XXIII - Lebam

Membiru bersamamu jauh lebih baik. Sangkaku selamanya, tapi ternyata itu terlalu naif.

👑

🎼 Lany - Malibu Night 🎼
(Please bacanya sambil puter lagu ini karena ini mewakili POV Noah 🧎🏻‍♀️)

👑

"ELATA, BUKA!"

Ada lebam membiru di pergelangan tangan Noah. Ia mungkin benar-benar bisa melubangi pintu itu dengan tinjunya jika terus menggedor sebrutal ini. Sambungan telepon mereka sudah terputus, namun Noah belum mau beranjak meski perempuannya sudah sangat jelas mengusirnya.

Noah tidak bisa membiarkan hubungannya berakhir begitu saja. "Kamu tau aku bisa dobrak pintu ini sekarang."

Noah tau Elata mendengarnya. Perempuan itu masih berada di balik pintu sialan ini karena tadi Noah mencoba menelepon kembali. Ia tidak pernah senyaring ini mengucapkan nama Elata. Tidak pernah selantang ini memanggilnya. Kendalinya lepas.

Bisa-bisanya setelah usaha mereka selama ini berjuang untuk bersama, Elata malah ingin menyerah begitu saja.

"Kamu cuma butuh waktu, kan? Aku bisa kasih  sebanyak apapun waktu yang kamu mau. Tapi aku butuh kamu, Elata. Jangan suruh aku pergi..."

Noah tau dirinya terdengar menyedihkan. Ia melanggar ucapannya yang berkata akan pergi saat diminta. Tapi ini soal Elata, perempuan yang dicintainya.

"Buka pintunya!" Teriakan itu serak, beradu dengan napasnya yang mencekik. "Kenapa nutup pintu? Nggak berani hadapin aku? Ngomong depan aku kalo kamu mau putus!"

Tinjunya membuat pintu berbahan kayu itu retak. Yang kemudian membeset buku jari tangannya hingga terkelupas.

Dua orang satpam yang sedang patroli lewat di depan rumah Elata. Mendengar keributan itu, mereka lantas segera mendatangi Noah.

"Ada apa ini? Kenapa kamu teriak-teriak depan rumah orang?"

Satpam yang lain mengenali Noah. "Loh ini mas yang kemaren minta jagain rumah pacarnya, kan? Lagi berantem ya, mas? Duh... jangan gedor-gedor gitu, nggak enak kedengeran sama yang lain."

"Iya, mas jangan ribut-ribut begitu. Nanti kami kena komplain dari tetangga."

"Eh, masnya udah lapor belum? Dari kapan nginep di sini? Wah belum nih, ya?"

"Kayaknya udah, dari hari Bapak Roy meninggal, bukan?"

Kedua satpam di sisi Noah kemudian sibuk berdebat. Mereka tentu tidak tahu jika Noah bisa saja kalap memukuli mereka karena menganggunya. Kedua tangan Noah menyangga di pintu, kepalanya tertunduk.

"Elata," katanya lagi, kini dengan suara lebih tenang. Persetan perempuan itu mendengarnya atau tidak.

Kedua satpam di sisinya diam. Mungkin merasakan aura kemarahan membuat salah satunya melangkah mundur.

"Mundur dari pintu, Ta." ucap Noah kembali, lalu melangkah mundur dan menendang pintu itu. Kedua satpam tadi terperanjat. Panik karena cowok itu benar-benar berniat mendobrak pintu. Saat akan menendang untuk yang kedua kalinya, lengannya sudah dicekal oleh para satpam.

"Mas, mas udah istigfar. Jangan gini. Nanti kami terpaksa nangkap mas."

"Iya, mas. Sabar. Ya ampun kuat banget. Tahan-tahan, mas. Nanti kami laporin polisi atas tindakan tidak menyenangkan."

Kedua satpam itu kewalahan menahan Noah. Cowok itu masih mencoba mendekati pintu. Kekuatannya bahkan membawa kedua satpam terseret. Sekali lagi tendangannya mengenai pintu. Lalu pintu terbuka terbuka. Bukan karena Noah, tapi karena Elata sudah berdiri di sana.

Perempuan itu menundukkan tatapan, tidak berani melihatnya. Pipinya basah, bibirnya merah karena terlalu keras digigit. Noah ingin sekali memeluknya.

