XII - Bohong & Nekad

Aku mengikuti hatiku hingga sampai di depanmu. Bukan tersesat, tapi memang jalanku hanya menuju ke arahmu.

👑

Pintu kamar Elata diketuk. Papanya masuk sambil membawa kotak hitam berpita putih.

"Selamat ulang tahun anak Papa sayang, aduh," Roy sempat tersandung karpet saat menghampirinya di tempat tidur.

"Papa....," Elata menutupi setengah wajahnya dengan bantal. "Ulang tahun aku bukan hari ini!"

"Loh, emangnya ada aturannya ngasih hadiah cuma boleh satu? Lusa ada lagi hadiah nyusul. Nah, buka sekarang."

Elata bersila di tempat tidur. Membuka kotak itu dan tersenyum sangat lebar karena isinya adalah sepasang sepatu baru yang memang ia butuhkan saat ini.

"Kok Papa tau Elata lagi perlu sepatu?" Matanya berbinar.

"Dikasih tau Mama," Roy terkekeh geli. "Elata suka? Nanti sepatunya bisa dipake buat kuliah. Tempat baru, sepatunya harus baru, dong."

"Suka banget, Pa," Elata menurunkan kotak dari pangkuan dan memeluk Roy. "Makasih yaa, Pa. Pasti sepatunya aku pake tiap hari sepatunya."

"Elata masih bingung mau kuliah di mana?"

Perubahan topik yang tiba-tiba. "Iya, Pa..."

"Nggak pa pa, sayang," Roy kemudian memeluknya. Kepala Elata diusap dengan lembut. "Kalo ini bisa bikin kamu lebih gampang untuk memutuskan, Papa akan selalu mendukung kamu. Apapun keputusan kamu. Papa mau kamu hidup dengan jalan yang kamu pilih sendiri.

Kalo pun jalan itu nantinya rusak, yang bikin kamu harus putar balik dan kembali ke awal, akan ada Papa yang nemenin kamu di sana. Papa akan dampingi kamu dari nol, papa nggak akan biarin kamu sendirian."

Elata menitikkan air mata yang kemudian diusapkannya ke kemeja Roy. Sudah tidak perlu diragukan, ia tahu orang tuanya menyayanginya sebesar itu.

Dan Elata sudah tahu apa pilihan yang akan diambilnya.

👑

Elata tidak pernah mengambil tindakan senekad dan segegabah seperti saat ini sebelumnya.

Setelah membayar supir taksi dan menjejakkan kaki di halaman berbatu, ia tiba-tiba saja merasa menyesal. Semua ini berawal dari telepon Mona ketika Elata tengah memainkan piano di kamarnya setelah selesai makan malam.

"Lo nggak baca pesan gue?!" tanya Mona galak.

"Lagi main piano tadi, ada apaan?"

"Cepet cek pesan!"

Dengan mempertahankan panggilan, Elata membuka pesan yang dimaksud. Ada satu foto yang dikirim cewek itu. Di dalamnya ada Noah yang tertawa dengan kaleng soda di tangan. Dan ada seorang wanita berambut sebahu, yang juga tertawa sedang bersandar di punggung Noah.

"Elata! Elata!"

Elata mengembalikan ponsel ke telinga. "Ya?"

"Itu siapa? Kok bisa-bisanya dia deket gitu sama Noah?"

"Namanya Sintya. Temen Noah."

"Hah?! Temen? Kok bisa ikut acara kelas kita?"

Elata sendiri lebih terkejut melihat Sintya ada di sana. Ia sama sekali tidak mengira Noah akan mengajak wanita itu. "Gue nggak tau, Mon."

Terdengar Mona yang mencerca tidak suka, dilatar belakangi suara musik. "Lo tenang aja, gue bakal cari tau siapa, tuh cewek! Jangan khawatir. Gue jagain cowok lo dari belitan ular itu!"

Tapi ternyata Elata tidak bisa tenang. Ia terus memikirkan bagaimana bisa Noah membawa Sintya ke acara kelas mereka. Ia memperhatikan foto itu lagi. Noah dan Sintya yang terlihat begitu akrab. Hatinya mengerut saat menyadari kalo mereka serasi. Ditambah wanita itu sangat luwes menyentuh bahu Noah.

