XLV - Selesai
Semuanya akan selesai jika aku menyerah. Semuanya akan selesai jika aku mengambil arah kembali mencarimu.
👑
🎼 Kim Yeon Ji - Words Of My Heart 🎼
👑
Panduan membaca:
1. Vote dan komen 🙏🏻
2. Jangan baca di tempat umum
3. Baca saat kamu sendirian
4. Sediakan sesuatu untuk dipeluk dan sekotak tisu
5. Jika bisa, usahain bacanya sambil dengerin lagunya hehehe
👑
Menurut teori, ada 5 fase berduka yang biasanya dialami oleh seseorang setelah kehilangan.
Pertama, fase denial atau penyangkalan.
Sebagaimana tubuh memiliki mekanisme perlindungan diri, menyangkal sebuah kehilangan juga termasuk cara otak untuk menolak menghadapi duka yang ada di depan mata.
Kedua, fase marah.
Seseorang yang berduka, lebih mudah untuk mengeluarkan kemarahan sebagai bentuk tidak terima kalau ia sedang mengalami peristiwa buruk. Amarah yang bisa ditujukan pada diri sendiri, orang lain atau menyalahkan Tuhan.
Ketiga, fase tawar-menawar.
Di tahap ini seseorang akan mulai merasakan rasa bersalah, baik pada diri sendiri atau orang lain. Kadang mereka juga mencari cara agar hal tersebut tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Keempat, Fase depresi.
Setelah segala upaya untuk menolak dan mengubah kenyataan pahit itu tidak berhasil, maka orang yang berduka akan merasa sedih, kecewa dan putus asa yang teramat dalam. Di sinilah proses terbentuknya sebuah luka batin.
Kelima, fase menerima.
Penerimaan adalah tahap akhir dari fase berduka. Mereka yang berada di tahap ini sudah menyadari sepenuhnya jika apa yang terjadi memang sudah benar-benar terjadi dan tidak dapat diubah, bagaimana pun caranya. Mungkin rasa sedih, kecewa atau penyesalan akan selalu tersisa, tapi mereka juga sudah mulai belajar dan menyesuaikan diri untuk hidup berdampingan dengan kenyataan itu. Menerima hal tersebut sebagai bentuk dari perjalanan hidup.
Entah berada di fase mana Elata sekarang. Setiap hari ia bangun hanya dengan harapan Mamanya bisa bangun. Setiap hari meyakini diri kalau itu adalah satu-satunya kesempatan untuknya memperbaiki kesalahan.
Elata menghembuskan napas lelah entah keberapa kalinya. Ia memang tidak bisa tidur semalaman.
Bukan karena kamar kost barunya yang asing, tapi karena pikirannya yang sibuk. Berpusat pada satu sosok yang kembali disakitinya.
Melihat Noah yang mengantarnya pergi, masih mengejarnya seolah Elata sangat berarti, bahkan mengorbankan dirinya sendiri untuk melindunginya membuat Elata terjerat rasa bersalah semakin menjadi-jadi.
Matanya perih terkena angin yang berhembus di kursi pinggir danau itu. Suara ramai riuh yang mengisi telinga, tak seberapa berisik dengan isi kepalanya yang carut marut.
Ponselnya bergetar, Elata menjawab bahkan tanpa melihat.
"Sudah ditransfer, Om." ujarnya bahkan sebelum si penelepon bicara.
"Kurang, lah. Udah berapa lama lo absen ngirimin gue. Jangan bilang nggak ada duit. Minta sama pacar lo yang tajir itu."
"Dia bukan siapa-siapa."
"Alah, lo aja tinggal sama dia. Gue liat sendiri lo masuk apartemen mewah, naik mobil mewah sama dia. Lo kira gue nggak tau?!"
Elata memijat dahinya. "Sekarang aku udah nggak tinggal di sana."
"Jangan ngibulin gue, goblok! Kenapa pindah gue tanya? Takut gue samperin pacar lo terus mintai dia duit? Harusnya lo porotin si Noah itu. Nggak usah capek kerja, duit gue juga aman tiap bulan."
"Om," Elata menatap jauh ke perbatasan danau. "Sampai kapan aku harus kayak gini?"
