XVIII - Kotak Pink
Penyesalan lebih terasa menyesakkan ketika tidak ada lagi jalan untuk kembali menata ulang.
👑
Elata bergelung di selimut tebal di atas tempat tidur orang tuanya. Sewaktu masih SD, dia sering menyelinap datang dan menyusup tidur di tengah Papa dan Mama. Bukan karena takut tidur sendirian, tapi karena ingin dipeluk. Merasakan kehangatan nyaman. Berbeda dengan Erika, Elata memang sedikit lebih manja.
Sudah lama sekali Elata tidak pernah lagi tidur di kamar ini. Tumbuh dewasa, menumbuhkan rasa gengsinya menunjukkan perasaan. Menyampingkan keinginannya untuk bermanja-manja pada orang tuanya. Tumbuh dewasa seakan melebarkan jarak di antara mereka. Membuat Elata tidak lagi perlu mendengarkan wejangan Mama atau meminta bantuan Papa.
Keegoisannya membuat Elata ingin selalu terlihat bisa segalanya. Menyimpan semua sakitnya sendiri, agar terus terlihat baik-baik saja di depan orang tuanya. Kombinasi yang tidak cocok mengingat seberapa protektif orang tuanya.
Kini Elata hanya bisa menikmati tempat tidur King size ini sendirian. Tidak ada lagi tepukan menenangkan Papa di punggungnya. Tidak ada belaian tangan Mama di rambutnya. Ia hanya diselimuti aroma mereka yang bercampur deterjen. Dikepung rasa penyesalan yang merambat habis dirinya tanpa ampun.
Elata sudah tidak lagi menangis sejak meninggalkan tanah pemakaman Papa. Air matanya mungkin mengering, atau enggan keluar. Tapi benarkah bisa begitu. Yang bisa ia rasakan sekarang hanya kekosongan. Hampa. Dadanya seperti berlubang.
Pintu kamar terbuka. "Elata, ini gue. Noah bilang lo di sini. Boleh masuk, ya?"
Mona datang dan duduk di tepi tempat tidur. Cewek itu membawa sekantong penuh cokelat yang dipamerkannya.
"Masa gue baru nyadar kalo seumur-umur kita sahabatan gue belum pernah ngasih lo cokelat. Makanya gue borong semua ini buat lo."
Elata bangkit, melihat Mona yang energik. "Makasih, ya."
"Kata Noah hari ini lo free di rumah? Jadi gue mau gangguin lo. Temenin gue maskeran, ya. Gue bawa banyak macam jenis masker. Atau kita kutekan aja. Gue juga bawa. Semua warna gue punya. Eh, atau mau gue styling rambut lo. Gue bawa catokan, baru banget beli. Inget, kan gue handal dalam soal make over lo."
Sepanjang Mona membombardirnya dengan ajakan itu, Elata cuma bisa menunduk memperhatikan cokelat di tangannya. Kenapa rasanya berbeda. Ia tidak sesenang itu ketika mendapatkan cokelat. Tidak seperti dulu, dimana hormon dopaminnya melonjak hanya dengan menghirup aroma cokelat.
Mona yang merasa bicara sendirian terdiam sejenak. Memperhatikan sahabatnya yang terus saja diam, tanpa ketertarikan pada apa pun yang ada di sekitarnya. Mona menarik napas berat dan mengusahakan senyum agar bisa menahan tangis. Apapun ia bicarakan agar Elata tidak perlu merasa kesepian.
Mona mengeluarkan isi koper yang dibawanya tadi. Berisi bermacam jenis peralatan perawatan diri yang memang ia khusus diangkutnya ke sini untuk menyibukkan Elata hari ini.
"Kita mulai kutekan aja kali ya? Biar gue keluarin semuanya dulu. Gue juga ada alat pengeringnya," disusunnya satu per satu di atas meja rias. "Ada gliter, ada yang matte, ada yang shimmer, ada tempelan lucu-lucu, eh... ini apa, Ta?"
