XVII - Gigitan Merah
Kehilangan yang paling sukar dihadapi, adalah saat duniamu dengannya sudah berganti.
👑
🎼 Seventeen - Ayah 🎼
👑
"Beneran, nih, Pa? Nggak bisa aku bujuk lagi buat izinnya? Mumpung Noah masih siap-siap dan belum berangkat ke villa."
Roy masuk ke kamar Elata karena ingin minta tolong pada anaknya itu untuk memperbaiki kacamatanya. "Papa udah nggak bisa dibujuk rayu lagi. Udah ya lupain aja acara kelas kamu itu. Di rumah aja."
Elata menyerah, meski memendam kesal. Ia memperhatikan kacamata Papanya dengan wajah memberengut. "Udah jelek ini, Pa. Ganti aja kacamatanya."
"Dikasih karet dulu di situ, tuh." tunjuknya. Sebenarnya memang ini hanyalah alasan. Roy bisa saja membeli kacamata baru, tapi ia hanya ingin selalu minta tolong pada putrinya.
Kesibukannya bekerja kadang membuat Roy hanya bertemu Elata di meja makan. Dan sekarang putrinya itu juga sudah memiliki pacar. Alhasil semakin sempit ruang bicara yang ada di antara mereka. Hal remeh seperti ini yang ditunggu-tunggunya agar bisa bersama putrinya.
"Percuma, Pa. Ini nanti lepas lagi. Papa juga yang repot. Pa," Elata mengembalikan kacamata itu ke dalam kotak. "Beli aja, ya."
"Makanya Papa dari kemarin minta temenin sama Elata buat beli. Besok gimana? Sekalian makan-makan ulang tahun kamu. Staycationnya ditunda tunggu Papa Mama dapat cuti."
Elata menghela napas. Dirinya terjebak di sini dengan acara keluarga, sedangkan teman-temannya asik menikmati momentum perpisahan kelas. "Besok Elata mau di rumah aja seharian, Pa."
"Oke-oke, kapan Elata bisa aja. Yuk, turun makan malam."
Elata beranjak dari kursi piano ke tempat tidur. "Aku makan di kamar aja. Mau nonton film."
"Makan sama-sama dong, Elata. Sudah ditungguin Mama di bawah dari tadi. Bentar lagi Mama manggil, tuh."
Elata menarik selimut hingga menutupi kepala. "Pa, jangan ngeselin dong. Paling nggak aku berhak sendirian di kamar aku sendiri."
"Yaudah-yaudah. Nanti Bi Raisan anterin makan ke sini," Roy menggusak kepala Elata yang tertutupi selimut. Mungkin putrinya sedang datang bulan, pikirnya dalam hati.
👑
TIME INDONESIA NEWS
Diduga Lawan Arah, Mobil Fortuner Hitam dengan Plat B 1754 FAJ Tabrak Pembatas Jalan di Kawasan Kemang, Satu Orang Tewas.
TIMESINDONESIA, Jakarta – Sebuah Toyota Fortuner Nopol B 1754 FAJ yang dikemudikan dua warga Jakarta, menabrak tiang rambu di jalan kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Akibatnya, mobil ringsek pada bodi sebelah kanan yang mengakibatkan pengemudi meninggal dunia.
Insiden tersebut terjadi pada Sabtu sekitar pukul 03.30 WIB.
Informasi yang dihimpun dari Satlantas Polres, Toyota Fortuner itu dikemudikan Roy Permana (43) bersama istrinya Marina Ayutias (42) yang duduk di samping pengemudi. Diketahui sampai saat ini Marina masih dalam kondisi kritis.
Meski pada awalnya sulit untuk menghubungi keluarga korban, namun telah dikonfirmasi jika kedua suami istri itu meninggalkan seorang anak perempuan.
👑
"Awalnya gue nggak tau HP lo ketinggalan sampai gue beresin peralatan. Gue simpenin di tas. Nggak denger gue ternyata ada banyak telepon masuk. Pas gue ambil kebetulan yang telepon namanya Bi Raisan. Sebenernya mau gue diemin tapi dia telepon terus. Sampai Mona yang kasih tau kalo Bi Raisan itu bibi di rumahnya Elata. Sorry, Noah, harusnya gue pegang aja HP lo terus."