"Sampai kapan apanya? Tanggung jawab lo ke gue?" Om Lukman berdecak. "Sampai ada yang mati di antara kita berdua. Anggap aja ini hukuman karena lo jadi anak pembangkang. Gara-gara lo—"
Elata mematikan sambungan dan mengantongi ponsel. Sampai ada yang mati di antara kita.
Elata merasa sangat lelah. Atas rasa bersalah yang ditanggungnya, penyesalan yang tak berkurang kadarnya. Ia menyadarkan kepala, memandang ke langit luas di sore itu. Tak ada yang bisa mengerti, bagaimana rasanya terpaksa meninggalkan kebahagiaan. Seperti tengah berjalan mundur dengan mata tertutup, di atas jembatan dengan hamparan beling menusuk.
Pandangannya kembali pada danau luas yang lapang di hadapannya. Terasa sejuk. Ingin rasanya Elata berenang di sana, hanya untuk sejenak menghentikan kebingungan. Melupakan rasa sakit akan bersalah dan penyesalan. Sedikit saja ia ingin meluruhkan beban..
Matanya dibuat semakin perih. Elata mengangkat kaki naik ke kursi, memeluk lutut dan menyandarkan kepalanya di sana. Memeriksa sejauh apa lubang di dadanya sudah terkoyak. Tapi bukankah memang ini yang harus dirasakannya. Daripada bahagia, sudah sewajarnya ia berdampingan dengan rasa sakit sebagai hukuman atas kesalahannya.
Mana boleh ia merasa begitu dicintai seperti itu oleh Noah. Mana boleh ia tersenyum lepas di pelukan cowok itu. Ia hanya berharap lama-kelamaan Noah akan sadar, kalau Elata tidak seberapa pantas dikejar.
Elata kira ini akan mudah. Seperti sebelumnya. Tapi kenapa sekarang hatinya jauh lebih sakit? Karena ia tau Noah tidak akan mau berhenti. Karena ia tahu, sejauh apapun ia berlari, perasaannya akan terus membesar setiap hari.
Sebuah hantaman keras tiba-tiba mengenai kepala Elata. Tubuhnya sempat oleng hingga kakinya terjatuh turun dari kursi. Memegangi kepala, sebuah bola sepak yang tadi mengenainya itu menggelinding jauh ke samping.
Elata membungkukkan badan. Kepalanya berdengung dengan sakit yang mencengkram. Suara langkah kaki mendatanginya. Seorang anak remaja, mengucapkan maaf berulang dan mengaku tidak sengaja. Lalu suara lain menanyakan keadaannya. Yang lain lagi panik meminta memanggil ambulan. Suara lain lagi sibuk meminta pertolongan. Semakin berisik. Elata tidak tahan.
Lalu satu suara dibumbui panik membuat kedua mata Elata tiba-tiba membuka. Dengan rasa pusing yang ditanggung kepala, ia menegakkan tubuh dan berdiri ke hadapan orang yang tadi bicara.
Itu adalah pedagang starling yang selalu mangkal di sini. Laki-laki dengan topi ember dan kumis tebal yang selalu menyapanya ramah.
"Mas... tadi bilang apa?" tanya Elata.
Laki-laki itu terkejut, sembari menutup mulut dan tampak menghindari tatapannya. Jelas karena merasa sudah mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya.
"Tadi saya denger kamu bilang sesuatu," Elata melihat sesuatu yang tak asing. Tato yang coba disembunyikan di bagian leher. Dengan denyut jantung memacu hebat. "Tunggu," Elata menarik lepas topi yang dikenakan penjual starling itu. Rambutnya dicat merah.
Nggak...nggak mungkin. "Lo?!"
Merasa tidak bisa lagi mengelak, laki-laki itu melepas kumis palsu juga syal yang menutupi leher penuh tatonya dengan gerak lemah. Elata tersentak mundur dan terduduk kembali di kursi.
Laki-laki itu menatapnya tidak nyaman. Lalu memberikan kode pada orang-orang yang mengelilinginya sekarang. Tenggorokan Elata seakan terhambat ketika menyaksikan tukang becak, pedagang asongan, penjual balon, serta orang-orang yang sudah sering dilihatnya di danau itu masing-masing melepaskan penyamarannya.
