XVI - Mobil Putih
Segalanya kamu adalah semua yang aku semogakan. Segalanya kamu, selalu menjadi apa yang ingin aku wujudkan.
👑
Hi... aku mau kasih info kalo mulai sekarang aku akan publish cerita ini secara terjadwal. Yaitu setiap hari jumat dan minggu jam 8 malam.
Terima kasih, love. 🌬️🤍
👑
Elata terjaga dari tidurnya karena kepanasan. Matanya mengerjap beberap kali sebelum membuka, dan yang pertama kali dilihatnya adalah tulang selangka indah milik Noah.
Elata berdiam diri, bahkan menahan napasnya. Ia perlu memproses, tentang kejadian tadi malam, tentang posisi berpelukan mereka sekarang, yang sontak membuat Elata seketika merona. Ia menggigit bibir demi menahan suaranya.
Di sofa yang ruang geraknya terbatas itu, Noah dan Elata sama-sama berbaring menyamping, berhadapan. Kepalanya berbantalkan tangan Noah. Tangan cowok itu memeluk pinggangnya. Dengan perlahan Elata mendongakkan kepala. Dan dari sudut ini, ia mengagumi sekali lagi ketampanan pacarnya.
Mmm... emang boleh seganteng ini.
Sudah jelas jika tadi malam adalah lonjakan hubungan kedekatan fisik mereka yang paling ekstrem. Bukannya Elata tidak tahu, Noah sudah sering kali terlihat menahan diri di dekatnya.
Dan tadi malam, adalah pertama kalinya Noah kehilangan kendali padanya. Ia tidak bisa menyangkal jika hal itu menggairahkan, sangat, tapi ia juga begitu mensyukuri jika lagi-lagi, di tengah kekacauan pikiran dan lonjakan hormonnya tadi malam, Noah memilih untuk menyelamatkannya. Sesuatu yang membuat Elata semakin mencintai cowok itu. Membuat Elata merasa sangat disayang dan berarti hanya dari bagaimana Noah memperlakukannya.
Perlahan Elata menyentuh tahi lalat kecil di hidung Noah dengan ujung jari. Mengagumi bulu matanya yang panjang, kulitnya yang mulus kecokelatan. Jarinya turun menyentuh bibir atas Noah, pelan tak ingin membangunkan. Bibir inilah yang tadi malam memagutnya dengan lihai, sampai membuatnya hampir melupakan segalanya.
Jari Elata masih bergerak perlahan, kali ini membelai bibir bawah Noah. Dan saat itulah kedua mata cowok itu terbuka. Elata terdiam, mengerjap, lalu tersenyum kikuk karena tertangkap basah.
Noah memajukan bibirnya untuk mengecup jari telunjuknya. "Morning, beautiful."
Elata tersenyum lebar. "Morning, handsome. Aku ngebangunin kamu, ya? Atau kamu pura-pura tidur dari tadi?"
Noah memeluknya lebih rapat, menatap turun padanya. "Lebih tepatnya nggak bisa tidur."
"Semaleman? Kenapa? Emang nggak ngantuk? Aku aja tidur dua kali. Apalagi cuacanya juga enak buat bobo. Eh, iya hujannya udah reda dari kapan?"
"Subuh tadi udah reda."
"Kamu kenapa nggak tidur?" Elata mengubah posisinya menjadi terngkurap di samping Noah, bertumpu dengan siku ia menyentuh bawah mata Noah. "Tuh, kantung mata kamu keliatan. Nanti kamu nyetir pulang juga."
"Iya," Noah mengusap punggungnya. "Gara-gara kamu."
"Kok, aku lagi? Emang aku ngapain? Aku nindihin kamu? Kamu nggak bisa napas? Kamu pegel tangannya aku jadiin bantal?"
"Nggak usah dibahas. Siap-siap sana. Lima belas menit lagi kita berangkat." Meski mengatakan itu Noah tak memindahkan tangannya dari punggungnya. Tidak ada yang berniat beranjak dari sofa.
Elata menilik jam dinding. "Masih jam 6 pagi."
"Terus?"
Elata menelungkupkan wajahnya di lengan atas Noah. Meski suaranya teredam tapi Noah bisa mendengarnya. "Masih mau di sini," lalu kembali menegakkan kepala. "Kamu belum jawab kenapa kamu nggak tidur?"
Noah diam, menyentuh dahinya dengan ibu jari, dan mengusap turun sampai hidungnya. "Elata, siap-siap ya." Lalu laki-laki itu bangkit, yang membuat Elata mau tidak mau ikut terduduk.
