XIX - Bertahan

Kapan kamu bisa berhenti bertahan?

👑

"Gimana keadaan Mama kamu, Elata?" tanya Miranda yang datang membesuk. Wanita elegan dengan paras cantik itu datang aroma bunga yang menenangkan.

"Dokter menyatakan kalo sekarang Mama koma, Bu."

Miranda mendekat untuk merangkul Elata. "Kamu tau kan kalo butuh apa-apa jangan sungkan bilang ke Ibu. Kamu udah Ibu anggap sebagai anak sendiri."

Elata tersenyum lemah. "Makasih, Bu."

"Kabar kamu gimana?" Rambutnya dibelai persis seperti yang sering dilakukan Mama. "Kamu keliatan kurusan. Kata Noah kamu jadi jarang makan. Nggak baik, lho. Nanti kamu sakit. Jaga kesehatan itu penting."

Lagi, Elata hanya tersenyum samar.

"Jangan terlalu capek, ya. Jangan maksain diri kamu. Jangan terlalu membebani pikiran kamu sama hal yang nggak seharusnya dipikirin. Apa yang udah terjadi, mungkin memang sudah seharusnya terjadi."

Atau mungkin enggak?

"Ibu nggak bisa lama-lama. Ada urusan yang harus diselesaikan sebelum Ibu ke London. Oh, Noah udah bilang, kan kalo Ibu akan pindah ke sana?"

Elata mengangguk. "Saya pasti kangen, Ibu."

Miranda merangkul Elata erat. "Apalagi, Ibu. Lebih lebih kangen. Nanti kapan-kapan kamu datang ya ke London bareng Noah. Biar kita bisa main piano sama-sama."

Elata tersenyum. "Selamat juga, ya Bu untuk rencana pernikahannya. Noah udah cerita. Aku ikut seneng dengernya."

"Terima kasih," Sesaat wanita cantik itu menatapnya beberapa saat dalam diam, Miranda melanjutkan. "Ibu sayang sama kamu, Elata. Saya juga tahu kamu sayang sama Noah."

Elata merasa asing dengan kata itu meski ia tahu Miranda mengatakannya dengan tulus. Ia merasa tidak pantas mendapatkan perasaan disayang seperti itu.

Pintu kamar rawat terbuka, Noah datang dengan sekantong makanan yang baru saja dibelinya.

"Ibu?" ada nada kaget di sana. "Nggak bilang mau datang? Aku kan bisa jemput." Lalu mencium tangan Miranda, juga pipi wanita itu.

"Ibu sekalian mampir aja. Mau liat kondisi Marina sama kalian berdua." Miranda bangkit dari sofa dan menghampiri Noah. Mengusap rambut cowok itu. "Haduh kamu ini berantakan banget."

"Namanya juga anak cowok. Kalo cantik itu Elata."

Elata tersenyum menunduk.

"Ada aja terus jawabannya." Miranda mencubit pinggang anaknya. "Yaudah Ibu pulang, ya. Maaf nggak bisa lama-lama. Nanti kabarin terus ya ke Ibu."

Miranda mencium pipi Elata bergantian. "Jangan sedih terus ya, sayang. Jalan kamu masih panjang."

Noah meletakkan bungkusan makanan di meja. "Aku anter Ibu ke parkiran dulu, ya." ujarnya memberitahu Elata.

Elata masih bisa melihat Noah dan Ibunya dari balik pintu yang setengahnya kaca transparan. Senyum lebar Noah yang memaksa untuk mengantar wanita itu, hardikan lucu Miranda karena Noah yang tidak bisa diatur.

Entah mengapa pemandangan itu membuat air matanya menetes tiba-tiba.

👑

"Kamu yakin sama keputusan itu?" tanya Miranda sekali lagi.

"Noah yakin. Tapi aku juga perlu Ibu buat tambah yakin. Aku juga perlu dukungan Ibu."

"Kenapa nggak ajak aja Elata ke London? Dia sendirian, kan di sini? Nanti Ibu yang bayarin kuliah dia."

Noah menggaruk kepala belakangnya.

"Kamu belum tanya dia?"

Noah menggeleng dengan cengiran. "Belum nemu waktunya. Aku rasa Elata nggak akan mau diajak pergi, Bu. Dia pasti pengen jagain Mamanya."

"Padahal Ibu pengen loh kamu kuliahnya di London."

Noah mendesah. "Ibu..."

"Kalo kamu aja yang ikut Ibu gimana?"

Noah kira pembicaraan tentang hal ini sudah selesai. Ia pikir Ibunya sudah mengerti kalau dirinya tidak bisa meninggalkan Elata. Tapi dalam beberapa kali kesempatan, Ibunya akan selalu mengangkat topik ini lagi. Mungkin bermaksud membujuknya secara pelan-pelan.

"Ibu nggak nyuruh kamu sama Elata putus, orang Ibu sayang sama dia. Lagian LDR kan bisa. Paling tiga sampai empat tahun aja."

