mbak. Nggak papa, kok."

Elata mendapat kejutan dengan kedatangan pihak Yayasan dan Rumah Pelita Kasih yang menjenguknya di rumah sakit. Ia sudah dipindahkan ke ruang inap dan terbangun siang hari karena suara melengking Aluna. Keadaannya jauh lebih baik sekarang, pusingnya sudah reda. Rupanya, ia memang membutuhkam istirahat yang banyak.

"Kakak kenapa nggak balas orang itu?" tanya Aluna. "Kalo ada yang mukul padahal kita nggak salah, jangan diem aja, Kak. Harus dibalas biar orang itu biar jera."

"Aluna...," Pelita meminta bocah itu turun dari sisi ranjangnya.

Sebelum melompat turun, Aluna membisikkan sesuatu pada Elata. "Kak Anime pasti khawatir banget ya? Nanti minta disayang-sayang, ya Kak. Minta dipeluk yang lama. Aku suka gitu ke Ayah. Biar cepet sembuh jadi bisa ngajar aku lagi."

Elata mengacak puncak kepala Aluna sebelum anak itu keluar bersama Bu Marta. Pelita menghampirinya, wanita itu menatap tangannya yang masih dibalut perban.

Setelah tadi mereka saling bercanda dan tertawa karena keberadaan Aluna, kali ini wanita itu menatapnya lembut dengan senyum yang cantik. "Gimana keadaan kamu?"

"Udah mendingan, Mbak. Kata dokter sore ini sudah bisa pulang, kok. Makasih sudah mau repot datang ke sini. Padahal mbak pasti banyak kerjaan juga."

"Sudah pasti lah saya jenguk. Kalo ada butuh apa-apa, jangan sungkan bilang, ya. Kamu sudah saya anggap adik sendiri. Saya kasih cuti buat kamu sampe keadaan kamu bener-bener membaik. Nggak perlu cemas, saya udah dapat guru musik tambahan, kok."

"Tapi saya masih bisa ngajar kok," Elata mengangkat satu tangannya. "Tangan kiri saya masih bisa dipake."

"Elata, kamu nggak capek?"

Elata terdiam.

"Saya tau perasaan kamu sekarang. Dari tadi, sejak kami datang. kamu keliatannya berusaha banget buat terlihat baik-baik aja."

Benarkah?

"Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri, Elata. Saya ngomong gini karena dulu saya pernah seperti kamu."

Elata tidak mengerti yang dimaksud sepertinya di bagian mana karena Pelita dan Elata jelas terlihat sekali sangat berbeda.

"Saya pikir, dengan bertindak kuat, saya akan bisa melewati semua masalah. Tapi itu nggak sepenuhnya benar. Tubuh kita harus diizinin lemah sekali-kali. Menunjukkan kelemahan itu nggak mengurangi nilai dalam diri, kok. Bukan berarti kalah juga. Malahan kamu jadi sadar, kalo ternyata kamu sekuat itu karena sudah bisa melewatinya.

Semua orang selalu berlomba untuk terlihat baik-baik aja, tapi sedikit sekali orang yang berani jujur sama perasaannya. Memaksa senyuman saat kamu mau nangis itu, adalah tindakan jahat sama diri kamu. Akhirnya, hal itu hanya menyakiti diri sendiri dan nggak jarang juga menyakiti orang lain tanpa disadari." 

👑

Elata mengerjap, sampai dirinya perlahan terjaga. Matanya mengerjap, yang membuatnya tersentak luar biasa sampai tubuhnya memantul kembali ke kursi karena tubuhnya terikat.

Kesadaran penuh membawa Elata dalam kepanikan tiba-tiba. Napasnya memburu, ia memerhatikan sekeliling dengan mencengkram seatbelt. Ia berada di dalam sebuah mobil yang terparkir di area seperti basemen karena ada banyak mobil lain berjejer di luar. Ia buru-buru melepas pengunci seat belt dan mencoba membuka pintu. Tapi pintu itu terkunci, anehnya mesin mobil masih menyala.

Elata membawa rambutnya ke belakang telinga. Mengerutkan dahi berusaha mengingat apa yang terakhir dilakukannya. Adit datang ke rumah sakit. Lalu ia menjadi sangat mengantuk. Elata tertidur dan terbangun sudah ada di sini.

