XL - Terbuka
Menghadapimu saat ini sesulit melarikan diri dari perasaanku sendiri. Yang sudah kucoba lenyapkan, namun ternyata terus tertanam tanpa bisa kukendalikan.
👑
🎼 Lauv & Lany - Mean It 🎼
👑
Panduan membaca:
1. Vote dan komen duluu
2. Ingat ini hanya fiksi, jadi Noah tidak mungkin kita miliki
3. Boleh dibaca sambil duduk atau rebahan
4. Isinya aman (?) dan bikin senyum-senyum kok
👑
Elata tidak berani membuka matanya. Meski seperkian detik yang lalu tadi ia bisa melihat bahu telanjang Noah yang tertimpa cahaya lampu dari luar sebelum buru-buru menutup wajahnya. Ia berpaling menghadap pintu, ingin membukanya namun masih terkunci. "Buka pintunya, Noah. Aku mau keluar."
Terdengar suara gemerisik kertas yang dijangkau dari arah belakang. Elata masih setia menutup wajahnya dengan dua tangan. "Noah, pake dulu baju kamu. Udah belum? Pake dulu bisa, ya?"
"Elata nggak capek?" tanya Noah. Kini suara gesekan kain terdengar.
Capek apa yang dimaksud Noah. Capek menyangkal perasaannya?
Capek terus menerus menahan debaran setiap kali mereka berdekatan?
Capek menahan diri dari keinginannya untuk menghambur dan menangis di pelukan cowok itu setiap kali Elata merasa kesepian?
Tidak mungkin Noah menyadari—
"Capek seharian di Dufan jagain anak-anak,"
Tiba-tiba ia merasakan cengkraman di pundaknya, lalu tubuhnya diputar menghadap Noah. Tangan Elata ditarik turun. Tapi matanya masih saja menutup rapat, bahkan area sekitar matanya mengerut. Beberapa saat hening, Tidak ada suara. Lalu tiupan tiba-tiba terasa di wajahnya. Membuatnya menarik wajah ke belakang, lalu membuka sebelah matanya pelan-pelan.
Noah sudah memakai baju. Rupanya cowok itu mengganti tshirt hitamnya dengan yang bersih berwarna putih.
"Makasih, ya udah nganterin." Elata ingin membuka pintu tapi Noah menahan tangannya.
"Emang mau ngapain ketemu Adit? Nggak bisa ditunda besok pacarannya? Mumpung masih di sini biar bisa balik sama gue."
Kenapa... ngomongnya... nggak galak lagi?
"Ng-gak papa, kok. Aku... udah keburu janji. Kamu pulang duluan aja." Entah kenapa Noah kali ini menatapnya dengan sangat lembut. Tidak ada ketegangan di mata cowok itu. Hanya berupa sorot mata tenang, yang juga sarat akan kelelahan.
Noah mengambil baju lain dari paper bag dan meletakkannya ke pangkuan Elata. "Mau ganti?"
Seharian bermain di Dufan di bawah terik matahari tentu membuat bajunya saat ini terasa tidak nyaman terserap keringat. Pasti nyaman sekali bisa berganti pakaian.
Tapi ini baju Noah.
"Elata, jangan terlalu banyak mikir, bisa? Ini cuma baju," kata cowok itu menyenggol tangannya. "Harusnya kalo udah tau punya janji sama pacarnya, minimal bawa baju ganti."
"Iya... aku pinjem, ya. Aku ganti di toilet nanti."
"Di sini aja biar cepet."
Kan!
"Noah... Gimana bisa aku ganti bajunya kalo ada kamu."
"Emang kenapa?"
Pake nanya?!
"Aku ganti di toilet aja." Noah mencekal lengannya lagi. Cowok itu memiringkan kepala, menguliti Elata dengan tatapan sebelum mencubit hidungnya.
"Kenapa?"
"Malu sama gue?"
"Noah yang bener aja, dong. Masa kamu mau nontonin aku ganti baju?"
"Gue aja pernah lepasin bra lo."
Astaga.
Kotor banget mulutnya!
Seketika ulangan kejadian tempo hari di dalam mobil ini pun terbesit di kepalanya. Bahkan seolah cowok itu pun bisa menebak apa yang Elata pikirkan sekarang.
Noah menyunggingkan senyum singkat sebelum keluar dari mobil. Elata pun tidak ingin membuang waktu terlalu banyak dan buru-buru mengganti pakaiannya. Tentu saja baju itu menenggelamkan setengah tubuhnya. Namun seribu kali lipat lebih nyaman dan sejuk. Setelah mengeluarkan rambut dari kerah baju, Elata menggelungnya dengan ikat rambut. Lalu segera beranjak keluar dari mobil Noah.
