XXII - Mimpi

Tidak ada yang sederhana dalam melepaskan sesuatu yang begitu berharga. Tercabik tanpa suara. Tenggelam tanpa ada ujungnya.

👑

"CEWEK BEGO!" Preman pasar itu berkacak pinggang dengan wajah merah padam dan urat leher tertarik. "LO LAGI SAKAU ATAU APA HAH?!"

"Maaf bang. Nggak sengaja..."

"ANJING nggak sengaja tai." preman itu sudah akan merenggut baju depan Elata jika saja Noah tidak lebih dulu berhasil mendepak tangan preman itu ke samping.

Noah berdiri di depan Elata, berhadapan langsung dengan preman yang kini berganti mendelik ke arahnya.

"Siapa lagi lo?! Mau ikut campur! Mau bikin urusan sama gue, hah?! Ngantri bangsat gue masih perlu bejek cewek tolol itu dulu."

Noah mengepalkan tangan. "Ada urusan apa sama cewek gue?"

"Oh lo cowoknya. Bagus biar sekalian lo gue matiin. Cewek lo tiba-tiba datang numpahin cendol ke kepala gue. Bukan nabrak tapi sengaja numpahin! Gila nggak? Gila emang gue rasa cewek lo."

Semua perhatian dari orang-orang di sana tumpah pada mereka. Noah sudah sangat gatal ingin menghajar orang ini karena omongannya tentang Elata. Gila dia bilang? Noah bisa menunjukkan kegilaan sebenarnya pada orang ini.

"Gue beresin cewek lo baru giliran lo!," preman itu ingin menjangkau Elata yang ada di belakangnya, tapi Noah mendorong laki-laki itu. Cukup kuat sampai membuatnya terjatuh jika saja teman-teman premannya yang lain tidak menangkap tubuhnya yang oleng.

Noah rasa preman ini tidak sepenuhnya bisa berkelahi. Dia hanya mengandalkan tubuh besar dan tato yang banyak. Juga teman-temannya yang siap mengeroyoknya. "Mungkin lo emang pantes disiram."

Kini kemarahannya menjadi berlipat ganda. "Berani lo sama gue. Gatau lo gue siapa? Gue penguasa pasar ini. Gue yang nguasain daerah ini. Sekali gue ngomong lo bisa mati dikeroyok di sini bangsat! Lo tau gue pernah bunuh berapa— "

Kalimat preman itu tidak selesai karena Noah sudah melemparkan pukulannya ke wajah laki-laki itu. Membuat laki-laki itu jatuh terkapar. Para anak buahnya sibuk membantu. Suasana pasar menjadi lebih gaduh.

"SIALAN! BAJINGAN TENGIK!"

"Itu karena ngehina cewek gue."

"Noah," Elata menyelipkan tangannya ke dalam tangan Noah sampai mereka saling menggenggam. "Hitung sampai tiga kita lari, ya."

Noah tidak sempat berpikir ketika Elata mulai menghitung mundur.

"Satu..."

"LO MATI HARI INI SIALAN!"

"Dua..."

"BANGSAT!!"

"Tiga!" Elatalah yang lebih dulu lari dan menarik Noah memasuki pasar. Teriakan para preman mengejar mereka di belakang.

Noah mengambil alih untuk memimpin pelarian. Ia menggenggam lebih erat tangan Elata dan memetakan jalan. Mereka berlari menyusuri lekuk pasar, menabrak beberapa penjual dan pengunjung hingga merobohkan tumpukan kotak-kotak di sana. Bisa didengarnya ucapan maaf Elata di sepanjang mereka berlari. Saat berbelok, mereka sampai di sisi ujung pasar yang lebih sepi.

Setelah menyebrang dan sampai di parkiran minmarket, Elata dan Noah bersembunyi di sisi mobil yang bersebelah dengan dinding pembatas. Mereka mengatur napas. Noah mengintip ke arah jalan. Syukurlah karena kepadatan pasar, preman itu tertinggal jauh di belakang.

Noah kemudian memeriksa Elata. Memastikan tidak ada luka atau benturan di tubuh perempuan itu saat mereka berlari tadi. Namun ia kembali dikejutkan karena bukan ketakutan yang ada di wajah Elata. Perempuan itu justru tertawa.

"Kamu ngapain, Elata?"

"Tadi," Elata mengatur napas. Lelah berlari dan sekarang harus tertawa. "Seruuu bangeeet!!"

Dahi Noah mengerut. "Seru?" Lalu pemikiran asing muncul di kepalanya. Sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan pacarnya. "Kamu sengaja cari gara-gara sama mereka?"