Elata memperhatikan Noah yang berjalan melewatinya menuju dapur mengambil untuk air putih. Saat laki-laki itu kembali, cowok itu juga membawakannya air.
"Mau mandi?"
"Mau. Tapi nggak bawa sabun muka."
"Ada aku beliin, kok." Noah berlalu ke dalam kamar.
"Emang kamu tahu sabun cuci mukaku yang mana?"
"Ada untungnya, kan ikut belanja bulanan." Cowok itu kembali dengan handuk bersih. "Cepet, ya. Kita perlu satu jam buat sampai rumah kamu."
Noah meninggalkannya ke teras sekadar untuk memeriksa mobil. Sedangkan Elata menuju kamar tidur dan bercermin. Wajahnya terlihat cerah. Ada rona merah samar di pipinya. Serasi dengan senyum yang tak mau tanggal itu. Elata menenggelamkan wajahnya di dalam handuk karena terlalu bahagia, meloncat-loncat kecil di atas kaki telanjangnya. Gerakannya itu membuat jaket Noah yang tersampir di kursi terjatuh. Bersama dengan sebuah kotak berwarna hitam yang keluar dari saku jaketnya.
Elata mengambil kotak itu dan menghampiri Noah yang baru saja masuk.
"Kamu beli ini?" tanya Elata sambil mengangkat kotak kontrasepsi itu di depan Noah.
Noah segera mengambil benda itu. Menyembunyikannya di saku. "Belum mandi juga? Aku tinggal, ya."
"Kenapa nggak dipake aja buat tadi malam?"
Noah yang sudah melewatinya langsung berbalik, terkejut. "Ngomong apa, sih, Elata."
"Kamu beli berarti kamu mau make, kan? Masa mau dibikin pajangan."
"Cuma buat jaga-jaga." Noah mengusap belakang lehernya.
Sangat jarang sekali Elata melihat Noah seperti ini. Cowok itu terlihat malu, salah tingkah, tidak berani menatap matanya.
Lucu banget mau cubit. Mau aku godain terus jadinya. "Jaga-jaga itu konteksnya buat keperluan mendadak, sebuah persiapan untuk kondisi darurat. Kayaknya tadi malam waktu yang tepat buat pake persiapan itu."
"Kamu ngomongnya ngelantur, ya."
"Loh, enggak. Aku cuma penasaran. Aku kira kamu nggak beli makanya jadi udahan."
Noah menatapnya tak percaya. "Bisa-bisanya kamu mikir mau lanjutin."
"Emang mau. Kamu yang nggak mau."
"Denger, Elata," Noah bersidekap. "Aku beli ini karena aku nggak percaya sama diri aku sendiri. Kalo pun aku berada di luar kendali, seenggaknya aku nggak akan nyakitin kamu. Tapi saat tadi malam kamu tanya apa aku beli kondom atau enggak, aku malah langsung sadar. Kalau aku make ini, yang paling dirugikan di antara kita itu hanya kamu. Dan aku nggak mau mengambil sesuatu dari kamu."
Elata terdiam.
"Nggak ada yang nggak aku suka dari menyentuh kamu, Elata. Tapi aku udah bilang ada batasnya, kan? Udah, ya jangan bahas ini lagi. Sekarang mandi."
"Emang kamu menyentuh aku di mana?"
Noah seketika bungkam. Matanya menghindar berlarian.
Senyuman Elata mengembang. "Muka kamu, kok merah?"
"Jangan mancing-mancing makanya." Noah terlihat salah tingkah di hadapannya. Itu hal baru yang Elata sukai, dan juga menggemaskan.
"Yaudah aku aja dulu yang siap-siap." Noah melarikan diri menuju kamar. Tapi Elata berhasil mengejar dan memeluk cowok itu dari belakang.
"Elata, kita nggak punya banyak waktu." Kata Noah mencoba lepas dari peluknya.
"Aku sayang banget sama kamu, Noah. Sayang sayang sayang banget. Kamu nggak bisa itung atau takar banyaknya."
"Elata,"
"Biar gini dulu bentar."
Namun Noah berhasil melepas pelukannya, bukan untuk masuk ke kamar mandi tapi berbalik menghadapnya. "Kalo mau ngomong gitu di hadapan aku langsung."
Elata tersenyum seperti hatinya yang mengembang. "Aku sayang kamu, Noah."
Noah merangkum wajahnya dengan tangan. "Aku sayang kamu, Elata."
