XLIV - Berhenti

Butuh keberanian untuk mencintaimu, dan berhenti melewatkanmu.

👑

🎼  Haley Reinhart - Can't Help Falling In Love  🎼

👑

Panduan membaca:
1. Vote dan komen 🙏🏻
2. Part ini dan part depan sangat krusial. Memasuki puncak konfliknya. Dimohon kesabarannya sedikit lagi 😃🫵🏻
3. This part dedicate to @Arahkata @Healing_unicorn @meymei104 @vivihmuvlihah
You rock guys 🤝

👑

Suara berisik dari luar terdengar ketika Elata menutup pintu kamar kostnya. Ia sudah sempat bertemu sapa dengan ibu kost tadi malam. Tapi tidak dengan penghuni lain, yang sekarang sedang ribut di depan pintu keluar.

"Anjir, manusia apa bukan? Cakep banget!"
"Mobilnya gileee... kagak tau tipenya tapi baunya mahal."
"Aston Martin itu. 2M kalo kagak salah."
"Buset. Tau dari mana lo?"
"Yee... gue sales mobil!"
"Ngapain dia disitu? Nungguin siapa? Masa ada tuan putri di kost kita?"

"Permisi," seru Elata pelan. "Maaf, boleh lewat sebentar."

Lima kepala di depan pintu itu menoleh ke arahnya. Lalu tersenyum kikuk dan membuka jalan keluar untuknya.

"Sorry-sorry kita lagi ngintipin cowok cakep."

Elata sudah tau siapa yang membuat seluruh penghuni kost di sini menjadi heboh. Entah kenapa ia pun tidak terkejut. Saat melihatnya, cowok yang tadinya bersandar di badan mobil itu langsung menegakkan tubuh, tersenyum padanya.

Kalo begini, apa artinya Elata pindah?

"Kamu ngapain, Noah?" Mobil cowok itu menghalangi pintu keluar. Bahkan tetangga sudah keluar dari rumah, mengintai karena mobil mencolok itu begitu menarik perhatian.

"Mau jemput Elata," sahutnya enteng.

"Tau dari mana alamat kostku?"

"Nanya Adit," Noah membukakan pintu. "Pacar lo itu emang baik."

"Nggak. Aku mau berangkat sendiri." Elata kira Noah akan memaksa, tapi cowok itu justru mempersilakannya lewat dengan ayunan tangan seperti seorang pengawal pada sang putri.

Saat menoleh ke belakang Noah kembali memasang kacamata hitamnya seraya melambaikan tangan dengan senyum.

Rupanya gagal menjemput, membuat Noah nekat membuntuti bus yang dinaikinya hingga sampai di halte. Yang turut berlanjut mengikuti langkahnya sampai memasuki pelataran kampus.

Tidak sampai disitu saja, Elata mendapat tiga kiriman cokelat dalam kurun waktu setengah hari. Entah dititipkan pada teman sekelas atau seperti Jefano yang menghampirinya saat ini.

"Kayaknya gue bakal jadi kurir selama lo belum mau balikan sama Noah," kata Jefano mendesak cokelat ke tangannya. "Jadi dimohon kerjasama hatinya, biar kaki gue nggak gempor bolak-balik gedung arsi dan musik."

"Bilangin sama dia nggak usah kasih ini."

"Lah, yang ada gue digamparin. Kalo nggak mau bilang sendiri sama manusianya, oke. Semangat, Ta. Noah udah nggak pake rem lagi soalnya."

Sudah jelas. Noah tidak bisa dihentikan.

Yang paling parah, mereka menjadi partner tampil di acara Gelar Pertunjukkan.

Elata yang duduk di kursi lipat dengan meja putih itu terbata. "Kalo... dibatalin duetnya bisa, nggak? Maksudnya... kami tampil sendiri-sendiri aja. Takutnya kalo dipaksain, apalagi waktu latihannya terbatas, malah jadi kurang performanya."

Sri yang duduk di sebelahnya menimpali. "Tapi Noah sendiri yang minta. Kalo lo mau batalin duet, bisa-bisa dia jadi berubah pikiran terus nggak mau dateng sama sekali. Mana sempat lagi cari tamu pengganti."

"Nggak, kok. Dia orangnya baik."