Baru saja perasaan familiar di sana membuatnya meneliti ketika dari kejauhan, pintu lift membuka. Matanya memicing lalu membulat sempurna ketika Elata mengenali sosok itu adalah Noah.

Entah kenapa Elata menjadi panik. Ia lalu merosot turun ke bawah dashboard, menudukkan badannya. Berupaya bersembunyi dari cowok itu. Namun tak beberapa lama kemudian ia berjengat karena pintu di sampingnya terbuka. Ia mendongak dan di sanalah Noah, sedang memerhatikannya.

"Ngapain?"

Elata bangkit, perlahan duduk kembali. "Kamu... ngapain di sini?" lalu menggigit bibir karena menanyakan hal itu. Sekarang ia tahu mengapa begitu familiar dengan mobil ini. Segala interior mobil ini membawa ingatannya tentang beberapa malam sebelumnya. Ini mobil Noah.

"Turun."

"Boleh tau dulu nggak kenapa aku bisa ada di sini? Perasaan aku masih di rumah sakit. Kok tiba-tiba di sini? Aku nggak lagi mimpi, kan?"

Noah tiba-tiba menjulurkan tangan, mencubit pipi Elata.

Nggak sakit. Hatinya yang geter.

Kaget juga.

Elata mengusap pipinya yang baru dicubit itu. "Bukan mimpi, ya."

"Ayo turun, Elata."

"Mau ke mana?"

"Turun dulu."

"Tapi," Elata merapatkan lututnya. "Sepatu aku nggak ada. Aku nggak pake sepatu, ya? Atau aku dibawa ke sana nggak pake sepatu."

Noah menghela napas. "Biar gue gendong." Noah semakin menunduk, hendak menyusupkan tangannya di belakang lutut Elata.

"Tunggu-tunggu," Elata menahan bahu cowok itu. "Aku bisa nyeker, kok."

Noah berjongkok di sisi mobil. Membuat tatapan cowok itu lebih rendah darinya. "Kalo nggak gue bolehin gimana?"

Panjang urusannya, nih.

"Pinjemin sendal aja, deh."

"Lo masuk mobil gue juga digendong, Elata. Udah, ya jangan ribet."

Kenapa semuanya seolah jadi dejavu begini.

Sebuah mobil datang dan berhenti tepat di depan mobil Noah. Sang pemilik membuka kaca mobil dan berteriak dengan tidak sabaran kalau pintu mobil yang terbuka dan Noah yang berjongkok di sana sudah menghalangi tempat parkir khusus miliknya.

Bunyi klakson terdengar melengking tajam di basemen parkir yang sepi itu. Elata sudah menurunkan satu kakinya, namun Noah menangkap telapak kakinya dengan tangan sebelum ia menginjak semen abu-abu.

"Nggak boleh. Ngerti, ya?"

Elata semakin panik, antara teriakan laki-laki di mobil di depan dan Noah yang bersikeras menggendongnya.

Elata menatap Noah. Cowok itu juga menatapnya, dengan kedua tangan terentang memegang sisi pintu dan sisi kursinya.

"Boleh... gendong di punggung aja?"

Noah pun membalikkan badannya. Elata mengepalkan kedua tangan sebelum menyentuh bahu cowok itu. Lalu mengalungi leher Noah saat cowok itu perlahan berdiri dan mengaitkan tangannya di belakang lutut Elata. Cowok itu berdiri menutup pintu mobil dengan kaki lalu mematikan mobil sekaligus menguncinya dari remote kunci.

Sambil berjalan menuju lift, Noah menyentak tubuhnya naik, membenarkan posisi Elata di gendongan. Mau tak mau Elata harus mengeratkan pelukannya di leher cowok itu. Membuat wajah mereka bersisian. Perlahan Elata menarik kepalanya ke belakang. Tapi lagi-lagi Noah menyentakkan tubuhnya, membuat Elata harus kembali merapatkan pegangan.

"Yang bener, Elata. Mau jatuh? Iya?"

Dengan wajah yang bersisian, Elata menggeleng lemah.