Elata menatapnya dengan menggigit bibir, dihiasi senyuman yang terpancar lewat sepasang mata.

Adrenalin yang tertinggal membuatnya ingin melumat bibir itu saat ini juga. "Kamu sengaja mau ke sini cuma buat ngajak ribut preman?"

Elata mengangguk senang. Rambut pendeknya bergoyang lembut. Cantik sekali. Berbeda dengan Noah yang menghela napas panjang dan menyugar rambutnya ke belakang. Tangan mereka masih saling menggenggam. Keringat berbutir kecil terlihat di dahi keduanya.

"Kamu inget kejadian yang sama seperti ini sebelumnya?" Elata menyeka dahi Noah. "Waktu kamu nolongin aku dari preman di belakang sekolah di pertemuan pertama kita."

Mana mungkin Noah melupakannya.

"Rasanya masih sama mendebarkannya."

Noah hampir tidak bisa lagi membaca apa yang ada di dalam kepala cantik pacarnya itu.

Elata kemudian mendekap tangannya di dada. "Aku mau ngerasain hal ini lagi. Berdebar lari sama kamu sambil pegangan tangan. Kayak lagi naik mesin waktu, balik ke awal kita ketemu."

Noah berusaha mengerti meski sikap Elata belum sepenuhnya ia pahami. Ia lalu membuka kunci mobil dan memohon pada Elata untuk duduk dengan tenang tanpa harus memikirkan hal gila lainnya lagi. Tentu saja Noah menahan kesal. Melihat Elata pada situasi berbahaya seperti tadi bukan kesukaannya.

Tapi senyuman lebar yang ada di wajah Elata sepanjang jalan menuju rumah itu membuat Noah tidak keberatan harus menghadapi siapa saja atau berlari ke mana saja perempuan itu mau.

👑

Mobil berhenti mulus di jalan berbata depan rumah Elata. Mereka lupa menyalakan lampu depan sebelum tadi pagi pergi, hingga rumah itu terlihat gelap seolah tak berpenghuni.

"Laper, deh..." keluh Elata mengusap perut di sebelahnya. "Makan nasi goreng depan komplek, yuk. Enak banget tauu kamu belum pernah coba, kan?"

"Boleh." Noah sudah akan memutar kemudi, menjalankan mobilnya lagi namun Elata menahan tangannya.

"Eh-eh. Kita jalan kaki aja. Deket, kok."

Noah tau jaraknya lumayan jauh. Tapi ia tidak tidak protes dan mengikuti keinginan perempuan itu. Mereka menyusuri jalanan bagian tepi dengan bata merah, yang memang dikhususkan untuk pejalan kaki. Perlu dua puluh menit mereka berjalan untuk sampai di gerobak biru nasi goreng itu.

Sepiring nasi goreng hangat yang mengepul disambut oleh Noah dan mata berbinar Elata. Karena tidak ada meja di sana, maka ia memegangi piring untuk Elata.

"Dulu waktu kecil aku sering makan nasi goreng ini sama Papa. Iya, cuma berdua. Biasanya karena aku abis diomelin Mama. Papa sengaja minta temenin aku keluar, alasan sama Mama mau beli rokok padahal kami mampir ke sini."

Satu suapan kecil untuk Elata dan satu sendok penuh untuk Noah. Beberapa pengunjung menilik pada mereka yang makan di satu piring. Tapi hari ini Elata tidak peduli.

"Terus waktu balik ke rumah Mama udah selesai masak. Dan akhirnya kami harus makan lagi sampai kekenyangan," Elata tertawa sampai bulir nasi membuatnya tersedak. Sebotol air mineral dibukakan Noah untuk perempuan itu.

Noah bisa mendengarkan Elata bercerita sampai kapan pun. Ia akan menjadi telinga untuk cowok itu, menjadi tangan untuk megangi piring, menjadi kaki yang membawanya berlari. Apapun yang Elata butuhkan, Noah akan selalu menyanggupi.

"Aku seneng, deh hari ini. Seharian jalan-jalan sama kamu."

"Minus preman tadi, aku juga seneng."

Elata tertawa halus. "Kamu nggak harus sampe mukul dia. Yang salah juga aku."

"Dia ngatain kamu."

Elata menyodorkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. Mereka duduk berhadapan di kursi plastik hijau. Lutut Elata berada di antara kaki Noah yang terbuka lebar. Mereka makan sambil mengobrol tentang anak kecil tadi siang yang menggemaskan, lalu wahana bermain yang sempat dinaiki di Dufan.