"Jangan ambil resiko deh, Ta." Rina menimpali. "Lagian ini Noah. Lo tau saat gue kasih unjuk tamu kita dia, ini semua anak musik jadi pada semangat banget buat dateng. Malah ada yang sukarela jadi panitia."

"Tapi—"

"Kata lo anaknya baik, terus kenapa mau dibatalin?"

Terdengar suara gaduh dari luar yang semakin jelas mendekat. Saat pintu ruangan terbuka, Noah datang dengan dibuntuti banyak mahasiswi di belakangnya. Sekali lagi, kehadiran cowok itu selalu mencolok dan menarik perhatian.

Rina dan Sri menyambut dengan girang. "Thanks ya udah mau sempetin dateng. Gue tau anak arsi bukan main sibuknya."

"Nggak masalah," Noah menatap Elata sekilas lalu duduk di sampingnya. "Jadi gimana?"

"Okay, karena performer yang lain sudah bersiap dari bulan lalu, tinggal kalian berdua yang harus agak extra buat latihan. Soalnya waktunya udah mepet," ujar Rina. "Kalian udah tau mau bawain apa?"

Noah menatapnya. "Gue terserah Elata."

"Kenapa aku? Harusnya kamu yang pilih. Kamu, kan yang mau duet."

Noah malah tersenyum. "Gue ngikutin apa yang bikin lo nyaman aja."

"Yang nyaman itu kita nggak usah duet."

"Elata nggak ada temennya nanti."

"Aku nggak perlu ditemenin."

Rina dan Sri saling berpandangan. Keduanya tidak mungkin salah menebak jika ada sesuatu di antara Noah dan Elata.

"Oke-oke, gini aja. Gue kasih waktu buat kalian bicarain dulu mau bawain apa nanti di GP. Kalo udah fix kasih tau kita biar dimasukin ke list. Udah, ya. Jangan berantem. Kita tinggal dulu." Rina menarik Sri yang tampaknya lebih suka menonton keduanya.

Setelah ruang latihan itu ditutup dari luar dan meninggalkan Elata bersama Noah, keheningan yang akrab mulai merambati keduanya.

Noah menggeser kursi menghadap ke arahnya. Cowok itu menyentuh sikunya. "Hei, Elata kenapa? Kok jadi kesel?" Dengan telunjuk, Noah menyentuh ujung matanya hati-hati. "Kayaknya kurang tidur. Lagi mikirin apa?"

Lelah yang teramat sangat membuat sikapnya yang sensitif ini jadi sangat merepotkan. Ia pikir akan mudah seperti sebelumnya.

"Kalo nggak mau cerita, gue harus ngapain biar Elata bisa enakan?"

Berhenti bikin aku makin mau kamu.

Elata menatap tangan Noah di atas meja, dan itu sudah membuat dadanya berkecamuk. "Jadi mau bawain apa? Aku nggak bisa gitar."

"Kalo gitu piano aja."

"Intrument atau lagu?"

"Sebelum gue paksa duet, awalnya mau apa?"

"Clair De Lune dari Debussy,"

Noah tampak berpikir. "Coba mainin." Cowok itu bangkit dan menuju piano di dekat jendela. Menarik kursi renggang untuk diduduki Elata. Sedangkan cowok itu berdiri di sisi piano.

Saat melodi pertama dimasukinya, jarinya menari lihai di sana. Sesaat kemudian konsentrasinya membentuk fokus yang membuat Elata merasa lebih tenang.

Noah lalu duduk di sampingnya. Berdempetan karena kursi itu yang sempit. Tangan Noah lalu memeluk punggung tangannya.

"Ngapain?" tanya Elata menghentikan permainannya.

"Terusin, mau diingat melodinya."

Elata hampir tertawa. "Nggak mungkin bisa diingat cuma dengan kamu megang tangan aku."

"Emang enggak. Lagi pengen pegang tangan Elata aja."

Elata menarik tangannya lepas. "Jadi gimana? Kamu mau aku nyanyi apa?"

"Ada satu lagu yang bisa gue mainin pake piano."

"Apa?"

Noah menoleh menatapnya. Memindai kedua matanya lalu tersenyum. "Can't Help Falling In Love."

Tak perlu waktu lama untuk Elata mencari lagu yang dimaksud di dalam kepalanya.

