XLVII - Fase Lima
Ternyata tidak perlu sempurna untuk disebut hidup.
👑
🎼 If The World Was Ending 🎼
👑
Panduan membaca :
Jangan iri, jangan dengki.
Tetap vote dan komen ya 🥰
☠️ Tantangan ☠️
Komen harus menggunakan capslok 😄
👑
Mobil Aston Martin Vantage berwarna hitam legam itu sudah berhenti di parkiran sepuluh menit yang lalu. Elata yang berada di bangku penumpang memandang gugup ke luar jendela di mana banyak mahasiswa berlalu lalang seolah akan ada serangan dari arah mana saja.
"Kalo berita kemarin jadi masalah gimana?"
Noah tengah mengigit roti yang mereka beli di jalan tadi. Elata tidak sempat membuat sarapan karena mereka bangun kesiangan. Elata yang kesiangan.
"Hadapin aja, Elata."
Elata menoleh, lalu menyeka ujung bibir Noah yang terkena cokelat. "Kamu kenapa impulsif banget, sih. Nyuruh Jefano posting berita tentang kamu segala."
Noah tersenyum, mengambil jari Elata yang terkena cokelat tadi dan menjilatnya. "Biar seru sekalian."
"Kalo bermasalah sama status pertukaran kamu gimana? Kamu bener-bener, deh."
"A," kata Noah menyodorkan roti cokelat. Elata mengigitnya dengan dahi masih berkerut. "Elata jangan khawatir. Paling disuruh balik ke London."
Elata menepuk bahu Noah dan kembali memandang keluar jendela. Kesal dengan nada enteng yang diucapkan cowok itu. Meski ia tau hal itu akan terjadi kurang dari lima bulan lagi, tapi ia tidak ingin memikirkannya sekarang.
Berbeda dengannya yang begitu gelisah, Noah tak terganggu sama sekali. Cowok itu justru merasa terhibur akan kegelisahan yang terpancar jelas di wajahnya.
"Elata, mau berapa lama lagi di sini?" Noah menegur, mengambil siku Elata lalu menariknya lembut. "Nanti telat kelasnya."
"Kamu beneran sama sekali nggak mikirin soal berita itu?"
Noah menggeleng.
"Sedikit pun nggak?"
"Kenapa kamu mikirin ini banget, Elata?"
"Karena kamu ngelakuinnya buat aku. Kalo terjadi sesuatu aku bakal ngerasa bersalah sama kamu, Noah."
"Ngelakuinnya buat pacar sendiri ini. Buat orang yang disayang ini," Noah menggenggam tangannya. "Jangan merasa bersalah karena tindakan aku tanggung jawab aku, Elata. Kamu cukup jadi lucu dan cantik kayak gini, aja."
"Noah..."
"Nggak papa, semuanya akan baik-baik aja selama ada kamu buat aku. Udah janji, kan nggak kabur-kaburan lagi?"
Elata mengangguk.
"Kalo gitu separuh masalah di hidup aku udah selesai," Noah mengecup punggung tangannya. "Ada Elata udah cukup buatku."
Kenapa Elata bisa sampai lupa kalo Noah punya mulut yang manis seperti ini? Kegelisahannya perlahan memudar hanya karena digenggam dan ditatap wajah tampan yang tengah tersenyum itu.
"Kalo temen band kamu gimana?"
"Hugo sempet nelepon kemarin. Kayaknya karena ada yang bawa masalah itu ke fanbase. Dia cuma nanya mastiin kebenaran aja."
Kedua mata Elata membulat. "Kamu jawab apa?"
"Aku iyain."
"Kamu dikeluarin?"
"Dia malah ketawa."
"Kok?"
"Kata Hugo ini justru bukan masalah besar," Noah menyentuh sisi wajahnya. Lalu menyentil dahinya. "Kepala cantik kamu ini yang selalu mikir berlebihan, Elata. Nggak semua kekurangan itu patut dipermasalahkan. Dunia nggak berjalan dengan hal-hal sempurna, kok."
Elata menghela napas. Sepenuhnya mengerti yang dikatakan Noah. "Kamu bener. Aku yang terlalu berlebihan."
"Kalo masih kurang yakin, Elata mau diturunin di halte depan aja?"
Padahal Elata-lah yang meminta mereka turun bersama di sini. Ia tadinya sudah yakin tak perlu lagi menyembunyikan hubungannya dengan Noah.
"Atau mau dipanggilin Adit?"