Di dalam lift, Noah menekan tombol 27 dan pintu lift menutup. Keheningan di sana sangat menakutkan sampai Elata tidak berani menatap pantulan mereka yang membayang di pintu lift. di lantai 5 lift berhenti. Anak kecil dengan ibunya yang menggendong pelampung masuk. Lift berjalan lagi namun Elata merasakan tatapan tajam di ujung matanya.

Anak kecil itu menatapnya terang-terangan lalu menarik tangan ibunya. "Mommy, why kakak itu di gendong? Dia pasti manja, ya?"

Sang ibu melotot pada anaknya dan meminta maaf atas ucapan anak itu.

"Kata Daddy kalo digendong artinya manja. Padahal dia sudah besar ya ibu. I aja nggak suka digendong."

Sang Ibu kembali mengucapkan kalimat permintaan maaf. Lift berhenti di lantai 10 dan sang ibu tidak sabar menyeret anaknya keluar. Saat lift kembali tertutup, Elata tidak sengaja melihat bayangan Noah yang tengah menertawakannya.

"Seneng, ya aku diledekin anak kecil? Padahal kan bukan mau aku. Kenapa juga kamu nggak bawa sendal? Kenapa nggak boleh nyeker? Emang ada aturannya masuk sini nggak boleh tanpa sepatu? Aturan aneh."

Noah tidak berkomentar apa-apa. Lift terbuka saat mereka sampai di lantai yang dituju. Cowok itu menuju pintu satu-satunya di lantai itu dan membuka kunci kombinasinya.

"151601." Kata Noah setelah bunyi bip-bip.

"Hah?"

"Pin pintunya." Noah mendorong pintu dengan lutut hingga terbuka. Mereka masuk lebih dalam, dan disambut ruang tamu dan dapur yang menyatu dengan warna dominan hitam dan abu-abu. Namun yang membuat Elata menahan napasnya karena melihat pemandangan kota yang indah langsung dari jendela besar di seluruh sisi kiri ruangan.

Langit yang jingga itu memberitahunya jika sekarang sudah sore.

Noah membawanya ke salah satu sofa di depan TV layar datar, menurunkannya di sana.

"Gue udah pesen makan," Noah menuju dapur dan membuka kulkas. "Atau lo mau sesuatu?"

"Ini tempat siapa?" tanya Elata pelan.

Noah datang dengan air mineral dingin botolan yang sudah dibuka dan diletakkan ke atas meja di depan Elata. Cowok itu duduk di sandaran kursi di hadapannya. Membuat Noah menjulang tinggi. "Gue."

Elata tidak berani menatap mata cowok itu. "Kenapa aku dibawa ke sini?"

Noah memindai wajahnya beberapa saat. Hal yang membuat Elata semakin merasa kecil dan malu dengan keadaannya. Saat menunduk, ia bahkan baru menyadari masih memakai hoodie abu-abu milik Noah.

Tanpa alas kaki, Elata hampir mirip seperti gelandangan. Elata menyisir rambutnya dengan jari. Ketika Noah mengatakan ini,

"Tinggal bareng gue mau, Elata?"

👑

Pasti banyak typo sih.
Aku ngetik di hp. Noah rewel karena sakit, akhirnya dia bobo. Abis itu langsung ngetik. Baru selesai sekarang dan langsung post. 🙏🏻

Elata nggak capek ya?

Kadang kita bukannya nggak ngerasa capek buat berusaha kuat. Tapi karena udah nggak tau lagi harus ngapain. Karena pilihan yang terlihat lebih masuk akal ya cuma itu.

Padahal pilihan nggak selalu harus masuk akal.

;)

Terima kasih atas dukungannya sama cerita ini. Aku beneran merasa ditemani. Tiap hari bacain komen-komen kalian semua beneran bikin mood naik.

Aku mau ngucapin selamat pagi karena mungkin kamu bacanya pas nanti udah bangun

Faradita
I love you in every word 🫶🏻

Ps 1: boleh target komen lagi? 2k deh ya. Gampang itu mah. Yakan?

Ps 2: noah lagi nugaz ancur ganteng banget anjjjj

Ps 3: elata bisa main piano lagi gak ya? Jahat banget kalo sampe enggakk 😡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top