Perasaan cemburu membakar Elata hidup-hidup. Yang membuatnya mengganti piyama tidur menjadi sweater dan jeans. Mengganti sandal bulu kamarnya dengan sneakers. Mengubur bantal dan guling di bawah selimut. Serta memanjat turun balkonnya diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Dan sekarang, ketika Elata sudah sampai di depan Villa tempat acara kelasnya berlangsung, ia masih diam tak bergerak. Udara dingin serta angin yang menerbangkan rambutnya membuat ia kembali getir. Elata meluncur datang ke sini hampir tanpa berpikir. Tapi semuanya sudah terlanjur.

Noah 634: udah makan, cantik? Lagi apa? Mau aku telepon?

Saat pesan itu masuk, sudah terbayang di kepalanya bagaimana reaksi Noah saat mengetahui kalau dirinya menyusul ke tempat ini seorang diri.

Elata membalas pesan Noah dengan fitur share location. Sesuai dugaannya, hanya butuh dua detik setelah centang dua abu-abu berubah biru, panggilan cowok itu langsung mendera ponselnya.

"Kamu serius di sini?! Di mana?!"

Tapi belum sempat Elata menjawab, pintu bangunan di hadapannya itu terbanting terbuka. Noah menemukannya dengan tatapan membulat tidak percaya. Langkahnya yang panjang dan lebar sangat cepat menghampiri Elata, hampir sedikit menakutkan seolah singa yang ingin menerjang, membuatnya ingin mundur.

Noah mencengkram bahunya. "Ngapain kamu ke sini?! Sama siapa? Sendirian?"

Sepertinya pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya, karena Noah menghela napas kasar serta mengusap wajahnya dengan dua tangan.

"Aku—"

"Kamu menyelinap keluar?!"

Elata mengangguk lemah. "Tapi—"

"Elata...," untuk pertama kalinya, Noah menatapnya dengan sorot mata kecewa. "Orang tua kamu bakal panik banget kalo sampai mereka tahu."

Tapi aku juga nggak mau kamu deket-deket sama Sintya.

"Biar aku antar kamu pulang sekarang." Noah meraih lengannya, mengarahkan Elata ke tempat mobil cowok itu di parkir.

Tapi Elata tidak datang sejauh ini untuk pulang. Ia menghalau lepas tangan Noah. "Kamu beneran mau aku pulang?"

"Itu udah jelas, kan?"

"Kenapa?"

"Kamu masih tanya kenapa?" Rupanya Noah benar-benar marah. "Bayangin seberapa khawatirnya Mama kamu kalau tau anak perempuannya berada jauh dari rumah sekarang."

"Nggak akan ketahuan, kok." Elata menjauh mundur dari Noah. "Aku udah—"

"Elata, dengerin aku—"

"Kamu aja sendiri yang pulang!"

"Masuk ke mobil," Elata yang hendak menuju ke dalam villa di halangi Noah. Cowok itu menekan tombol kunci otomatis mobil. "Sekarang."

"Nggak mau!"

Noah mengatur napas, demi mengatur emosinya. "Elata, aku cuma nggak mau kamu berada dalam masalah."

"Masalah? Aku ini udah besar. Bukan anak kecil yang nggak tau mana yang bener dan yang enggak. Aku udah cukup dewasa untuk pergi ke mana pun yang aku mau. Aku udah bisa mutusin sendiri apa yang mau aku lakuin. Sekarang kamu jadi nyebelin tau, nggak! Kamu jadi ikut-ikutan sok ngatur aku!"

"Elata!"

"Kamu mau aku pulang supaya reunian kamu bareng Sintya nggak keganggu, kan?!"

Noah terdiam, menatapnya begitu heran, seolah sedang ada pohon yang tumbuh di atas kepala Elata. Tapi sedetik kemudian cowok itu menutup matanya dan menghembuskan napas kasar.

"Jadi semua ini hanya karena Sintya?!"

Hanya? "Buat apa kamu ngajak dia ke sini?"

"Karena kamu cemburu, kamu jadi nekad pergi dari rumah tanpa izin orang tua dan dateng ke sini?" Noah melangkah maju. "Kamu nggak sadar? Kalo tindakan itu justru ngebuktiin dengan jelas kalo kamu memang masih anak kecil, Elata."

Elata hampir ingin menangis. Namun ia menahan diri sekuat tenaga. Tidak disangkanya, kalau kedatangannya justru ditolak mentah-mentah oleh Noah. Sekarang ia justru dipandang kekanak-kanakan, dipojokkan.

Noah menyadari kalau kalimatnya terlalu tajam. Ia menyesali hal itu tepat setelah kalimat itu meluncur keluar.

Noah ingin meraih Elata, tapi ia lebih cepat untuk mundur menjauh, menghindarinya.