"Noah, aku mau ngaku," Elata mengeratkan genggaman tangan mereka. "Adit cuma temen, bukan pacar. Aku bilang gitu biar kamu nggak deketin aku terus. Jadi... terpaksa bohong... maaf,"
Elata menatap hati-hati pada Noah yang terdiam. Tapi sesaat kemudian bahunya mengendur setelah tadi sempat tegang. "Kenapa kamu senyum?" lalu matanya membulat. Menghentak genggaman tangan mereka. Elata menyilangkan tangan di depan perutnya. "Nggak mungkin kamu tau soal itu juga. Tau dari mana? Adit ngomong sama kamu? Nggak-nggak mungkin dia ngomong aneh-aneh. Emang kamu deket sama Adit sampai ngomongin hal ini? Kamu peramal atau gimana?"
"Elata," Noah menarik sikunya kembali, meminta perhatian. "Jangan lucu begini, Yang. Nggak kuat mau dibikin diem."
"Kamu udah tau tapi nggak bilang aku, pasti ngetawain aku ya di belakang?"
"Nggak diketawain, Elata."
"Sekarang aja senyum-senyum."
"Ini karena seneng bisa denger kamu bawel lagi."
Elata merasa panas di wajahnya sejak tadi. Entah karena malu, atau karena ia juga senang karena tidak ada lagi yang disembunyikan di antara mereka.
"Jadi taunya karena apa?"
"Udah sering aku bilang kalo Elata itu gampang dibaca. Sikap kamu ke Adit, sama aja kayak sikap kamu ke Jefano dan Ginan dulu."
Tampaknya memang Elata tidak pandai berpura-pura. Termasuk senyum yang juga menjumpai bibirnya sekarang.
"Jadi gimana? Mau turun di halte?"
"Nggak. Turun di sini aja."
Noah tersenyum singkat lalu mengecup tangannya sekali lagi sebelum turun. Memutari bagian depan mobil dan membukakan pintu penumpang. Cowok itu mengulurkan tangannya, mencoba memberikan keyakinan pada Elata.
Elata sudah lelah berlari, kan? Oleh karenanya ia mengambil uluran tangan Noah. Cowok itu mengubah tautan tangan mereka menjadi genggaman erat. Noah menutup pintu dan perlahan Elata mulai merasakan tatapan bersumbu ke arah mereka berdiri.
"Noah bareng cewek?!"
"Siapa, tuh anjir?"
"Itu yang kemarin mukanya ada di situs!"
"Lah iya!"
"Mereka ngapain dateng bareng? Pacaran?"
Elata dan Noah masih berdiri berhadapan di sisi mobil. Tanpa sadar ia menggeser kakinya mendekati cowok itu, seolah dengan begitu bisa menyembunyikan keberadaannya di sana.
"Deket-deket gini Elata mau minta peluk lagi? Masih kurang yang semalem?"
Elata mendongak, tak menyadari wajahnya yang berjarak begitu dekat dengan Dada Noah. Ia sontak melangkah mundur. Tak bisa terlalu jauh karena Noah masih memegang tangannya.
"Noah...," gumamnya gugup. Ia sudah bersusah payah menghindari topik itu sejak tadi pagi. Dan cowok itu mengungkitnya sekarang. Di tengah banyak orang sedang melihat ke arah mereka. "Jangan gitu ngomongnya. Kamu lagi diliatin."
"Wajar," Noah mengusapkan ibu jari di genggaman tangan mereka. "Aku lagi bawa bidadari."
"Sstt... udahan bikin aku malu." Elata melipat mulutnya mencegah senyum. Mulut manis cowok itu tidak membantu sama sekali.
Noah yang selalu tampil percaya diri itu sama sekali tidak kesulitan menghadapi banyaknya pandangan mata mahasiswa ke arah mereka sekarang. Justru cowok itu melemparkan senyuman ke semua orang. Mereka memecah kerumunan untuk membuka jalan. Elata masih menunduk sampai ia menyadari arah tujuan mereka.
"Noah, gedung kamu di sana."
"Mau anterin Elata dulu," sahutnya santai.
"Nggak usah, ya. Makin-makin narik perhatian aja."
"Coba dibiasain."
"Apanya?"
"Jadi pacar akunya."
Lagi, bibirnya gatal untuk tersenyum. "Nggak pernah bisa biasa kalo jadi pacar kamu."
"Seru?"
Senyum Elata terlepas. "Selalu mendebarkan."
"Sama kalo gitu."
Elata merasa dejavu kembali melanda. Perasaan familiar yang membuatnya nyaman dan bahagia ini menyelimutinya sekali lagi setelah sekian lama. Seolah sebelumnya ia tengah tersesat dalam pelarian yang begitu panjang, dan sekarang Noah sudah menariknya dan membawanya kembali pulang.
