XIV - Begini Caranya
Seberapa manisnya kamu sampai aku selalu rindu?
Iya.
👑
Dari dalam selimut, Elata meneliti pakaiannya sendiri. Dan menghembuskan napas lega karena ia masih berpakaian lengkap seperti sebelumnya. Lalu bagaimana mereka bisa sampai di sini? Kenapa Noah mandi? Di mana ini?
Selimutnya ditarik oleh Noah, tapi Elata menjepitnya di bawah lutut.
"Kenapa ngumpet, Elata?" suara Noah terdengar dekat sekali.
"Kamu pake baju dulu sana."
"Udah."
"Mana," Elata mengeluarkan tangannya, menjangkau. "Mana baju kamu— aaakk," Elata menarik tangannya kembali masuk ke dalam selimut karena tangannya menyentuh dada Noah. "Noah!"
"Iya-iya," Elata mendengar senyuman Noah bersuara rendah. Suara langkah menjauh. Lemari yang terbuka lalu ditutup. "Nih, udah."
Elata mengintip, sebelum menurunkan selimut sepenuhnya. "Kamu abis ngapain?"
"Mandi."
"Kenapa mandi?"
"Emang nggak boleh mandi?"
"Mandi, kok malem-malem."
"Gerah," Noah menarik kursi ke dekat tempat tidur lalu duduk di sana. "Mau mandi juga?"
"Kenapa aku harus mandi juga?"
"Nanya, Elata. Ya ampun."
"Nggak, nggak mau mandi. Ini di mana, sih? Katanya mau pulang. Kok malah ke sini. Selain kita ada siapa lagi? Cuma ada kita? Sepi banget nggak ada suara?"
"Satu satu, Elata," Noah melipat tangan di dada, bersandar menatapnya. "Ada banyak yang perlu kita omongin. Mulai dari alasan kenapa kamu nekad nyusul ke villa?"
Elata meraih tas, mencari ponselnya. Dengan layar menyala ia mengarahkan itu ke Noah. "Ini."
Noah mengambil ponselnya, foto Noah dan Sintya yang dikirimkan Mona.
"Ini aku lagi ngobrol sama Ginan. Aku bahkan nggak tau Sintya duduk di belakang aku sampai dia nyender."
Bahkan itu tak lagi penting untuk Elata. "Kenapa kamu nggak bilang kalo Sintya punya cewek?"
"Jadi aku harus ngomongin orientasi seksual orang lain gitu? Itu hak dia."
"Bukan gitu, Noah! Paling nggak biar aku nggak salah paham, Noah!"
"Makanya tanya aku kalo ada yang ngeganjel. Jangan diasumsikan sendiri." Noah menatapnya lurus.
"Tetep aja," Elata tidak mau kalah. "Mana ada yang bisa ngira kalo Sintya ternyata begitu. Mana dia perhatian banget sama kamu. Semua orang juga akan mikir hal yang sama kayak aku."
"Kayak gimana?"
"Kalo Sintya suka kamu. Dan kamu juga suka dipegang-pegang sama dia."
"Nggak, ya. Sekarang aku cuma suka dipegang kamu,"
Elata pusing. "Bukan itu intinya. Aku malu banget tadi udah nyecar dia. Belum minta maaf lagi."
"Nggak perlu minta maaf. Dia emang suka bikin orang salah paham." Noah bersandar lagi. "Kalo kamu nanya aku dulu tentang foto itu, aku bisa jelasin semuanya. Kalo kamu nyuruh aku pulang pun akan aku lakuin saat itu juga, Elata."
Benar juga. Elata bahkan tidak berpikir ke sana. Ia terlalu buta untuk melihat perasaannya yang tertutup kabut cemburu.
"Aku nggak peduli kalo anak-anak di kelas harus marah-marah karena The Prince's nggak tampil. Itu sama sekali nggak penting, dibanding harus liat kamu ngambil risiko nyusul malam-malam sendirian. Sampe sekarang aku masih marah, ngebayangin sesuatu yang bahkan nggak terjadi, kalo seandainya kamu kenapa-napa di jalan."
Lagi, Elata merasa terperosok dalam penyesalan. Ia terlalu buru-buru menyimpulkan.
"Kamu bilang aku nggak suka liat kamu datang," Noah membungkukkan lagi tubuhnya, mencari tatapannya. "Aku selalu suka liat kamu, Elata. Tapi enggak dengan tindakan kamu malam ini. Aku udah berusaha ngambil hati orang tua kamu untuk pacaran sama anaknya. Artinya aku juga ikut bertanggung jawab kalo terjadi sesuatu sama kamu."
Elata menunduk, mengikis kutikulanya. Tidak ada satu pun yang salah dari kalimat Noah. Ia tahu di sini dirinya yang bersalah.
"Iya, aku minta maaf."
"Aku juga minta maaf."