Kotak pink di ujung meja rias itu bertuliskan nama Elata, di kartu ucapan yang menggantung di pita. Mona membawanya pada Elata yang masih tertunduk. "Ta, gue nemu ini di meja rias nyokap lo. Mau buka?"
Elata melihat tulisan tangan Mamanya di kartu ucapan. Ia langsung menyambar kotak itu. Seolah itu adalah harta karun peninggalan Mama. Rasa perih di hatinya kembali teriris. Bisa dihidunya samar aroma pelembab tangan yang sering dipake mamanya di sana. Ia membayangkan Mamanya sendiri yang memilih kotak ini. Menuliskan kalimat doa di kartu ucapannya. Untuknya.
Perlahan Elata membuka kotak itu. Di dalamnya ada satu kotak yang lebih kecil berwarna sama. Dibukanya kotak kecil itu lebih dulu, yang ternyata berisi sebuah kunci mobil. Elata tidak pernah melihat kunci itu sebelumnya. Kunci itu terselip dengan satu kartu ucapan. Kali ini tulisan tangan Papanya.
Ini hadiah kedua untuk princess kesayangan Papa. Papa kasih ini perlu ribut sama Mama dulu tau nggak. Tapi akhirnya, kami patungan beli ini hahaha
Elata nggak perlu naik sepeda lagi, ya. Biar nggak kepanasan dan kehujanan berangkat kuliahnya naik ini. Sepedanya boleh di simpan. Sepedaan di dalam komplek aja kata Mama.
Selamat ulang tahun, Elata.
Papa sayang kamu.
Selesai membaca, kartu ucapan itu teremas di tangannya. Sama seperti yang dirasakan hatinya sekarang. Badannya menggigil. Ia menggigit bibir kuat. Matanya yang berlapis kaca tipis membuat pandangannya mengabur. Ia tidak ingin menangis. Tangannya gemetar menopang kotak berisi kunci mobil itu. Elata tidak mau hadiah ini. Ia ingin Papanya saja yang kembali.
Mona beringsut duduk di sisi Elata. Memeluknya menyamping seolah sedang mengirimkan kekuatan.
Di dalam kotak pink tadi masih ada map hitam di bagian dasarnya. Elata mengambilnya dan membaca kartu ucapan lebih dulu.
Itu tulisan Mama.
Elata, Mama sering bikin kamu sebel, ya?
Mama selalu larang-larang kamu. Selalu protektif ke kamu. Membatasi pergaulan kamu.
Mama jahat, ya nak?
Elata menunduk dengan mata tertutup, menekan dadanya. Menarik napas panjang menguatkan diri. Setelah yakin air matanya tidak akan jatuh, ia mengangkat kertas itu kembali.
Mama memang nggak pernah ngomong gini, tapi Mama nyesel udah pernah memaksa kamu untuk jadi kayak Erika.
Elata mau, kan maafin Mama?
Mama sudah bikin salah, dengan mendesak kamu seperti Erika, melarang kamu menikmati masa SMA, mengatur segala aspek di hidup kamu dengan berlebihan. Mama mungkin setengah sadar melakukan itu. Mama merasa gagal ngurus Erika, dan nggak mau terulang lagi ke kamu.
Tapi sekarang Mama sudah sadar. Biar pun kamu anak Mama, tapi hidup kamu bukan milik Mama. Kamu berhak memilih, berhak bahagia dengan versi kamu, berhak gagal atas pilihan kamu. Mama sadar, tujuan orang tua bukan menjadi orang tua yang berhasil, tapi membantu anaknya bahagia.
Semoga dengan hadiah Mama ini, Elata bisa maafin segala kesalahan Mama kemarin. Apapun pilihan hidup kamu, akan selalu ada Mama yang dukung.
Mama percaya sama Elata.