Elata mengeratkan genggaman, memeluk lengan Noah hingga membuat cowok itu menunduk menatapnya. Senyuman keduanya saling terbagi. Ia tidak lagi peduli pada tatapan sekitar. Ia tidak boleh lagi lupa, kalo Noah yang sudah pernah mengubah hidupnya dulu ini, kini sekali lagi menyelamatkannya.
👑
Elata tidak pernah membayangkan akan bisa menjalani hari yang seperti ini kembali.
Seperti yang dikatakan Noah, berita di laman situs itu bukanlah apa-apa. Memang beberapa hari berlanjut dengan bisikan yang kadang terdengar di sekitarnya. Tapi lama kelamaan, orang-orang mulai bosan dan kemudian melupakan hal itu. Tidak ada lagi yang menatapnya penuh ingin tahu atau penasaran. Semuanya kembali normal.
Bahkan, saat latihan untuk Gelar Pertunjukkan, Elata cukup tercengang ketika Rina dan Sri memeluknya. Sambil membisikkan betapa mereka ikut menyesal atas apa yang sudah menimpanya. Keduanya tidak menghakiminya, malah ikut prihatin. Mengatakan kalau apa yang dialaminya pasti berat dan menawari kapan saja Elata butuh teman bicara, maka mereka akan selalu menemani.
Elata melirik ke arah Noah yang duduk tidak jauh dari sana, cowok itu tersenyum. Yang membuat Elata juga terjangkit lengkungan di bibir.
Noah benar. Semua hal yang terjadi tidak seburuk yang di pikirkannya.
Begitu pula dengan Noah. Setelah tersebarnya fakta bahwa cowok itu mantan narapidana, sempat terjadi perpecahan di antara fans Interlude. Ada yang tidak lagi menginginkan Noah bergabung, tapi ada juga yang tetap mendukung.
"Jadi kamu dikeluarin dari Interlude?" tanya Elata ketika mereka sedang makan malam bersama.
"Aku kira itu juga pilihan yang bakal Hugo ambil," Noah menenggak minuman lalu melanjutkan. "Tapi tau nggak dia ngirim apa? Kontrak kerja buat ikut mereka tur yang udah sering aku tolak."
"Hugo sepercaya itu sama kamu, ya?"
"Mungkin," Noah tidak begitu yakin. "Kata dia, semua yang ada di band Interlude itu bukan orang suci. Semua pernah buat salah. Tapi bukan berarti kesalahan itu bikin hidup berhenti. Makanya waktu itu Hugo cuma ketawa liat berita itu."
Elata juga jadi lebih memahami arti dari manusia sebenarnya. Selama ini ia selalu menganggap kalau semua hal harus sempurna dan sesuai pada tempatnya. Tapi ternyata kita juga harus mengijinkan satu tempat bagi kesalahan. Bukan berarti sengaja melakukannya, namun kita yang tak pernah luput dari keliru ini pantas untuk mencoba kembali sebanyak apapun kesalahan terjadi.
Setelah selesai makan malam, Noah mencuci piring karena Elata yang sudah memasak. Sejak kembali tinggal bersama Noah, pembagian pekerjaan di apartemen ini terjadi sangat alami tanpa benar-benar didiskusikan. Saat Elata mencuci pakaian, maka Noah akan membersihkan rumah. Kalau Elata membuka tirai, Noah membuang sampah. Elata mengatur daftar belanja, Noah yang membayar semuanya.
Noah juga selalu mengantarnya. Ke rumah sakit untuk bertemu Mama, ke sekolah, bahkan tempat tutor. Padahal ia tau pasti Noah punya banyak tugas. Sempat ia menolak sekali, karena tempat tutor yang didatanginya berjarak dekat.
"Deket, kok. Naik bus sekali udah sampe. Nanti sampe sana langsung aku kabarin."
Noah yang sebelumnya sedang berada di meja gambar langsung berdiri. Melepas pensil dan kacamatanya. "Iya, tetep dianterin."
Elata mengikuti Noah yang mengambil kunci mobil di atas lemari sepatu. "Kamu, kan lagi nugas. Mending beresin itu aja biar nggak begadang lagi malam ini."
"Kenapa ini kok Elata jadi nggak mau dianter?"
Elata menarik-narik lengan cowok itu. "Nggak mau ngerepotin...,"
"Udah sering dibilangin kalo nggak repot. Harus digimanain lagi biar ngerti, Elata," Noah mengambil sepatunya dan berjongkok memasangkan. Kebiasan cowok itu yang sekali lagi sulit ditolak karena Noah selalu bersikeras melakukannya. "Pacarnya ini mau, kok direpotin. Mau nganterin ke mana-mana. Tinggal bilang aja, pasti diturutin."
Sepatunya sudah terpasang dan cowok itu berdiri di hadapannya. Hampir tidak ada yang berubah dari bagaimana cara mereka tinggal bersama, kecuali yang satu itu.