Noah lalu menarik tangannya kembali ke atas tuts piano. Memosisikan kembali punggung tangannya di bawah telapak tangan cowok itu. Semua jarinya dipeluk jari Noah.

Jari telunjuk Noah menekan, maka jari telunjuk Elata ikut bergerak menekan tuts. Lalu berlanjut membentuk melodi yang tak asing di telinga.

"Wise men say," Noah yang menyanyi. Suara dalam bariton rendah itu membelai telinganya dengan hangat. "Only fools rush in... But I can't help," tangannya tiba-tiba diangkat naik dan diletakkan di dada Noah. "Falling in love with you."

Elata merasakan debaran dada Noah di telapak tangannya. Matanya berpindah menatap cowok itu yang juga menatapnya.

"Mungkin gue bodoh. Tapi emang nggak bisa berhenti, Elata."

Meski kalimat itu tanpa konteks, namun Elata mengerti apa yang dimaksud Noah. Sama dengan debar di bawah tangannya sekarang, Elata turut merasakan hal yang serupa.

Noah melepas tangannya lalu menjawil dagunya. "Mikir terus."

"Y-yaudah. Lagu itu aja." Elata meremas tangannya. Ia lalu bangkit dari kursi. Meninggalkan Noah dan menerobos kerumunan mahasiswi di luar pintu yang sejak tadi menunggu cowok itu. Semua mata memperhatikannya, dan Elata terus mempercepat langkahnya.

Elata hampir putus asa bagaimana lagi cara untuk menghindari Noah. Langkahnya tidak terarah sampai ia menabrak tiga mahasiswi. Yang membuatnya jatuh terduduk.

"Lah, ini dia orangnya! Baru diomongin."
"Iya bener, fotonya mirip. Waduh."

Elata berdiri sambil menebas debu di tangannya. "Maksudnya?"

Salah satu dari mereka mengendikkan bahu acuh. "Buka aja situs kampus. Lo lagi diomongin semua orang."

Saat ketiganya pergi, barulah Elata menyadari jika orang-orang disekitarnya juga tengah memperhatikannya sejak tadi. Saling berbisik dan ada yang menunjuknya terang-terangan. Dengan ponsel di tangan, Elata membuka situs halaman untuk berbagi informasi khusus mahasiswa Universitas Pradipta.

Di sana terpampang fotonya yang diambil dari buku tahunan sekolah. Dengan judul headline;

Mahasiswi yang menyebabkan kecelakaan orang tuanya...

👑

Di pojok perpustakaan paling belakang itu, Elata duduk di antara rak buku dan dinding. Wajahnya tenggelam menunduk, memeluk lutut. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Harusnya ia pergi ke tempat Aluna untuk tutor, tapi rasanya ia tidak bertenaga menghadapi banyak orang. Tempat sepi inilah yang dibutuhkannya. Di mana tidak akan ada orang yang akan menatap menghakimi. Namun kesunyian itu juga membuat suara di kepalanya bertambah nyaring.

Bahkan suara Om Lukman yang menyalahkannya ikut terngiang. Elata menekan kedua telinganya dengan telapak tangan. Mengira dengan begitu suara itu akan hilang.

Sentuhan yang terasa di bahunya membuat Elata terlonjak dengan kepala terangkat cepat. Kedua matanya yang awas membulat. Hampir saja air matanya jatuh jika saja gigitan di bibir tidak menyakiti.

Dengan menghela napas panjang serta peluh di dahi, Noah ikut duduk di lantai, bersila di hadapannya. "Ngapain di sini?"

Elata mengambil buku asal di sebelah tubuhnya, membukanya untuk menutupi muka. "B-baca buku."

"Boleh ditemenin?"

Elata diam. Begitu pula cowok itu yang bertahan duduk di hadapannya. Satu-satunya orang yang tidak ingin dilihatnya sekarang justru menemaninya. Bagaimana bisa Noah tau keberadaannya. Entah pada menit ke berapa, buku yang menyembunyikan wajahnya ditarik turun.

Noah menatapnya lembut. "Nggak papa kok kalo Elata mau sedih. Asal jangan sendirian."

Hatinya meradang menginginkan pelukan. Genggaman tangan dibuku mengerat.