Saat selesai membaca surat itu, Elata tidak benar-benar ingin melihat apa hadiah Mama. Lubang di dadanya semakin lebar membuka. Perih di hatinya semakin berisik dengan sayatan tajam. Tapi ketika tangannya bergerak membuka map, bola matanya melebar. Mengeja susunan kalimat di sana yang membuatnya langsung tersentak. Map itu jatuh di atas selimut. Seluruh tenaganya seakan melandai lenyap.
Elata menutup wajahnya dan berteriak histeris. Tangisannya yang sejak tadi ia tahan meledak. Hatinya tergerogoti. Jiwanya seperti dihantam membabi buta dan tidak diberi ruang bernapas.
Elata melempar semua hadiah itu. Ia menjerit. Memukuli kepalanya sendiri. Menjerit semakin kencang. Mencengkram dadanya sendiri, ingin menguburkan tangannya di sana untuk mengorek rasa sakit yang tak mau berhenti itu di sana. Jeritannya semakin parau.
Dengan panik Mona mencoba menahan tangan Elata. Cewek itu juga ikut menangis, mencoba menenangkan. Mencegah sahabatnya mengamuk tapi tenaganya tiba-tiba hilang. Mona terpental jatuh. Bertepatan dengan Noah dan Ginan yang tergesa datang karena mendengar suara jeritan.
Ginan membantu Mona berdiri sedangkan Noah segera menghampiri Elata.
"Elata!" Noah mencengkram kedua bahunya. Mencari tatapannya. Mencari kendali dirinya.
Siapa yang butuh dikendalikan? Ia perlu mengeluarkan rasa sesak ini.
Elata ingin merusak dirinya. Menghukum dirinya dengan merasakan sakit lebih banyak. Ia merenggut rambutnya sendiri. Menariknya tak terkendali. Ginan dan Mona mendekat. Membantu memegangi tangannya. Sedangkan Noah berusaha melepaskan cengkraman Elata di rambut.
"Elata," Noah kemudian memegangi wajahnya. Kecemasan terpancar jelas di mata cowok itu. "Elata. Dengerin suara aku. Tenang, ya. Nggak apa-apa, sayang. Semuanya baik-baik aja."
Bohong. Tidak ada yang baik-baik saja.
"Nggak ada yang baik-baik aja, Noah!" jerit Elata. Suaranya parau dan serak. Wajahnya basah, oleh keringat, oleh air mata. "Hal terakhir yang aku bilang ke mereka adalah mereka orang tua kolot. Orang tua menyebalkan. Yang nggak ngebebasin anaknya.
Sekarang gimana caranya aku narik kata-kata itu. Gimana cara aku kasih tau kalo aku sayang mereka. Gimana cara ngilangin rasa penyesalan ini. Gimana caranya gantiin posisi Papa. Biar aku aja yang mati. Anak nggak berguna kayak aku ini aja yang mati."
Noah masih memegangi wajah Elata. Tidak gentar mendengarkan teriakan menyakitkannya.
Elata menggelengkan kepalanya, ingin melepaskan tangan Noah tapi cowok itu tetap menahan tatapan. "Gimana aku bisa baik-baik aja setelah aku sadar seberapa besar sayang mereka ke aku, sementara aku udah nggak punya kesempatan untuk membalas semua itu?!"
Noah maju mendekap kepalanya, meringkus dirinya dalam pelukan. Pelukan sangat erat sampai tarikan napasnya beraroma cowok itu. Memenjarakan geraknya hingga Elata mau tidak mau diam. Napasnya memburu. Tangisnya tumpah di dada cowok itu. Suaranya serak, tenggorokannya sakit.
Dari balik punggung Noah, Elata menatap map hitam yang terbuang. Tergeletak terbuka. Mungkin jika situasinya tidak seperti sekarang, orang tuanya berada di sebelahnya memberikan hadiah itu, Elata akan menjadi orang paling bahagia.