"Kalo gitu kenapa nggak pernah cium aku lagi?"
Noah tampak terkejut akan pertanyaannya, lalu mengusap mata sambil tersenyum. "Nggak pernah gimana, Elata?"
"Kamu ngisi kamar kosong buat aku," Saat Elata pindah kembali ke apartemen ini, kamar kosong yang sebelumnya tanpa perabot sudah terisi lengkap dengan tempat tidur dan lemari.
"Biar Elata tidurnya enak, daripada di sofa."
"Biasanya dipindahin ke kamar kamu,"
Noah mengekeh. "Bilang aja, ya kalo nanti mau tidur di kamar aku."
"Kamu bosen, ya sama aku?" Elata tau ini tidak benar. Ia hanya tidak ingin menyimpan perasaan. Toh, Noah yang memintanya untuk terbuka. Noah menjadi lebih menahan diri sekarang daripada dulu ketika mereka masih saling menyembunyikan perasaan.
Noah menunduk dan mengecup bibirnya, berbisik di depan wajahnya. "Nanti horny kalo tidur berdua, Yang."
Elata menarik bagian depan tshirt Noah, menahan cowok itu menjauh. "Harus digimanain lagi biar ngerti, kalo aku mau kamu."
Noah kemudian meraih pinggangnya mendekat, menyusupkan tangan berjari panjang itu di rahang Elata. Memegang wajahnya untuk didongakkan. Tubuh bagian depan keduanya kini melekat.
Ibu jari Noah mengusap bibir bawahnya. "Bilang apa tadi, Elata?"
Kedekatan itu membuat napas Elata tersendat. Tangannya memegang bisep padat dengan otot milik cowok itu. "Aku mau kamu, Noah."
"Mau diapain sama aku?" Wajah mereka semakin mendekat, hidung saling menggesek. Napas cowok itu menghantam bibirnya yang gemetar. Pinggangnya diusap diselingi remasan. "Elata mau dibikin basah lagi?" mulut Noah kini berpindah ke kupingnya. Mengulum sebelum memberikan jilatan di sana. "Suka emangnya?"
Suara rendah Noah turut membuat Elata gemetaran. Ia mengalungkan lengan di leher cowok itu sebelum mendongak menatap Noah dengan wajah memerah. "Aku suka selama kamu yang ngelakuinnya. Selama itu kamu, aku nggak pernah ragu sedikit pun."
Noah menatapnya dengan teduh dan penuh perasaan. Cowok itu menutup mata saat menempelkan dahi mereka. "Kamu ini, Yang."
Elata berjinjit agar lebih tinggi dan mencium lebih dulu cowok itu. bukan kecupan yang seperti dilakukan Noah tadi, tapi menuntut lebih dalam. Yang dibalas cowok itu dengan memeluk tubuhnya dengan satu tangan lalu melindungi kepala belakangnya saat mendorong Elata ke dinding di dekat pintu. Berdiri berhimpitan.
Ketika Elata terhanyut dalam ciuman Noah yang semakin dalam, pintu depan tiba-tiba terbuka. Butuh beberapa waktu bagi keduanya tersadar pada kedatangan seseorang. Noah dan Elata sontak berpaling, untuk selanjutnya tergagap saling menjauh. Mereka tidak mendengar bunyi pin ditekan. Tapi sosok yang berdiri di ambang pintu saat ini sudah bisa menjelaskan kenapa sosok itu mengetahui kombinasi kunci apartemen.
"Noah!"
👑
HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA
Elata bahaya banget! Noah sampe sakit kepala.
Siapa nih yang kira-kira datang?
A. Jefano
B. Aluna
C. Ginan
D. ......( isi sendiri)
Hi. kamu...
Gimana harinya? semoga kamu selalu mendapat kemudahan ya.
Mudah menerima kesalahan, mudah mengikhlaskan yang belum berjalan dengan benar, mudah bersyukur untuk hal sekecil apapun, mudah merelakan kalau hari ini belum baik sepenuhnya.
Nggak papa. Kita tempatnya salah. Besok masih bisa dicoba lagi.
Terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih juga karena menemaniku sampai di sini.
Kalau belum ada yang bilang, kamu itu luar biasa dengan cara kamu sendiri.
Faradita
I love you in every word.
Ps: hari ini, Elata di dunia nyata (Zhao Lusi) ulang tahun, selamat ulang tahun Lusi 🤍 makasih sudah membantuku membayangkan Elata.
dia main piano dong 😭😭😭 harus apa lagi aku ini?
Ps 2: apa ya kacamataan gitu mau apa?! 😡
Ps3: hehehe
Komen 5k lanjut hehehehe (maaf ngelunjak)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top