"Gu-e yang angkat teleponnya. Bi Raisan udah nangis-nangis. Dia bilang orang tuanya Elata kecelakaan. HP Elata nggak bisa dihubungin. Gue juga berusaha hubungin, tapi nggak bisa juga." Mona mengusap matanya yang sembab. "Gue inget terakhir telepon Elata dia bilang pergi ke Villa nyokap lo. Abis Bi Raisan, nyokap lo juga hubungin. Langsung gue tanya. Tapi kita jadi muter-muter karena nyasar. Sorry, gue nggak bisa nemuin alamatnya..." Mona terisak. "Kalo aja-kalo aja—" Mona tidak lagi bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Tante Marina telepon Ibu, dia nanyain Elata. Dia pikir Elata sama kamu. Tapi kamu bilang pergi ke Villa sendiri. Makin panik lah dia. Ibu sampe nggak bisa tidur lagi waktu dia bilang kemungkinan Elata diculik. Mereka cuma pesen kalo ada kabar dari kamu atau Elata langsung hubungin mereka. Terus temen kamu yang angkat telepon, dia bilang kalo Elata pergi sama kamu. Awalnya Ibu udah lega. Tapi Ibu nggak bisa lagi hubungin orang tua Elata buat ngabarin itu. Ibu nggak tau bakalan jadi kayak gini akhirnya, Noah. Maaf, Ibu nggak bisa lebih cepat telepon orang tuanya. Kasian sekali Elata."
"Bibi kaget, pintu kamar Bibi digedor ibu malem-malem. Katanya Elata diculik. Terus nelpon-nelponin orang. HP Elata juga nggak nyambung. HP Noah juga nggak diangkat. Mereka panik banget sampe nangis-nangis, terus mereka pergi naik mobil nggak tau ke mana. Bibi disuruh jaga rumah takutnya Elata pulang," Bi Raisan mengusap dadanya untuk menahan kesakitan. "Tapi yang datang malah polisi, mereka bilang kalo Bapak sama Ibu kecelakaan. Bibi nggak tau lagi setelah itu gimana, cuma bisa nangis. Bibi dibawa Pak Polisi ke rumah sakit. Bibi masih nggak percaya Bapak udah nggak ada. Kasian Elata, dia liat bapaknya udah kayak gitu...."
👑
Pemakaman akan selalu terasa dingin. Membekukan ingatan pada orang yang telah pergi. Menggali memori tentang orang tersebut, hanya untuk mengelak pada kenyataan sejenak. Usaha terakhir agar sosoknya masih berada dekat.
Sudah beberapa kali Elata jatuh pingsan saat proses pemakaman itu dilakukan. Ketika jenazah di kebumikan, ketika tanah gembur digali menutup lubang, ketika doa dipanjatkan. Noah hanya bisa memeluk perempuan itu erat. Tidak meninggalkan genggaman, kecuali tadi saat ia ikut turun menyongsong jenazah ke dalam liang.
Noah mencurahkan semua perhatiannya untuk Elata. Tidak sekali pun tatapannya tanggal pada seraut wajah kuyu itu. Membiarkan tangis perempuan itu meledak, dan menjadi satu-satunya suara yang keluar dari mulut Elata selain kata maaf lirih yang terus berulang.
Langit yang awalnya cerah kini kelabu. Para pengantar sudah kembali pulang satu per satu. Meninggalkan peristirahatan terakhir itu kembali lengang dengan bau air mawar, kembang, di atas tanah merah. Meninggalkan sunyi yang selalu menjadi simbol abadi tempat ini.
Elata masih betah duduk di samping batu nisan. Memandangi susunan nama Roy yang terukir di sana. Menyentuh tiap hurufnya seakan masih belum percaya. Beberapa kali perempuan itu akan diam, entah apa yang dipikirkannya meski napasnya diselingi sisa isakan. Mengorek bunga dan tanah, entah apa yang dicari.
Lalu tiba-tiba Elata menangis lagi. Meraung memegangi dada. Jeritannya tidak bertenaga, terkuras karena tangis sebelumnya. Namun terdengar semakin menyakitkan karena mampu mengiris sebongkah hati di dadanya.
