XV - Can We Kiss Again?

Mungkin ini cuma hasrat menggebu, keinginan buru-buru, atau kebutuhan sementaraku menyentuhmu.
Tapi di atas segalanya, kamu yang memilikiku.
Aku yang memujamu.

👑

Dengan wajah yang basah selepas mencuci muka, Noah membiarkan titik air di dagunya jatuh ke wastafel saat menatap lurus ke cermin kamar mandi. Sebenarnya lebih efektif mengguyur tubuhnya dengan air dingin saja. Agar bisa meluruhkan gairahnya setelah sesi ciuman bersama Elata.

Jika Elata tidak mendorongnya tadi, mungkin Noah tidak akan segan melanjutkan lebih jauh. Kelelakian dalam dirinya tidak akan sempat berpikir rasional. Bahkan memikirkannya kembali saja sudah membuat Noah semakin menginginkan Elata.

Berada dalam situasi tanpa kendali adalah hal yang paling dibenci Noah. Ia lebih memilih tinggal di jalanan bersama sekolompok preman, daripada harus berada di rumah bersama Ayahnya, Ridha. Yang menyesali kelahirannya lalu menganggap Noah seolah tidak pernah ada di dunia ini.

Di jalanan ia memiliki seluruh kendali hidup. Tanpa harus merasa sungkan pada siapa pun, tanpa harus memikirkan perasaan siapa pun. Meski sekarang hidupnya sudah jauh membaik dengan kepergian Ridha, ia juga sudah bisa tinggal serumah dengan ibunya, namun ketakutan kehilangan akan kendali diri masih membayangi Noah jauh di dalam benaknya.

Terutama saat sedang bersama Elata.

Laki-laki dengan gejolak masa muda membara seperti dirinya perlu benar mengetahui sampai mana batasnya. Noah bukan orang suci, sering kali Elata membuatnya tergugah dengan tingkah lucunya yang tidak disadarinya itu. Dan biasanya, Noah akan mengambil langkah mundur dan menenangkan diri sebelum berhadapan dengan perempuan itu lagi.

"Putar balik! Putar balik! Ada longsor di depan. Jalanan di tutup!"

Begitulah teriakan pengatur jalan di tengah kemacetan arah menuju kota. Yang membuat Noah sempat kebingungan ke mana harus menuju. Dengan cuaca yang semakin buruk, terlalu jauh dan berbahaya jika mereka kembali ke villa Sintya. Noah berkali-kali menatap ke samping, pada Elata yang sedang tertidur di kursi penumpang.

Jam menunjukkan waktu setengah 11 malam saat Noah memutar balik mobilnya dan sampai di supermarket daerah itu. Ia sempat berpikir untuk menunggu di dalam mobil saja. Meski derasnya hujan begitu nyaring memukuli kaca mobilnya.

Namun akhirnya Noah memutuskan melajukan mobil ke villa ibu. Hanya karena ia tidak ingin membuat Elata kesakitan di seluruh badannya karena tidur di dalam mobil.

Terlebih, Noah juga ingin merayakan ulang tahun perempuannya.

Sejauh ini rencananya berjalan baik-baik saja. Sampai ciuman manis itu menyentil pengendalian dirinya. Merasakan mulut Elata membuatnya tidak ingin berhenti. Memeluk tubuh Elata membuat debar jantungnya menggila.

Noah tersenyum menatap bayangannya sendiri. Mengingat bagaimana Elata menciuminya dengan dalih agar Noah berhenti marah. Perempuannya itu sama sekali tidak tahu apa dampak dari tindakannya tersebut.

Satu-satunya kemarahan yang tertinggal dalam diri Noah sekarang adalah, keinginan berbahaya untuk mendekap Elata sepanjang malam. Ia marah karena merasa bersalah menikmati semua ini. Ia marah karena jauh di dalam dirinya, ia tidak ingin Elata pulang.

Tapi Elata berarti lebih dari segalanya. Bukan begitu cara ia mencintai perempuannya. Hasratnya memang ada, karena naluri kelelakiannya. Alasan Noah menahannya, karena ia mementingkan Elata.

