XI - Pilihan Sulit
Aku bisa mengejar dunia, denganmu bersamaku.
👑
"Tahun ini kita mau ke mana? Nginep di Vila, atau jalan-jalan ke luar kota?" tanya papanya siang itu. Laki-laki itu sangat bersemangat.
"Kue ulang tahunnya biar mama yang bikin."
"Nggak repot, ma? Mending beli aja di jalan."
"Tiap tahun mama juga yang bikin. Nggak repot sama sekali."
"Tentuin dulu tempatnya. Elata mau ke mana? Dari tadi diajak ngomong diem aja."
Elata yang sejak tadi sudah menyelesaikan makan siangnya, melipat tangan rapi di atas meja. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian, dengan senyum paling manis yang bisa ia lakukan.
"Ma, Pa," Elata mengingat rangkaian kalimat yang sudah disusunnya sejak tadi malam. Tapi lagi, lidahnya terlalu kelu untuk mengeja.
"Kamu kenapa?" Mamanya kali ini memerhatikan. "Sakit?"
"Boleh nggak kita undur perayaan ulang tahun aku?" Akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutnya. Tepat ke tengah meja makan yang membuat kedua orang tuanya jadi diam, memerhatikannya.
"Kenapa?" papanya menurunkan sendok garpu. "Biasanya kamu ngotot kalo harus dirayain."
"Mana kalo telat sehari aja ngomel. Kenapa sekarang malah minta tunda?"
"Itu, loh. Emm...,"
"Mau ngerayain bareng temen?" Tebak mamanya. "Boleh aja. Nanti mama siapin pestanya di rumah."
"Itu juga ide bagus." Timpal papanya.
"Sebenernya kelas aku ngadain acara perpisahan khusus anak-anak kelas. Mereka nyewa villa gitu. Terus nginep... di sana."
Roy dan Marina menatapnya tak berkedip. Menunggu Elata melanjutkan, tapi sepertinya ia sudah setengah menyesal. "Tanggal acara perpisahannya kebetulan di tanggal ulang tahunku, jadi aku mau sekalian minta ijin buat ikut—"
"Enggak boleh!" Potong Marina. "Masih pakek nanya."
"Ini acara perpisahan terakhir, Ma... abis ini kami kemungkinan nggak bakal ketemu lagi karena pasti pada mencar semua. Boleh, ya, Ma. Pa, boleh ya."
Roy menghela napas. "Elata, kamu ingat lagi, deh. Pernah nggak kamu tidur selain di rumah ini, tanpa kami? Waktu acara pramuka kamu dulu, nginep di hutan, kamu ikut nggak? Nggak, kan."
"Makanya itu, Pa. Karena aku selalu nggak bisa dateng kalo ada acara sekolah, dan ini bener-bener acara terakhir kalinya, aku mau ngerasain ikut. Setelah ini aku janji nggak akan minta apa-apa lagi," Elata menangkupkan kedua tangan di bawah dagu. "Boleh, ya please. Kali ini aja, Ma, Pa."
"Terus Noah juga ada di sana?" tanya Marina menusuk. "Elata, kami menyetujui hubungan kamu sama Noah, bukan berarti kamu hilang batas, ya. Udah. Mama nggak mau denger lagi soal acara perpisahan ini. Mending kamu pikirin mau ngerayain ulang tahun kamu di mana."
Itu adalah kesempatan terakhir Elata untuk meminta izin. Yang artinya, keputusan mutlak mamanya sudah tidak bisa ditawar lagi. Elata melangkah lunglai menuju kamarnya. Ponselnya sudah bergetar sejak tadi oleh pesan Mona yang sibuk menanyakan apakah ia bisa ikut atau tidak.
Elata menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia harus merelakan untuk tidak lagi memikirkan acara perpisahan itu. Sebanyak apapun keinginannya untuk pergi, Elata juga tahu kalau larangan orang tuanya memang beralasan.
Tapi tetap saja rasanya menyesakkan saat keinginanmu bertentangan dengan keinginan orang tuamu. Elata masih merasa tidak memiliki kendali pada hidupnya, bahkan di akhir masa SMAnya. Padahal, kalau saja orang tuanya menaruh sedikit sana rasa kepercayaan padanya, Elata tidak akan merasa begitu terikat begini.
Suara ketukan di jendela membuat Elata langsung menoleh, dan seketika tersenyum. Ia bangkit dan membuka kunci dengan cepat.
"Pasti nggak diizinin." itu kalimat pertama dari Noah yang kemudian menuju bantal duduk balkon kamarnya. Cowok itu mengeluarkan cokelat dan eskrim dari bungkusan yang dibawanya. "Yaudah di rumah aja."
"Kamu jadi tampil di sana?"
Sambil membuka bungkus cokelat, Noah mengangkat bahu. "Kata Ginan, anak di kelas bakal demo kalo The Prince's nggak tampil. Udah bukan diminta lagi, tapi wajib katanya."
Elata menerima cokelat dengan bahu melorot. Membayangkan keseruan acara itu di kepalanya.