Mereka bukan lagi sekumpulan pedagang, melainkan sekelompok preman.
"Sorry, Ta,"
Seluruh tubuh Elata bergetar hebat. Saat lidahnya yang kelu, mengucapkan satu nama familiar.
"Viktor...,"
👑
"Telepon Noah, cepet!"
Teriakan panik Viktor saat Elata terkena hantaman bola itulah yang membuka kesadarannya. Ia masih terduduk diam dengan tubuh melemas tak percaya. Kepalanya yang penuh mencoba merangkai segalanya.
Viktor, ketua geng preman itu berjongkok di depannya. Menanyai keadaan kepalanya. Meminta maaf atas penyamarannya. Menceritakan segalanya dengan terbata namun tersaring jelas di telinga.
Namun tidak ada kata yang keluar dari Elata. Ia lalu berdiri, menatap satu per satu wajah preman di sana. Dengan linglung dan penuh keterkejutan, ia melangkah pergi tanpa arah.
Namun setelah keterkejutannya berangsur lenyap, Elata segera mempercepat langkahnya. Semakin cepat hingga ia bukan lagi berjalan melainkan berlari mengelilingi danau. Beberapa kali menabrak beberapa pejalan kaki. Terjerembab hingga lututnya membeset aspal. Namun seolah itu bukan hal penting, ia tak ingin mengendurkan larinya.
"Sorry, Ta. Sorry banget. Mereka semua temen-temen gue. Sumpah kami nggak ada niat jahat. Kami cuma mau ngawasin lo aja. Penyamaran ini biar lo nggak ngerasa terganggu."
Suara guntur menyahuti petir yang melintas di atas kepalanya. Hujan dengan sangat cepat turun, membuat jarak pandang menyempit. Elata masih berlari menerobos hujan melewati kawasan gedung tinggi itu untuk sampai di gedung Evander Residence.
Dua satpam yang sudah dikenalnya itu menyambut Elata yang datang dengan berlari dan basah kuyup. Tubuhnya menggigil ketika pendingin ruangan menerpa. Mereka menawarinya payung, minum, mencoba menanyakan apa yang terjadi tapi Elata tidak bisa bicara karena napasnya putus-putus.
"Selama ini kami menyamar di sekitar lo, biar bisa jagain dan bantuin lo."
Elata meminta izin untuk naik ke lantai 27. Yang mana itu mustahil karena Elata tidak memiliki kartu akses dan harus penghuni sendiri yang memberi izin. Ia memohon pda satpam dengan suara gemetaran. Beruntungnya, karena satpam di sana sudah mengenalnya, maka salah satunya mau mengantarkan. Suara deru mesin lift dan lampu angka yang berpindah terasa sangat lama dan menyiksa.
"Mbaknya beneran nggak papa?" tanya Satpam yang dibalas Elata tanpa suara.
"Semua ini atas permintaan Noah, Ta. Dia yang minta kami buat jagain lo diem-diem."
Saat lift sampai dan terbuka, Elata mencapai pintu dengan sesak di dada. Tangannya yang mengerut karena dingin kesulitan memasukkan pin angka. Begitu pintu berhasil terbuka, Elata segera menghambur masuk dengan jejak kaki lembab.
Debar jantungnya menggila, hampir terasa sakit saking kerasnya. Ingin sekali rasanya berteriak memanggil, tapi lidahnya seolah mati. Napasnya begitu cepat. Suaranya lenyap. Ia mendatangi kamar Noah yang terbuka tidak terkunci.
Kamar itu berantakan. Banyak kertas bertebaran di lantai, namun tempat tidurnya rapi seolah tak pernah dipakai. Tidak ada Noah di sana. Elata terpikir untuk menelepon, tapi sesuatu di atas meja lebih dulu menarik perhatiannya.
Sebuah buku sketsa, dengan warna serupa yang pernah Noah berikan padanya dua tahun lalu. Lembarnya menganga terbuka. Tepat di halaman dengan arsiran pensil, yang menggambarkan wajah Elata. Gambarnya sedang tersenyum, mengenakan bando bertelinga kucing.