Mungkin pertahannya bisa gagal jika Elata yang menyerahkan diri padanya? Noah tertawa tanpa suara memikirkan hal mustahil itu. Kepalanya pasti sangat kacau sekarang hingga hal itu menelusup di sela otaknya.

Saat keluar dari kamar mandi, terdengar suara TV menggema, tapi tidak ada Elata di sana. Ia menyusuri ruangan lain, hingga kembali ke dapur. Kulkasnya terbuka, cahayanya menyorot ke luar.

Perempuannya tengah berjongkok di sana. "Ngapain, Elata?"

Elata yang menunduk ke dalam kulkas rupanya terkejut, dan langsung berdiri tegak. Terburu-buru bahkan, sampai sikunya terantuk rak botol di dalam kulkas. Membuatnya meringis kesakitan.

Dalam waktu-waktu tertentu Elata bisa jadi sangat ceroboh. Saat gugup dan gelisah salah satunya. Menimbulkan rasa posesif ingin melindungi dalam diri Noah. Ia menahan senyumnya saat mendekat dan memeriksa siku Elata. Mengusap pelan. "Sakit?"

"E-enggak, kok. Sakit, sih. Dikit. Tapi karena malu jadi udah enggak sakit."

"Malu kenapa?"

"Nggak malu."

"Kamu tadi bilang malu."

"Masa? Mungkin salah denger."

Lihat, tingkahnya mulai lucu. "Cari apa di kulkas?"

"Cuma mau tau kamu beli apa aja tadi di supermarket. Hehe..."

Noah membuka pintu kulkas lebih lebar. "Ada cokelat. Mau?"

Elata mengambil cokelat itu dan mendekapnya di dada. "Apa lagi yang kamu beli?" sorot mata cantik itu penuh rasa ingin tahu.

"Cuma beli yang dibutuhin buat masak tadi, aja."

"Nggak ada yang lain... kayak... apa gitu,"

Apa yang sedang kepala cantiknya itu pikirkan. "Mau jajan apa emangnya?"

"Bukan jajan. Supermarket, kan gede," Elata melebarkan kedua tangannya ke samping. "Terus... banyak jual macam-macam... kita ke villa... kamu masakin makanan enak. Enak banget sumpah! Terus, kamu nggak beli.... apa-apa... gitu. Sesuatu yang lain. Yang bukan makanan."

Noah menutup kulkas dan bersandar di sana. Mencoba membaca isi kepala pacar cantiknya itu. "Sesuatu yang lain?"

Elata mengangguk-anggukan kepalanya. Lucu sekali.

"Aku beli permen." Sebatang lolipop diserahkannya. Elata menerima itu dengan dahi berkerut. Sepertinya bukan ini yang perempuan itu maksud.

"Yakin, nggak ada yang lain?"

Kali ini Noah memutar otaknya lagi. "Kamu mau kue ulang tahun?"

"Enggak-enggak! Bukan itu maksudku. Udah cukup banget sama masakan kamu."

"Aku nggak ngerti, Ta. Kamu ngomongnya nggak jelas."

"Yaudah cokelat dan permen ini aja cukup. Makasih, ya." Perempuan itu lalu berbalik memunggunginya, saat tiba-tiba lampu di seluruh villa padam seketika. Elata menjerit kecil. Lalu kembali berbalik dan menubruk badannya. Kedua tangan Elata melingkari pinggangnya erat ke dalam pelukan.

"Noah! Lampunya mati?!"

"Bentar aku cek. Kamu tunggu di sini."

"Nggak mau. Aku ikut."

"Yaudah lepas dulu."

"Nggak mau juga. Gelap banget aku takut nggak bisa liat apa-apa."

Noah menggigit bibirnya, gemas. "Nggak bisa jalan kalo sambil pelukan, Ta."

"Bisa, hitung sama-sama. Satu-dua-tiga, gitu."

Noah tergelak. "Nanti jatoh." Noah melepas pelukan Elata. Perempuan itu berganti menggengam bajunya erat-erat.