"Papa... Papa...," Elata merebahkan kepalanya di atas tanah. Tangannya mencengkram tanah kuat. "Elata belum siap sendirian, Pa. Kenapa perginya kayak gini? Elata masih belum cabutin uban Papa karena Elata selalu bilang sibuk. Elata belum nemenin Papa cari kacamata baru. Elata belum ngelakuin apa-apa buat Papa. Belum kasih apa-apa. Siapa yang nungguin Elata kalo gagal nanti. Siapa lagi yang tiap subuh ketok kamar aku, Pa..."
Rintik hujan perlahan turun. Menetesi setiap jasad tak bernyawa di tanah pemakaman ini. Noah mendekat, yang dilakukannya dengan perlahan, seolah ia takut mengganggu duka yang sedang Elata rasakan. Dipayunginya perempuan itu, yang kembali menangis memeluk nisan seolah hujan tidak berarti apa-apa. Sampai tenaganya habis lalu kembali pingsan untuk kesekian kalinya.
👑
"Tolong gantikan bajunya, ya, Bi. Dia masih belum sadar, tapi bajunya kotor."
Bi Raisan mengangguk lemah. "Kamu mau dibikinkan makan?"
"Nanti, bareng Elata aja."
"Baju kamu kotor karena ikut turun ngangkat Bapak, ya tadi? Ganti baju aja dulu, Noah. Elata biar Bibi jagain di sini."
"Nggak papa, Bi. Cuma kotor sedikit."
"Pulang aja, nak Noah. Kamu kelihatan capek, gitu. Kamu juga yang ngurusin semua pemakaman Bapak."
Terhitung sampai hari ini, Noah sudah tidak tidur selama dua hari. "Aku nggak mau ninggalin, Elata, Bi."
Bi Raisan hanya menatapnya sendu. Tak ada bujukan lagi karena mungkin wanita itu juga tahu menyuruhnya pergi dari sisi Elata saat ini menjadi hal yang terlalu mustahil.
Ketika turun dari lantai dua, masih ada Mona dan Ginan di sofa. Ada beberapa tetangga datang berbelasungkawa. Juga Miranda yang langsung mendatangi Noah, memeluknya erat-erat.
"Gimana Elata?" tanya Ibunya.
"Tadi pingsan. Masih belum sadar, Bu."
Miranda memegangi wajahnya. Mencari tatapannya. "Gimana kamu?"
Sebisa mungkin Noah tidak ingin membuat Ibunya khawatir. Senyuman lemah diperlihatkannya. "Noah di sini dulu, ya, Bu. Mau nemenin Elata."
Miranda tampak mengerti. "Nanti Ibu kirimin baju kamu ke sini, ya." Lalu memeluk anak laki-lakinya kembali. Mengusap punggungnya yang lebar itu, yang kini dingin karena lembab terkena hujan. Seolah ingin meluruhkan apapun beban tak terucap yang dibacanya hanya lewat tatapan.
👑
"Kondisi Bu Marina sempat kritis. Sudah dilakukan operasi darurat karena organ dalamnya mengalami banyak pendarahan saat dilarikan kemari. Tapi yang lebih kami khawatirkan karena kepalanya mengalami benturan cukup hebat. Kami masih meninjau perkembangannya untuk bisa mengatakan sejauh apa cedera otak yang dialami pasien."
Penjelasan itu disampaikan seorang dokter yang baru keluar dari kamar rawat Marina. Noah mengucapkan terima kasih. Sang Dokter sempat melihat ke arah Elata. Perempuan itu hanya menempelkan dahinya di kaca, menilik ke dalam kamar ICU, tempat Mamanya berbaring dengan berbagai alat penopang hidup.
Sepeninggal dokter, Noah meremas bahu Elata. Perempuan itu ingin membuka pintu, tapi Noah menahannya dengan lembut.
Digenggamnya tangan itu pelan. "Kita belum boleh masuk, Elata."
"Tapi Mama..." suara Elata serak. "Sendirian..."
"Nanti, ya. Sekarang Mama diobatin dulu. Kalo masuk sekarang, nanti Mama keganggu."