Namun sekarang itu sudah tidak ada artinya lagi. Di dalamnya tersimpan sebuah formulir pendaftaran ulang dari sebuah universitas, untuk jurusan musik.
Ditujukan untuk Peristeria Elata.
👑
Tidak ada yang bicara di ruang tamu rumah Elata itu. Setelah menenangkan Elata dan membiarkan perempuan itu tidur karena kelelahan menangis. Ketiganya diam dengan pikiran masing-masing. Namun pada satu orang yang sama.
"Elata sering kayak gitu?" tanya Mona.
"Setelah pemakaman bokapnya, ini kali kedua." sahut Noah. Cowok itu bersandar pada sofa satu orang, matanya tertutup menghadap langit-langit dengan dahi berkerut. Kedua tangannya terlipat di atas perut.
"Elata beneran nggak punya saudara lain?" Ginan yang duduk di samping Mona bertanya.
"Kata Bi Raisan, orang tua Elata sama-sama anak tunggal. Mereka nggak punya kerabat lain." Sahut Mona.
"Kasian bener," Ginan menghela napas. "Dia beneran sendirian."
"Enggak," Noah membuka matanya meski tetap menatap langit-langit. "Dia punya gue."
"Udah berapa lama lo nginep di sini?" sambung Ginan.
"Sejak kejadian itu gue nggak pernah pergi dari Elata."
"Sekamar?" Pertanyaan Ginan itu mendapatkan pelototan dari Mona berikut pukulan menyakitkan di bahu cowok itu.
"Cuma tanya," kata Ginan dengan suara rendah.
"Gue di kamar tamu," Sahut Noah.
Sesaat, Mona merasa bersyukur jika Elata memiliki Noah saat ini Cowok itu benar-benar terlihat begitu menyayangi Elata. Dan disituasi seperti sekarang ini, Mona mengaku salut, jika Noah selalu ada untuk Elata.
"Gimana kabar Tante Marina? Gue sama Ginan kemarin ke rumah sakit, tapi cuma bisa sebentar."
"Masih tahap pengawasan. Belum ada tanda-tanda kesadaran. Sekarang yang jaga di rumah sakit Bi Raisan. Kami gantian jaga biar Elata bisa tidur."
"Di rumah sakit ada ranjang khusus yang jaga, kan?" Ginan bertanya.
"Ada, tapi Elata lebih milih duduk di samping Mamanya. Gue rasa dia bahkan nggak berkedip ngeliatin Tante Marina."
Mona ingin kembali menangis, tapi ditahannya. "Kasian banget sahabat gue," Mona menutup wajahnya dengan dua tangan. "Lo keliatan kurang tidur banget juga, Noah."
"Kita bisa gantian buat jaga Elata di sini kalo lo mau istirahat." Timpal Ginan.
Noah menggeleng pelan. "Gue nggak bisa berhenti mikirin Elata. Dia nggak mau ngomong apa yang dia rasain, kecuali histeris kayak tadi. Kadang dia cuma merespon singkat setiap gue tanya. Dia selalu menghindar dari tatapan gue. Dia juga berusaha keras nggak nyentuh gue. Kadang itu bikin gue bingung harus bersikap gimana di hadapan dia."
Ginan dan Mona berpandangan. Merasa prihatin pada hubungan kedua sahabatnya itu.
"Tapi gue tahu kalo sekarang masa sulit Elata. Dia cuma butuh waktu untuk melewatinya dan gue bisa kasih sebanyak apapun yang dia perlukan."
"Thanks, Noah," Mona tersenyum. "Karena udah ada buat Elata. Bener kata Ginan tadi, kalo lo mau kita gantian jaga Elata."
"Nggak papa. Gue masih bisa."
Mona merebahkan kepalanya di bahu Ginan. "Gue jadi ikut kepikiran karena liat Elata histeris kayak tadi. Gimana bisa gue berangkat dengan tenang kalo keadaan Elata makin buruk."