"Elata..." suaranya melembut.

Elata tidak ingin lagi mendengar apa yang akan dikatakan Noah. Ia melewati cowok itu begitu saja dan berlari masuk ke dalam Villa bertingkat dua itu. Semua teman di kelasnya ada di sana. Ada wajah-wajah asing yang belum pernah ia lihat, mungkin karena ajakan dari teman atau mulut ke mulut.

Semuanya tengah berpesta dengan musik berdentum nyaring. Elata mengernyit karena suara itu sedikit mengganggunya. Semua orang di sana menikmati minuman botolan, memainkan permainan kartu, lempar panah, karaoke, hingga menari di atas meja.

Elata tengah mencari keberadaan Mona ketika Noah menarik tangannya dari belakang.

"Elata,"

"Lepas."

"Kita bicara di luar."

"Kamu nggak bisa maksa aku pulang."

Di tengah hiruk pikuk pesta, hanya Elata dan Noah yang berdiri diam. Sama-sama saling menatap dengan kekerasan yang serupa. Keduanya enggan mengalah. Tidak ada yang ingin melunak.

"ELATA!" Teriak Mona yang datang dan langsung memeluknya. "LO KE SINI BENERAN?! INI BENERAN LO? BUKAN SETAN YANG MIRIP LO?"

Mona yang begitu senang melihatnya, menarik Elata menjauh. Yang membuat Noah mau tidak mau melepaskan cekalannya di lengan Elata. Cowok itu masih terlihat gusar, meski Ginan yang menghampiri namun tatapan Noah hanya lekat padanya.

"Bagus lo ke sini," Mona membawanya ke sudut tempat minuman dan makanan. "Jadi lo udah kenal Sintya?"

"Udah kenalan waktu Prom kemarin," Elata mengambil gelas merah berisi minuman berwarna kuning. "Katanya dia temen Noah dari SMP."

Elata menjelaskan secara singkat kenapa Sintya bisa menghadiri acara prom sekolah mereka. Mona mengerutkan dahinya lebih dalam.

"Dan lo tau kenapa Sintya ada di sini?" Mona menunjuk ke arah kerumunan di bagian tengah ruangan. Di sanalah Sintya berada. Sedang asyik bermain kartu dengan yang lainnya. "Ternyata dia yang punya villa ini."

Elata membelalak. "Gimana bisa?"

"Kebetulan banget, kan? Gue tadi nanya sama Lina yang ngurusin acara ini. Katanya dia ditawarin sama Sintya lewat DM instagram, buat pake Villa ini secara gratis. Ya anak-anak langsung pada setuju. Aneh, kan?"

Jadi bukan Noah yang mengajak wanita itu.

Tatapan Elata lalu tertuju pada Sintya. Wanita itu memang sedikit aneh dengan kemunculannya tiba-tiba di prom mereka. Sangat kebetulan dan justru terkesan janggal.

Dari arah panggung berukuran satu undakan di sisi lain dinding, suara tabuhan drum menarik perhatian semua orang. The Prince's sedang bersiap. Begitu juga dengan Noah yang menyetel gitarnya.

Tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Tidak seperti biasanya, bukan senyuman yang mereka bagikan satu sama lain. Elata tidak tahan dengan hal itu dan memalingkan wajah lebih dulu.

Namun kehadiran Sintya di tengah personel The Prince's menarik perhatiannya lagi. Apalagi ketika wanita itu menghampiri Noah dan memberikan minuman.

Sorakan penonton pecah melihat aksi itu, dan sebagian dari mereka sedang melirik diam-diam penuh ingin tahu ke arah Elata.

👑

Noahh!!!! Jangan nakal! 😡

Di ig story aku ada bilang kalo aku mulai takut nulis TRP wkwkkw

Nggak kok bukn karena konfliknya, tapi karena aku semakin terbayang Noah!!! Tiba-tiba aja dia jadi berkali lipat lebih nyata daripada dulu aku tulis. 🫠😳

Selamat malam minggu.

Malam biasa yang sama seperti malam lainnya. Kita sering memaknai pada suatu hari, menjadikan itu spesial padahal itu semua berasal dari gimana kita melihatnya.

Sama kayak kita.
Walaupun kita manusia biasa, tapi setiap dari kita pasti punya hal spesial yang menunggu untuk ditemukan maknanya.

Seperti biasa, terima kasih karena sudah membaca cerita ini.

Faradita
I love you in every word 🌬️🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top