Dorongan untuk terisak begitu kental, tapi Elata menghadapi buku sketsa itu sambil menekan dadanya kuat-kuat. Tangannya yang basah, bergetar menyentuh ujung kertas, membuka halaman sebelumnya. Lalu terduduk di kursi Noah karena tenaganya tiba-tiba terkuras habis.
Bibirnya bergemeretak, seluruh tubuhnya pun gemetar. Karena rupanya seluruh isi buku sketsa itu adalah gambar dirinya.
Gambar Elata sedang naik sepeda.
Gambar Elata sedang duduk di bangku tepi danau.
Gambar Elata sedang mengajar di sekolah.
Gambar Elata sedang membeli roti.
Gambar Elata duduk di kamar rawat mamanya.
Gambar Elata, dengan rambut pendek sedang membagikan pamflet di pinggir jalan. Itu adalah pekerjaan pertamanya. Dua tahun lalu.
Isakan tangis melesak keras keluar dari tenggorokannya. Tidak dapat ditahan air matanya menyatu dengan jejak basah hujan. Kepalanya sakit. Berputar pusing, tapi sesak di dadanya terlalu pekat sampai menarik napas pun ia kesakitan. Kedua tangannya menutup wajah, air matanya terus mengalir. Tubuhnya berguncang hebat, tersengal oleh air mata, saat menyadari jika selama ini Noah tidak pernah pergi dari Elata.
Noah selalu berada di sisinya.
👑
Matanya mengerjap berat karena entah sudah berapa lama ia menangis di kamar Noah. Sampai suara bunyi pintu depan terbuka, disusul banyak suara dan langkah kaki yang menggema nyaring karena sunyi sebelumnya.
"Selamat datang di istana tuan muda," itu suara Jefano. "Kita harus pergunain waktu ini sebaik-baiknya. Soalnya jarang-jarang banget si babik mau apartemennya dipake buat nugas.."
Elata yang setengah menggigil, pusing yang teramat sangat di kepala berusaha beranjak dari kursi dan menuju pintu kamar. Di sana ada Jefano dan lima orang lain yang tidak dikenalnya. Masing-masing dari mereka membawa drafting tube dan sedang sibuk berbincang.
Hati Elata teremas ketika ia tidak menemukan sosok Noah di sana.
"Gimana kalo pesen makan? Atau mau—," kalimat Jefano langsung terputus karena cowok itu melihatnya. "Elata?"
Semua kepala berpaling ke arahnya. Penampilannya tentu saja berantakan setelah menerobos hujan. Tapi siapa peduli. "Di-mana... Noah?" Elata tidak tahu jika suaranya seserak itu.
Jefano yang belum selesai terkejut itu, dengan mulut terbuka mengangkat tangan menunjuk ke belakang kepalanya. Saat itulah pintu masuk kembali terbuka. Noah masuk menatap layar ponsel dengan dahi berkerut, sebelum menatap ke depan dan menemukannya.
Elata semakin menggigil. Entah karena dingin atau karena dorongan besar yang melanda dadanya. Ia tidak peduli apapun lagi. Tidak peduli pada teman-teman Noah yang sedang memandanginya penasaran.
Noah perlahan melewati teman-temannya. Tatapan cowok itu tertuju lurus pada Elata.
Elata tidak tahu jika lututnya berdarah. Yang ia tahu air matanya jatuh ketika pijaknya mengencang di lantai dan berlari menuju Noah. Menabrak cowok itu ke dalam pelukan. Sampai Noah harus mundur selangkah ke belakang. Air matanya turun semakin banyak. Semakin sesak. Ia hanya ingin menenggelamkan wajahnya di dada cowok itu. Memeluk Noah selamanya.
Lama hening menggantung di sana, sampai Jefano berdeham. "O-okay. Perubahan rencana. Kayaknya ngerjain tugasnya ditunda dulu. Sekarang kita cari makan aja di luar. Gue yang traktir. Jangan bacot ayo cepet keluar. Nggak-nggak usah kepo lo sama urusan orang. Jangan kayak banci semuanya segala pengen tau! Cepetan keluar!"