Tangan Noah terjulur menyentuh bibirnya yang tergigit. "Elata mau dipeluk?"

Elata menggeleng.

"Mau dianterin pulang?"

"Noah..., stop."

"Elata yang stop. Udah, ya. Jangan jadi pikiran. Mereka mungkin lagi ngomongin, tapi sebentar lagi kalo ada berita lain mereka juga bakal langsung lupa."

Elata menatap Noah yang penuh ketulusan memedulikannya. Membuatnya begitu ingin memeluk cowok itu. Berpangkuan melilit lehernya dan meminta kehangatan untuk menenangkannya.

Tapi alih-alih mengaku, Elata justru menikam hati keduanya bersamaan. "Aku...," Elata menundukkan wajah di antara lutut. Ia sangat membenci dirinya sendiri. "B-enci..."

Tidak ada suara dari Noah. Mungkin dengan begini cowok itu tidak lagi berusaha. Mungkin harus begini dulu agar Noah mau meninggalkannya. Melupakannya.

Itu menjadi hening paling menyakitkan yang dirasakan Elata.

Noah merogoh ponsel dan menghubungi seseorang. "Elata ada di perpustakaan." Hanya itu dan langsung menutup sambungan.

Keduanya kembali diam. Membiarkan kesunyian mencekam pikiran masing-masing. Ponsel cowok itu kembali berdering. "Ya, Jef?... Iya, serius... nggak bercanda... Kayak yang tadi gue bilang... Jef, lo denger gue, nggak? Posting aja sesuai yang gue bilang."

Setelah mematikan sambungan telepon, suara Noah melembut dibarengi usapan di kepalanya. "Elata nggak akan ditinggal lagi. Kalo udah tenang, kalo mau ditemenin, tau kan nyari gue di mana? Atau hubungin aja, kapan pun pasti disamperin."

Suara langkah berlari terdengar dan Adit muncul dengan tersengal. Noah lalu berdiri tanpa mengatakan apa-apa lagi dan langsung pergi dari sana.

"Gue cariin lo dari tadi, Ta."

Elata menegakkan kepalanya. "Dit, bisa tinggalin gue dulu. Gue lagi mau sendiri."

"Soal berita di laman situs, ya? Udah, Ta nggak usah dipikirin. Beritanya udah dihapus, kok."

Tapi tidak bisa dihapus dari ingatan semua orang.

Adit lalu memperlihatkan layar ponselnya. "Lo liat ada yang posting berita lagi, baru aja. Dan yang ini lebih heboh sampai-sampai semua jurusan ikut komen di situs."

Elata menajamkan penglihatannya sebelum mengambil alih ponsel. Matanya menggeliat membaca deretan kalimat di saan. Membuat air matanya menggenang dan penglihatannya kembali buram.

"Gue yakin udah nggak ada yang ngomongin berita tentang lo sebelumnya."

"Ini..." siapa yang melakukannya?

Adit menghela napas. "Gue nggak tau siapa yang posting berita ini, tapi gue harap nggak akan jadi masalah buat dia."

Kedua bahu Elata melemas. Ia menundukkan lagi kepala di atas lutut. Memeluk dirinya sendiri, membayangkan itu adalah seseorang yang diinginkannya ada di sini.

Headline;
Noah Vernand Allard, jurusan arsitek, gitaris Interlude ternyata seorang mantan narapidana...

👑

😭😭😭😭😭

NOAH 😭🫵🏻

MAU LO APA, HAH?! 😭😭😭🫶🏻

SARANGAE 🥹🥰😳💓💓

ARRGGHHHH

TAMAT AJA DEH SAMPE SINI. AKU POSESIF MAU MILIKIN NOAH SENDIRI 😩

Hi... selamat hari senin.
Yang katanya serem tapi sama aja kayak hari lain. Gimana harinya?
Jangan dilupain istirahatnya ya. Jaga badan jaga makan jaga tidur.
Siapalagi coba yang merhatiin kalo bukan kita.

Terima kasih sudah membaca cerita ini. Aku yakin, kalian semua di luar sana punya hati yang baik karena sudah menemukan cerita ini

Faradita
I love you in every word 🫶🏻

Ps : target komennya 3k aja deh hehehe

Ps 2: Elata yang stop 🫵🏻


Ps 3 : Noah... stop 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top