"Lo mau ke mana?" tanya Noah.
"Elata belum cerita? Gue disuruh kuliah di luar. Paris. Gue udah bilang ke Elata dari malam Prom. Ortu gue nggak bisa ditawar kali ini. Kalo nolak gue beneran di keluarin dari nama pewaris."
"Kapan lo berangkat?"
"Udah diminta secepatnya, sih. Lagi ngurus dokumen di sini juga. Tapi kayaknya gue minta perpanjangan waktu. Gue bisa lewatin sesi perkenalan kampus dan lain-lain yang nggak terlalu penting. Gue mau pergi kalo Elata udah baik-baik aja. Biarin, deh nyokap gue ngomel bentar."
Noah terdiam. Oleh pikiran tentang Elata yang akan kembali merasa kehilangan seorang sahabat di sisinya.
👑
Tadi siang, Dokter sudah memberikan keputusan jika saat ini Mama mengalami koma. Tidak ada yang bisa menjanjikan padanya kapan Mama bangun. Tidak ada jaminan Mama akan bangun. Saat ini, Elata hanya bisa berpegang pada harapan dan doa.
Ruangan ICU yang selama dua minggu ini selalu menjadi tempatnya berada, sudah terasa bagai rumah kedua. Kadang ia akan dibujuk, setengah dipaksa pulang oleh Noah hanya untuk sekedar beristirahat sementara Bi Raisan yang akan menemani Mama.
Tangan Marina meninggalkan banyak bekas luka. Digenggamnya tangan itu, diperhatikannya wajah Mamanya yang tak kunjung membuka mata itu. Katanya keadaan koma menurunkan fungsi respons, kehilangan kemampuan berpikir, namun aktifitas otak masih bekerja. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa berbicara dan dipegang orang yang dicintai dapat membantu mereka pulih.
"Ma, Elata udah liat hadiah Mama." Diremasnya tangan Marina, sebelum menempelkannya ke pipi. "Mama daftarin Elata ke jurusan musik, ya? Mama tau ya kalau Elata bingung. Elata pengen denger penjelasan Mama langsung. Mama pasti bangun, kan? Elata tahu Mama bisa."
Hanya irama EKG yang menyahut.
"Papa udah nggak ada, Ma. Sekarang Elata cuma punya Mama. Tolong kasih kesempatan aku nunjukin kalo aku bisa jadi anak Mama yang baik, ya. Aku akan nurut semua mau Mama. Jadi Mama harus bangun, ya."
Elata bangun dan menunduk ke sisi wajah Mamanya, berbisik di sana. Berharap kalimatnya sampai dan didengar.
"Mama nggak jahat," Elata mencium dahi Mamanya. "Aku anak jahatnya, Ma."
👑
Hai...
Kaget dong kenapa update lagi 🤣🤣
Kayaknya... ini kayaknya yaa... kalo updatenya pake jadwal nggak cocok sama aku 😭
Kalo sudah siap publish, aku jadinya gatel mau publish langsung. Mau dengerin komenan kalian. Itu bikin aku ngerasa nggak sendirian aja.
Seminggu ini, aku nulis cerita ini dengan perasaan kacau. Dan itu aku lewatin sendirian banget.
Jadi kayaknya aku akan update sebisanya aja. Nggak jadi pake jadwal. 😭🙏🏻
Maaf ya untuk keplinplan-an aku ini.
Kamu apa kabar? Di part kemarin banyak yang nangis, aku jadi nggak enak.
Tapi abis nangis bisa sedikit lega, kan? Nangis juga perlu kok sekali-kali. Biar perasaan kamu lebih enteng 🤍
Terima kasih yang sudah mendukungku sampai hari ini, menemaniku menulis cerita ini.
Masih mau uncut version mereka nggak?
Tunggu dan baca terus pokoknya wkwkwkw
Faradita
I love you in every word 🌬️🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top