Keduanya saling menatap, bicara melalui sorot mata yang berbunga. Mengisyaratkan segalanya dalam berbahasa senyuman serupa.
"Mau mandi bareng?" celetuk Elata, hanya ingin menggoda.
Senyum Noah segera luntur dan cowok itu menghela napas, melepaskan pelukannya lalu berjalan menjauhinya. "Kamu beneran bikin bahaya. Sana."
Elata mengikuti Noah. "Katanya biar cepet. Hemat waktu juga. Ayo bareng aja. Janji nggak deket-deket."
"Inget, ya. Jangan pernah kamu ngomong kayak gitu sama siapa pun."
"Oke, jadi mandinya?"
Seperti tadi malam, Noah berjalan mundur menghindari Elata. Sedangkan Elata mengejar. Noah memberikan jarak di antara mereka dengan sofa berada di tengah.
"Elata, stop!" Peringatan yang bercampur senyum itu malah mengundang Elata semakin ingin menangkap Noah.
"Stop apa?" Elata naik ke sofa.
"Stop mancing-mancing. Elata, jangan naik-naik."
"Kamu bukan ikan, ya nggak perlu dipancing segala." Elata menginjak sandaran sofa. Rupanya cukup melakukan itu saja Noah sudah datang menghampirinya. Cowok itu langsung mengangkatnya turun.
"Ini terakhir kali aku bilang. Cepet mandi."
"Emang aku kurang cantik sampe kamu nggak tergoda?"
Noah berkacak pinggang. Menghembuskan napas lelah.
"Oh, kamu juga yang lepasin bra aku." Katanya dengan wajah riang.
Berbeda sekali dengan Noah yang bersemu. "Perlu banget diomongin, ya."
"Emang kenapa? Kan bener kamu yang buka."
Kali ini tatapan cowok itu mengeras. "Okay, ini yang kamu mau, kan? Kalo gitu jangan lari."
Saat Noah berusah menangkapnya, Elata menjerit tertawa dan berlari menjauh. Ia berputar mengelilingi sofa dengan Noah yang berusaha menjangkaunya. Mereka saling mengejar, sampai Noah berhasil menangkapnya dengan memeluk pinggangnya. Elata tergelak. Air mata tawa berkumpul di ujung matanya. Cowok itu lalu menggendongnya di bahu, membawanya masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya dari luar.
Ini adalah hari ulang tahun terbaik yang pernah Elata miliki.
👑
Tepat pukul delapan pagi, mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah Elata. Rasanya ia ingin kabur lagi dari sana daripada harus menghadapi kemarahan orang tuanya. Tapi seperti yang Noah katakan, Elata tidak bisa menghindar dari konsekuensi ini.
Saat Elata menoleh, Noah juga sedang menatapnya.
"Doain aku ya dimarahinnya nggak lama-lama. Minimal dapet hukuman nggak boleh keluar rumah seminggu. Atau potong uang jajan. Eh, jangan jajan. Aku nggak bisa gantian beliin kamu es krim nanti."
Noah tersenyum simpul. "Nanti jajannya aku yang tanggung."
"Kalo itu setuju." Setelah merapal doa dalam hati, Elata menghembuskan napas yakin. "Oke. Udah siap."
Noah turun dari mobil untuk membukakan pintunya.
"Titip salam buat ibu, ya. Makasih udah anterin aku."
"Nanti disampein, setelah nganterin kamu ke dalam."
Elata tersentak. "Mau ikutan masuk? Jangan, Noah. Nanti makin rumit ngejelasinnya."
"Nggak papa. Katanya kamu takut. Biar aku temenin, kita hadapin sama-sama."
"Kalo tambah marah-marah gimana?"
"Kasih tau sejujurnya aja. Makin jujur, makin lega kamunya."
"Jujur yang jujur banget?"
"Iya."
"Soal yang tadi malam juga?"
Noah menghembuskan napas. "Ya enggak usah sampai sana. Kalo mereka tahu yang ada kita suruh nikah."
"Kamu nggak mau nikah sama aku?"
"Kamu lagi lamar aku?"
Elata mencubit pinggang Noah. "Emang nggak takut sama Papa?"
Noah mengusap pipinya. "Digebukin Papa kamu juga aku terima."
"Aku yang nggak terima."
Noah menggandengnya melewati taman depan sampai ke pintu. Rumahnya masih terasa sunyi. Padahal terbilang sudah pagi. Biasanya di hari minggu seperti ini, Elata mendapat izin bangun lebih siang. Jadi kemungkinan orang tuanya belum mengetahui ketidakberadaannya semalaman.