Sekali lagi Noah tidak segan memindai penampilannya. Ada banyak sekali makna dari tatapan cowok itu dan Elata sama sekali tidak berani mengartikannya.
"Rambutnya jangan diikat, Elata."
Elata menyentuh rambutnya. Ia memang tidak membawa sisir. "Biar nggak keliatan berantakan banget."
Noah memutari mobil untuk sampai di hadapannya dan menarik ikatan rambutnya dengan mudah. Lalu menyisiri rambutnya dengan jari. Elata melihat sekeliling dengan panik, untung saja meski parkiran penuh namun di sana sepi.
"Kalo lagi di luar rambutnya nggak boleh diiket, ya." Noah menyelipkan ikat rambutnya di pergelangan tangan. Yang membuat Elata kini menyadari sudah ada dua karet rambutnya di sana. "Kalo udah mau pulang tunggu gue di sini. Atau telepon. Lo punya nomor gue nggak sih sebenernya?"
"Kamu mau ke mana?"
"Mau masuk juga."
"Ngapain?"
"Ketemu Jefano."
Elata pikir Noah akan langsung pulang setelah mengantarnya. Ia tahu pasti cowok itu lebih lelah hari ini daripada dirinya. Belum lagi tugas kuliah cowok itu pasti masih menumpuk.
"Elata, denger tadi gue ngomong apa?"
"Iya."
"Iya apa? Yang jelas jawabnya."
"Nanti kalo mau pulang nunggu Noah di sini."
"Good." puas mendengar itu Noah berbalik pergi setelah mengusap perban di tangannya sambil lalu.
Elata kembali menghidu aroma tshirt yang dikenakannya. Beraroma detergen dan pewangi pakaian. Dan terjatuh kecewa karena ia lebih suka ada aroma Noah di sana.
👑
Suasana kampus malam itu ramai dan berisik. Dipenuhi oleh deretan tenda para tenant yang dengan berbagai macam jenis makanan, minuman, atau pun kerajinan. Juga mahasiswa yang membuat bazar kampus Pradipta hari itu semakin ramai.
Elata melangkah lebih jauh, menuju area duduk di tengah taman utama. Meja dan kursi yang ada di sana terbuat dari batu alam yang dudah dipoles, dan tersusun acak. Tanahnya diselimuti rumput setinggi mata kaki.
"Elata?!" Panggilan itu membuat tubuhnya berputar ke arah suara. Adit menghampirinya dengan wajah terkejut. "Loh, kok bisa di sini?"
Elata hanya tersenyum. Ia memang tidak berniat datang saat Adit mengajaknya kemarin. Ia hanya mencari alasan agar tidak perlu ikut makan bersama Mirna dan yang lain. Mana ia tahu kalau ternyata Noah malah berbalik dan menawari untuk mengantarnya. "Mau liat-liat, aja kok Dit."
Adit tentu saja sangat senang melihatnya dan mengajaknya duduk bersama di meja. Sudah ada dua orang cowok yang duduk di hadapannya, dan memperkenalkan diri sebagai teman sekelas Adit.
"Seneng banget gue liat lo dateng. Mau jajan apa gitu? Atau makan?" tawar Adit.
"Nanti aja, deh. Lo udah lama di sini?"
"Dari sore. Abis dari mana? Rambut lo sampe lepek gitu."
Elata menyisir rambutnya dengan jari. "Ngajakin anak-anak ke Dufan. Lo tau kan panasnya tadi siang segimana?"
"Pantesan..." sahut Adit sumringah. "Gimana tangan lo?"
"Udah sembuh," ujarnya memamerkan tangan. "Cuma belum dibuka perban aja."
"Syukur deh. Oh, bentar ya gue beliin lo minum dulu."
Elata tidak sempat menolak karena cowok itu sudah lebih dulu beranjak. Meninggalkannya sendirian dengan kecanggungan menghadapi teman-temannya. Mungkin karena merasakan hal yang sama, kedua teman Adit itu juga memilih pergi, beralasan ingin menemui teman yang lain.
Elata menunggu sendirian, bertopang dagu sambil memerhatikan keramaian di sekitarnya. Hingga suara riuh dari arah kiri membuatnya menoleh. Memangnya siapa lagi, hanya Noah V. Allard yang mampu menyedot perhatian di setiap kemunculannya.