Keduanya bicara bersamaan.
"Simpan maaf kamu buat orang tua kamu."
"Kamu kenapa minta maaf?"
"Karena mungkin seharusnya aku juga ngasih tau soal Sintya dari awal. Aku salah mengira, kalau ternyata kamu cukup impulsif. Udah telepon mama?"
Elata menatap Noah, lalu menggeleng singkat.
"Telepon sekarang."
"Pasti bakal dimarahin," Elata ketakutan.
"Udah jelas, kan? Nggak mungkin ditimang-timang."
"Noah..."
"Kamu harus diginiin biar nggak ngulang lagi. Atau aku yang telepon?"
"Makin-makin. Gila aja, yang ada kamu juga ikut dimarahin Papa."
"Nggak masalah. Udah tanggung."
"Kamu marah banget, ya?"
"Iya." Jawab Noah singkat.
Elata mencoba menawar. "Tapi kalo kita pulang sekarang, orang tuaku nggak perlu tahu tentang hal ini. Aku bisa nyelinap lewat balkon. Mereka nggak akan tau aku pernah keluar."
Noah mengusap belakang lehernya. "Itu masalahnya,"
"Kenapa?"
"Kita nggak bisa pulang."
Hah?
"Di luar lagi hujan deras,"
Elata menatap ke luar jendela. Ia memang mendengar suara hujan, petir dan guntur yang sejak tadi bersahutan. "Tapi... kita naik mobil."
"Hujannya bikin longsor di jalan satu-satunya menuju kota. Jalan itu masih ditutup sekarang."
Elata benar-benar tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. "Terus... ini di mana?"
"Villa Ibu. Telepon Mama, Elata."
Elata takut-takut membuka kontak. "Bisa tunda dulu nggak? Papa Mama pasti juga udah tidur. Nanti ganggu mereka. Lagian siapa tau hujannya bentar lagi reda. Terus kita bisa pulang."
"Tapi kamu tetep harus bilang setelah sampai rumah."
Elata meringis. "Nggak boleh dirahasiain aja emang?"
"Aku tadi bilang apa?"
Elata cemberut. "Harus diginiin biar nggak ngulang."
Situasi ini benar-benar tidak direncanakan, berada di luar kendali. Dan Elata tahu benar sifat Noah yang tidak nyaman dengan hal itu. Cowok itu tidak menyukai sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya. Sama seperti dulu tindakan gegabah Elata yang mengikuti Noah masuk ke kantin terbakar, juga malam ini yang menyusulnya ke villa.
"Noah jangan marah lagi ya sama aku," Elata menggigit bibirnya. "Maaf... bikin kamu berada di situasi sulit kayak gini."
Noah bangkit dari kursi dan berpindah duduk di tepi tempat tidur. Cowok itu menyampirkan rambutnya ke belakang telinga.
"Aku nggak suka kita berantem," Noah melepaskan gigitan di bibirnya dengan sapuan lembut ibu jari. "Jangan digigit."
"Aku juga," Elata menyodorkan jari kelingkingnya. "Kamu serem kalo marah."
"Perasaan biasa aja."
"Serem. Nggak berani liat kamu kayak mau dimakan. Sekarang juga masih serem. Ngomongnya tegas gitu kayak kepala sekolah."
Noah tertawa rendah.
"Baikan, ya?"
Noah mengaitkan kelingkingnya di sana. Dan mendorong dagu Elata mendongak. "Senyumnya mana?"
Elata tersenyum lebar. Membuat Noah mencubit pipinya gemas. "Mau jalan sendiri atau digendong?"
"Mau apa?"
"Gendong aja, ya." Noah menyelipkan tangan di bawah lututnya namun Elata berhasil melompat menjauh.
"Aku jalan aja," ia berdiri di atas kakinya sendiri.
"Tadi juga digendong masuk sini."
Bisa-bisanya Elata tidak merasakan apa-apa. "Tadi, kan lagi tidur."
"Beda emang?"
Duh, diem deh. "Mau ke mana?"
"Jawab dulu kenapa nggak mau digendong?"
"Ini penting banget, ya?"
Noah melipat tangan di dada. "Penting."
"Aku malu."
"Sama aku malu?"
"Mau banget gendong aku?"
Lucunya Noah mengangguk. "Mau."
"Gandengan aja ya kayak nyebrang."
— cut scene —
👑
🤧🤧🤧 mau jadi Elata 😭😭😭
hai, gimana kabar kamu?
sehat-sehat terus ya. Sehat karena kamu mau. karena lagi-lagi yang harus paling perhatian sama kita cuma kita sendiri.
terima kasih atas dukungannya.
Faradita
i love you in every word 🌬️🤍
Yang mau baca Uncut scene dari bab ini bisa langsung menuju Karyakarsaku ya. Udah di update duluan di sana. 🥵
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top