Dalam kegelapan itu Noah memeriksa laci dapur. Mencoba mencari pemantik, senter kecil, lilin atau apapun. Setiap dirinya bergerak menjangkau sesuatu, akan ada tarikan juga dari Elata. Memintanya untuk selalu dekat. Mungkin bajunya akan longgar nanti, tapi siapa yang peduli.

Villa ini memang sudah lama tidak digunakan. Bahkan Noah perlu beberapa kali berhenti untuk mengingat jalan menuju kemari. Karena itu juga persediaan pun sangat terbatas. Untungnya ia menemukan senter dan sebatang lilin.

Noah menyalakan senter dan wajah ketakutan Elata yang pertama dilihatnya. Perempuan itu masih memegangi bajunya, mengikutinya dengan langkah-langkah kecil saat menyalakan lilin dari api kompor.

Jujur saja, pacarnya ini terlalu menggemaskan.

"Aku baru tau kamu takut gelap."

"Aku juga baru tau." Katanya semakin kuat menarik bajunya. "Mungkin nggak listrik padam karena cuacanya buruk? Gimana kalo nggak nyala sampe pagi?"

"Udah ada lilin. Kamu tunggu di sini, aku liat meteran listrik dulu."

Elata semakin menarik bajunya hingga pakaiannya sedikit terbuka. "Ikut aja. Aku takut sendirian."

"Meterannya ada di luar. Nanti kamu basah."

"Yaudah nggak usah dicek."

"Katanya nggak mau gelap-gelapan."

"Biar aja, deh pake lilin ini aja."

"Cuma ada satu, Elata. Kalo baterai senternya juga abis gimana?"

"Makanya aku ikut."

"Di dalam aja."

"Ikuuutt."

"Elata, nurut ya."

"Nggak mau, Noah." Kali ini suara Elata bergetar. Seolah ingin menangis. "Jangan tinggalin aku sendirian."

Hati Noah mendadak rapuh hanya karena Elata merengek padanya. Ia pun mengalah. Mereka kemudian menyisir dinding menuju bagian depan villa dengan senter di tangannya. Berkali-kali ia memperingatkan Elata untuk melangkah dengan hati-hati. Saat membuka pintu depan, kegelapan lebih pekat menyergap. Tidak ada cahaya sama sekali selain dari senter yang dipegangnya.

Villa itu menghadap ke rerumputan luas tanpa bangunan. Berdiri sendiri di atas bukit. Seharusnya ada lampu jalan terpasang yang menerangi, tapi kini lampu itu juga tidak mati.

Noah membuka penutup meteran listrik. Untungnya memang hanya daya yang turun. Saat lampu kembali menyala, bersamaan terdengar suara salakan anjing dari kejauhan.

Elata memekik. Perempuan itu langsung melompat ke hadapan Noah. Membuat Elata terpeleset jatuh karena teras yang licin. Jika saja Noah tidak sempat meraih lengan perempuan itu dan menahan setengah bobot tubuhnya, pasti kepala keras Elata yang akan langsung menghantam ubin.

Rasanya Noah ingin mengikat perempuan ini agar diam dan berhenti membuatnya khawatir.

👑

—— cut scene ——

Part ini masih kelanjutan dari part sebelumnya, ya.

Tersedia di Karyakarsa dengan judul yang sama. Dan isinya cuma bumbu pedes manis. 😂
Jangan khawatir kalo kamu merasa nggak cocok dan terganggu, kamu bisa skip part ini karena nggak mengganggu alur cerita.

Karena masih ada beberapa belum mengerti cara baca di karyakarsa, berikut aku kasih panduannya.

1. Buka situs Karyakarsa.com dan cari akunku dengan nama @ faradisme


2. Pilih seri cerita dengan judul ini


3. Pilih judul yang mau dibaca


4. Klik tab koin


5. Pilih payment method atau cara bayar. Aku lebih suka Shopeepay karena mudah dan murah adminnya

6. Sesuai dengan pilihan cara bayar, akan diarahkan seperti ini.

7. Setelah selesai proses bayar, balik ke halaman tadi. Ceritanya bisa langsung terbuka.

Faradita
I love you in every word 🌬️🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top