Noah menuntun Elata mundur, duduk di kursi tunggu yang disediakan. Perkiraan Noah luput. Ia pikir Elata akan menangis sama seperti di pemakaman Papanya dua hari yang lalu.
Namun sekarang keadaannya justru jauh lebih mengkhawatirkan. Elata tidak menangis, tapi tatapannya kosong. Kedua tangannya sibuk mengikisi jari. Terlihat gelisah dan tidak nyaman.
Apa yang bisa aku lakuin untuk cabut kesakitan itu dari kamu, Ta?
"Aku beliin makan dulu, ya." Elata sudah melewatkan makan sejak hari pemakaman. Perempuan itu hanya mau minum. "Kamu tunggu di sini."
Di pos perawat yang tidak jauh dari ruang ICU, Noah menyapa salah satu perawat yang sedang bertugas jaga. "Siang, Ners. Maaf kalo boleh saya bisa titip pacar saya dulu? Dia di sana, di depan kamar ICU."
"Dibawa aja pacarnya, Mas. Jangan ditinggal sendirian."
"Dia nggak mau ninggalin Mamanya. Sebentar aja, Ners. Mau beli makan di depan."
Setelah Noah pergi, sang Ners memerhatikan Elata dari jauh. Karena sudah masuk jam pengecekan berkala, perawat itu pun menghampiri Elata. Mungkin pemandangan pengunjung rumah sakit, yang terlihat sedih tanpa harapan sudah sering kali dilihatnya. Membuatnya tak menaruh banyak simpati. Setiap hari selalu ada yang pergi.
Namun saat berada semakin dekat dengan Elata, perawat itu terkejut. Ia merogoh sakunya dan mendekati perempuan itu.
"Dek," ujar perawat, memberikan tisu.
Mata Elata berlari ke arah tisu yang disodorkan padanya. Namun Elata hanya tercenung melihat sodoran itu.
"Bibir kamu berdarah, itu dek." Kata perawat itu meletakkan langsung tisu ke tangan Elata. Lalu berlalu masuk ke dalam kamar rawat.
Elata menyentuh ujung bibirnya. Membawa darah merah pekat ke ujung jarinya. Rupanya karena ia mengigit bibirnya terlalu kuat, sampai bibir bawahnya robek. Dicecapnya darah itu dengan lidah.
Rasanya seperti logam. Lukanya perih.
Elata menggigit bibirnya semakin kuat. Karena apapun menjadi tidak ada apa-apanya dibanding dengan yang sedang menghantam dadanya tanpa henti saat ini.
👑
Setelah mengetuk pintu, Noah membawa nampan berisi makanan ke dalam kamar Elata. Perempuan itu berbaring di tempat tidur, masih dalam posisi yang sama seperti tadi siang saat kepulangan mereka dari rumah sakit.
Setelah bolak-balik menginap di rumah sakit, Elata masih juga tidak mau makan dengan benar. Makanan terakhir yang masuk ke mulut perempuan itu hanyalah dua gigit pisang tadi siang.
Noah meletakkan makanan di meja nakas. Lalu duduk di lantai berlapis karper di samping tempat tidur. Membuatnya langsung bisa menatap wajah perempuan itu yang sedang tertidur.
Sudah seminggu berlalu. Tidak ada perkembangan berarti dari kondisi Tante Marina. Tidak ada yang berubah dari kondisi syok yang dialami Elata. Perempuan itu masih lebih banyak diam. Matanya kosong. Semangatnya hilang.
Tangan Noah terangkat. Mengusap pelan dahi Elata. Ingin sekali ia melakukan sesuatu untuk bisa melihat satu senyuman lucu yang dulu selalu ada di bibir perempuan itu. Bukan justru plester luka di ujung bibirnya itu.
Tapi Noah cukup sadar, mungkin keinginan itu terlalu terburu. Elata masih butuh waktu untuk berduka. Ia tidak ingin mengejarnya untuk kembali seperti semula.
Hanya saja, melihat Elata seperti ini sangat menyakitkan untuknya.