"Mau liat foto yang di Dufan tadi dong," Elata membuka galeri di ponsel Noah karena memang ia sengaja berfoto di sana. Elata mengambil banyak foto mereka bersama sampai foto dirinya sendiri. "Banyak, nih stok foto kamu. Buat diposting di instagram."

"Udah bikin instagram?"

Elata menggeleng. "Kan, kamu suka post foto aku di instagram kamu. Kalo tiap hari kamu posting satu, cukup sampe dua bulan nih... hehe..."

"Tau dari mana?"

"Tau apa?"

"Aku posting foto kamu."

"Dikasih tau Mona. Dia bingung kenapa kamu posting aku padahal nggak bisa ngetag siapa-siapa. Dia ngatain kamu bucin. Karena insta kamu malah banyakan foto akunya."

"Emang salah?"

"Enggak salah dong."

"Aku nggak ngerti kenapa dibilang bucin."

"Nggak usah marah, Noah."

"Bukan marah. Lebih ke nggak ngerti aja. Karena menurutku normal cowok posting pacarnya. Kamu keberatan?"

"Mana mungkin. Ya walau tiap kamu lagi manggung selalu ada yang ngenalin aku terus sinisin."

"Aku cuma posting sesuatu yang aku suka. Sesuatu yang menurut aku indah."

Elata tersenyum di dalam kunyahan nasi gorengnya. Seorang pembeli datang dan saat ingin membayar, wanita itu tak sengaja menjatuhkan selurus isi tasnya. Noah dengan sigap bangkit membantu. Wanita itu tersipu mengucapkan terima kasih.

"Kamu emang selalu sebaik ini, ya..." ujar Elata saat Noah sudah kembali duduk.

"Baik gimana?"

"Yang barusan tadi contohnya,"

"Bukannya itu biasa?"

"Tapi orang-orang sekarang terlalu takut ngebantuin orang lain. Takut dikira sok kenal. Tapi kamu, nggak pake mikir langsung bantuin."

Dengan mulut penuh, Noah menyahut. "Nggak nyadar. Refleks."

"Kamu juga jarang marah. Maksud aku marah yang beneran marah banget," Elata mengembungkan pipinya lucu. Noah menahan senyum karena perempuan itu terlihat serius.

"Kecuali soal Rafa, aku rasa kamu selalu bersikap gini. Baik ke semua orang," Elata menunduk menatap piringnya. "Bahkan kemarin waktu aku jaga jarak sama kamu aja, kamu masih mau nemenin. Aku nyebelin ya kemarin?"

"Enggak, Elata."

"Aku pasti nyebelin. Kamu pasti kesusahan ya hadapin aku."

"Sedikit. Karena kamu menutup diri," nasi goreng mereka sudah tandas. "Mau tambah lagi?"

Elata menggeleng dan setelah Noah selesai membayar mereka berjalan pulang kembali. Di bawah langit malam dan lampu jalan di sepanjang trotoar khusus pejalan kaki, keduanya bergandengan.

"Kamu punya mimpi, Noah?" tanya Elata.

"Kayaknya kamu udah tau." yang dimaksud Noah adalah mimpinya untuk melihat Elata menjadi pemain piano profesional, tampil di pagelaran musik klasik bergengsi, membuka sekolah musik dan melatih anak-anak bermain piano. Cowok itu memang sering membahasnya.

"Kayaknya kamu harus ngubah mimpi itu. Kalo aku pikir lagi, mimpi itu sifatnya personal. Harus tentang pemiliknya, bukan orang lain."

Langkah Noah berhenti, membuat langkah Elata berada di depan Noah ikut tertahan. "Maksudnya?"

Elata tersenyum. Memeluk lengan Noah, menyandarkan kepalanya di sana dan mengajaknya berjalan lagi. Membuat perbedaan tinggi mereka terlihat jelas, Elata hanya sebatas bahunya.

"Kamu harus punya mimpi yang isinya tentang keinginan terbesar kamu. Kamu mau jadi arsitek, kan? Kalo gitu mimpinya jangan nanggung, kamu harus jadi arsitek yang hebat. Yang dikenal banyak orang. Yang terbaik, kalo bisa yang dapat penghargaan."

"Atau kamu mau serius jadi musisi? Waktu itu kamu pernah bilang pernah ditawarin audisi sama temennya Sintya, kan? Aku yakin kamu bisa jadi musisi terkenal. Kamu gampang belajar sesuatu. Gampang membaur, supel, jago bersosialisasi. Ditambah lagi kamu ganteng," Elata tertawa tipis di akhir kalimatnya. "Album kamu pasti meledak di pasaran. Aku berani taruhan fans kamu bakal membludak, ada di mana-mana. Di seluruh dunia."