"Eh, Malam, mbak Elata. Maaf sebelumnya tapi tolong kasih tau pacarnya jangan bikin keributan, ya. Ini masnya ngamuk. Suaranya kedengeran sampe dua blok."

Elata meletakkan lalu tas berisi pakaian Noah ke teras. "Dia bukan pacar saya."

"Loh udah bukan?"

"Bawa dia pergi dari sini, Pak."

Brengsek. "Elata... omongin dulu bisa? Kita cari jalannya, ya."

"Dia bukan siapa-siapa saya lagi." lalu pintu kembali tertutup. Suara kunci diputar dua kali. Kemudian meninggalkan hening mematikan segelap malam.

Noah berdiri diam. Mematung dengan tatapan turun pada tasnya. Kepalan tangan yang menguat dan degup porak-poranda dalam dada, menjadikan kemarahannya menjelma semakin nyata.

Elata sudah membuangnya.

Terakhir kali Noah merasakan kemarahan seperti ini saat Ayahnya tidak menginginkan kelahirannya.
Ia marah pada Elata yang menyerah padanya.
Ia marah pada diri sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Karena satu-satunya cara untuk menyelamatkan hubungan mereka hanyalah jika Noah bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

👑

Elata pandai berpura-pura. Tanpa sengaja hal ini terlatih karena sejak didikan ketat orang tuanya. Dia bisa tersenyum di hadapan orang lain dan menyetujui setiap keputusan yang sudah ditentukan untuknya tanpa protes.

Tapi tidak di hadapan Noah. Cowok itu selalu bisa membaca isi hati dan kepalanya. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari cowok itu. Hanya dengan menatap matanya, Noah bisa menebak apa yang Elata rasakan.

Maka dari itu kencan seharian mereka hari itu berlangsung sangatlah menyiksa.

Bagaimana Elata harus menarik lengkung senyum setiap menatap Noah. Menahan air mata dengan selalu mengucek mata atau mendongak menatap langit. Bahkan bergandengan tangan dengan cowok itu rasanya membuat sekujur tubuhnya gemetar.

Noah, pria kesayangannya. Cinta pertamanya. Ciuman pertamanya. Pelukan pertamanya. Patah hati pertamanya.

Elata sudah memutuskan Noah secara sepihak. Ia masih ingat bagaimana rahang cowok itu mengeras bersama kepal tangan yang membiru lebam. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Noah tidak akan pergi dengan mudah hanya karena Elata memintanya. Memangnya kenapa ia harus berlari agar bisa menutup pintu. Keberaniannya tidak sebanyak itu untuk mengatakannya langsung di hadapan cowok itu. Oleh karenanya lebih baik Noah membencinya saja sekalian.

Elata memeras handuk hingga lembab dari air hangat di baskom perak. Kemudian menyeka tubuh Marina dari kaki hingga kepala. Setelahnya, ia memotong kuku Mamanya. Membersihkan giginya dengan kasa. Menyisir rambutnya. Dan terakhir memoleskan pelembab bibir. Sekejap Mamanya terlihat segar dan cantik sekarang.

Elata kemudian merebahkan kepalanya di sisi ranjang rumah sakit, menatap lurus ke arah wajah Mamanya yang masih belum kunjung membuka mata. Diambilnya tangan Marina, untuk diletakannya di atas wajahnya.

Lalu air matanya kembali keluar. Isaknya memenuhi ruangan. Seprei ranjang itu bahkan sudah basah lagi. Entah sudah berapa kali ia menangis di sana sejak tiba tadi pagi. Setiap perawat masuk untuk memeriksa, mereka mungkin berpikir Elata tengah menangisi Mamanya yang koma.

Tidak ada yang tahu bagaimana hatinya kembali hancur berkeping karena baru saja melepaskan seseorang yang dicintainya.

Tangan Mamanya menutupi setengah wajah Elata. "Ma..., aku," suaranya yang bergetar teredam karena Elata menggigit selimut. "... ninggalin... Noah."

Pernahkah terpikir olehnya akan meminta putus dari Noah? Elata bahkan tidak mengira hal itu akan melewati kepalanya.

"Aku sayang... banget sama dia, Ma," suara Elata pelan diselingi isakan. "Aku cinta Noah...," Dipalingkan wajahnya ke atas kasur. Membesut mata basahnya di sana. "Tapi aku bingung apa yang aku rasain sekarang. Sakitnya... nggak mau hilang...," sebelah tangannya meremas baju di bagian dada. "Sakit banget Ma rasanya."