Noah berdiri tidak jauh darinya, menenteng cola dengan satu tangan tenggelam di saku. Di sebelahnya ada Jefano yang sibuk bicara. Dan beberapa orang lain. Lalu wanita-wanita yang berlagak kenal menyapa. Ada yang tak segan ikut bergabung.
Noah memang sebuah magnet. Cowok itu memiliki sesuatu yang tidak bisa dilewatkan untuk ditelisik. Apa ya? Kharisma? Ya, Noah memiliki kharisma yang sulit untuk diabaikan. Ia tidak perlu bersusah payah memilih topik obrolan, tapi semua orang akan menganggapnya seru. Bahkan cara berdirinya aja keren.
Elata bahkan tidak bisa melepaskan pandangannya dari Noah.
"Ini buat lo," segela jus jeruk diletakkan Adit di hadapannya. "Eh temen-temen gue pada kemana?"
"Katanya nyari yang lain. Lo sih ngajak gue duduk di sini. Mereka jadinya canggung."
"Itu artinya mereka pengertian biar kita bisa berduaan." Adit sumringah. "Waduh rame banget di sana. Oh, ada Pak Noah."
"Lo ngapain sih manggilnya pake Pak?"
"Kan anaknya bos," Adit terbahak singkat. "Padahal mahasiswa pindahan ya dia, tapi udah sepopuler itu. Temen-temen gue nggak ada berhentinya ngomongin dia tiap hari. Yang paling sering diomongin soal dia yang udah punya pacar atau belum. Ck, sampe pegel kuping gue dengernya."
Elata menyeruput jus jeruknya, yang ternyata masam.
"Tapi liat aja tuh yang ngerumunin dia dari tadi. Gue rasa nggak ada yang peduli Pak Noah udah punya pacar atau enggak. Noah tinggal senyum terus gandeng salah satunya juga pasti pada mau-mau aja."
Elata melirik kembali ke arah Noah. Kini seorang wanita tengah menodongnya dengan ponsel. Pasti ingin meminta nomor.
Elata, itu bukan urusan kamu.
"Sebenernya gue sempet ngira kalian deket."
Elata menoleh cepat ke Adit. "Hah?!"
"Gue kira lo deket sama Pak Noah."
"Hehe... kok?... hehehe," Elata menggigit sedotan. "Ke-napa jadi mikir gitu?"
Adit mengangkat bahu. "Keliatannya Pak Noah tertarik banget sama lo. Dia juga, kan yang nolongin lo waktu insiden di Vodess."
"Itu 'kan cuma salah satu kewajiban. Gue masih staff di sana waktu itu."
Adit ikut menyeruput minumannya. "Gue awalnya juga mikir gitu. Gara-gara itu juga semua orang Vodess jadi respect banget ke dia. Tapi gue jadi mulai bingung lagi, tuh saat dia telepon pagi-pagi nyuruh gue ke rumah sakit buat jagain lo."
Elata tersedak minumannya. Air kuning itu hampir masuk ke rongga hidungnya. Adit menepuk-nepuk punggungnya, menanyakan keadaannya dan memberikan tisu.
Kemudian Elata menatap bingung. Pada semua kalimat yang baru saja didengarnya. "Maksudnya tadi gimana, Dit?"
"Ya bingung. Gue kira ada sesuatu di antara kalian sampai Pak Noah sebegitu perhatiannya sama lo, tapi sekarang malah keliatan —"
"Bukan, bukan itu. Soal dia nelepon lo. Maksudnya apa?"
"Oh, itu. Iya gue juga kaget. Tiba-tiba nomor nggak dikenal masuk dan ternyata itu dia. Dia cuma bilang kalo lo ada di rumah sakit dan perlu gue buat nemenin."
Tenggorokan Elata tercekat. "Terus lo... ketemu Noah di rumah sakit?"
"Enggak. Pas gue sampe sana dia udah nggak ada. Gue nanya ke perawat di mana ranjang lo. Makanya lo liat gue pas bangun waktu itu."
Elata mendorong gelas plastiknya menjauh, memijat dahinya dengan dua tangan yang bertumpu di meja. Matanya nyalang bergerak. Seolah sedang menerjemahkan kemungkinan-kemungkinan yang berkeliaran dengan cepat di kepalanya.
Kemungkinan samar yang perlahan semakin terasa jelas. Rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menjejal. Kalau benar apa yang dikatakan Adit barusan—yang tidak mungkin salah— itu artinya Noah sudah tau?