"Aku udah minta nggak ikut juga," lanjutnya.
Elata menegakkan tubuhnya. "Kenapa?" apa jangan-jangan karena aku?
"Tapi kata Ginan kalo nggak ada akunya sama aja The Prince's nggak tampil."
Walau itu terdengar sangat narsis, tapi harus Elata akui itu memang benar.
"Jadi," Noah mengusap bibirnya yang terkena es krim. "Aku ke sana buat tampil abis itu pulang."
"Bikin capek di jalan, dong."
"Besoknya kamu ulang tahun, kan?"
Elata mengangguk.
"Mau ke mana?"
Elata menggeleng. "Nggak minat ke mana-mana lagi karena dilarang ikut acara kelas."
Noah tersenyum. Setelah menghabiskan es krimnya, cowok itu mengambil bungkusan kedua. Kali ini hanya diletakkan di atas meja. "Buat kamu,"
"Apa ini? Hadiah? Tapi ulang tahunku masih minggu depan."
"Bukan hadiah," Noah mengambil cokelat di tangan Elata. Menarik tisu untuk membersihkan jarinya yang terkena cokelat. "Coba dibuka."
Elata mengintip ke dalam bungkusan itu. Kotak hitam persegi dengan gambar ponsel. "Kenapa beli ini?"
"Waktu itu HP kamu jatoh, kan? Aku liat layarnya retak."
Oh. "Tapi masih bisa dipake, kok. Retaknya cuma sedikit, di ujung pula."
Noah mengambil kotak ponsel itu dan membuka segelnya. Batangan persegi panjang berwarna putih metalik berkilau di bawah lampu balkonnya. "Udah dibuka. Nggak bisa dibalikin ke toko. Jadi mau nggak mau harus dipake, ya."
"Noah," ponsel keluaran terbaru itu tidak mungkin murah. "Uang jajan kamu abis beli ini doang pasti,"
"Enggak, masih ada."
"Tapi ini berlebihan hhmmpp—"
Noah menempelkan es krim ke bibir Elata. "Waktu aku jemput kamu di malam prom, papa kamu ngomongin soal kuliah kamu. Belum bilang ke mereka?"
Elata menjilat es krim di bibirnya. "Aku masih mau mikirin lagi."
"Masih bingung, ya?"
"Banget!"
"Emangnya apa yang kamu mau?"
Elata menjatuhkan dahinya ke tepi meja. "Aku nggak tau gimana cara ngomongnya,"
"Keluarin aja," Noah menarik tisu lagi untuk menyeka tangannya yang lengket. "Biar aku simpulin,"
"Kamu tau, kan mama kerjanya perawat. Cita-citanya punya anak dokter. Kak Erika udah gagal, tinggal aku, nih sekarang. Tapi minat aku ada di musik, terus sekarang juga udah diizinin main piano. Aku seneng banget. Tapi tetep aja aku bingung. Diizinin main piano belum tantu diizinin ngambil jurusan musik, kan? Aku juga nggak keberatan buat ambil kedokteran. Tapi main piano juga bikin aku seneng."
Elata menolehkan wajahnya yang masih di atas meja ke arah Noah. "Huuuuu... aku bingung."
Noah menyelipkan rambut Elata ke belakang telinga. "Kamu bingung di antara harus ngejar mimpi, atau ngejar bakti ke orang tua. Di lain sisinya, kamu juga takut. Takut kalo gagal dalam pilihan kamu sendiri. Karena itu akan jadi tanggung jawab kamu sepenuhnya. Sedangkan kalo gagal di pilihan orang tua, kamu merasa sebagian beban kegagalannya hilang."
Elata menegakkan badannya. Itu adalah kesimpulan paling tepat tentang apa yang dirasakan Elata saat ini.
"Kamu terlalu mengenal aku," Elata menutup wajahnya. "Masa semua isi hati aku keliatan."
"Elata, yang kamu butuhin cuma bicara sama orang tua kamu. Aku yakin, mereka akan memberikan yang terbaik. Mereka adalah orang yang paling pengen liat kamu bahagia. Kalo kamu jujur sama mereka, jujur tentang mimpi kamu, tentang ketakutan kamu, aku yakin mereka bisa mengerti dengan apa yang kamu pilih."
Elata menatap lekat ke wajah Noah. Ia mendengar setiap kata yang kelur dari mulut cowok itu.
"Soal takut gagal, bukan cuma kamu yang ngerasainnya. Semua orang juga. Tapi seenggaknya, kamu gagal di dalam pilihan kamu sendiri. Yang artinya, kamu udah mencobanya, udah berusaha ngelakuin yang terbaik. Itu bukan sia-sia, tapi itu jadi pengalaman yang cuma bisa dirasain sama kamu sendiri."
Elata masih diam menatap Noah. Cowok itu pun perlahan tersenyum dan menjawil dagunya. "Kenapa, hm?"
"Es krim yang kamu makan rasa apa?"
"Mm... cokelat?"