Rumah Elata sudah terlihat dari sini. Noah berhenti dan memindahkan perempuan itu ke hadapannya. Rambut pendek Elata diterpa angin malam. Jalanan yang sepi, membuat sekeliling mereka sunyi.

Elata mengerjap, menatapnya. "Ada apa, Noah?"

"Kamu baik-baik aja?"

Elata tersenyum. "Sangat baik. Emang apa yang bikin aku keliatan nggak baik?"

Noah pun tidak mengerti kenapa menanyakannya. Perasaannya tidak nyaman. Tidak tenang rasanya.

Elata masih menatapnya dengan senyum ketika kedua tangan berjari lentik itu menyentuh wajah Noah. Meraba pelan, memberi hangat di pipinya. Sejenak perempuan itu menelusuri wajahnya dengan pandangan penuh kasih sayang.

"Abis potong rambut kamu jadi tambah ganteng." katanya. Lalu Elata berjinjit untuk mengecup bibir Noah. Perlahan menekan, lalu bertahan sedikit lebih lama.

Saat Elata menjauhkan wajahnya, senyuman itu semakin lebar. "Kok kaget gitu?"

"Ini pertama kalinya kamu yang cium duluan."

"Mau aku cium lagi?"

Seorang Elata tidak akan menciumnya di tempat terbuka di mana kemungkinan besar orang akan lewat dan melihat mereka. Tapi Elata yang di hadapannya ini tidak ragu berjinjit untuk memagut bibirnya lagi.

Mencium Elata tidak akan pernah membosankan. Bagaimana bibir itu menjadi basah, mengapit bibirnya, kemudian menjilatnya malu-malu. Keluguan di dalamnya sanggup membakar habis diri Noah.

Noah memeluk pinggang ramping itu. Menariknya rapat, membantu menyangga tubuh Elata. Lengan kurus perempuan itu mengalungi lehernya, kemudian tenggelam merenggut rambut belakangnya. Ketika lidah mereka membelit yang membuat Elata mengelurkan suara sensualnya, Noah bahkan tidak peduli jika mereka dilihat oleh orang lain. Baginya, Elata dan bibirnya bukan sesuatu yang sanggup ditolak.

Saat ciuman itu membingkai jarak, napas keduanya saling memukul di wajah. Bibir manis yang baru saja dirasakannya itu melengkung sempurna.

"Mau lomba lari?"

Noah belum selesai mengatur dahaganya. "Lari?"

Elata tiba-tiba berjongkok lalu menarik tali sepatu Noah hingga terlepas. "Tapi ikat dulu sepatu kamu."

Noah berlutut, mengikat sepatunya. Selama itu, rambutnya diusap oleh tangan Elata. Di samping sepatunya setetes rintik hujan jatuh mengenai jalan. Langit memang sudah mendung sejak tadi mereka meninggalkan gerobak nasi goreng.

Tiba-tiba Elata lebih dulu berlari. Meninggalkan Noah yang baru selesai mengikat sepatu.

"Elata... curang namanya kalo lari duluan."

Meski perempuan itu berlari, langkah panjang Noah tidak membuatnya tertinggal jauh. Ia menatap langit malam dengan dua tangan tenggelam di saku. Sepertinya hujan lebat akan segera turun. Elata sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah, sedangkan Noah menutup pagar lebih dulu.

Noah menyadari rumput di taman depan terlihat sudah memanjang. Besok pagi ia akan memangkasnya. Mobil Papa juga harus dibawa ke bengkel untuk service bulanan. Untung saja kaca pecah tempo hari sudah selesai diperbaiki.

Satu tangan Noah keluar dari saku untuk menggapai pintu, namun ternyata tidak bisa dibuka. Didorongnya kembali untuk mencoba, tapi pintu itu tetap tidak bergerak.

Noah mengetuk. "Elata... kamu ngunci pintu?"

Tidak ada sahutan dari dalam. Ia mengetuk lagi. Mengintip ke dalam rumah dari sela kecil jendela. Lampu belum dinyalakan padahal ia melihat sendiri  kalau Elata masuk ke dalam. Dengan kecemasan yang menyerang Noah mengepalkan tangan, menggedor daun pintu.

"Elata, Elata! Buka pintunya!"