Mungkinkah itu juga alasan kenapa sampai sekarang cowok itu tidak bertanya apa-apa tentang penyebab lukanya, karena Noah memang sudah mengetahui semuanya dari awal.
Mungkinkah Noah juga mengetahui tentang Om Lukman? Bagaimana kalau mereka sempat bertemu? Elata meremas rambutnya sendiri.
"Hey-yo, kita duduk di sini, ya. Kursi yang lain penuh, nih."
Tak perlu menilik, Elata tahu itu suara Jefano. Dan sangat mudah menebak seseorang yang duduk di hadapannya ini karena aroma familiarnya menyerang indera penciuman Elata.
Tidak hanya itu, keduanya juga diikuti oleh teman-teman sesama fakultas dan beberapa wanita yang ribut berebut duduk di sisi Noah yang kosong.
"Lo kenapa, Ta?" tanya Jefano. "Baik-baik aja, kan?"
Elata menegakkan punggung, membagi senyuman kering dengan jawaban tidak apa-apa. Seketika seluruh perhatian tersedot ke meja mereka. Jefano mulai sibuk mengajak ngobrol Adit di sebelahnya, juga ada beberapa suara asing yang Elata tidak tahu siapa pemiliknya.
Elata hanya diam memutar sedotan di dalam gelas. Tidak berani menatap seseorang di hadapannya sekarang.
Tiba-tiba saja kakinya di bawah meja disenggol. Ia kira itu adalah ketidaksengajaan, namun yang kedua kalinya bukanlah demikian. Kakinya dililit, lalu di jepit di antara kaki orang yang duduk di hadapan sekarang.
Elata pun menatap ke depan. Noah sedang menenggak cola dengan mencuri lihat ke arahnya. Ia berusaha melepaskan kakinya namun tetap saja percuma.
"Noah, lo tinggal di mana? Boleh dong sekali-kali kita mampir. Kata Jefano lo tinggal di apart Evander Residences, ya? Astaga itu keren banget tempatnya. Bikin party dong!!!"
Usul itu disahuti dengan persetujuan dari semua mulut di meja.
"Gue nggak suka party. Ke Vodess aja kalo mau, kirim tagihannya ke gue."
"Party di apart lebih seru. Bisa sekalian nginep kita-kita,"
"Gue rada nggak suka ada yang nginep di tempat gue."
"Gue aja temennya nggak pernah dibolehin nginep bayangin!" Celetuk Jefano nyaring. "Dasar orang tajir tapi pelit sama fakir! Gue bukan fakir tapi pengen ngatain aja."
Semuanya tertawa mendengar lelucon itu termasuk Adit. Sedangkan Elata tidak bisa bersuara sama sekali. Ia menangkap di sudut matanya ada beberapa wanita di meja itu yang menatapnya diam-diam. Belum lagi kakinya yang dijepit Noah di bawah meja.
Lalu kemungkinan Noah yang menolongnya di malam Om Lukman memukulinya membuat kepalanya semakin pening.
Ponsel Elata berdenting. Alasan baginya untuk tidak ikut obrolan di atas meja. Sebuah notifikasi. Elata membukanya dan mengerutkan dahi.
Sebuah foto siluet tampak belakang seseorang yang berdiri di depan wahana komidi putar. Dengan caption; Kenapa diem aja?
Pertanyaan untuk siapa itu?
Namun beberapa saat kemudian Elata menyadari siapa yang ada di dalam foto itu. Itu adalah dirinya. Noah memosting fotonya?
Seketika Elata mengangkat tatapan, dan mendapati Noah memang sedang menatap ke arahnya juga. Ia pun segera kembali menunduk.
Rupanya bukan hanya Elata yang menyalakan notifikasi akun instagram Noah. Karena wanita-wanita di sana kemudian berkomentar.
"Eh, Noah lo posting siapa, tuh di IGS?"
"Anjir, lo udah punya cewek?!"
"Baru ini gue liat lo posting cewek."
"Mana-mana kasih liat mukanya, dong. Yang itu nggak jelas masa cuma siluet doang. Hadap belakang lagi."
Elata menendang kaki Noah di bawah meja, hingga cowok itu melepaskan jepitan di kakinya. Apa yang dipikirkan cowok itu sekarang? Bagaimana jika ada yang mengenali fotonya.
"Kenalin dong, Noah siapa cewek lo. Diumpetin aja, nih. Anak kampus sini juga? Atau kampus lo di London?"
"Anak sini." sahut Noah tanpa beban, yang membuat gemuruh suara menguar dari meja mereka.
"Siapa-siapa?"
"Dari fakultas apa?"