Siapapun bisa melihat ketulusan Noah padanya. Bagaimana cowok itu memerhatikannya, memperlakukannya, selalu ada di sisinya selama masa berduka.

Elata sudah mencoba. Mengabaikan perasaan bersalah dan penyesalan itu, berusaha fokus pada apa yang ada di hadapannya. Menikmati saja segala bentuk kasih sayang Noah padanya.

Tapi setiap kali Elata melihat Noah, hatinya seolah tertusuk. Ia mencintai Noah, sangat. Tapi ia tidak bisa hidup bersama laki-laki itu jika setiap melihat mata Noah, maka Elata juga merasakan penyesalan yang luar biasa.

Elata tidak ingin memanfaatkan kebaikan Noah untuk menutupi kesalahannya.

Tentu saja, sekali pun Elata tidak pernah menyalahkan Noah. Semua ini adalah kesalahannya. Tapi kepalanya yang rusak ini tetap saja membuat dugaan-dugaan. Seperti, Noah yang menemaninya hanya karena ikut merasa bersalah. Noah yang di sisinya karena terpaksa bertanggung jawab tidak mau meninggalkannya sendiri. Noah yang harus menjaganya dan menolak keinginan ibunya pergi ke London karena Elata yang sekarang sendirian.

Elata merasa menjadi beban Noah. Dan ia tidak ingin menghalangi jalan cowok itu dengan terus berada di sisinya. Pikirannya terus berkelana jauh pada hal-hal buruk. Bagaimana kalau seandainya Noah bukan mencintainya, tapi hanya merasa kasihan padanya.

Jadi Elata memilih menjadi orang jahatnya. Dengan mengambil keegoisannya yang tersisa, Elata menuntut satu hari terakhir berkencan dengan Noah. Menikmati waktu bersama cowok itu untuk dirinya sendiri. Bahkan dengan tidak tahu malu mencium cowok itu untuk kotak kenangannya sendiri.

Lalu meninggalkan Noah begitu saja. Kabur dari cowok itu dengan cara terkejam yang bisa ia pikirkan.

Pintu kamar rawat terbuka. Elata buru-buru menyeka wajahnya dengan selimut sebelum melihat siapa yang datang.

"Sudah, Bi?"

"Sudah," Bi Raisan menutup pintu lalu menghampirinya di sisi tempat tidur. "Bibi ketemu Noah di parkiran. Sudah bibi kasih barang-barang dia yang ketinggalan di rumah. Termasuk kotak dari kamu."

Elata mengumpulkan semua barang-barang pemberian Noah dalam satu kotak. Handphone yang masih bersegel, kalung dengan bandul hati, dress yang dipakainya datang ke prom, juga cincin ulang tahunnya.

"Diterima, kan, Bi?"

Bi Raisan menatapnya sendu. "Katanya disuruh buang. Jadi Bibi buang di tempat sampah depan rumah sakit."

"Oh,"

"Dia titip ini juga buat kamu." Bi Raisan menyerahkan sebuah buku.

"Ini ap?"

"Nggak tau, Noah nggak bilang. Tapi katanya dia udah nggak butuh. Terus kalo kamu mau buang juga nggak apa-apa."

Elata meremas tepi buku itu. Noah marah padanya. Sudah sewajarnya. Memang seharusnya. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan sekejam itu.

"Sebenernya kalian kenapa, sih? Tadi Noah mukanya juga kusut gitu? Dia nggak seramah biasanya waktu ngomong sama Bibi. Kalian bertengkar?"

"Aku pulang dulu, ya, Bi." Elata beringsut mengambil tasnya, memasukkan buku titipan Noah ke dalamnya. "Mama sudah aku mandiin. Tolong kabarin kalo ada apa-apa."

Mungkin Elata akan terbiasa dengan ini.
Melarikan diri dari semua orang.

👑

Rumahnya tidak akan lagi terasa sama. Sunyi yang asing serta mencekam jiwanya. Terlalu besar, lengang, dan sepi.

Elata masih berdiri di depan pintu rumahnya. Matanya kembali berembun ketika melihat bekas pukulan Noah di sana. Daun pintu itu sedikit cekung ke dalam. Dan ada noda darah tertinggal di sana.