Noah kehilangan argumennya.

"Lagian pernah nggak Ibu minta sesuatu ke kamu? Dulu kamu mau tinggal di jalanan, bergaul sama preman, apa pernah Ibu larang? Padahal nggak mau lagi Ibu kepisah sama kamu."

"Bu,"

"Hhh... kamu lebih pilih nemenin Elata di sini daripada nemenin Ibu di London?"

"Ibu..." nadanya sudah memohon. "Jangan gitu dong ngomongnya. Aku sayang ibu sama Elata."

"Kalo gitu coba ngomong sama Elata. Mungkin dia bisa memaklumi nunggu kamu."

"Aku yang nggak bisa jauh dari dia."

"Dasar bucin."

Noah tertawa.

"Yaudah-yaudah, maaf Ibu kelewatan ngebujuknya. Tapi kamu harus janji sering-sering datang ke London ya."

Noah tau kalau ia memiliki orang tua paling baik di dunia. Ia memeluk Miranda di lorong sepi rumah sakit itu. Membuat Ibunya berdecak malu karena diperhatikan sebagian orang di sana.

👑

Rumahnya kini terasa sunyi. Jenis sunyi yang sangat menyakitkan di telinga. Kehilangan suara melengking Mama, atau suara televisi yang ditonton Papa.

Bi Raisan sudah membantunya membereskan baju-baju Papa. Dimasukkan ke dalam kotak yang ditinggalkan tersusun di sudut kamar.

"Bibi sudah masakin makanan. Nanti di makan, ya sama Noah."

"Makasih, ya Bi." Noah yang menyahut. Cowok itu juga membantu merapikan lemari Papa. Bahkan secara rutin memanaskan mobil Papa yang berdebu di garasi. Selalu ada hal yang dikerjakan cowok itu di rumahnya. Entah membantu Bi Raisan membetulkan mesin cuci, atau memperbaiki pintu berderit.

Setelah selesai, Bi Raisan pamit untuk pergi ke rumah sakit. Sebulan telah berlalu dan Mama masih belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Kata dokter Mama masih perlu didampingi. Oleh karenanya mereka bergantian menjaga di sana.

"Makan, yuk." Elata berjengit, ketika Noah menyentuh sikunya.

Mereka makan dalam diam. Bukan, cuma Elata yang diam karena Noah sibuk bercerita tentang apa saja. Cowok itu tidak membiarkan meja mereka sepi tanpa obrolan.

"Kapan mau daftar ulang? Aku temenin, ya." Noah mengambil piring kosong Elata dan membawanya ke wastafel. Seperti biasanya cowok itu yang mencuci piring.

Dengan memunggungi Elata, dan sambil membasuh piring, cowok itu kembali bicara. "Pianonya mau di pindahin ke bawah aja, nggak? Kayaknya lebih enak. Biar kamu nggak di kamar terus. Nanti aku panggil tukang buat turuninnya."

Elata masih diam.

"Kamu tau nggak, ners di kamar rawat Mama ternyata kenal The Prince's. Aku sampe kaget waktu dia tunjuk-tunjuk muka aku katanya 'pangeran-pangeran'. Malu banget mana rame—"

"Aku tidur duluan, ya." Elata memotong kalimat Noah. Bahkan tanpa menunggu langsung bangkit dari kursi.

"Elata."

Langkahnya di tanggak terhenti. Panggilan itu meremas sesuatu di dalam diri Elata.

"Kamu tau aku akan selalu di sini buat kamu?"

Elata tidak berpaling, ia membelakangi Noah. Takut menatap cowok itu. Namun bisa dirasakannya cowok itu melangkah naik hingga berdiri di belakangnya.

Noah menyentuh jari Elata. "Itu nggak akan pernah berubah, Ta. Aku akan selalu jadi punya kamu."

👑

Sepertinya aku lagi sensitif, karena kemarin dapat pesan dari pembaca yang bikin mood aku anjlok ampun-ampunan.

Sampe mau stop nulis dulu, sampe marah-marah nggak jelas di rumah. Sampai aku sadar kalo itu wajar dan perlu dilewati aja. Keluarin unek-unekannya biar bisa diisi sama mood baik.

Daripada terpaku sama satu hal negatif, masih banyak hal positif yang lebih perlu aku perhatiin. Contohnya pembaca yang menunggu cerita ini. Yang mendukungku menulis sampai sekarang.

Kalo kamu lagi sensitif, melihat kok nggak ada yang bisa ngerti kamu, coba merenung sejenak. Kadang kita nggak perlu validasi dari orang lain untuk merasa seneng. Nggak harus juga orang lain memperhatikan perasaan kita.

Lepasin lalu lanjut hidup lagi.

Faradita
I love in every word 🌬️🤍

Foto Noah untuk buku tahunan. Sayang banget kegantengan 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top