Oleh giringan Jefano, semuanya keluar satu persatu. Pintu menutup meninggalkan sunyi yang dicampur tangisan tertahan Elata. Hujan masih mendera turun di luar jendela yang tirainya belum ditutup.
Elata tahu seberapa kejam dirinya memperlakukan Noah. Baru kemarin ia meninggalkan cowok itu, lalu sekarang dengan tidak tau diri datang kembali bahkan dengan berani memeluk.
"Elata..."
"Tunggu..., jangan dilepas. Sebentar dulu..."
Noah menyentuh lengannya yang melingkar di pinggang cowok itu, mencoba melonggarkannya. Namun Elata mengeratkan pelukan. Tidak rela memisahkan diri.
"Sebentar aja," isaknya. "Mau begini sebentar lagi."
"Elata...,"
Lagi racauan kacau itu keluar dari mulutnya. "Tadi di danau.... Ketemu Viktor... dia bilang... aku dijagain... diawasin... ditolongin... kamu...,"
Noah lalu menyentuh sisi kepalanya, meminta Elata mendongak agar keduanya bisa saling bertatap dalam pelukan. Matanya yang basah mengerjap hingga air mata kembali jatuh, mengalir mengenai jari Noah. Lututnya sudah lemas, sepenuhnya Elata bertopang pada tubuh cowok itu.
"Kamu... aku tahu kamu...," isaknya mengganggu setiap kata. "Selama ini... kenapa...nggak..."
Noah menyeka air matanya di pipi dengan ibu jari. Sangat lembut yang membuat air matanya terus mengalir turun.
"Kenapa... nggak bilang, Noah?" adalah tanya yang berhasil terangkai dengan tepat di antara isaknya.
Noah menatapnya, membingkai pandangan ke seluruh wajahnya, sarat akan kerinduan. Ibu jari cowok itu mengusap ujung matanya.
"Elata udah selesai larinya?"
Mata Elata kembali menggenang, mengetahui jika selama ini Noah sudah menunggunya. Elata menganggukkan kepala kuat sampai air matanya jatuh lagi.
"Udah nggak akan kabur-kaburan lagi?"
Elata kembali menggangguk. Ia tidak ingin peduli apapun lagi. Ia menampik segala ketakutan yang bersarang di kepala, dan memilih mengikuti hatinya.
Noah mengusap ujung bibirnya. "Jawab pake mulut, Elata."
"Aku udah selesai kaburnya," Elata mengeratkan pelukan, "Nggak mau kemana-mana lagi. Aku mau sama kamu."
Senyuman terbentang di wajah tampan cowok itu. Noah lalu menunduk dan mengecup dahi Elata lama. Kemudian mengambil alih pelukan semakin erat di antara mereka. Tangan cowok itu merangkul pinggangnya, juga memegangi belakang kepalanya. Menenggelamkan Elata dalam sesak nyaman yang hangat. Kakinya bahkan berjinjit dibuatnya.
Seperti kembali pulang.
"Akhirnya," Noah berbisik rendah, mencium sisi kepalanya. "Aku punya kamu lagi, Elata."
👑
Yang ingin kalian katakan pada Elata 👉🏻
Yang ingin kalian katakan pada Noah 👉🏻
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Nggak tau sih perasaan aku nulis ini ampun-ampunan bapernya. Sampai orang di sebelah mejaku ngeliatin aku yang uring-uringan sendirian.
Udah, ya. tamat aja di sini. jangan diterusin nanti aku makin kesasar sama Noah. Susah baliknya ini. Aku jadi sayang banget sama dia. 😩
Hai, kamu.
Ada banyak cinta yang aku dapat saat menulis cerita ini. Ada banyak yang ikut menyayangi cerita ini. Terima kasih untuk semua itu.
Jika kamu penasaran, orang yang bisa memberikan cinta, juga pasti bisa mendapatkan cinta yang sama besarnya.
Mungkin bukan sekarang. Tapi pasti akan datang.
Faradita
I love you in every word
Ps : ada yang komen, kalo mau uncut bilang-bilang. Hehehehhe iya nanti aku kasih tau 😳
Ps 2: udah selesai ya larinya Elata 🏃🏻♀️
Ps 3: Noah 🥹💓
Ps 4: saya menyerah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top