Mengabaikan sakitnya Elata tidak sengaja membanting pintu. Kekacauan di dalam kepalanya tidak mau diam. Rasanya tarikan napasnya pun berat. Elata mengambil minum di dapur. Lalu melepas jaketnya dan berusaha mengatur napas. Menyatukan dua tangan yang gemetar, menutup mata mencari ketenangan.

Elata membuka tas dan mengambil buku dari Noah. Sebuah buku sketsa berukuran A4 dengan ring di bagian atas. Ia tidak pernah melihat ini sebelumnya.

Di lembar pertama, ada sketsa skateboard yang Elata duga adalah milik Noah.

Dilanjut pada halaman lain, berisi pemandangan, tempat-tempat umum. Sampai pada halaman di mana jarinya berhenti. Mengenali benda di balik sketsa itu adalah sepedanya.

Di bagian bawahnya gambar itu tertulis :

Hari ini, gue ketemu tuan putri naik sepeda.
Cantik banget.

Elata tergugu. Ia tidak mengira Noah menggambar kesan pertemuan pertama mereka.

Dengan jari bergetar Elata kembali membuka lembarannya. Ada wajahnya di sana.

Tuan putrinya ketemu ;)

Elata menggigit bibirnya, tapi tidak bisa menahan air matanya.

Tuan putri kaget karena gue manjat balkon kamarnya. Tapi dia ngizinin gue tidur di gudang.
Lucu. Nggak sabar mau gue pacarin.

Elata menyeka air mata yang terus turun. Ia tidak ingin buku itu basah.

Her cute smile is mine now.
Jatuh cinta beneran sama Elata ;)

Elata tidak bisa menahan bobot tubuhnya hingga ia terduduk di lantai dapur. Mendekap buku sketsa itu, menekan dadanya yang sakit bertalu. Rasanya sekali lagi hatinya dihancurkan. Isakannya memilukan. Kepalanya jatuh bertumpu di lutut. Hanya sunyi yang mendengar tangisannya malam itu.

Sampai ketukan di pintu terdengar. Elata bangkit terlalu cepat sampai kakinya tersandung dan membuatnya jatuh terjerembab. Susah payah ia berdiri lalu berlari untuk membuka pintu.

"Noah!" serunya penuh harap, namun seketika gugur berderap.

"Noah? Pacar lo itu? Bukannya udah diputusin?" Laki-laki berjaket belel itu masuk tanpa permisi, menabrak bahu Elata. "Sendirian, kan lo?"

Apa yang Elata pikirkan? Berharap Noah kembali ke rumahnya? Setelah apa yang dilakukannya, cowok itu mungkin tidak akan sudi lagi mengingatnya.

"Heh, cepet sini masuk. Kita harus bicara."

Elata menutup pintu. Memaki diri sendiri karena sudah lancang berharap.

"Om Lukman mau apa?"

"Abis nangis lo, ya?" Laki-laki itu menunduk mengintip wajahnya. "Nyokap lo ikut mati?"

Elata enggan menanggapi. "Mau apa, Om?"

"Kayak yang gue bilang sebelumnya," Om Lukman menarik batang rokok dari mulutnya. "Bagi duit."

Karena tidak nyaman berada di dekat laki-laki itu, Elata mengambil amplop cokelat di dalam tas yang sudah disiapkannya.

"Ini sesuai yang biasanya Papa kasih, kan?"

Om Lukman menjepit rokok di bibir, untuk mengambil amplop itu. Mengintip isinya seolah dengan begitu ia bisa menghitung jumlahnya. Senyuman puas di wajah bengis itu membut Elata merinding.

"Anak pinter," dimasukkannya amplop itu ke saku jaket. "Bulan depan jangan telat lagi. Setelah bokap lo mati, lo yang harus gantiin tugasnya. Ngerti?"

👑

Nulis ini di kafe sendirian terus aku nangis. Malu diliatin orang-orang 😭
Part depan udah masuk time skip ya. Hehee
Dan jujur aku nggak sabar nulisnya.

Hai kamu... apa kabar?
Tadi aku bilang, kan aku nangis sendirian di kafe. Nggak papa, kok kalo mau nangis bahkan kalo alasannya nggak ada.

Lega aja dulu. Karena otak kita ini suka mikirin hal-hal yang nggak seharusnya dipikirin.

Makasih yaa udah nemenin aku sampai sekarang.

Faradita
I love you in every word 🌬️🤍

Bonus yang lagi galau :(

Ganteng banget ga berani natap dia 😫 Elata kok kamu tahan tatapan sama manusia ini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top