"Pasti cantik banget anaknya. Asli gue penasaran! Siapa, sih?"
Jefano yang menebar senyum menimpali. "Tau, nih. Kasih tau dong siapa Tuan Putri yang beruntung itu? Kapan nih pengumumannya dilakukan wahai yang mulia?"
"Nanti," Noah menghunus Elata dengan tatapan tertumbuk padanya. "Sekarang ceweknya masih gue kejar. Lari mulu."
Elata menggigit bibirnya. Tangannya saling meremas. Ingin sekali pergi dari meja itu. Atau mungkin ia sebaiknya pulang sendiri saja.
Namun ponselnya berdenting lagi, satu notifikasi kembali muncul. Karena terbiasa, Elata langsung membukanya.
Itu masih fotonya. Dengan pose berbeda, diambil secara candid seperti sebelumnya.
Disertai tulisan;
"Kenapa bibirnya digigit, Elata? Mau pulang sekarang?"
Hatinya bersimbah oleh hangat juga denyutan listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat cepat karena postingan IGS Noah itu ditujukan untuk close friend. Sebuah fitur yang membuat kita bisa menentukan siapa saja yang bisa melihat foto itu.
Elata bisa melihat foto itu.
Wanita-wanita lain di meja itu tidak mendapat notifikasi.
Tidak ada yang melihat postingan itu selain dirinya.
Artinya Noah tau instagramnya!
Elata sontak berdiri. Menarik perhatian semua pasang mata di meja itu ke arahnya. Tarikan napasnya cepat dengan bahu turun naik. Wajahnya memanas.
"Kenapa, Ta?" tanya Adit.
"Gue... pulang duluan, ya."
"Eh, Elata... tunggu mau gue anter nggak?"
Elata menyambar tasnya dan berlari dari sana. Langkahnya cepat, ia beberapa kali menabrak. Sesampainya di parkiran ia terduduk lemas di samping mobil Noah dengan menekan dada yang masih berdetak tak karuan.
"Ya ampun Elataaaa...kok bisa lo bego banget, sih!!!" ia mengacak rambutnya. "Jadi selama ini Noah juga tau gue sering posting dia? Astaga! Gue mau mati aja!"
Elata pikir Noah tidak mungkin akan mengetahui akun yang dibuatnya khusus untuk melihat cowok itu. Mana mungkin Noah memeriksa dengan detail setiap like yang didapat. Memang akunnya sendiri dibuat dengan nama aslinya, tapi cowok itu memiliki ribuan pengikut! Mustahil Noah mengetahuinya!
Dari kejauhan Noah datang mendekat. Bunyi kuncian mobil berbunyi. Cowok itu berhenti di depannya dan membuka pintu penumpang, tepat di sebelahnya yang sedang duduk berjongkok.
Elata tidak berani menatap Noah sama sekali. Cowok itu pun tidak mengatakan apa-apa, hingga ujung sepatunya diketuk ujung sepatu Noah.
"Mau sampai kapan duduk di situ? Pulang, ya Elata."
Gimana ini? Malu banget... boleh menghilang aja nggak sih?
👑
Agak gila dikit nulis bab ini wkwkwkkw
Kayak, ya ampun gue harus ngapain biar Allah ngasih gue Noah. 😭😭😭😭😭😭
Hai semuanya...
Udah masuk musim penghujan ya. Kamu jaga kesehatan, jangan sering kena hujan. Minum vitamin dan makan jangan telat.
Pikirannya juga seringin dikasih istirahat. Abis kerja, kuliah, atau sekolah duduk sebentar nggak ngapa-ngapain dulu. Karena pikiran yang nggak sehat juga bisa datangin penyakit.
Yang nomor satu sayang sama diri kamu itu adalah kamu. 💓
Terima kasih atas dukungannya sama cerita ini. Aku liat kemaren komennya seru banget sampe segala macam hal dibahas wkwkw makasih yaaa 🫶🏻
Faradita
I love you in every word 💓
Ps : close friends noah cuma elata seorang acieee
Ps 2: jangan diikat rambutnya elata 🤸🏻♀️
Ps3; mau juga ditatap noah 😡
Ps4;
Target komen 4k bisa kali yah muehehehehehehe
Ps5;
Sepertinya
Sebentar lagi
Mungkin bab depan atau bab berikutnya
Akan ada
Uncut scene heheheheheheehehehehehe
Dan kayaknya
Uncut kali ini jangan dibaca kalo kamu belum cukup open minded hehehehehehehehee
Hehehehehehhehehe 🏃🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top