Namun cukup aneh kalau orang tuanya belum bangun. Setelah berada di bawah tangga, Elata memanggil Mamanya.
Namun tidak ada jawaban. Ia berganti memanggil Bi Raisan yang selalu bangun pagi. Tapi tidak ada juga terlihat keberadaannya. Bahkan tidak ada suara berisik di dapur. Seolah tidak ada siapa-siapa di rumah itu.
"Tunggu di sini, aku liat ke kamar mereka dulu." Kata Elata sebelum berlari mendaki tangga. Tidak berapa lama ia kembali turun dan kebingungan.
"Papa Mama nggak ada di kamar. Bi Raisan juga nggak ada. Aneh banget."
"Mungkin mereka keluar sebentar, coba telepon."
Elata menuju meja lampu di mana ada telepon rumah di sana. Mendial nomor Mamanya. Tapi langsung terhubung dengan kotak suara. Hal yang serupa terjadi saat ia mencoba menghubungi Papanya.
"Kok, nggak ada yang ngangkat?" ucapnya meletakkan ganggang telepon. Lalu raut wajahnya berubah gembira. Ia mendekati Noah lalu berbisik. "Mungkin mereka lagi ngerencanain sesuatu. Mereka suka nyiapin kejutan ulang tahun buat aku."
Elata yakin karena setiap tahunnya, Papanya yang akan menjadi pemimpin kejutan. Yang nilai kejutnya sudah berkurang karena selalu bisa ditebak.
Tiba-tiba ketukan kasar dan buru-buru di pintu terdengar. Bersahutan dengan bunyi bel yang ditekan tidak sabar. Elata dan Noah sama-sama berpandangan sebelum Noah yang beranjak ke pintu dan membukakannya.
Itu Ginan dan Mona.
Mona langsung berlari ke arah Elata, menerjangnya dengan sebuah pelukan teramat erat. Pelukan yang membuat cewek itu semakin menangis terisak. Sepertinya Mona sudah menangis dalam waktu yang lama hingga matanya sembab.
Elata membalas pelukan sahabatnya itu. "Kenapa, Mon? Ada apa?"
"Elata....El..." Bahkan suara Mona tidak bisa keluar dengan baik.
"Terjadi sesuatu di villa? Kenapa, Mon? Kenapa lo nangis?"
Tapi Mona tidak menjawab. Atau karena kesulitan bicara.
Ginan dan Noah berdiri tidak jauh dari sana. Noah menatap Ginan, mencoba mencari jawaban. Cowok itu terlihat tertekan, seperti menahan sesuatu yang sulit terucapkan.
Ginan kemudian menyerahkan ponsel Noah yang tadi malam tertinggal. "Baca pesan." Katanya singkat dan beranjak menuju Mona. Ginan melepaskan pelukan kedua sahabat itu, menggantikan posisi Elata untuk memeluk Mona.
Noah memerhatikan layar ponselnya yang menyala. Ada banyak panggilan tak terjawab. Puluhan pesan masuk. Ada satu notifikasi pesan terbaru, dikirim dua jam yang lalu. Isinya bisa langsung terbaca, yang seketika membuat Noah mencengkram ponselnya sangat kuat, hampir meremukkannya.
Suara decit ban mobil terdengar dari luar karena pintu rumah Elata yang terbuka lebar. Langkah-langkah praktis terdengar bersahutan. Bagian belakang mobil putih itu terbuka.
Noah berbalik ke arah Elata. Perempuan itu mematung, menatap ke arah luar pintu. Noah segera mendekat, melepas ponselnya entah kemana karena ia harus memeluk Elata.
Sayangnya, Noah tidak sempat menutupi mata Elata yang terlanjur melihat jenazah itu ditandu masuk ke dalam rumah.
👑
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Udah, gitu aja.
Kacau sih aku nulisnya.
Maaf nggak ada kata penyemangat.
Eh tapi, kalian pernah ngerasa di satu titik bahagia banget. Bahagia yang liat angkot lewat aja disenyumin. Seolah nggak ada hal buruk di dunia ini.
Terus tiba-tiba semuanya berubah dalam sekejapan mata. Semuanya hilang. Bahagianya hilang. Lalu ngerasa sedih yang sedihh luar biasa.
Saat kaya gitu kita harus apa, ya? Harus gimana?
Kalian jangan lupa makan, ya. Banyak minum air putih.
Sampai jumpa hari jumat 🙏🏻
Faradita
I love you in every word 🌬️🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top