"Aku mau juga," Elata menarik tangan Noah dan menjilat es krim. "Biar jadi sedewasa kamu,"
Noah membiarkan Elata menghabiskan es krim yang masih dipegangnya itu. Dengan menyandarkan kepala di tangan, ia memerhatikan Elata yang antusias menjilat es krim.
"Elata,"
"Hm?"
"Ibu mau aku kuliah di London."
Ini dia.
Noah meletakkan bungkus es krim di atas meja. "Kok, kamu nggak keliatan kaget?"
"Ibu kamu sempet ngomongin hal ini juga ke mama,"
Noah seolah mengerti dan menunduk sambil memijat kepalanya. "Jadi, menurut kamu aku harus gimana?"
Elata berpindah tempat duduk ke samping Noah. Mereka duduk bersandar di dinding, menghadap balkon luar, menatap langit yang sama. "Pasti bingung, ya?"
Noah hanya tersenyum kecil mendengar Elata membalikkan perkataannya. Tubuh tinggi cowok itu merosot agar bisa menyandarkan kepalanya di bahu Elata. "Aku harus gimana, Ta?"
"Kamu harus pertimbangkan keinginan ibu, tapi kamu juga jangan lupain apa yang benar-benar kamu mau. Sama seperti yang kamu bilang tadi ke aku, omongin ke ibu biar dia tahu."
Tangan Noah meluncur dari siku sampai ke tangannya. Memainkan jemari Elata, menjadi sebuah ritual penyemangat, dan bisa juga penenang bagi cowok itu.
"Kondisi kita sekarang mirip, ya. Sama-sama nggak mau ngecewain orang tua."
Noah memutar kepalanya hingga dahi cowok itu menekan bahu Elata. "Aku nggak mau jauh dari kamu."
Elata tahu, seberapa besar Noah menyayangi ibunya. Setelah kesakitan yang ditanggung cowok itu sejak kecil, hidup terpisah dengan ibunya. Kenyataan kini mereka bisa hidup bersama mungkin sudah menjadi sesuatu yang diimpikan cowok itu sejak lama.
Elata tidak tahu apakah mereka bisa berhasil dengan hubungan jarak jauh, tapi Elata tidak mau Noah meletakkan prioritasnya pada sesuatu yang keliru. Ia menyayangi Noah, selamanya akan terus begitu. Ia ingin Noah mengejar mimpinya.
"Aku mau di sini aja." Kata Noah tiba-tiba.
"Jangan diputuskan buru-buru."
"Dari awal aku udah bilang begitu, kan sama kamu."
"Iya, tapi itu sebelum kamu tahu keinginan ibu."
"Aku akan ngomong ke ibu. Dia pasti bisa ngerti."
Elata memutar duduknya jadi menghadap Noah. Ia memegangi wajah cowok itu. "Kamu nggak akan bingung kayak gini, kalo kamu nggak punya keinginan untuk nurutin kemauan ibu. Kamu juga mau, kan menyenangkan ibu?"
"Bisa, nggak ya aku rayu orang tua kamu buat bawa kamu ke London."
Elata tertawa, akan pertanyaan dengan jawaban yang terlampau jelas itu.
"Noah, LDR kedengerannya nggak begitu buruk, kok." ujar Elata. "Sekarang udah serba canggih. Bisa telepon siang malam, video call. Lagian kuliah cuma beberapa tahun aja. Nggak akan kerasa."
"Gimana kalo kamu ketemu cowok lain?"
"Ya aku sapa."
Wajah Noah berubah datar. "Haha."
Elata tertawa. "Lebih rawan aku, dong. Cewek di London pasti cantik-cantik. Gimana kalo kamu kepincut?"
"Masalahnya, agak susah nyari cewek yang bisa nyaingin kamu."
Elata bersemu. "Kalo gitu nggak masalah, dong kita LDR."
Noah memalingkan wajahnya untuk mengecup telapak tangan Elata. "Kenapa aku ngerasa kamu nyuruh aku buat pergi."
"Aku cuma mau kamu tahu, kalo di mana pun nanti kita kuliah, hubungan kita ngak akan berubah. Tetap sama, ada kamu," Elata menunjuk dada Noah. "Ada aku." Lalu menunjuk dirinya sendiri.
Noah yang tadinya datang dengan kekalutan, kini bisa tersenyum lebih lebar. Ia menangkup kepala Elata dengan dua tangan, membuat pipi cewek itu tertekan sampai mulutnya mengerucut lucu.
"Pengen aku makan rasanya," ujar Noah gemas. "Gimana aku tanpa kamu, Ta?"
👑
Tenang, nggak ada Elata. Masih ada aku 😁
Aku udah bilang belum ya kalo aku bahagia banget nulis cerita ini. Enggak tau kenapa rasanya seneng banget. Bahkan aku sampe mimpi balik ke masa SMA 🤣
Semoga kebahagiaanku juga bisa kalian rasakan.
Terima kasih karena masih di sini bersamaku. Aku sayanggg banget sama kalian 😭🥹
Faradita
I love you in every word 🌬️🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top