Sebelum keinginannya mendobrak pintu lebih kuat, Noah merogoh ponsel dan menghubungi Elata. Terdengar dering yang tidak asing dari balik pintu. Perempuan itu tepat berada di belakang pintu.

"Noah..."

Mendengar suara lembut Elata, seketika membuat Noah sedikit lega mengetahui perempuan itu masih baik-baik saja. Namun juga membuat Noah ingin sekali merobohkan pintu di hadapannya. Pikiran-pikiran buruk menggelayuti kepalanya. Enggan memikirkan tindakan nekad apalagi yang akan diambil perempuan itu.

Noah menggenggam ponsel lebih erat. "Elata, ada apa?"

"Kamu pulang aja."

"Iya, aku pulang. Bukain pintunya, ya."

"Bukan ke sini. Tapi ke rumah kamu."

Noah mengelak perasaan tidak enak yang menggelayutinya seharian ini. "Aku mau pulang ke kamu. Biarin aku masuk, sayang."

"Pulang, Noah. Please. Aku nggak perlu ditemani lagi."

"Kamu lagi mau sendirian? Aku bisa tidur di mobil."

Jeda yang cukup lama kembali membuat jantungnya berpacu tegang. "Kamu nggak perlu jagain aku, Noah. Aku bukan tanggung jawab kamu."

Tapi kamu segalanya. "Elata—"

"Aku mau putus."

"Enggak." Secepat itulah Noah menyangkalnya.

"Kita putus."

Noah menyandarkan tangan di daun pintu dengan kepala tertunduk. "Elata, boleh buka pintunya dulu?"

"Selama satu bulan ini, nggak ada satu pun orang yang mengungkit kejadian malam itu. Tentang aku yang kabur dari rumah. Tentang aku yang jadi penyebab orang tuaku keluar nyariin aku. Semuanya menganggap kalo kecelakaan itu terjadi karena musibah yang harus diterima. Tapi kamu tahu apa yang sebenernya aku rasain, setiap kali aku berhadapan sama semuanya, sama kamu, aku merasa menjadi orang yang paling bersalah dan jahat."

Jadi ini alasannya. Elata mendorong semua orang, membiarkan Mona pergi, dan sekarang gilirannya. "Karena memang itu bukan salah kamu, Ta."

"Omong kosong. Semuanya salah aku. Aku yang bersalah. Aku yang udah bunuh Papa. Aku yang bikin Mama sekarat."

Noah tau ada isakan tangis yang berusaha disembunyikan Elata di ujung telepon sana. Membutnya mengepal lebih keras sampai kukunya menancap.

"Dari semuanya, aku paling sakit saat melihat kamu, Noah. Kamu ngingetin aku tentang malam itu. Aku udah nggak bisa liat kamu dengan cara yang sama lagi. Aku kesakitan bersama kamu."

Sebuah hantaman sangat keras menabuh dada Noah berulang kali. Tidak, Noah tidak bisa kehilangan Elata. Ia mencintainya. Sungguh mencintai perempuan itu.

Kepalan tangannya menguat. "Bisa kita omongin ini dulu," suara Noah bergetar. "Biarin aku masuk, Ta."

"Pergi, Noah."

"Elata," bolehkan ia mendobrak pintu itu saja sekarang. "Aku nggak bisa kehilangan kamu."

"Kamu pernah bilang kalo kamu nggak akan pergi dari aku, kecuali aku yang minta, kan? Sekarang aku yang minta kamu pergi. Pergi yang jauh sampai nggak ada kemungkinan kita akan ketemu lagi."

Pandangan Noah mengabur. Tampilan pintu di depannya buram. Saat matanya tertutup, butiran bening itu jatuh. Satu irisan membelah hatinya.

"Aku nggak mau liat kamu lagi."

👑

😭😭😭😭😭😭😭
Sakit banget nulis part ini. Scene di sini udah aku bayangin dari sejak di villa. Sepanjang itu aku nahan sakitnya. 🥹

Aku seneng banget sama komen yang paham akan perasaan Noah dan Elata. Berasa sukses aja gitu mengirimkan emosi yang aku tulis dan dibaca sama kalian.

Next chapter aku minta komennya 300!
Jangan spam tapiii

Makasih yaa yang udah dukung aku terus. Kamu hebat banget!

Hai kamu apa kabar?
Baik-baik terus yaa... dunia ini jahat banget, kalo kita liatnya saat lagi sedih. Tapi dunia nggak sejahat itu kalo kamu udah bisa liat hal-hal baik apa yang udah kamu dapat hari ini.

Semangat ya. Hidup aja dulu. 🤍

Faradita
I love you in every word

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top