Noah tercekat ketika Elata menyentak bangun. Seperti ditarik paksa, perempuan itu bangkit dan duduk dengan tergesa. Mencari ke sekeliling entah apa. "Noah, ayo pulang. Kita harus pulang." Dicengkramnya tangan Noah kuat hingga kuku Elata menancap di tangannya.
"Hei... Ssstt...," disentuhnya pipi perempuan itu. "Elata tenang, sayang..."
"Pulang, Noah. Kita harus pulang. Nanti orang tua aku nyariin!" Elata menatapnya dengan dahi berkeringat. Dua matanya membulat, penuh permohonan. Sepasang mata indah itu memerah, bibirnya terlihat kering. Lalu dengan perlahan bahu perempuan itu merosot. Ketegangan hilang di matanya. Memandang sekeliling, seolah baru saja dipukul kenyataan.
"Udah pulang ternyata..." gumamnya lemah, melepas cengkraman di tangan Noah.
"Makan, ya. Aku suapin."
"Belum lapar."
"Sedikit aja makannya mau, ya?"
Elata menggeleng.
Satu-satunya yang bisa Noah lakukan adalah memastikan Elata tidak jatuh sakit. "Mau liat Mama lagi nggak?"
Elata menggangguk.
"Mau masuk ke kamar rawat Mama?"
Anggukan Elata menguat.
"Dokter tadi bilang kalo kita sudah bisa masuk ke kamar Mama."
Mendengar itu Elata beringsut hendak turun dari tempat tidur, jika saja bukan Noah yang menahan tangan perempuan itu.
"Bukan sekarang, Elata."
"Kenapa?"
"Sekarang sudah malam. Besok aja kita liat Mama, ya. Di sana juga ada Bi Raisan yang gantiin kita jaga."
Elata menunduk, lalu mengangguk lagi.
"Nanti mau bawain apa buat Mama?"
Elata menatapnya, mengerjap.
"Mama punya sesuatu yang disuka? Selimut, atau benda pajangan?"
Elata berpikir sejenak. Tangannya mengikis kutikula yang dihentikan Noah dengan menggenggam tangan perempuan itu.
"Mama suka pelembab ruangan."
Noah tersenyum. "Kita bawain besok buat Mama, ya. Nanti kamu taruh di kamarnya. Biar Mama ngerasa kayak lagi di rumah."
Elata membalas tatapannya lebih bersemangat. Meski belum ada senyuman, tapi bisa Noah baca perempuan itu memiliki sedikit percikan di matanya.
"Jadi, mau makan sekarang?" tanya Noah hati-hati.
Kali ini Elata mengangguk, yang dibalas Noah dengan usapan senang di tangan perempuan itu.
Noah menggenggam mangkuk berisi bubur buatannya lalu menyuapi Elata. Perempuan itu makan dengan pelan, terlihat tanpa keinginan. Mengunyah hanya sebagai jalan. Makan hanya sebagai cara hidup untuk bertahan.
"Kalo Mama nggak bangun gimana?" gumam Elata.
Noah menyeka ujung bibir Elata yang terkena bubur. "Pasti bangun."
"Kalo... enggak?"
Noah menyendok lagi bubur, yang kali ini sendok itu berhenti di depan mulut Elata. Sepasang mata bening yang kemerahan itu menatapnya berharap, setengah memohon, setengah meminta.
Bisakah Tuhan mendengar doanya? Untuk tidak memberikan kesedihan lagi pada perempuannya ini?
"Pasti bangun." ucap Noah lagi. Seyakin yang bisa ia utarakan. Seyakin saat ia meminta pada Tuhan.
👑
Part ini jadi yang paling sulit aku tulis sepanjang TRP ini. Semoga apa yang ingin aku tunjukkan bisa kalian tangkap ya.
Hai... gimana kabar kalian?
Maaf kalau ada yang meleset dari rencana, atau bahkan nggak berjalan sesuai dengan yang kamu mau. Mungkin bukan gagal, tapi belum waktunya aja. Mungkin nggak sekarang, tapi kalau itu memang untuk kamu, pasti akan bisa kamu dapatkan.
Terus bahagia, ya. Karena doaku cuma satu itu.
Faradita
I love you in every word 🌬️🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top